Sabtu, 14 September 2019

#Jumat_Cerbung - Karena Kamu Pangeranku Part 11 - Titin Akhiroh - Sastra Indonesia Org





Karena Kamu Pangeranku Part 11
Oleh: Titin Akhiroh

Valerie berjalan cepat keluar dari rumah, kemudian mulai berlari menjauh dari tempat yang menyesakkan dadanya. Rasa sakit yang selama ini sudah mulai terkubur dalam, sekarang kembali timbul dan menganga. Ia meminta satpam membuka gerbang, kemudian menoleh ke arah rumah. Tampak Tiga Sekawan berlari ke arahnya. Setelah gerbang terbuka, ia langsung berlari sekuat tenaga, berusaha untuk menjauh mungkin dari rumah itu.
“Valerie!” teriak Juno memanggilnya.
Namun, Valerie sama sekali tak peduli dan tetap berlari. Sampai tiba-tiba tangan kanannya dipegang erat, sehingga langkahnya terhenti. Ia menoleh dan ternyata Garin yang memegang tangannya.
“Kamu kenapa?” tanya Garin yang masih memegang tangan Valerie.
Napas Valerie memburu dengan isakan yang membuat dadanya bertambah sesak. “A-aku mau pulang.”
“Kita baru aja sampai, Rie. Kenapa mau pulang?” Kini, Ello yang bertanya saat berhasil menyusulnya dan Garin.
“Aku mau pulang. Lepasin tanganku, Rin!” Valerie berusaha melepas tangannya, tapi pegangan Garin justru semakin erat.
“Aku nggak akan lepas tangan kamu, sebelum kamu cerita apa yang terjadi,” ucap Garin penuh penekanan.
Valerie terisak. “Sakit ....” Sontak Garin melepas tangannya. “Aku mau pulang.”
“Oke ... oke, nanti kita pulang, tapi kita bilang Endra dulu, ya,” bujuk Juno.
Valerie menggeleng cepat. “Aku nggak mau ketemu Endra.”
“Aku ambil mobil dulu. Tunggu sini!” Garin berlari kembali ke rumah Endra.
Valerie menoleh dan dapat melihat Endra di kejauhan. Kembali ia mengambil langkah seribu. Ello dan Juno yang kecolongan, langsung menyusulnya. Adegan kejar-kejaran terjadi. Endra berlari kencang menghampiri. Sementara, Garin yang tengah berlari menuju rumah kembali memutar haluan untuk ikut mengejar.
Lega dirasa Valerie saat melihat taksi hendak melintas dari arah berlawanan. Ia mempercepat langkahnya sembari melambaikan tangan memanggil kendaraan roda empat itu untuk berhenti. Tanpa membuang waktu, ia segera membuka pintu sesaat setelah taksi berhenti, kemudian masuk menduduki jok belakang. Tanpa ia sadari bahwa Juno juga ikut masuk dari pintu yang lain.
“Cepat jalan, Pak!” Sopir taksi langsung menjalankan kendaraan sebelum Endra bisa mencegahnya.
Ponsel dalam tasnya berbunyi. Ia meraihnya, tampak nama Endra tertera di layar ponsel. Dengan cepat, ia melepas baterai ponsel dan memasukkannya lagi ke dalam tas. Ia melirik Juno yang tampak menatapnya bingung. Sampai terdengar panggilan masuk di ponsel milik Juno. Ia menggeleng saat Juno mengatakan Endra ingin bicara padanya.
“Mau diantar ke mana, Mbak?” tanya sopir taksi.
“Jakarta, Pak,” jawab Valerie cepat.
Juno memutuskan panggilannya dengan Endra, lalu menoleh ke arah Valerie. “Rie, kamu kenapa?” tanyanya pelan.
Valerie hanya menggeleng. Karena yang diinginkan sekarang, hanyalah menangisi nasib yang seolah mempermainkannya.

♥♥♥

Bingung adalah perasaan yang mendominasi Endra. Bagaimana ia tak bingung jika Valerie tiba-tiba menghindarinya. Ia masih melihat Valerie yang bersikap normal saat memasuki rumah. Namun sekarang, semua menjadi kacau. Satu pikiran buruk terlintas, tapi ia segera menepisnya jauh-jauh. Endra tahu pasti sesuatu telah terjadi dan ia ingin tahu tentang kebenarannya.
Tak berniat singgah, Endra memutuskan untuk kembali ke Jakarta menyusul Valerie. Garin dan Ello juga setuju karena ikut khawatir dengan keadaan Valerie. Tangan Endra tak tinggal diam meminta kabar gadisnya melalui Juno.

♥♥♥

Isakan Valerie belum juga berhenti. Sopir taksi beberapa kali mencuri pandang melalui spion tengah mobil. Mungkin beliau berpikir Valerie dan Juno adalah sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Padahal kenyataannya, hal yang dialami Valerie lebih berat dari pertengkaran sepasang kekasih.
Juno melirik ke arah Valerie. Sebenarnya bibirnya gatal untuk mengeluarkan pertanyaan seputar masalah sang sahabat. Terlebih Endra tak henti mengirim chat untuk tahu keadaan teman cantiknya.
“Sekarang, aku harus gimana, No?” tanya Valerie tiba-tiba dengan terisak. “Aku nggak bisa jalan sama Endra lagi.”
Juno memilih diam karena takut jika ia bersuara akan membuat Valerie berhenti cerita.
Valerie menangis sesaat, kemudian berusaha menyeka air matanya yang tak mau berhenti mengalir. Dengan terisak, ia berbisik tentang alasan yang menghancurkan hatinya.
Lelaki berdarah Korea jelas terkejut bukan main mendengar ucapan Valerie. Tangis gadis itu kembali pecah. Juno yang masih syok menarik kepala Valerie ke bahunya, membiarkan sang sahabat menumpahkan air mata kesedihan.

♥♥♥

Endra bersandar pada jok belakang mobil Garin. Bayangan Valerie yang menghindar membuatnya sakit hati. Ia benar-benar bingung dengan perubahan sikap gadisnya. Kembali ia membuka ponsel guna meminta informasi dari Juno perihal Valerie.
[Tarendra Yama Mananta]
Gimana Valerie?
[Herjuno Oetomo]
Dia masih nangis. Aku nggak tega lihatnya. Jadi inget saat dia kehilangan Ibu.
[Tarendra Yama Mananta]
Kamu udah tanya alasan kenapa dia nangis?
[Herjuno Oetomo]
Udah, tapi dia nggak mau cerita.
[Tarendra Yama Mananta]
Aku, Ello, dan Garin udah di jalan mau nyusul. Kamu sampe mana?
[Herjuno Oetomo]
Aku baru mau masuk tol.
Endra meletakkan ponselnya dengan lemas. Apa yang akan terjadi dengan hubungannya dan Valerie? Ia sudah didera rasa takut. Takut jika Valerie tidak menginginkannya lagi. Bunyi notifikasi menarik lelaki itu dari pikiran kalutnya. Diraihnya ponsel warna gold dan mulai membaca isi chat.
[Herjuno Oetomo]
Sekarang aku tahu, kenapa Valerie sedih? Jangan kaget ya, Ndra! Ternyata papa tirimu itu ayah kandung Valerie.
Jantung Endra bagai ditonjok membaca chat dari Juno. Ia menolak untuk percaya karena mungkin ini salah, tapi ia juga tak bisa mengabaikan wajah Valerie yang menangis. Matanya penuh kesedihan, sama dengan saat dia kehilangan ibunya. Mata yang penuh dengan kesakitan.
Pikiran buruk yang sempat terlintas di benaknya tadi benar-benar terjadi. Dengan emosi, Endra membanting ponselnya, hingga menarik perhatian Garin dan Ello yang duduk di depan.
“Kenapa, Ndra?” tanya Ello sembari menoleh ke belakang.
“Kamu kenapa?” tanya Garin hampir bersamaan dengan Ello.
Endra tak langsung menjawab pertanyaan dua sahabatnya itu. Lidahnya terasa kelu akan kenyataan pahit yang mengguncang hatinya. Kenapa alam bisa membuat lelucon sesakit ini?
“Juno kasih tahu soal alasan Valerie sedih.”
“Terus?” tanya Ello yang setengah badannya sudah menghadap Endra.
“Ternyata papa tiriku itu ayah kandung Valerie,” jawab Endra dengan suara serak menahan tangis. Garin langsung menghentikan mobilnya.
“Apa?!” pekik Ello.
Endra memalingkan wajahnya ke luar jendela. Entah apa yang ingin dicarinya? Ia pun tak tahu. Ia juga tak tahu apa yang dirasakannya saat ini. Semua rasa bercampur aduk dalam dadanya hingga rasanya ingin meledak. Kenapa hal seperti ini bisa terjadi padanya? Dari jutaan orang yang ada, kenapa harus Valerie yang menjadi saudara tirinya?
“Juno bilang, Valerie ketiduran. Jadi, dia bawa Valerie ke villa miliknya. Kalian butuh tempat bicara yang nyaman tanpa khawatir tetangga denger keributan,” terang Ello dengan menghadap Endra selepas Juno mengirim chat padanya.
Endra masih diam, tak merespons sedikit pun ucapan Ello. Bungkamnya Endra tentu saja menarik perhatian Garin dan Ello. Mereka menatap sedih Endra yang melamun. Mereka tak bisa membayangkan, bagaimana perasaan Endra dan Valerie sekarang?
Dua jam berlalu, mobil Garin tiba di villa Juno. Namun, keadaan villa sepi dan belum ada tanda-tanda keberadaan Juno. Endra turun lebih dulu disusul dua sahabatnya. Tak berselang lama, sebuah taksi memasuki halaman. Ia menghampiri taksi dan membuka pintu penumpang sisi kiri. Dilihatnya Valerie yang masih tertidur dengan kepala bersandar di bahu kiri Juno. Ia langsung menggendong Valerie turun dari taksi dan membawanya ke dalam villa yang sudah dibuka Juno. Sahabatnya itu berjalan lebih dulu membuka pintu sebuah kamar di lantai satu dan menyuruhnya untuk membaringkan Valerie di sana.
Endra menarik selimut untuk menutupi tubuh mungil Valerie. Dipandangnya wajah cantik Valerie yang terlihat kusut habis menangis. Ingin rasanya ia rengkuh tubuh mungil itu erat-erat, lalu membawanya pergi jauh dari kenyataan yang mengimpit dada. Tangannya mengelus pipi Valerie, merapikan anak rambut yang menempel di pelipis yang basah karena air mata.
“Apa pun yang terjadi, aku tetap mau kamu,” bisik Endra sebelum mengusap kepala Valerie. Lalu, ia keluar menuju ruang tengah di mana Tiga Sekawan sedang duduk di sana.
“Dia ketiduran mungkin kecapekan nangis, dan kayaknya juga masih syok,” ucap Juno tiba-tiba sambil menyalakan rokok. Ello duduk di lantai bersandar pada sofa yang juga tengah asyik mengisap rokoknya. Sementara, Garin berbaring di sofa panjang, mungkin dia memang capek karena habis menyetir bolak-balik dengan jarak yang cukup jauh.
“Sorry, ya, Rin. Kamu pasti capek banget harus nyetir jarak jauh,” ujar Endra sambil duduk di sofa berhadapan dengan Juno.
“Never mind, tadi aku juga khawatir sama Valerie yang tiba-tiba histeris,” jawab Garin dengan melihat ke arah Endra.
Endra menarik napasnya berat. “Jujur, aku nggak bisa mikir sekarang. Kenapa semua jadi kayak gini?” lirihnya.
“Semua orang juga bakalan kayak kamu, Ndra. Aku juga ikut blank,” sahut Ello, lalu kembali bicara,
“Sekarang yang penting kamu harus tenang. Jangan emosi! Valerie masih shock, jadi saat kamu bicara dengannya nanti, kamu harus bisa kontrol emosi.”


“Aku bingung harus gimana sekarang? Aku udah telanjur cinta Valerie. Kalian semua tahu, gimana reaksi Valerie waktu lihat aku tadi. Ia pasti akan benci aku. Dan aku nggak siap untuk itu.” Jatuh juga air mata yang sudah ditahan Endra mulai saat melihat Valerie lari memanggil taksi.
“Ada perasaan bersalah pada Valerie. Di saat, dia ditelantarin ayah kandungnya dan harus hidup susah. Aku malah hidup dengan kemewahan dari uang ayahnya.”
“Kamu jangan ngerasa bersalah kayak gitu, Ndra. Itu semua bukan salah kamu. Semua kesalahan ayah Valerie yang ninggalin Valerie. Jadi, berhenti nyalahin diri sendiri,” tutur Juno membesarkan hati Endra.

♥♥♥

Bingung jelas dirasakan Valerie saat membuka mata dan tersadar telah berada di kamar yang asing baginya. Sontak ia bangkit, lalu berjalan menuju pintu. Sebelum membukanya, ia mendengar suara Endra sedang berbicara dengan Juno. Jadi, dirinya ada di mana sekarang? Sejujurnya, ia tidak siap jika harus bertatap muka dengan Endra.
Tatapan semua orang tertuju padanya saat keluar dari kamar. Hati Valerie nyeri mendapati Endra menatapnya dalam. Mata yang biasa menatap tajam penuh cinta, kini juga tampak menyiratkan luka. Luka yang sama dengan dirinya. Garin yang semula sedang berbaring di sofa panjang, langsung terduduk dan mengisyaratkan dirinya untuk duduk di sana. Tatapan Endra masih mengarah padanya.
“Ini di mana?” Valerie mulai bertanya guna menjawab rasa penasaran akan tempatnya berada sekarang. Ia berharap ini bukan rumah Endra.
“Villaku. Sorry, Rie, tadi aku bawa kamu ke sini tanpa tanya lebih dulu,” jawab Juno. Valerie mengangguk mengerti dan sedikit lega karena tidak berada di rumah Endra.
Suasana kembali hening. Setiap detik berlalu, luka dalam hati Valerie semakin menganga dan terasa sakit. Seandainya ia punya pilihan lain, dirinya tak akan mau berada dalam posisi seperti ini.
“Maaf, Ndra. Tadi, aku udah buat kamu bingung.” Akhirnya, Valerie yang memecah keheningan.
“Jangan ulangi lagi.” Endra menjawab serak.
“Aku janji nggak akan pernah bikin kalian panik.”
“Ya, emang harus gitu.” Endra menyahut cepat.
“Aku minta maaf.”
“Oke.”
“Kita udahan, ya, Ndra.”
Akhirnya, ucapan itu yang keluar dari mulut Valerie. Namun, mengapa hatinya terasa semakin sakit?
Jantung Endra tersentak tak percaya dengan ucapan Valerie. Semudah itukah gadisnya menyerah?
“Aku nggak mau.” Endra menyahut. Sorot matanya menatap tajam, seakan menusuk sampai relung hati Valerie.
“Kita nggak boleh berhubungan.”
“Kata siapa?” Suara Endra sedikit meninggi.
“Aku.” Valerie berucap tajam, menantang tatapan Endra. Usaha untuk bisa menggoyahkan lelaki itu agar melepasnya.
“Aku nggak bisa nerima alasan sepihak kayak gitu.”
“Kamu harus mau.”
“Kenapa?”
“Karena kita sa-saudara t-tiri.” Nada suara Valerie bergetar saat menyebut saudara tiri. Ya Tuhan, kenapa harus Endra yang menjadi saudara tirinya?
Endra mendengkus. “Jadi karena pria tua itu.”
“Ya, pria tua yang sekarang jadi ayah kamu,” sahut Valerie sarkastik.
Dengan sekuat tenaga, Endra mencoba menekan emosinya yang ingin meledak. “Kita nggak punya hubungan darah, Rie.”
“Memang, tapi kita terikat dengan masa lalu.”
“Aku nggak peduli dengan masa lalu.” Endra menyahut dengan tatapan yang semakin menghunjam hati Valerie.
“Tapi, aku peduli.”
“Kita nggak perlu peduli dengan masa lalu. Ini soal kita, ini tentang perasaan kita." Endra mulai meyakinkan hati Valerie agar tetap bertahan di sisinya.
“Aku menyerah.” Valerie berucap bersamaan dengan kepingan hatinya yang berjatuhan.
“Tapi, aku nggak akan pernah nyerah.”
“Kalo kita bersama, kita bisa terluka.”
“Kita belum coba. Jadi, aku nggak tahu apa itu luka.” Padahal, Endra telah merasakan luka sejak lama. Bahkan di saat usia yang masih sangat belia. Hatinya telah terluka, tapi perlahan terobati dengan kehadiran Valerie. Sayangnya, luka itu terancam kembali menganga.
“Tahu apa kamu soal luka?” Valerie harus menahan kesakitan saat wajah Endra mendadak pucat pasi. Ia tahu tak hanya dirinya yang terluka, tapi juga Endra. “Apa kamu sadar kalo kita udah terjebak di pusaran masa lalu, cinta segitiga antara ibuku, ayah, dan mamamu?”
Napas Valerie memburu dengan emosi yang siap meledak. Ia tahu dirinya egois menempatkan dirinya sebagai satu-satunya korban. Padahal Endra juga korban dari pengkhianatan di masa lalu, sama sepertinya.
“Semisal aku tetap berada di sisi kamu, itu nggak akan buat aku bahagia. Aku akan selalu merasa berdosa pada almarhumah ibuku. Karena aku harus jatuh cinta dengan putra dari wanita yang udah merebut suaminya.”
Air mata Valerie sudah tidak bisa dibendungnya lagi. Hatinya benar-benar hancur. Sama hancurnya dengan Endra yang hanya diam terpaku di tempat.
“Kamu pernah janji padaku, kalo kamu akan selalu buat aku bahagia. Lepasin aku, Ndra. Hanya itu yang bisa buat aku bahagia sekarang.”
Sebenarnya, Valerie tak ingin ini berakhir. Ia selalu ingin bersama Endra, Tarendra-nya. Namun, bayangan ibunya yang menderita karena ulah mama Endra membuatnya tidak punya pilihan lain.
Endra menatap Valerie dengan sorot mata penuh luka. “Jadi, sedangkal itu perasaan kamu ke aku, Rie,” sahutnya serak. “Oke, aku lepasin kamu sekarang. Puas!” Endra berucap tajam, kemudian pergi meninggalkan semua orang.
Tubuh Valerie melemas tak berdaya. Ia tertunduk lesu dan menangis sejadi-jadinya. Juno dan Ello mengikuti Endra pergi, sedangkan Garin masih duduk mematung di sampingnya.
“Aku cinta Endra. Aku cinta dia, Rin,” ucap Valerie sambil terisak.
“Aku tahu,” balas Garin sambil menepuk pundak Valerie untuk menenangkannya.

♥♥♥

“Coba kalian tunjukkin di mana letak salahku!” Endra berseru saat Ello dan Juno menemaninya duduk di teras Villa Juno.
“Kamu nggak salah,” sahut Ello.
“Terus kenapa Valerie mutusin aku?”
“Valerie masih shock, Ndra. Ia belum sadar sama apa yang dia omongin.” Juno berusaha menghibur sahabatnya.
“Dengan bikin aku sakit hati.” Endra menunduk lemas.
“Jangan lupa dia juga menderita, Ndra,” balas Ello.
“Aku tahu. Tapi harusnya, aku dan Valerie masih punya jalan.”
“Nggak bagi Valerie sebelum dia bisa terima kenyataan. Ini semua terlalu berat untuk dia. Coba sedikit lebih ngerti!” saran Juno.
“Aku ngerti. Aku ngerti, No! Yang bikin aku kecewa, kenapa dia nggak pernah mikirin perasaan aku? Kenapa dia nggak peduli dengan perasaannya sendiri? Kenapa dia harus nyerah secepat itu? Apa artinya aku bagi dia? Ini bukan soal luka atau masa lalu. Shit!" Endra mengatur napasnya yang memburu.
"Ini soal kepercayaan. Kenapa dia nggak percaya aku?”
“Aku nggak bisa jawab pertanyaan kamu, tapi yang jelas Valerie punya alasan sendiri. Beri dia waktu untuk berdamai dengan masa lalu,” balas Juno sambil menepuk pundak Endra yang tertunduk lesu.

♥♥♥

Dalam perjalanan pulang, Endra memilih duduk di depan. Sementara Juno, Ello, dan Valerie duduk di belakang. Sejak kejadian semalam, baik Endra maupun Valerie tak berniat saling bicara. Tiba-tiba mereka seperti dua orang asing yang belum pernah saling meramaikan. Mungkin semua akibat dari kisah cinta yang terbelenggu dalam percintaan orang tua mereka di masa lalu.
Endra melirik kaca spion dan mendapati Valerie sedang menatap jauh ke luar kaca jendela mobil. Semua orang diam dengan kesibukan masing-masing. Juno bermain dengan game di ponsel. Ello tidur dengan earphone terpasang di telinga. Garin yang berkonsentrasi mengemudi sambil sesekali mengisap rokok. Sementara, ia sibuk dengan pikirannya sendiri. Ucapan Valerie semalam masih terngiang-ngiang di telinganya. Masih sangat jelas ekspresi kesedihan di mata Valerie. Jadi, seperti inikah akhir kisahnya dan Valerie?
“Kamu kenapa?” tanya Garin saat melirik ke arahnya yang sedang memijit dahi.
“A little bit dizzy,” sahut Endra cepat.
“Ada Aspirin dalam dashboard.” Endra membuka dashborad dan mengambil sebutir Aspirin, lalu meminumnya.
“Kamu baik-baik aja kan, Ndra? Wajahmu pucet banget.” Garin menoleh sepenuhnya ke arah Endra yang pucat.
“Aku baik-baik aja,” sahut Endra cepat.
“Mungkin kamu masuk angin gara-gara semalaman terjaga di teras,” sahut Juno di belakang.
Tubuh Valerie sedikit tersentak. Apakah Endra terlalu memikirkan hubungan dengannya hingga tak tidur semalaman?
“Mungkin.”
Endra menjawab sembari melihat kaca spion. Tak sengaja matanya beradu pandang dengan Valerie. Ia tahu Valerie sedang menatapnya dengan cemas. Tunggu ... Valerie mencemaskannya.
Seolah sadar bahwa ia mengamati Valerie. Gadis itu langsung membuang muka ke luar jendela.
Endra menarik hoodie miliknya sampai menutupi setengah wajah. Kedua matanya terpejam. Tidak untuk tidur, melainkan marah dengan kenyataan. Ia marah pada Valerie, marah dengan mamanya, marah dengan papa tirinya yang sudah jadi biang kerok dalam kehidupannya dan Valerie.
“Aku turun di depan gang saja,” ucap Valerie tiba-tiba.
Suara itu. Baru semalam mereka bertengkar, tapi Endra sudah sangat merindukannya.
“Aku antar sampai depan rumah kamu,” jawab Garin.
Dalam hati, Endra setuju karena ia tak suka melihat Valerie jalan kaki menuju rumahnya.
“Nggak apa-apa. Lagi pula aku mau belanja di minimarket depan gang,” sahut Valerie pelan. Garin pun berhenti tepat di depan minimarket.
“Terima kasih semuanya,” pamit Valerie sesaat sebelum turun.
“Ya, Rie, hati-hati,” balas Ello sebelum menutup pintu mobil.
Mata Endra terpaku pada spion samping mobil. Ia dapat melihat Valerie turun dan diam terpaku memandang mobil yang berjalan menjauh darinya. Endra tetap mengamati, hingga sosok Valerie mengecil dan menjadi titik, lalu menghilang.
“Wooii! Sampai kapan kamu akting tidur?” teriak Garin.
Endra membuka topi jaketnya, kemudian menegakkanbadannya yang sedikit pegal akibat aksi tidur palsu. “Gimana kamu bisa tahu?” Ia menyandarkan kepalanya ke sandaran jok mobil.
“Kita temenan nggak sehari dua hari, tapi udah bertahun-tahun. Aku udah hafal sifat dan kebiasaan kamu,” jawab Garin.
“Lagian, Ndra. Kenapa kamu hindarin Valerie? Apa kamu masih marah?” tanya Ello sambil melepas earphone di telinganya.
“Pakai nanya, ya iyalah aku masih marah. Dia nggak kasih aku kesempatan sama sekali. She is acting as if she's a victim. She never thinks that both of us are victims,” jawab Endra sedikit emosi.
Garin melirik sebentar pada Endra, lalu kembali fokus ke depan. “Valerie cinta banget sama kamu. Semalam waktu kalian habis berantem dan kamu pergi keluar. Valerie bilang, dia cinta kamu, Ndra. Dia nggak pingin putus dan berharap bisa terus sama kamu. Tapi, lihat kenyataan tentang mama dan papa kamu, dia nyerah. Dia masih terluka dengan perlakuan ayahnya di masa lalu. Bersamamu membuat dia akan selalu teringat dengan luka itu. Dia juga berpikir kalo kalian tetap bersama pun, nggak akan ada jalan untuk bisa bersama. Meski kalian nggak punya hubungan darah, tapi prespektif orang akan tetap nganggep kalian sa—”
“Saudara tiri,” potong Endra dengan suara lemah. Garin mengangguk.
“Apa kamu juga bakal nyerah kayak Valerie?” tanya Juno.
Endra menggeleng tak tahu. “Entahlah ....”
Ia mengembuskan napas panjang untuk mengeluarkan sesak yang mengimpit dadanya. Matanya melihat ke depan, mencoba mencari jalan. Apakah ada masa depan untuknya dan Valerie bersama? Adakah harapan untuknya dan Valerie menikmati cinta? Cinta yang dibalur dengan luka dan pengkhianatan di masa lalu.

Tbc

Pati, 13 September 2019

Biodata:

Penulis lahir di Malang, tapi sekarang tinggal di Pati bersama suami. Saat ini sedang menggarap antologi kesepuluh. Berkeinginan untuk segera menghasilkan novel solo suatu hari nanti.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.