Sabtu, 21 September 2019

#Jumat_Cerbung - Muara Cinta Sang Bidadari - Part 10 Sebuah Rasa - Isdamaya Seka - Sastra Indonesia Org







Muara Cinta Sang Bidadari
Karya: Isdamaya Seka


Imran menatap langit biru yang dihiasi dengan awan beraneka bentuk. Duduk di atas bangku taman halaman rumah. Menghirup udara pagi yang menebarkan aroma embun dari dedaunan.
Tak sabar rasanya untuk kembali beraktivitas seperti biasa. Memeriksa kondisi pasien, menuliskan resep, serta aktivitas lainnya. Ia masih harus menunggu bahunya benar-benar pulih untuk melakukan itu semua.
Pemuda beiris cokelat pekat itu teringat akan kajian Islam yang ia dengar semalam lewat media sosial. Tentang jodoh. Sang uztad mengutip sebuah ayat dalan surah Albaqarah, "Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan Musyrik, meskipun dia menarik hatimu."
Imran juga masih jelas mengingat sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, "Janganlah kamu menikahi wanita lantaran kecantikannya, boleh jadi kecantikan itu akan menjerumuskanya kepada kehinaan. Janganlah kamu menikahi wanita karena hartanya, boleh jadi harta itu akan menjerumuskannya kepada kesesatan. Dan nikahilah wanita itu karena agamanya. Sungguh seorang budak wanita yang hitam legam namun beragama (mengamalkan agama dengan baik) jauh lebih utama."
Dokter muda itu tafakur. Menyadari kekeliruannya, tidak menjalani ilmu yang selama ini ia pahami. Melepaskan wanita salihah di depan mata, demi mencari wanita yang nampak indah di mata manusia.
Cinta ... satu kata keramat itu tak luput dari pikirannya. Bayang-bayang kisah sahabat Zaid bin Haritsah dengan sahabiyah Zainab binti Jahsy masih terus melintas dalam benaknya. Kedua manusia yang Allah jamin masuk surga itu pun tak mampu mempertahankan rumah tangga karena tidak ada cinta dari Zainab untuk Zaid.
Bagaimana pula dengan dirinya yang hanya memiliki iman seujung kuku? Imran merasa belum bisa menjalani rumah tangga dengan modal takwa, meski sang wanita adalah hamba salihah. Tapi, bukankah banyak yang menikah tanpa cinta lalu rumah tangganya tetap bahagia karena cinta tumbuh dengan sendirinya? Imran pusing sendiri dengan apa yang ada di kepala. Terkadang hati berkata A, terkadang B. Ia merasa frustasi dibuatnya.
"Ya Allah ... berilah hamba petunjuk," ucapnya seraya menatap langit yang begitu cerah.
"Bukannya Allah sudah memberi petunjuk?" Bu Yani tiba-tiba sudah berdiri di belakang Imran. Pemuda itu terkejut, menoleh ke arah ibunya.
"Ya Allah ... Umi. Sejak kapan berdiri di situ?"
“Sejak kamu berdoa 'Ya Allah, berilah hamba petunjuk'." Bu Yani menirukan kata-kata putranya.
Imran menunduk malu.
"Memikirkan Halimah?" tanya Bu Yani. Imran menoleh, menatap lembut sepasang manik hitam sang ibu.
"Dia sudah mau menikah. Buat apa kamu memikirkan dia?"
Imran melemparkan pandangan pada kupu-kupu yang tengah mengepakkan sayap indah. Memilih bunga paling segar untuk dihisap nektarnya.
"Kamu sendiri, 'kan, yang tidak mau menikah dengannya?" sindir Bu Yani.
"Pernikahan tidak bisa dipaksakan, Umi ...," ujarnya.
"Betul. Terus kenapa Umi lihat kamu selalu memikirkannya?"
"Kapan?" Imran berkilah.
"Jangan pikir Umi tidak tahu."
"Imran tidak memikirkannya, Umi. Dosa."
"Kalau begitu halalkan!" tandas Bu Yani.
Imran tak mampu lagi membalas kata-kata Bu Yani. Ia tidak pernah menang jika berbicara pada ibunya. Wanita berusi senja itu selalu punya cara untuk membuatnya mati kata.
"Sudahlah, Umi. Imran mau sarapan dulu."
Pemuda itu beranjak masuk ke rumah. Tak ingin berlama-lama membahas Halimah dengan sang ibunda. Bu Yani tersenyum geli melihat tingkah putra sematawayangnya. Di mata wanita yang sudah banyak makan asam garam itu, ada sebersit cinta di hati anaknya. Hanya saja, Imran belum menyadari.

۞۞۞

Halimah menghabiskan libur tanggal merah dengan membantu Bu Piana menyiapkan roti pesanan tetangga. Raganya berada di dapur, namun pikirannya melayang pada obrolannya dengan Fatia kemarin. Hingga selai cokelat yang seharusnya ia oleskan pada roti, malah diambil saus sambal.
"Mah ..., kamu mikirin apa? Itu 'kan saus cabai," tegur Bu Piana yang heran melihat sikap ponakan suaminya.
"Eh, astagfirullah ... maaf, Ammah." Halimah baru menyadari apa yang ia lakukan pada roti di hadapan.
"Ya sudah, pinggirkan saja rotinya."
Halimah segera mengambil roti lain dan mengoleskan selai cokelat.


"Kamu kenapa?" tanya Bu Piana.
"Halimah bingung, Ammah. Lelaki yang sudah beristri itu ternyata suami Fatia."
"Apa?" Kedua mata Bu Piana membulat sempurna. Ia seolah tak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Ammah tidak salah dengar?"
"Tidak, Ammah. Fatia sendiri yang meminta Halimah untuk menjadi madunya."
"Ya Allah ... mulia sekali hati temanmu itu," puji Bu Piana.
"Iya, Ammah. Halimah tidak menyangka Fatia sampai begitu baik pada Halimah," ucapnya penuh haru. Setetes cairan bening memaksa keluar dari sudut kelopak. Halimah menyeka dengan punggung tangan.
"Lalu, keputusanmu bagaimana?" Bu Piana ingin tahu.
"Sebelum Fatia mengaku bahwa dialah orangnya, Halimah sudah berniat menolak. Semua karena pertimbangan Halimah atas nasihat Ammah dan Ustaz. Dan setelah Halimah tahu, Halimah tetap ingin menolaknya. Tapi Fatia sangat berharap Halimah bersedia," jelas gadis berkulit eksotis itu.
Bu Piana menarik napas panjang. Ia sendiri tidak tahu mana yang terbaik untuk Halimah.
"Fatia itu gadis yang baik. Ammah mengenalnya sejak kalian berteman. Tapi untuk poligami ini, Ammah tidak tahu harus menyarankanmu untuk menerima atau tidak. Ammah tidak bisa memberi solusi."
Halimah bergeming. Keputusan untuk menjawab tawaran Fatia sepenuhnya ada pada dirinya.
"Istikharahlah, Sayang. Minta petunjuk pada-Nya. Sesungguhnya yang kita sukai belum tentu yang terbaik. Dan yang kita tidak sukai, bisa jadi itu yang terbaik di mata Allah," tutur Bu Piana.
Gadis itu mengangguk. Benar apa yang disarankan bibinya, istikharah adalah jalan paling tepat untuk mengambil sebuah keputusan terbaik menurut-Nya. Melibatkan Allah dalam setiap hal merupakan kebutuhan setiap hamba agar tidak salah melangkah. Ia menyadari hal itu.
Di sepertiga akhir malam Halimah kembali bermunajat seperti biasa. Namun, kali ini ia sempatkan untuk salat Istikharah. Meminta petunjuk atas permintaan Fatia. Jika memang itulah yang terbaik baginya, Halimah akan menerima semua takdir dari-Nya dengan ikhlas.

۞۞۞

"Mah, sudah ada jawaban?" tanya Fatia setelah para murid sudah keluar kelas.
"Jawaban apa?"
"Kura-kura dalam perahu," ucap Fatia asal.
"Belum, Fat. Jangan tanyakan itu, aku belum bisa memutuskan."
"Kenapa, Mah?"
"Poligami bukan perkara ringan, Fat ...."
"Aku tahu. Tapi ... apa kamu tidak percaya padaku dan Mas Khalid?"
"Percaya."
"Terus?"
Halimah bergeming. Ia sendiri tidak tahu kenapa berat sekali rasanya menerima tawaran sahabatnya.
"Beri aku waktu, Fat."
"Seminggu."
Halimah menarik napas berat. Ia melangkah meninggalkan Fatia yang masih sibuk memperbaiki jilbabnya.
"Halimah, tunggu--"
'Bugh!' Tubuh mungil Halimah terkulai lemah. Terbaring tak sadarkan diri di depan kelas.
"Halimah!" Fatia begitu panik. Ia memanggil guru lain untuk membantunya membawa Halimah ke rumah sakit.
"Bagaimana kondisi teman saya, Dokter?" tanya Fatia setelah seorang dokter memeriksa kondisi Halimah yang masih tidak sadarkan diri.
"Hasil pemeriksaan sementara, pasien hanya mengalami demam tinggi. Untuk dugaan lebih jauh, kita harus menunggu pasien sadar untuk menceritakan keluhan yang dialami. Setelah itu baru bisa dilakukan pemeriksaan lebih lanjut," papar Dokter.
"Baik, Dok. Terima kasih," ucap Fatia sebelum dokter meninggalkan ruang Instalasi Gawat Darurat.
Fatia keluar sejenak dari ruang IGD yang berdampingan dengan halaman rumah sakit, untuk sekadar menghirup udara segar.
"Assalamualaikum ...." Fatia menoleh pada sang pemilik suara.
"Wa'alaikumussalam ...."
"Afwan, anti temannya Halimah, bukan?" tanya Imran. Pemuda itu baru saja selesai memeriksakan kondisi bahunya.
"Iya," jawab Fatia singkat.
"Oh ya, siapa yang sakit, Ukh?" tanya Imran basa-basi.
"Halimah."
"Halimah? Dia ... sakit apa?" Ada raut kecemasan di wajah Imran mendengar Halimah sakit.
"Hanya demam."
"Syafahallah ...," ucap Imran.
Fatia hendak melangkah masuk ke dalam ruang IGD, namun Imran mencegahnya.
"Sebentar, Ukh."
Fatia menoleh, "Ada apa?" tanyanya.
"Apa benar Halimah akan segera menikah?"
"Benar atau tidak, apa urusannya dengan antum?" jawab Fatia ketus.
"Saya hanya ingin mengucapkan selamat. Tolong sampaikan salam dan ucapan selamat dari saya, Ukhti," pinta Imran.
"Sampaikan saja sendiri." Fatia segera berlalu meninggalkan Imran yang terpaku.
Kabar pernikahan Halimah membuat hatinya gelisah. Ada rasa sakit yang menjalar. Ingin rasanya Imran menemui gadis itu saat ini juga. Melihat kondisinya yang sedang sakit, serta mencari tahu kebenaran ucapan Fatia. Namun, ia masih belum punya nyali untuk berbicara dengannya.
Imran melangkah dengan hati gundah. Baru kali ini ia merasa ada sesuatu yang berbeda. Cinta ... apa Allah menghukumnya dengan cara itu? Mencintai gadis yang ia tolak dan akan segera bersanding dengan lelaki yang pantas.

Biodata:

Seorang ibu rumah tangga dengan dua orang putra. Kelahiran Medan dan saat ini berdomisili di Riau. Berharap dapat menghasilkan karya-karya terbaik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.