Sabtu, 07 September 2019

#Jumat_Cerbung - Muara Cinta Sang Bidadari - Bab 8 Kejutan - Karya Isdamaya Seka - Sastra Indonesia Org





Kejutan
Karya: Isdamaya Seka


Umar Bin Khattab berkata, "Tidaklah seseorang diberikan kenikmatan setelah Islam, yang lebih baik daripada kenikmatan memiliki saudara (semuslim) yang saleh. Apabila engkau dapati salah seorang sahabat yang saleh maka pegang lah erat-erat."

'Benarkah Halimah akan segera menikah? Kalau benar, kenapa ia tidak menjawab pertanyaanku?' Dalam hati Imran bertanya-tanya.
Lelaki tampan berkacamata itu tidak yakin dengan berita yang ia dengar. Hati kecilnya berkata kalau semua yang dikatakan Fatia itu bohong. Untuk apa? Ia juga tidak tahu.
Imran merebahkan tubuhnya di atas kasur. Pembicaraan sang ibu dengan Halimah di telepon terus terngiang di telinga. Entah angin apa yang membuatnya gelisah. Kebenaran akan pernikahan Halimah seolah harus ia ketahui sesegera mungkin.
Sosok Halimah akhir-akhir ini terus mengusik hati. Ingin segera ia mendatangi gadis itu untuk sekadar meminta maaf. Meski alasan utamanya untuk mengetahui perihal pernikahan. Ikhwan manakah yang memiliki keimanan besar, hingga dapat melihat sosok bidadari dalam diri wanita salihah yang telah ia sakiti.
Cedera di bahu membuat Imran harus lebih berhati-hati menggerakkan tangan. Dan itu membuatnya sulit untuk beraktivitas, bahkan untuk keluar menemui Halimah. Ia masih harus istirahat total di rumah.
Imran duduk di tepi kasur. Mengambil mushaf dengan tangan kanannya. Ia buka lembaran Alquran dan mulai melantunkan ayat-ayat cinta-Nya. Surah Alhujarat menjadi pilihan. Pria tampan itu berhenti tilawah ketika selesai membaca ayat tiga belas. Merenungi arti dari ayat tersebut.
'Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.' Dalam hati Imran membaca terjemahan surah Alhujarat ayat tiga belas.
"Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa." Imran mengulangi penggalan arti ayat tersebut.
"Benar. Di mata Allah semua manusia sama, kecuali mereka yang bertakwa," gumamnya.
Ia teringat kembali akan mimpinya ketika berada di rumah sakit paska kecelakaan. Sosok Halimah yang sungguh cantik seperti bidadari, sungguh bertolak belakang dengan dirinya yang buruk rupa lagi menyeramkan. Ia beristigfar, memohon ampunan kepada Zat yang menciptakannya.
Suara ketukan pintu kamar membuyarkan lamunannya. Ia letakkan kembali mushaf di atas nakas dan membuka pintu.
"Umi ...."
"Boleh umi masuk?" tanya Bu Yani.
"Masuk saja, Mi. Tidak perlu izin," jawab Imran.
"Kamu penasaran?" tanya Bu Yani tiba-tiba.
"Penasaran? Soal?"
"Umi bisa baca raut wajah kamu. Kamu penasaran tentang pernikahan Halimah, bukan?"
Imran mengangguk.
"Kenapa? Bukankah kamu yang menolaknya?" goda Bu Yani.
"Entahlah, Umi. Imran juga tidak tahu. Mendengar kabar Halimah akan menikah, rasanya ada sesuatu yang menjalari hati," tutur dokter muda itu.
"Cemburu?" tanya Bu Yani lagi.
"Cemburu? Bagaimana mungkin Imran cemburu, Umi. Maaf, bahkan Imran pun tidak tertarik padanya."
"Begitu, ya. Padahal umi masih berharap Allah merubah hati kamu. Mampu melihat surga dalam diri wanita salihah seperti Halimah. Tapi ... ya sudahlah. Mungkin hanya lelaki terbaik yang beruntung mendapatkannya." Sindir Bu Yani dan beranjak keluar dari kamar Imran.
"Aku memang bukan lelaki yang baik. Astaghfirullah ...." Imran frustasi. Ia mengusap kasar wajahnya dengan tangan kanan. Merasa dirinya benar-benar buruk.
'Halimah ... begitu istimewanya kah dirimu?' batin Imran.
Lelaki itu kemudian bermunajat kepada Allah. Memohon petunjuk atas apa yang dirasakan. Ia tak ingin hatinya terus terusik akan sosok Halimah. Wanita itu akan segera menikah. Seharusnya rasa bersalah tak lagi ada. Tapi mengapa justru ia seakan tidak rela?

۞۞۞

Halimah mengambil foto kedua orang tua dari dalam laci. Tersenyum menatap wajah teduh mereka yang tengah memeluk dirinya saat kecil. Memandang wajah kedua orang tua dari lembaran foto dapat sedikit mengurangi rindunya akan sosok ayah dan ibu.


Tawaran Fatia untuk menjadi istri kedua dari sepupunya membuat Halimah gelisah. Ia tidak menyangka jika jalan jodohnya harus seperti itu. Namun ia tetap bersyukur, ternyata masih ada lelaki yang tak menilai wanita hanya dari keindahan rupa.
Sebelum mengambil keputusan untuk bertemu dengan istri pertama dari lelaki itu, Halimah merasa harus membicarakannya pada Ustaz Hanafi dan Bu Piana. Mereka adalah orang tua bagi Halimah. Malasah seperti ini tidak mungkin ia putuskan sendiri.
Gadis itu beranjak dari kamar dan menemui bibinya yang tengah duduk berdua bersama Ustaz Hanafi di serambi rumah.
"Ustaz, Ammah, ada yang ingin Halimah bicarakan," ucap Halimah setelah duduk di samping Bu Piana.
"Ada apa, Mah?" tanya Ustaz Hanafi.
"Bagaimana menurut Ustaz tentang poligami?"
"Kenapa tiba-tiba bertanya soal poligami?" tanya Bu Piana.
"Anu ...." Halimah sulit menceritakannya.
"Begini, Mah. Kamu tahu sendiri kalau dalam agama kita, poligami itu sunnah. Jika mampu berbuat adil, maka nikahilah dua, tiga, hingga empat wanita. Jika tidak mampu, maka kawinilah seorang saja," jelas Ustaz Hanafi.
Gadis itu mengangguk mendengar penjelasan pamannya.
"Memangnya ada apa tiba-tiba bertanya soal itu?" tanya Ustaz Hanafi.
"Fatia ... ingin menjodohkan Halimah dengan sepupunya. Tapi menjadi istri kedua," jawab Halimah perlahan.
"Subhanallah ...," ucap Ustaz Hanafi dan Bu Piana bersamaan.
"Sudah bertemu dengan lelaki itu dan istrinya?" tanya Bu Piana.
"Belum," jawab Halimah seraya menggeleng.
"Apakah istrinya setuju? Poligami bukan perkara yang mudah, Halimah," kata Ustaz Hanafi.
"Fatia bilang, istrinya sendiri yang ingin mencari madu untuk suaminya. Bahkan beliau yang memilih Halimah."
"Halimah, kami tidak bisa melarang. Semua itu tergantung padamu. Hanya saja, kami tidak ingin kamu salah langkah hanya demi sebuah pernikahan. Jangan tergesa-gesa. Poligami bukan perkara ringan. Yakinlah ... bahwa Allah pasti telah menyiapkan lelaki terbaik untukmu. Pikirkan lagi secara matang, dan mohonlah petunjuk pada-Nya."

۞۞۞

Halimah menunggu Fatia di sebuah taman. Tempat yang biasa mereka kunjungi saat libur mengajar. Hari ini ia akan bertemu dengan wanita yang dibicarakan Fatia.
Nasihat terakhir dari Bu Piana dan Ustaz Hanafi terus terngiang di telinganya. Selama seminggu itu ia terus memohon petunjuk pada Sang Kuasa. Keputusannya sudah bulat, ia akan menolak tawaran untuk menjadi istri kedua.
"Assalamualaikum ...." Tak lama Fatia datang menemui Halimah di taman.
"Wa'alaikumussalam ... sendirian, Fat?" tanya Halimah yang heran melihat Fatia datang seorang diri.
"Iya," jawab Fatia seraya duduk di sebelah Halimah.
"Di mana istri sepupu kamu?" tanya Halimah lagi, semakin merasa heran.
"Di sebelah kamu," jawab Fatia santai seraya tersenyum lebar.
Sedangkan Halimah, ia nyaris tak bisa berkata-kata. Sepasang kelopak matanya membulat sempurna. Terkejut.
"Fat, jangan bercanda."
"Aku tidak bercanda, Halimah Syafa. Aku serius," ucap Fatia. Kali ini dengan wajah tegas yang menampakkan keseriusan, sekaligus ketulusan.
"Tapi ... bukankah lelaki yang kamu katakan itu adalah sepupu?" Halimah masih tak percaya dengan apa yang dikatakan sahabatnya.
"Iya, dia sepupuku ... dulu."
Halimah menggeleng. Tak menyangka sahabatnya akan melakukan semua ini untuknya. Sepasang matanya terasa panas. Haru, senang, sedih, semua rasa itu menyatu di hatinya.
"Mah ...." Fatia menepuk pelan pundak Halimah. Gadis itu menoleh. Menatap haru pada sahabatnya. Tak hanya rupa, tapi hatinya juga begitu cantik.
"Fatia ... maaf, aku tidak bisa. Sebelum aku tahu bahwa kamulah wanita itu, aku sudah memutuskan untuk menolaknya."
"Kenapa, Mah?"
"Fatia ... poligami bukan perkara yang ringan. Aku tahu kamu wanita yang baik. Suamimu juga pasti lelaki yang baik. Tapi aku tidak ingin berada di antara kalian."
"Halimah, aku ingin bersahabat denganmu. Bukan hanya di dunia, tapi kita bersama melangkah ke surga-Nya. Aku ingin berbagi kebahagiaan bersama," ucap Fatia dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Halimah menatap sahabatnya. Memiliki sahabat sebaik Fatia adalah sebuah rezeki yang tak pernah dibayangkan. Betapa mulia hati gadis itu. Mau berbagi kebahagiaan bersama dirinya yang penuh kekurangan.
"Halimah ... aku tulus. Mas Khalid, aku sangat mengenalnya. Beliau lelaki yang sangat baik, tulus mencintai karena Allah. Dan aku memilihnya karena dia bersedia menerima syarat yang kuberikan saat khitbah."
"Syarat?" Halimah semakin penasaran, apa yang dilakukan sahabatnya ini. Berkali-kali menolak lamaran yang datang. Pada akhirnya, memilih sepupunya sendiri sebagai suami.

Riau, 06 September 2019

Biodata:

Penulis pemula yang terjun ka dunia literasi setengah tahun lalu. Berharap cerbung ini dapat menjadi sebuah karya yang sarat hikmah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.