Karena Kamu Pangeranku Part 11
Oleh: Titin Akhiroh
Oleh: Titin Akhiroh
Valerie
berjalan cepat keluar dari rumah, kemudian mulai berlari menjauh dari tempat
yang menyesakkan dadanya. Rasa sakit yang selama ini sudah mulai terkubur
dalam, sekarang kembali timbul dan menganga. Ia meminta satpam membuka gerbang,
kemudian menoleh ke arah rumah. Tampak Tiga Sekawan berlari ke arahnya. Setelah
gerbang terbuka, ia langsung berlari sekuat tenaga, berusaha untuk menjauh
mungkin dari rumah itu.
“Valerie!”
teriak Juno memanggilnya.
Namun,
Valerie sama sekali tak peduli dan tetap berlari. Sampai tiba-tiba tangan
kanannya dipegang erat, sehingga langkahnya terhenti. Ia menoleh dan ternyata
Garin yang memegang tangannya.
“Kamu
kenapa?” tanya Garin yang masih memegang tangan Valerie.
Napas
Valerie memburu dengan isakan yang membuat dadanya bertambah sesak. “A-aku mau
pulang.”
“Kita
baru aja sampai, Rie. Kenapa mau pulang?” Kini, Ello yang bertanya saat
berhasil menyusulnya dan Garin.
“Aku
mau pulang. Lepasin tanganku, Rin!” Valerie berusaha melepas tangannya, tapi
pegangan Garin justru semakin erat.
“Aku
nggak akan lepas tangan kamu, sebelum kamu cerita apa yang terjadi,” ucap Garin
penuh penekanan.
Valerie
terisak. “Sakit ....” Sontak Garin melepas tangannya. “Aku mau pulang.”
“Oke
... oke, nanti kita pulang, tapi kita bilang Endra dulu, ya,” bujuk Juno.
Valerie
menggeleng cepat. “Aku nggak mau ketemu Endra.”
“Aku
ambil mobil dulu. Tunggu sini!” Garin berlari kembali ke rumah Endra.
Valerie
menoleh dan dapat melihat Endra di kejauhan. Kembali ia mengambil langkah
seribu. Ello dan Juno yang kecolongan, langsung menyusulnya. Adegan
kejar-kejaran terjadi. Endra berlari kencang menghampiri. Sementara, Garin yang
tengah berlari menuju rumah kembali memutar haluan untuk ikut mengejar.
Lega
dirasa Valerie saat melihat taksi hendak melintas dari arah berlawanan. Ia
mempercepat langkahnya sembari melambaikan tangan memanggil kendaraan roda
empat itu untuk berhenti. Tanpa membuang waktu, ia segera membuka pintu sesaat
setelah taksi berhenti, kemudian masuk menduduki jok belakang. Tanpa ia sadari
bahwa Juno juga ikut masuk dari pintu yang lain.
“Cepat
jalan, Pak!” Sopir taksi langsung menjalankan kendaraan sebelum Endra bisa
mencegahnya.
Ponsel
dalam tasnya berbunyi. Ia meraihnya, tampak nama Endra tertera di layar ponsel.
Dengan cepat, ia melepas baterai ponsel dan memasukkannya lagi ke dalam tas. Ia
melirik Juno yang tampak menatapnya bingung. Sampai terdengar panggilan masuk
di ponsel milik Juno. Ia menggeleng saat Juno mengatakan Endra ingin bicara
padanya.
“Mau
diantar ke mana, Mbak?” tanya sopir taksi.
“Jakarta,
Pak,” jawab Valerie cepat.
Juno
memutuskan panggilannya dengan Endra, lalu menoleh ke arah Valerie. “Rie, kamu
kenapa?” tanyanya pelan.
Valerie
hanya menggeleng. Karena yang diinginkan sekarang, hanyalah menangisi nasib
yang seolah mempermainkannya.
♥♥♥
Bingung
adalah perasaan yang mendominasi Endra. Bagaimana ia tak bingung jika Valerie
tiba-tiba menghindarinya. Ia masih melihat Valerie yang bersikap normal saat
memasuki rumah. Namun sekarang, semua menjadi kacau. Satu pikiran buruk
terlintas, tapi ia segera menepisnya jauh-jauh. Endra tahu pasti sesuatu telah
terjadi dan ia ingin tahu tentang kebenarannya.
Tak
berniat singgah, Endra memutuskan untuk kembali ke Jakarta menyusul Valerie.
Garin dan Ello juga setuju karena ikut khawatir dengan keadaan Valerie. Tangan
Endra tak tinggal diam meminta kabar gadisnya melalui Juno.
♥♥♥
Isakan
Valerie belum juga berhenti. Sopir taksi beberapa kali mencuri pandang melalui
spion tengah mobil. Mungkin beliau berpikir Valerie dan Juno adalah sepasang
kekasih yang sedang bertengkar. Padahal kenyataannya, hal yang dialami Valerie
lebih berat dari pertengkaran sepasang kekasih.
Juno
melirik ke arah Valerie. Sebenarnya bibirnya gatal untuk mengeluarkan
pertanyaan seputar masalah sang sahabat. Terlebih Endra tak henti mengirim chat
untuk tahu keadaan teman cantiknya.
“Sekarang,
aku harus gimana, No?” tanya Valerie tiba-tiba dengan terisak. “Aku nggak bisa
jalan sama Endra lagi.”
Juno
memilih diam karena takut jika ia bersuara akan membuat Valerie berhenti
cerita.
Valerie
menangis sesaat, kemudian berusaha menyeka air matanya yang tak mau berhenti
mengalir. Dengan terisak, ia berbisik tentang alasan yang menghancurkan
hatinya.
Lelaki
berdarah Korea jelas terkejut bukan main mendengar ucapan Valerie. Tangis gadis
itu kembali pecah. Juno yang masih syok menarik kepala Valerie ke bahunya,
membiarkan sang sahabat menumpahkan air mata kesedihan.
♥♥♥
Endra
bersandar pada jok belakang mobil Garin. Bayangan Valerie yang menghindar
membuatnya sakit hati. Ia benar-benar bingung dengan perubahan sikap gadisnya.
Kembali ia membuka ponsel guna meminta informasi dari Juno perihal Valerie.
[Tarendra
Yama Mananta]
Gimana
Valerie?
[Herjuno
Oetomo]
Dia
masih nangis. Aku nggak tega lihatnya. Jadi inget saat dia kehilangan Ibu.
[Tarendra
Yama Mananta]
Kamu
udah tanya alasan kenapa dia nangis?
[Herjuno
Oetomo]
Udah,
tapi dia nggak mau cerita.
[Tarendra
Yama Mananta]
Aku,
Ello, dan Garin udah di jalan mau nyusul. Kamu sampe mana?
[Herjuno
Oetomo]
Aku
baru mau masuk tol.
Endra
meletakkan ponselnya dengan lemas. Apa yang akan terjadi dengan hubungannya dan
Valerie? Ia sudah didera rasa takut. Takut jika Valerie tidak menginginkannya
lagi. Bunyi notifikasi menarik lelaki itu dari pikiran kalutnya. Diraihnya
ponsel warna gold dan mulai membaca isi chat.
[Herjuno
Oetomo]
Sekarang
aku tahu, kenapa Valerie sedih? Jangan kaget ya, Ndra! Ternyata papa tirimu itu
ayah kandung Valerie.
Jantung
Endra bagai ditonjok membaca chat dari Juno. Ia menolak untuk percaya karena
mungkin ini salah, tapi ia juga tak bisa mengabaikan wajah Valerie yang
menangis. Matanya penuh kesedihan, sama dengan saat dia kehilangan ibunya. Mata
yang penuh dengan kesakitan.
Pikiran
buruk yang sempat terlintas di benaknya tadi benar-benar terjadi. Dengan emosi,
Endra membanting ponselnya, hingga menarik perhatian Garin dan Ello yang duduk
di depan.
“Kenapa,
Ndra?” tanya Ello sembari menoleh ke belakang.
“Kamu
kenapa?” tanya Garin hampir bersamaan dengan Ello.
Endra
tak langsung menjawab pertanyaan dua sahabatnya itu. Lidahnya terasa kelu akan
kenyataan pahit yang mengguncang hatinya. Kenapa alam bisa membuat lelucon
sesakit ini?
“Juno
kasih tahu soal alasan Valerie sedih.”
“Terus?”
tanya Ello yang setengah badannya sudah menghadap Endra.
“Ternyata
papa tiriku itu ayah kandung Valerie,” jawab Endra dengan suara serak menahan
tangis. Garin langsung menghentikan mobilnya.
“Apa?!”
pekik Ello.
Endra
memalingkan wajahnya ke luar jendela. Entah apa yang ingin dicarinya? Ia pun
tak tahu. Ia juga tak tahu apa yang dirasakannya saat ini. Semua rasa bercampur
aduk dalam dadanya hingga rasanya ingin meledak. Kenapa hal seperti ini bisa
terjadi padanya? Dari jutaan orang yang ada, kenapa harus Valerie yang menjadi
saudara tirinya?
“Juno
bilang, Valerie ketiduran. Jadi, dia bawa Valerie ke villa miliknya. Kalian
butuh tempat bicara yang nyaman tanpa khawatir tetangga denger keributan,”
terang Ello dengan menghadap Endra selepas Juno mengirim chat padanya.
Endra
masih diam, tak merespons sedikit pun ucapan Ello. Bungkamnya Endra tentu saja
menarik perhatian Garin dan Ello. Mereka menatap sedih Endra yang melamun.
Mereka tak bisa membayangkan, bagaimana perasaan Endra dan Valerie sekarang?
Dua
jam berlalu, mobil Garin tiba di villa Juno. Namun, keadaan villa sepi dan
belum ada tanda-tanda keberadaan Juno. Endra turun lebih dulu disusul dua
sahabatnya. Tak berselang lama, sebuah taksi memasuki halaman. Ia menghampiri
taksi dan membuka pintu penumpang sisi kiri. Dilihatnya Valerie yang masih
tertidur dengan kepala bersandar di bahu kiri Juno. Ia langsung menggendong
Valerie turun dari taksi dan membawanya ke dalam villa yang sudah dibuka Juno.
Sahabatnya itu berjalan lebih dulu membuka pintu sebuah kamar di lantai satu
dan menyuruhnya untuk membaringkan Valerie di sana.
Endra
menarik selimut untuk menutupi tubuh mungil Valerie. Dipandangnya wajah cantik
Valerie yang terlihat kusut habis menangis. Ingin rasanya ia rengkuh tubuh
mungil itu erat-erat, lalu membawanya pergi jauh dari kenyataan yang mengimpit
dada. Tangannya mengelus pipi Valerie, merapikan anak rambut yang menempel di
pelipis yang basah karena air mata.
“Apa
pun yang terjadi, aku tetap mau kamu,” bisik Endra sebelum mengusap kepala
Valerie. Lalu, ia keluar menuju ruang tengah di mana Tiga Sekawan sedang duduk di
sana.
“Dia
ketiduran mungkin kecapekan nangis, dan kayaknya juga masih syok,” ucap Juno
tiba-tiba sambil menyalakan rokok. Ello duduk di lantai bersandar pada sofa
yang juga tengah asyik mengisap rokoknya. Sementara, Garin berbaring di sofa
panjang, mungkin dia memang capek karena habis menyetir bolak-balik dengan
jarak yang cukup jauh.
“Sorry,
ya, Rin. Kamu pasti capek banget harus nyetir jarak jauh,” ujar Endra sambil
duduk di sofa berhadapan dengan Juno.
“Never
mind, tadi aku juga khawatir sama Valerie yang tiba-tiba histeris,” jawab Garin
dengan melihat ke arah Endra.
Endra
menarik napasnya berat. “Jujur, aku nggak bisa mikir sekarang. Kenapa semua
jadi kayak gini?” lirihnya.
“Semua
orang juga bakalan kayak kamu, Ndra. Aku juga ikut blank,” sahut Ello, lalu
kembali bicara,
“Sekarang
yang penting kamu harus tenang. Jangan emosi! Valerie masih shock, jadi saat
kamu bicara dengannya nanti, kamu harus bisa kontrol emosi.”
“Aku
bingung harus gimana sekarang? Aku udah telanjur cinta Valerie. Kalian semua
tahu, gimana reaksi Valerie waktu lihat aku tadi. Ia pasti akan benci aku. Dan
aku nggak siap untuk itu.” Jatuh juga air mata yang sudah ditahan Endra mulai
saat melihat Valerie lari memanggil taksi.
“Ada
perasaan bersalah pada Valerie. Di saat, dia ditelantarin ayah kandungnya dan
harus hidup susah. Aku malah hidup dengan kemewahan dari uang ayahnya.”
“Kamu
jangan ngerasa bersalah kayak gitu, Ndra. Itu semua bukan salah kamu. Semua
kesalahan ayah Valerie yang ninggalin Valerie. Jadi, berhenti nyalahin diri sendiri,”
tutur Juno membesarkan hati Endra.
♥♥♥
Bingung
jelas dirasakan Valerie saat membuka mata dan tersadar telah berada di kamar
yang asing baginya. Sontak ia bangkit, lalu berjalan menuju pintu. Sebelum
membukanya, ia mendengar suara Endra sedang berbicara dengan Juno. Jadi,
dirinya ada di mana sekarang? Sejujurnya, ia tidak siap jika harus bertatap
muka dengan Endra.
Tatapan
semua orang tertuju padanya saat keluar dari kamar. Hati Valerie nyeri
mendapati Endra menatapnya dalam. Mata yang biasa menatap tajam penuh cinta,
kini juga tampak menyiratkan luka. Luka yang sama dengan dirinya. Garin yang
semula sedang berbaring di sofa panjang, langsung terduduk dan mengisyaratkan
dirinya untuk duduk di sana. Tatapan Endra masih mengarah padanya.
“Ini
di mana?” Valerie mulai bertanya guna menjawab rasa penasaran akan tempatnya
berada sekarang. Ia berharap ini bukan rumah Endra.
“Villaku.
Sorry, Rie, tadi aku bawa kamu ke sini tanpa tanya lebih dulu,” jawab Juno.
Valerie mengangguk mengerti dan sedikit lega karena tidak berada di rumah
Endra.
Suasana
kembali hening. Setiap detik berlalu, luka dalam hati Valerie semakin menganga
dan terasa sakit. Seandainya ia punya pilihan lain, dirinya tak akan mau berada
dalam posisi seperti ini.
“Maaf,
Ndra. Tadi, aku udah buat kamu bingung.” Akhirnya, Valerie yang memecah
keheningan.
“Jangan
ulangi lagi.” Endra menjawab serak.
“Aku
janji nggak akan pernah bikin kalian panik.”
“Ya,
emang harus gitu.” Endra menyahut cepat.
“Aku
minta maaf.”
“Oke.”
“Kita
udahan, ya, Ndra.”
Akhirnya,
ucapan itu yang keluar dari mulut Valerie. Namun, mengapa hatinya terasa
semakin sakit?
Jantung
Endra tersentak tak percaya dengan ucapan Valerie. Semudah itukah gadisnya
menyerah?
“Aku
nggak mau.” Endra menyahut. Sorot matanya menatap tajam, seakan menusuk sampai
relung hati Valerie.
“Kita
nggak boleh berhubungan.”
“Kata
siapa?” Suara Endra sedikit meninggi.
“Aku.”
Valerie berucap tajam, menantang tatapan Endra. Usaha untuk bisa menggoyahkan
lelaki itu agar melepasnya.
“Aku
nggak bisa nerima alasan sepihak kayak gitu.”
“Kamu
harus mau.”
“Kenapa?”
“Karena
kita sa-saudara t-tiri.” Nada suara Valerie bergetar saat menyebut saudara
tiri. Ya Tuhan, kenapa harus Endra yang menjadi saudara tirinya?
Endra
mendengkus. “Jadi karena pria tua itu.”
“Ya,
pria tua yang sekarang jadi ayah kamu,” sahut Valerie sarkastik.
Dengan
sekuat tenaga, Endra mencoba menekan emosinya yang ingin meledak. “Kita nggak
punya hubungan darah, Rie.”
“Memang,
tapi kita terikat dengan masa lalu.”
“Aku
nggak peduli dengan masa lalu.” Endra menyahut dengan tatapan yang semakin
menghunjam hati Valerie.
“Tapi,
aku peduli.”
“Kita
nggak perlu peduli dengan masa lalu. Ini soal kita, ini tentang perasaan
kita." Endra mulai meyakinkan hati Valerie agar tetap bertahan di sisinya.
“Aku
menyerah.” Valerie berucap bersamaan dengan kepingan hatinya yang berjatuhan.
“Tapi,
aku nggak akan pernah nyerah.”
“Kalo
kita bersama, kita bisa terluka.”
“Kita
belum coba. Jadi, aku nggak tahu apa itu luka.” Padahal, Endra telah merasakan
luka sejak lama. Bahkan di saat usia yang masih sangat belia. Hatinya telah
terluka, tapi perlahan terobati dengan kehadiran Valerie. Sayangnya, luka itu
terancam kembali menganga.
“Tahu
apa kamu soal luka?” Valerie harus menahan kesakitan saat wajah Endra mendadak
pucat pasi. Ia tahu tak hanya dirinya yang terluka, tapi juga Endra. “Apa kamu
sadar kalo kita udah terjebak di pusaran masa lalu, cinta segitiga antara
ibuku, ayah, dan mamamu?”
Napas
Valerie memburu dengan emosi yang siap meledak. Ia tahu dirinya egois
menempatkan dirinya sebagai satu-satunya korban. Padahal Endra juga korban dari
pengkhianatan di masa lalu, sama sepertinya.
“Semisal
aku tetap berada di sisi kamu, itu nggak akan buat aku bahagia. Aku akan selalu
merasa berdosa pada almarhumah ibuku. Karena aku harus jatuh cinta dengan putra
dari wanita yang udah merebut suaminya.”
Air
mata Valerie sudah tidak bisa dibendungnya lagi. Hatinya benar-benar hancur.
Sama hancurnya dengan Endra yang hanya diam terpaku di tempat.
“Kamu
pernah janji padaku, kalo kamu akan selalu buat aku bahagia. Lepasin aku, Ndra.
Hanya itu yang bisa buat aku bahagia sekarang.”
Sebenarnya,
Valerie tak ingin ini berakhir. Ia selalu ingin bersama Endra, Tarendra-nya.
Namun, bayangan ibunya yang menderita karena ulah mama Endra membuatnya tidak
punya pilihan lain.
Endra
menatap Valerie dengan sorot mata penuh luka. “Jadi, sedangkal itu perasaan
kamu ke aku, Rie,” sahutnya serak. “Oke, aku lepasin kamu sekarang. Puas!”
Endra berucap tajam, kemudian pergi meninggalkan semua orang.
Tubuh
Valerie melemas tak berdaya. Ia tertunduk lesu dan menangis sejadi-jadinya.
Juno dan Ello mengikuti Endra pergi, sedangkan Garin masih duduk mematung di
sampingnya.
“Aku
cinta Endra. Aku cinta dia, Rin,” ucap Valerie sambil terisak.
“Aku
tahu,” balas Garin sambil menepuk pundak Valerie untuk menenangkannya.
♥♥♥
“Coba
kalian tunjukkin di mana letak salahku!” Endra berseru saat Ello dan Juno
menemaninya duduk di teras Villa Juno.
“Kamu
nggak salah,” sahut Ello.
“Terus
kenapa Valerie mutusin aku?”
“Valerie
masih shock, Ndra. Ia belum sadar sama apa yang dia omongin.” Juno berusaha
menghibur sahabatnya.
“Dengan
bikin aku sakit hati.” Endra menunduk lemas.
“Jangan
lupa dia juga menderita, Ndra,” balas Ello.
“Aku
tahu. Tapi harusnya, aku dan Valerie masih punya jalan.”
“Nggak
bagi Valerie sebelum dia bisa terima kenyataan. Ini semua terlalu berat untuk
dia. Coba sedikit lebih ngerti!” saran Juno.
“Aku
ngerti. Aku ngerti, No! Yang bikin aku kecewa, kenapa dia nggak pernah mikirin
perasaan aku? Kenapa dia nggak peduli dengan perasaannya sendiri? Kenapa dia
harus nyerah secepat itu? Apa artinya aku bagi dia? Ini bukan soal luka atau
masa lalu. Shit!" Endra mengatur napasnya yang memburu.
"Ini
soal kepercayaan. Kenapa dia nggak percaya aku?”
“Aku
nggak bisa jawab pertanyaan kamu, tapi yang jelas Valerie punya alasan sendiri.
Beri dia waktu untuk berdamai dengan masa lalu,” balas Juno sambil menepuk
pundak Endra yang tertunduk lesu.
♥♥♥
Dalam
perjalanan pulang, Endra memilih duduk di depan. Sementara Juno, Ello, dan
Valerie duduk di belakang. Sejak kejadian semalam, baik Endra maupun Valerie
tak berniat saling bicara. Tiba-tiba mereka seperti dua orang asing yang belum
pernah saling meramaikan. Mungkin semua akibat dari kisah cinta yang
terbelenggu dalam percintaan orang tua mereka di masa lalu.
Endra
melirik kaca spion dan mendapati Valerie sedang menatap jauh ke luar kaca
jendela mobil. Semua orang diam dengan kesibukan masing-masing. Juno bermain
dengan game di ponsel. Ello tidur dengan earphone terpasang di telinga. Garin
yang berkonsentrasi mengemudi sambil sesekali mengisap rokok. Sementara, ia
sibuk dengan pikirannya sendiri. Ucapan Valerie semalam masih terngiang-ngiang
di telinganya. Masih sangat jelas ekspresi kesedihan di mata Valerie. Jadi,
seperti inikah akhir kisahnya dan Valerie?
“Kamu
kenapa?” tanya Garin saat melirik ke arahnya yang sedang memijit dahi.
“A
little bit dizzy,” sahut Endra cepat.
“Ada
Aspirin dalam dashboard.” Endra membuka dashborad dan mengambil sebutir
Aspirin, lalu meminumnya.
“Kamu
baik-baik aja kan, Ndra? Wajahmu pucet banget.” Garin menoleh sepenuhnya ke
arah Endra yang pucat.
“Aku
baik-baik aja,” sahut Endra cepat.
“Mungkin
kamu masuk angin gara-gara semalaman terjaga di teras,” sahut Juno di belakang.
Tubuh
Valerie sedikit tersentak. Apakah Endra terlalu memikirkan hubungan dengannya
hingga tak tidur semalaman?
“Mungkin.”
Endra
menjawab sembari melihat kaca spion. Tak sengaja matanya beradu pandang dengan
Valerie. Ia tahu Valerie sedang menatapnya dengan cemas. Tunggu ... Valerie
mencemaskannya.
Seolah
sadar bahwa ia mengamati Valerie. Gadis itu langsung membuang muka ke luar
jendela.
Endra
menarik hoodie miliknya sampai menutupi setengah wajah. Kedua matanya terpejam.
Tidak untuk tidur, melainkan marah dengan kenyataan. Ia marah pada Valerie,
marah dengan mamanya, marah dengan papa tirinya yang sudah jadi biang kerok
dalam kehidupannya dan Valerie.
“Aku
turun di depan gang saja,” ucap Valerie tiba-tiba.
Suara
itu. Baru semalam mereka bertengkar, tapi Endra sudah sangat merindukannya.
“Aku
antar sampai depan rumah kamu,” jawab Garin.
Dalam
hati, Endra setuju karena ia tak suka melihat Valerie jalan kaki menuju
rumahnya.
“Nggak
apa-apa. Lagi pula aku mau belanja di minimarket depan gang,” sahut Valerie
pelan. Garin pun berhenti tepat di depan minimarket.
“Terima
kasih semuanya,” pamit Valerie sesaat sebelum turun.
“Ya,
Rie, hati-hati,” balas Ello sebelum menutup pintu mobil.
Mata
Endra terpaku pada spion samping mobil. Ia dapat melihat Valerie turun dan diam
terpaku memandang mobil yang berjalan menjauh darinya. Endra tetap mengamati,
hingga sosok Valerie mengecil dan menjadi titik, lalu menghilang.
“Wooii!
Sampai kapan kamu akting tidur?” teriak Garin.
Endra
membuka topi jaketnya, kemudian menegakkanbadannya yang sedikit pegal akibat
aksi tidur palsu. “Gimana kamu bisa tahu?” Ia menyandarkan kepalanya ke
sandaran jok mobil.
“Kita
temenan nggak sehari dua hari, tapi udah bertahun-tahun. Aku udah hafal sifat
dan kebiasaan kamu,” jawab Garin.
“Lagian,
Ndra. Kenapa kamu hindarin Valerie? Apa kamu masih marah?” tanya Ello sambil
melepas earphone di telinganya.
“Pakai
nanya, ya iyalah aku masih marah. Dia nggak kasih aku kesempatan sama sekali.
She is acting as if she's a victim. She never thinks that both of us are
victims,” jawab Endra sedikit emosi.
Garin
melirik sebentar pada Endra, lalu kembali fokus ke depan. “Valerie cinta banget
sama kamu. Semalam waktu kalian habis berantem dan kamu pergi keluar. Valerie
bilang, dia cinta kamu, Ndra. Dia nggak pingin putus dan berharap bisa terus
sama kamu. Tapi, lihat kenyataan tentang mama dan papa kamu, dia nyerah. Dia
masih terluka dengan perlakuan ayahnya di masa lalu. Bersamamu membuat dia akan
selalu teringat dengan luka itu. Dia juga berpikir kalo kalian tetap bersama
pun, nggak akan ada jalan untuk bisa bersama. Meski kalian nggak punya hubungan
darah, tapi prespektif orang akan tetap nganggep kalian sa—”
“Saudara
tiri,” potong Endra dengan suara lemah. Garin mengangguk.
“Apa
kamu juga bakal nyerah kayak Valerie?” tanya Juno.
Endra
menggeleng tak tahu. “Entahlah ....”
Ia
mengembuskan napas panjang untuk mengeluarkan sesak yang mengimpit dadanya.
Matanya melihat ke depan, mencoba mencari jalan. Apakah ada masa depan untuknya
dan Valerie bersama? Adakah harapan untuknya dan Valerie menikmati cinta? Cinta
yang dibalur dengan luka dan pengkhianatan di masa lalu.
Tbc
Pati,
13 September 2019
Biodata:
Penulis
lahir di Malang, tapi sekarang tinggal di Pati bersama suami. Saat ini sedang
menggarap antologi kesepuluh. Berkeinginan untuk segera menghasilkan novel solo
suatu hari nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.