Muara
Cinta Sang Bidadari
Karya:
Isdamaya Seka
Imran menatap langit biru yang dihiasi dengan awan
beraneka bentuk. Duduk di atas bangku taman halaman rumah. Menghirup udara pagi
yang menebarkan aroma embun dari dedaunan.
Tak sabar rasanya untuk kembali beraktivitas seperti
biasa. Memeriksa kondisi pasien, menuliskan resep, serta aktivitas lainnya. Ia
masih harus menunggu bahunya benar-benar pulih untuk melakukan itu semua.
Pemuda beiris cokelat pekat itu teringat akan kajian
Islam yang ia dengar semalam lewat media sosial. Tentang jodoh. Sang uztad mengutip
sebuah ayat dalan surah Albaqarah, "Sungguh, hamba sahaya perempuan yang
beriman lebih baik daripada perempuan Musyrik, meskipun dia menarik
hatimu."
Imran juga masih jelas mengingat sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majah, "Janganlah kamu menikahi wanita lantaran
kecantikannya, boleh jadi kecantikan itu akan menjerumuskanya kepada kehinaan.
Janganlah kamu menikahi wanita karena hartanya, boleh jadi harta itu akan
menjerumuskannya kepada kesesatan. Dan nikahilah wanita itu karena agamanya. Sungguh
seorang budak wanita yang hitam legam namun beragama (mengamalkan agama dengan
baik) jauh lebih utama."
Dokter muda itu tafakur. Menyadari kekeliruannya,
tidak menjalani ilmu yang selama ini ia pahami. Melepaskan wanita salihah di
depan mata, demi mencari wanita yang nampak indah di mata manusia.
Cinta ... satu kata keramat itu tak luput dari
pikirannya. Bayang-bayang kisah sahabat Zaid bin Haritsah dengan sahabiyah
Zainab binti Jahsy masih terus melintas dalam benaknya. Kedua manusia yang
Allah jamin masuk surga itu pun tak mampu mempertahankan rumah tangga karena
tidak ada cinta dari Zainab untuk Zaid.
Bagaimana pula dengan dirinya yang hanya memiliki
iman seujung kuku? Imran merasa belum bisa menjalani rumah tangga dengan modal
takwa, meski sang wanita adalah hamba salihah. Tapi, bukankah banyak yang
menikah tanpa cinta lalu rumah tangganya tetap bahagia karena cinta tumbuh
dengan sendirinya? Imran pusing sendiri dengan apa yang ada di kepala.
Terkadang hati berkata A, terkadang B. Ia merasa frustasi dibuatnya.
"Ya Allah ... berilah hamba petunjuk,"
ucapnya seraya menatap langit yang begitu cerah.
"Bukannya Allah sudah memberi petunjuk?"
Bu Yani tiba-tiba sudah berdiri di belakang Imran. Pemuda itu terkejut, menoleh
ke arah ibunya.
"Ya Allah ... Umi. Sejak kapan berdiri di
situ?"
“Sejak kamu berdoa 'Ya Allah, berilah hamba
petunjuk'." Bu Yani menirukan kata-kata putranya.
Imran menunduk malu.
"Memikirkan Halimah?" tanya Bu Yani. Imran
menoleh, menatap lembut sepasang manik hitam sang ibu.
"Dia sudah mau menikah. Buat apa kamu
memikirkan dia?"
Imran melemparkan pandangan pada kupu-kupu yang
tengah mengepakkan sayap indah. Memilih bunga paling segar untuk dihisap
nektarnya.
"Kamu sendiri, 'kan, yang tidak mau menikah
dengannya?" sindir Bu Yani.
"Pernikahan tidak bisa dipaksakan, Umi
...," ujarnya.
"Betul. Terus kenapa Umi lihat kamu selalu
memikirkannya?"
"Kapan?" Imran berkilah.
"Jangan pikir Umi tidak tahu."
"Imran tidak memikirkannya, Umi. Dosa."
"Kalau begitu halalkan!" tandas Bu Yani.
Imran tak mampu lagi membalas kata-kata Bu Yani. Ia
tidak pernah menang jika berbicara pada ibunya. Wanita berusi senja itu selalu
punya cara untuk membuatnya mati kata.
"Sudahlah, Umi. Imran mau sarapan dulu."
Pemuda itu beranjak masuk ke rumah. Tak ingin
berlama-lama membahas Halimah dengan sang ibunda. Bu Yani tersenyum geli
melihat tingkah putra sematawayangnya. Di mata wanita yang sudah banyak makan
asam garam itu, ada sebersit cinta di hati anaknya. Hanya saja, Imran belum
menyadari.
۞۞۞
Halimah menghabiskan libur tanggal merah dengan
membantu Bu Piana menyiapkan roti pesanan tetangga. Raganya berada di dapur,
namun pikirannya melayang pada obrolannya dengan Fatia kemarin. Hingga selai
cokelat yang seharusnya ia oleskan pada roti, malah diambil saus sambal.
"Mah ..., kamu mikirin apa? Itu 'kan saus
cabai," tegur Bu Piana yang heran melihat sikap ponakan suaminya.
"Eh, astagfirullah ... maaf, Ammah."
Halimah baru menyadari apa yang ia lakukan pada roti di hadapan.
"Ya sudah, pinggirkan saja rotinya."
Halimah segera mengambil roti lain dan mengoleskan
selai cokelat.
"Kamu kenapa?" tanya Bu Piana.
"Halimah bingung, Ammah. Lelaki yang sudah
beristri itu ternyata suami Fatia."
"Apa?" Kedua mata Bu Piana membulat
sempurna. Ia seolah tak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Ammah tidak salah dengar?"
"Tidak, Ammah. Fatia sendiri yang meminta
Halimah untuk menjadi madunya."
"Ya Allah ... mulia sekali hati temanmu
itu," puji Bu Piana.
"Iya, Ammah. Halimah tidak menyangka Fatia
sampai begitu baik pada Halimah," ucapnya penuh haru. Setetes cairan
bening memaksa keluar dari sudut kelopak. Halimah menyeka dengan punggung
tangan.
"Lalu, keputusanmu bagaimana?" Bu Piana
ingin tahu.
"Sebelum Fatia mengaku bahwa dialah orangnya,
Halimah sudah berniat menolak. Semua karena pertimbangan Halimah atas nasihat
Ammah dan Ustaz. Dan setelah Halimah tahu, Halimah tetap ingin menolaknya. Tapi
Fatia sangat berharap Halimah bersedia," jelas gadis berkulit eksotis itu.
Bu Piana menarik napas panjang. Ia sendiri tidak
tahu mana yang terbaik untuk Halimah.
"Fatia itu gadis yang baik. Ammah mengenalnya
sejak kalian berteman. Tapi untuk poligami ini, Ammah tidak tahu harus
menyarankanmu untuk menerima atau tidak. Ammah tidak bisa memberi solusi."
Halimah bergeming. Keputusan untuk menjawab tawaran
Fatia sepenuhnya ada pada dirinya.
"Istikharahlah, Sayang. Minta petunjuk
pada-Nya. Sesungguhnya yang kita sukai belum tentu yang terbaik. Dan yang kita
tidak sukai, bisa jadi itu yang terbaik di mata Allah," tutur Bu Piana.
Gadis itu mengangguk. Benar apa yang disarankan
bibinya, istikharah adalah jalan paling tepat untuk mengambil sebuah keputusan
terbaik menurut-Nya. Melibatkan Allah dalam setiap hal merupakan kebutuhan
setiap hamba agar tidak salah melangkah. Ia menyadari hal itu.
Di sepertiga akhir malam Halimah kembali bermunajat
seperti biasa. Namun, kali ini ia sempatkan untuk salat Istikharah. Meminta
petunjuk atas permintaan Fatia. Jika memang itulah yang terbaik baginya,
Halimah akan menerima semua takdir dari-Nya dengan ikhlas.
۞۞۞
"Mah, sudah ada jawaban?" tanya Fatia
setelah para murid sudah keluar kelas.
"Jawaban apa?"
"Kura-kura dalam perahu," ucap Fatia asal.
"Belum, Fat. Jangan tanyakan itu, aku belum
bisa memutuskan."
"Kenapa, Mah?"
"Poligami bukan perkara ringan, Fat ...."
"Aku tahu. Tapi ... apa kamu tidak percaya
padaku dan Mas Khalid?"
"Percaya."
"Terus?"
Halimah bergeming. Ia sendiri tidak tahu kenapa
berat sekali rasanya menerima tawaran sahabatnya.
"Beri aku waktu, Fat."
"Seminggu."
Halimah menarik napas berat. Ia melangkah
meninggalkan Fatia yang masih sibuk memperbaiki jilbabnya.
"Halimah, tunggu--"
'Bugh!' Tubuh mungil Halimah terkulai lemah.
Terbaring tak sadarkan diri di depan kelas.
"Halimah!" Fatia begitu panik. Ia
memanggil guru lain untuk membantunya membawa Halimah ke rumah sakit.
"Bagaimana kondisi teman saya, Dokter?"
tanya Fatia setelah seorang dokter memeriksa kondisi Halimah yang masih tidak
sadarkan diri.
"Hasil pemeriksaan sementara, pasien hanya
mengalami demam tinggi. Untuk dugaan lebih jauh, kita harus menunggu pasien
sadar untuk menceritakan keluhan yang dialami. Setelah itu baru bisa dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut," papar Dokter.
"Baik, Dok. Terima kasih," ucap Fatia
sebelum dokter meninggalkan ruang Instalasi Gawat Darurat.
Fatia keluar sejenak dari ruang IGD yang
berdampingan dengan halaman rumah sakit, untuk sekadar menghirup udara segar.
"Assalamualaikum ...." Fatia menoleh pada
sang pemilik suara.
"Wa'alaikumussalam ...."
"Afwan, anti temannya Halimah, bukan?"
tanya Imran. Pemuda itu baru saja selesai memeriksakan kondisi bahunya.
"Iya," jawab Fatia singkat.
"Oh ya, siapa yang sakit, Ukh?" tanya
Imran basa-basi.
"Halimah."
"Halimah? Dia ... sakit apa?" Ada raut
kecemasan di wajah Imran mendengar Halimah sakit.
"Hanya demam."
"Syafahallah
...," ucap Imran.
Fatia hendak melangkah masuk ke dalam ruang IGD,
namun Imran mencegahnya.
"Sebentar, Ukh."
Fatia menoleh, "Ada apa?" tanyanya.
"Apa benar Halimah akan segera menikah?"
"Benar atau tidak, apa urusannya dengan
antum?" jawab Fatia ketus.
"Saya hanya ingin mengucapkan selamat. Tolong
sampaikan salam dan ucapan selamat dari saya, Ukhti," pinta Imran.
"Sampaikan saja sendiri." Fatia segera
berlalu meninggalkan Imran yang terpaku.
Kabar pernikahan Halimah membuat hatinya gelisah.
Ada rasa sakit yang menjalar. Ingin rasanya Imran menemui gadis itu saat ini
juga. Melihat kondisinya yang sedang sakit, serta mencari tahu kebenaran ucapan
Fatia. Namun, ia masih belum punya nyali untuk berbicara dengannya.
Imran melangkah dengan hati gundah. Baru kali ini ia
merasa ada sesuatu yang berbeda. Cinta ... apa Allah menghukumnya dengan cara
itu? Mencintai gadis yang ia tolak dan akan segera bersanding dengan lelaki
yang pantas.
Biodata:
Seorang ibu rumah tangga dengan dua orang putra.
Kelahiran Medan dan saat ini berdomisili di Riau. Berharap dapat menghasilkan
karya-karya terbaik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.