Kejutan
Karya: Isdamaya Seka
Umar Bin Khattab berkata, "Tidaklah seseorang diberikan
kenikmatan setelah Islam, yang lebih baik daripada kenikmatan memiliki saudara
(semuslim) yang saleh. Apabila engkau dapati salah seorang sahabat yang saleh
maka pegang lah erat-erat."
'Benarkah
Halimah akan segera menikah? Kalau benar, kenapa ia tidak menjawab
pertanyaanku?' Dalam hati Imran bertanya-tanya.
Lelaki tampan
berkacamata itu tidak yakin dengan berita yang ia dengar. Hati kecilnya berkata
kalau semua yang dikatakan Fatia itu bohong. Untuk apa? Ia juga tidak tahu.
Imran
merebahkan tubuhnya di atas kasur. Pembicaraan sang ibu dengan Halimah di
telepon terus terngiang di telinga. Entah angin apa yang membuatnya gelisah.
Kebenaran akan pernikahan Halimah seolah harus ia ketahui sesegera mungkin.
Sosok Halimah
akhir-akhir ini terus mengusik hati. Ingin segera ia mendatangi gadis itu untuk
sekadar meminta maaf. Meski alasan utamanya untuk mengetahui perihal
pernikahan. Ikhwan manakah yang memiliki keimanan besar, hingga dapat melihat
sosok bidadari dalam diri wanita salihah yang telah ia sakiti.
Cedera di bahu
membuat Imran harus lebih berhati-hati menggerakkan tangan. Dan itu membuatnya
sulit untuk beraktivitas, bahkan untuk keluar menemui Halimah. Ia masih harus
istirahat total di rumah.
Imran duduk di
tepi kasur. Mengambil mushaf dengan tangan kanannya. Ia buka lembaran Alquran
dan mulai melantunkan ayat-ayat cinta-Nya. Surah Alhujarat menjadi pilihan.
Pria tampan itu berhenti tilawah ketika selesai membaca ayat tiga belas. Merenungi
arti dari ayat tersebut.
'Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.' Dalam hati Imran membaca terjemahan surah
Alhujarat ayat tiga belas.
"Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa." Imran mengulangi penggalan arti ayat tersebut.
"Benar. Di
mata Allah semua manusia sama, kecuali mereka yang bertakwa," gumamnya.
Ia teringat
kembali akan mimpinya ketika berada di rumah sakit paska kecelakaan. Sosok
Halimah yang sungguh cantik seperti bidadari, sungguh bertolak belakang dengan
dirinya yang buruk rupa lagi menyeramkan. Ia beristigfar, memohon ampunan
kepada Zat yang menciptakannya.
Suara ketukan
pintu kamar membuyarkan lamunannya. Ia letakkan kembali mushaf di atas nakas
dan membuka pintu.
"Umi
...."
"Boleh umi
masuk?" tanya Bu Yani.
"Masuk
saja, Mi. Tidak perlu izin," jawab Imran.
"Kamu
penasaran?" tanya Bu Yani tiba-tiba.
"Penasaran?
Soal?"
"Umi bisa
baca raut wajah kamu. Kamu penasaran tentang pernikahan Halimah, bukan?"
Imran
mengangguk.
"Kenapa?
Bukankah kamu yang menolaknya?" goda Bu Yani.
"Entahlah,
Umi. Imran juga tidak tahu. Mendengar kabar Halimah akan menikah, rasanya ada
sesuatu yang menjalari hati," tutur dokter muda itu.
"Cemburu?"
tanya Bu Yani lagi.
"Cemburu?
Bagaimana mungkin Imran cemburu, Umi. Maaf, bahkan Imran pun tidak tertarik
padanya."
"Begitu,
ya. Padahal umi masih berharap Allah merubah hati kamu. Mampu melihat surga
dalam diri wanita salihah seperti Halimah. Tapi ... ya sudahlah. Mungkin hanya
lelaki terbaik yang beruntung mendapatkannya." Sindir Bu Yani dan beranjak
keluar dari kamar Imran.
"Aku
memang bukan lelaki yang baik. Astaghfirullah ...." Imran frustasi. Ia
mengusap kasar wajahnya dengan tangan kanan. Merasa dirinya benar-benar buruk.
'Halimah ...
begitu istimewanya kah dirimu?' batin Imran.
Lelaki itu
kemudian bermunajat kepada Allah. Memohon petunjuk atas apa yang dirasakan. Ia
tak ingin hatinya terus terusik akan sosok Halimah. Wanita itu akan segera
menikah. Seharusnya rasa bersalah tak lagi ada. Tapi mengapa justru ia seakan
tidak rela?
۞۞۞
Halimah
mengambil foto kedua orang tua dari dalam laci. Tersenyum menatap wajah teduh
mereka yang tengah memeluk dirinya saat kecil. Memandang wajah kedua orang tua
dari lembaran foto dapat sedikit mengurangi rindunya akan sosok ayah dan ibu.
Tawaran Fatia
untuk menjadi istri kedua dari sepupunya membuat Halimah gelisah. Ia tidak
menyangka jika jalan jodohnya harus seperti itu. Namun ia tetap bersyukur,
ternyata masih ada lelaki yang tak menilai wanita hanya dari keindahan rupa.
Sebelum
mengambil keputusan untuk bertemu dengan istri pertama dari lelaki itu, Halimah
merasa harus membicarakannya pada Ustaz Hanafi dan Bu Piana. Mereka adalah orang
tua bagi Halimah. Malasah seperti ini tidak mungkin ia putuskan sendiri.
Gadis itu
beranjak dari kamar dan menemui bibinya yang tengah duduk berdua bersama Ustaz
Hanafi di serambi rumah.
"Ustaz,
Ammah, ada yang ingin Halimah bicarakan," ucap Halimah setelah duduk di
samping Bu Piana.
"Ada apa,
Mah?" tanya Ustaz Hanafi.
"Bagaimana
menurut Ustaz tentang poligami?"
"Kenapa
tiba-tiba bertanya soal poligami?" tanya Bu Piana.
"Anu
...." Halimah sulit menceritakannya.
"Begini,
Mah. Kamu tahu sendiri kalau dalam agama kita, poligami itu sunnah. Jika mampu
berbuat adil, maka nikahilah dua, tiga, hingga empat wanita. Jika tidak mampu,
maka kawinilah seorang saja," jelas Ustaz Hanafi.
Gadis itu
mengangguk mendengar penjelasan pamannya.
"Memangnya
ada apa tiba-tiba bertanya soal itu?" tanya Ustaz Hanafi.
"Fatia ...
ingin menjodohkan Halimah dengan sepupunya. Tapi menjadi istri kedua,"
jawab Halimah perlahan.
"Subhanallah
...," ucap Ustaz Hanafi dan Bu Piana bersamaan.
"Sudah
bertemu dengan lelaki itu dan istrinya?" tanya Bu Piana.
"Belum,"
jawab Halimah seraya menggeleng.
"Apakah
istrinya setuju? Poligami bukan perkara yang mudah, Halimah," kata Ustaz
Hanafi.
"Fatia
bilang, istrinya sendiri yang ingin mencari madu untuk suaminya. Bahkan beliau
yang memilih Halimah."
"Halimah,
kami tidak bisa melarang. Semua itu tergantung padamu. Hanya saja, kami tidak
ingin kamu salah langkah hanya demi sebuah pernikahan. Jangan tergesa-gesa.
Poligami bukan perkara ringan. Yakinlah ... bahwa Allah pasti telah menyiapkan
lelaki terbaik untukmu. Pikirkan lagi secara matang, dan mohonlah petunjuk
pada-Nya."
۞۞۞
Halimah
menunggu Fatia di sebuah taman. Tempat yang biasa mereka kunjungi saat libur
mengajar. Hari ini ia akan bertemu dengan wanita yang dibicarakan Fatia.
Nasihat
terakhir dari Bu Piana dan Ustaz Hanafi terus terngiang di telinganya. Selama
seminggu itu ia terus memohon petunjuk pada Sang Kuasa. Keputusannya sudah
bulat, ia akan menolak tawaran untuk menjadi istri kedua.
"Assalamualaikum
...." Tak lama Fatia datang menemui Halimah di taman.
"Wa'alaikumussalam
... sendirian, Fat?" tanya Halimah yang heran melihat Fatia datang seorang
diri.
"Iya,"
jawab Fatia seraya duduk di sebelah Halimah.
"Di mana
istri sepupu kamu?" tanya Halimah lagi, semakin merasa heran.
"Di
sebelah kamu," jawab Fatia santai seraya tersenyum lebar.
Sedangkan
Halimah, ia nyaris tak bisa berkata-kata. Sepasang kelopak matanya membulat
sempurna. Terkejut.
"Fat,
jangan bercanda."
"Aku tidak
bercanda, Halimah Syafa. Aku serius," ucap Fatia. Kali ini dengan wajah
tegas yang menampakkan keseriusan, sekaligus ketulusan.
"Tapi ...
bukankah lelaki yang kamu katakan itu adalah sepupu?" Halimah masih tak
percaya dengan apa yang dikatakan sahabatnya.
"Iya, dia
sepupuku ... dulu."
Halimah
menggeleng. Tak menyangka sahabatnya akan melakukan semua ini untuknya.
Sepasang matanya terasa panas. Haru, senang, sedih, semua rasa itu menyatu di
hatinya.
"Mah
...." Fatia menepuk pelan pundak Halimah. Gadis itu menoleh. Menatap haru
pada sahabatnya. Tak hanya rupa, tapi hatinya juga begitu cantik.
"Fatia ...
maaf, aku tidak bisa. Sebelum aku tahu bahwa kamulah wanita itu, aku sudah
memutuskan untuk menolaknya."
"Kenapa,
Mah?"
"Fatia ...
poligami bukan perkara yang ringan. Aku tahu kamu wanita yang baik. Suamimu
juga pasti lelaki yang baik. Tapi aku tidak ingin berada di antara
kalian."
"Halimah,
aku ingin bersahabat denganmu. Bukan hanya di dunia, tapi kita bersama
melangkah ke surga-Nya. Aku ingin berbagi kebahagiaan bersama," ucap Fatia
dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Halimah menatap
sahabatnya. Memiliki sahabat sebaik Fatia adalah sebuah rezeki yang tak pernah
dibayangkan. Betapa mulia hati gadis itu. Mau berbagi kebahagiaan bersama
dirinya yang penuh kekurangan.
"Halimah
... aku tulus. Mas Khalid, aku sangat mengenalnya. Beliau lelaki yang sangat
baik, tulus mencintai karena Allah. Dan aku memilihnya karena dia bersedia
menerima syarat yang kuberikan saat khitbah."
"Syarat?"
Halimah semakin penasaran, apa yang dilakukan sahabatnya ini. Berkali-kali
menolak lamaran yang datang. Pada akhirnya, memilih sepupunya sendiri sebagai
suami.
Riau, 06 September 2019
Biodata:
Penulis pemula
yang terjun ka dunia literasi setengah tahun lalu. Berharap cerbung ini dapat
menjadi sebuah karya yang sarat hikmah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.