Karena Kamu Pangeranku
Oleh: Titin Akhiroh
Oleh: Titin Akhiroh
Sudah satu minggu sejak Endra dan Valerie putus,
maka seminggu pula Endra tidak keluar paviliun. Ia bahkan tak berangkat kerja.
Masa bodoh jika harus dipecat karena ia sudah terlalu lelah untuk melakukan apa
pun. Ia lebih suka tidur dalam kamar seharian, bermain PS, dan bermain gitar
jika sudah bosan.
Endra merindukan Valerie. Beberapa kali, ia ingin
menelepon atau mengirim pesan untuk hanya sekadar ingin tahu keadaan gadisnya.
Namun, selalu saja berakhir dengan ia membanting ponsel. Jika ponsel itu benda
hidup pasti sudah berteriak dan mengeluh karena selama seminggu terakhir selalu
terbanting. Belum lagi mamanya yang selalu menelepon setiap saat dan tak pernah
digubrisnya. Ia masih terlalu marah untuk bicara dengan mamanya walaupun hanya
lewat telepon. Selama seminggu ini, ia telah berubah menjadi lelaki berengsek
yang selalu bad mood sepanjang hari.
Satu hal yang bisa membuat Endra bertahan adalah
ketiga sahabatnya. Ia bersyukur memiliki teman yang baik dan pengertian
melebihi saudara kandung. Di saat, ia uring-uringan, mereka selalu datang
membawakan makanan, mengajaknya mengobrol dan bercanda, bermain band, atau
hanya menumpang tidur. Ia cukup terharu, libur panjang sekolah yang seharusnya
dinikmati untuk liburan, mereka habiskan untuk menemani dirinya yang sedang
patah hati.
Seperti sekarang misalnya. Ketiganya sudah berada di
dalam kamar Endra. Juno dan Ello yang seru bermain PS. Garin sibuk bermain
gitar. Sementara, Endra hanya berbaring malas sambil membaca majalah musik di
tempat tidurnya.
“Akhir tahun ada festival musik di Senayan, ikutan
yuk! Udah lama kita nggak ikut event,”
ucap Garin sambil memainkan Crystal Planet-nya Joe Satriani.
“Aku setuju. Rasanya tanganku udah gatel pingin
gebukin drum.” Juno menyahut dengan tatapan penuh pada TV layar datar di
depannya.
“Gimana, Ndra?” tanya Ello.
“Oke." Endra menyahut singkat.
Mereka kembali diam, hingga suasana kamar hanya
dipenuhi suara permainan dari PS dan gitar yang dimainkan Garin. Beberapa saat
kemudian, teriakan kemenangan Ello menggema. Bosan bermain karena selalu kalah
dari Ello, Juno pun tak mau lagi bermain PS. Sementara, Garin juga lebih
memilih berbaring di samping Endra. Untuk beberapa lama, mereka berempat hanya
mengobrol ringan hingga terdengar pintu depan yang terbuka.
“Ada tamu, Ndra,” tutur Ello yang kebetulan duduk di
dekat pintu kamar.
Endra langsung bangkit untuk keluar kamar. Saat tiba
di ruang tamu, ia melihat mama dan papanya masuk. Mood-nya langsung berubah buruk. Rasa sakit dan marah kembali
muncul.
“Apa kamu baru bangun, Ndra?” tanya Diandra—mama
Endra—sambil tersenyum menghampiri putra sulungnya. Namun, wajahnya berubah
bingung saat Endra mundur menolak untuk dicium.
“Kenapa kamu diam saja, Ndra? Apa kamu sakit?” tanya
Diandra sambil mengangkat telapak tangannya hendak menyentuh kening sang putra,
tapi Endra segera menepisnya. Ia semakin bingung dengan sikap Endra. Sebenarnya
apa yang telah terjadi pada putranya?
“Kenapa datang ke sini?” tanya Endra sinis.
“Mama dan Papa khawatir padamu. Kamu tidak pernah
menelepon Mama dan tidak pernah mau mengangkat telepon.” Diandra masih tampak
bingung.
Endra melirik papanya atau lebih tepatnya ayah
Valerie mengempaskan diri di sofa.
“Sepertinya kita butuh bicara. Ada apa denganmu,
Ndra?” tanya Budi sambil menatap Endra.
Diandra mencoba memegang tangan Endra dan menariknya
untuk duduk bersama. Endra marah, tapi akhirnya menurut untuk bergabung dengan
mama dan papanya. Mungkin memang ini saatnya ia bicara soal Valerie.
“Ada apa, Nak?” tanya Diandra sesaat setelah Endra
duduk di sampingnya.
“Aku pingin tanya satu hal. Apa kalian mengenal Ibu
Arumi dan putrinya Valerie?”
Budi dan Diandra tak bisa menyembunyikan rona kaget
mendengar pertanyaan Endra. Endra mengamati keduanya seolah mendengar nama yang
sudah begitu mereka kenal. Ia semakin marah melihatnya.
“Bagaimana kamu bisa tahu mereka?” tanya Diandra
dengan suara bergetar.
Endra mendengkus. “Jadi kalian memang kenal, berarti
semua cerita itu benar.”
“Endra, bagaimana kamu bisa mengenal mereka?” tanya
Budi dengan wajah yang masih terkejut.
“Kenal? Tentu saja aku kenal mereka. Aku pacaran
sama Valerie. Kami berdua saling cinta, tapi kami putus seminggu yang lalu. Mau
tahu kenapa kami berdua putus? Kami putus karena kalian!” Meledak sudah emosi
Endra yang selama satu minggu ini dipendamnya.
“Jadi, gadis yang kamu ceritakan itu, Valerie?”
tanya Diandra yang sudah mulai menangis.
“Ya, Valerie, putri kandung Papa, putri istri
pertama Papa,” jawab Endra sembari melempar tatapan tajam ke arah Budi.
“Mereka sekarang tinggal di mana?” tanya Budi pelan
dan Endra mendengkus.
“Bahkan kalian nggak tahu di mana mereka tinggal.
Keterlaluan sekali! Jadi, kalian juga nggak tahu kalo Bu Arumi udah meninggal.”
Wajah Budi pucat pasi. “Apaaaa?” ucapnya terkejut,
“Ka-kapan?”
“Empat bulan yang lalu karena meningitis,” ucap
Endra lirih saat kembali teringat akan Valerie yang waktu itu begitu terpuruk.
“Ya, Tuhan ....” Diandra terkejut sembari menutup
mulutnya, kemudian kembali menangis.
Endra melirik tajam ke arah Diandra. “Kenapa Mama
nangis? Mama menyesal karena belum sempat minta maaf padanya, ‘kan?” Ia beralih
menatap Budi. “Dan Papa, kenapa terkekjut? Bukankah Papa udah meninggalkan
mereka sejak lama. Apa Papa juga menyesal? Udah terlambat untuk menyesal, Pa!” Napas
Endra memburu karena emosi yang sudah tak bisa ia kendalikan lagi.
“Papa pasti akan lebih menyesal jika tahu keadaan
Valerie. Sejak kecil, dia udah menderita. Kemiskinan membuat dia nggak punya
teman. Dia juga hampir kehilangan nyawa saat mengalami kecelakaan. Dia harus
berpindah-pindah kontrakan. Dia harus bekerja sendiri untuk biaya pengobatan
ibunya. Dia menyaksikan ibunya meninggal di hadapannya. Dan dia benar-benar
terluka, sedih, kesakit—“
“Tolong antarkan Papa bertemu dengannya!” Budi
menyela cepat dengan tatapan memohon agar Endra bisa membawanya menemui putri
cantiknya.
Endra melempar tatapan dingin ke arah Budi. Seolah
menantang pria tua itu yang sudah membuat segalanya menjadi rumit. “Untuk apa?
Mau taruh garam di atas lukanya? Atau Papa ingin menegaskan padanya kalo aku
dan dia nggak bisa saling cinta. Terlambat, Pa. Kita berdua udah saling cinta,
dan terluka sekarang. Kita berdua udah jadi korban pengkhianatan kalian di masa
lalu!”
Setelah mengeluarkan emosinya, Endra berdiri dan
masuk ke kamar. Ia baru sadar akan keberadaan Garin, Juno, dan Ello. Ia tahu
pasti jika Tiga Sekawan mendengar pertengkarannya dengan orang tuanya. Namun,
mereka bertiga terlihat biasa saja. Itulah yang membuatnya suka berteman dengan
mereka yang tidak pernah turut campur urusan orang lain kalau memang tidak
dilibatkan.
“Kamu mau ke mana, Ndra?” tanya Juno saat melihat
Endra mengambil dompet, ponsel, kunci motor, dan helm keluar kamar.
“Cari angin, aku nggak tahan satu atap dengan
mereka.”
Endra melirik sebentar ke arah mama dan papanya yang
menangis. Entah apa yang mereka tangiskan, ia pun tak tahu dan tak mau tahu. Ia
tidak peduli dan terus melangkah ke luar paviliun. Dengan cepat, ia membawa
motornya menuju jalan raya.
Ia menjalankan motornya tanpa arah karena tak tahu
harus pergi ke mana. Ia hanya ingin pergi jauh. Kalau bisa ia ingin menghilang,
sehingga tak akan pernah mengingat Valerie.
Valerie ... nama, wajah, senyuman, dan aromanya
selalu terbayang-bayang di kepala Endra. Ia menambah kecepatan motor. Berharap
angin kencang yang menerpa wajah bisa membawa pergi jauh sakit hatinya. Sampai
akhirnya, ia merasakan tubuhnya terbentur dengan sangat keras. Seluruh badannya
terasa sakit. Samar-samar terdengar riuh teriakan. Kepalanya berputar, sehingga
semua tampak kabur. Sampai kegelapan mulai menyambutnya.
♥♥♥
Valerie memandangi kanvas besar di depannya dengan
nanar. Lukisan itu begitu spesial baginya. Lukisan yang merupakan curahan
cintanya untuk seseorang. Lukisan wajah yang begitu ia puja. Dia adalah Endra,
Tarendra, pangerannya. Setiap malam, ia menggoreskan warna, melukis wajah Endra
di kanvas besar. Ia sengaja melakukannya karena bulan depan adalah ulang tahun
Endra. Ia ingin memberikan hadiah lukisan wajah. Benar-benar lukisan penuh
warna. Warna yang sesuai dengan Endra. Bukan gambar wajah dari pensil yang
selama ini ia buat. Namun sekarang, ia hanya bisa menatap lukisan itu tanpa
bisa memberikannya.
Sudah seminggu, ia dan Endra putus. Rasanya
benar-benar kosong, hampa, gelap, dan sakit. Ia bukan lagi bintang terang
seperti yang selalu dikatakan Endra. Sekarang, ia hanya bintang mati yang
meledak menjadi blackhole. Ia sangat merindukan Endra. Tidak ada lagi tawa
Endra yang renyah, suara Endra yang menenangkan, sentuhan Endra yang lembut,
dan perhatian Endra yang menyenangkan. Selama seminggu terakhir, ia mengamati
ponselnya. Berharap lelaki bermanik mata cokelat akan menelepon atau mengirim
pesan untuk menanyakan kabarnya, tapi semua nihil. Sementara, ia tidak punya
keberanian untuk menanyakannya kabar, kecuali melalui Garin, Ello, dan Juno
yang selalu mengirim pesan dan menelepon setiap hari.
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Valerie akan
Endra. Dengan malas, ia berjalan keluar kamar menuju pintu dan membukanya.
“Ello, tumben ke sini, ayo masuk!” ajaknya sambil membuka lebar pintu.
“Rie, kamu ikut aku, ya,” sahut Ello dengan masih
berdiri di depan pintu. Valerie melihat wajah Ello yang tidak biasa. Tidak ada
senyuman yang menghiasi wajah tampannya. Ia mulai dilanda cemas.
“Ke mana?” Suara Valerie bergetar takut.
“Rumah sakit, Endra kecelakaan.”
Kecelakaan! Endra kecelakaan, itu pasti bohong.
Endra tidak mungkin kecelakaan karena dia jago membawa motor. Itu mustahil.
Valerie merasa kepalanya berat. Dadanya mulai sesak. Kedua matanya panas karena
sesuatu di dalamnya mendorong paksa untuk keluar.
“Valerie!” Ello menepuk pipi Valerie pelan. Berusaha
menyadarkannya dari lamunan. Dengan cepat, ia berlari ke dalam kamar untuk
mengambil dompet dan ponselnya. Ia memasukkan semua dalam tas selempang kecil
dan keluar. Ello sudah menuju mobil saat dirinya mengunci pintu. Tak ingin
membuang waktu, ia bergegas masuk ke mobil Ello.
Perjalanan ke rumah sakit terasa lama. Ia tak sabar
ingin segera bertemu Endra.
“Gimana Endra? Apa dia terluka parah?” tanya
Valerie. Suaranya terdengar serak. Sementara, tetesan air mulai berjatuhan dari
pelupuk matanya.
“Cukup parah,” jawab Ello tanpa mengalihkan
pandangannya dari jalan.
“Kenapa dia bisa kecelakaan?”
“Tadi, mama dan papanya datang ke tempat Endra.
Mereka bertengkar, lalu Endra pergi naik motor, dan dia kecelakaan.”
Deg!
Endra bertengkar dengan sang papa, atau lebih tepat
ayahnya. Apakah mereka bertengkar karena dirinya? Valerie sangat membenci
ayahnya. Dulu, pria tua itu telah membuat ibunya meninggal. Sekarang, dia
membuat Endra-nya kecelakaan.
Ello memarkirkan mobilnya di parkiran rumah sakit.
Keduanya turun dan segera masuk ke bangunan yang didominasi warna putih. Air
mata Valerie kembali luruh saat Ello membawanya melewati lorong ICU. Apakah
Endra separah itu sampai harus dirawat dalam ruang ICU?
Dari kejauhan tampak Garin dan Juno berdiri
bersandar di tembok. Valerie hendak menghampiri mereka, tapi langkahnya
terhenti saat baru menyadari ayahnya duduk di kursi tunggu samping Juno
berdiri.
“Valerie!" Panggilan Budi menghentikan gerakan
Valerie yang ingin membalik badan untuk pergi menjauh. Ketika Budi
menghampirinya, refleks ia mundur dan memilih berdiri di belakang punggung
Ello.
“Valerie Ayah ingin bicara. Ayah merindukanmu,
Sayang." Budi mulai membujuk. Kedua matanya tidak kuasa menahan air mata
haru bertemu putri kesayangan setelah bertahun-tahun tidak dilihatnya. Ia
bahagia melihat putri kecilnya telah tumbuh menjadi gadis cantik seperti
sekarang. Namun, goresan luka ia dapatkan saat Valerie enggan melihatnya dan
berusaha menghindar. Demi Tuhan, ia menyesal karena tak mengetahui keberadaan
putrinya sejak lama. Ia ingin memeluk erat putri kecilnya dan membayar
kesalahan yang pernah dilakukannya.
“El, apa boleh aku lihat Endra?” tanya Valerie tanpa
menggubris keberadaan ayahnya.
Tanpa menjawab, Ello merangkul pundak Valerie yang
gemetar menuju kamar Endra dirawat. Lelaki bermata sipit itu mengetuk pintu
kaca, hingga Diandra menoleh lalu berdiri dan keluar ruangan. Diandra melepas
baju steril yang harus dipakai pengunjung saat menemui pasien, lalu menyerahkannya
pada Valerie.
“Pakailah ini, Valerie! Endra sudah menunggumu,”
ucap Diandra terdengar sedih. Valerie menerima baju itu tanpa melihat wajah
Diandra. Ia hanya menunduk dan mulai memakai baju itu.
Hati Valerie berdenyut nyeri saat melihat keadaan
Endra yang jauh dari kata baik. Tangan kiri dan kaki kanannya di-gips. Tangan
kanannya terpasang selang infus. Dahinya tertutup perban. Wajahnya penuh memar
dan hidungnya terpasang selang oksigen. Di dadanya terpasang kabel yang
terhubung dengan monitor untuk melihat detak jantung dan tekanan darah. Melihat
Endra mengingatkannya kembali dengan sang ibu yang meninggal di ruang ICU.
Dengan langkah berat, Valerie mendekat tepat di
samping ranjang. Kedua tangannya yang gemetar menggenggam telapak tangan Endra
yang tidak ikut di-gips. Ia membungkuk, lalu mencium pipi Endra.
“Endra bangun! Ini aku, Valerie. Maafin aku, Ndra!
Aku udah bikin kamu kayak gini,” bisik Valerie dengan isakan keras. Namun,
Endra masih belum juga merespons. “Maafin aku, Ndra. Aku cinta kamu. Ayo
bangun! Jangan tinggalin aku sendirian.”
Pecah sudah tangis Valerie. Ia menumpukan wajahnya
pada lengan kiri Endra, menumpahkan air matanya di sana. Sungguh, bukan akhir
seperti ini yang ia inginkan. Ia melepas Endra karena begitu mencintai lelaki
itu. Ia hanya tak ingin mencintai Endra diiringi luka yang setiap saat bisa
mereka rasakan saat berada di dekat orang tua mereka.
Namun, melihat keadaan Endra yang jauh dari kata
baik, ia menyesal karena gegabah memutuskan hubungan. Bahkan saat itu, ia sama
sekali tidak memberi kesempatan Endra untuk berargumen atau sekadar
mengutarakan perasaan terlukanya.
Melihat Valerie menangis di dekat Endra, tentu saja
menarik air mata Budi dan Diandra yang berdiri di depan jendela kaca. Tak
pernah terbayangkan sebelumnya jika putra-putri mereka harus terjebak dalam
hubungan yang rumit seperti sekarang.
Kepala Valerie terangkat, memandang lekat wajah
tampan Endra. Diusapnya pelan wajah itu dengan jemarinya. Dimulai dari mata
tajam yang terpejam, hidung mancung nan angkuh, bibir penuh dan rahang yang
tegas. Tanpa diduga setetes air jatuh dari sudut mata Endra. Valerie tersentak
untuk sesaat. Ketika kesadarannya kembali, ia segera berlari keluar ruangan.
Tiga Sekawan yang berdiri di dekat pintu langsung terlihat panik. Diandra dan
Budi berlari menghampirinya.
“Ada apa, Rie?” tanya Garin.
“Aku lihat Endra nangis.”
Diandra lantas memasuki ruangan. Endra memang
menangis. Betapa besar pengaruh Valerie bagi putranya. Dengan cepat, ia
memencet tombol darurat hingga beberapa saat kemudian dokter dan suster
berlarian memasuki ruangan Endra.
Semua orang berharap-harap cemas menunggu hasil
pemeriksaan Endra. Valerie yang sudah berhenti menangis tampak menyandarkan
kepalanya di pundak kiri Garin. Sementara, tangan kirinya digenggam erat Juno.
Setelah cukup lama menunggu, akhirnya dokter dan suster keluar dari ruangan.
Diandra dan Budi mendekat. Valerie dan Tiga Sekawan berdiri bersiap menerima
kabar dari dokter. Valerie berharap bahwa dokter akan memberinya kabar baik.
“Dia sudah melewati masa kritis, kesadarannya telah
kembali. Namun, dia masih butuh istirahat dan beberapa observasi. Jika
kondisinya sudah benar-benar stabil, dia bisa dipindah ke ruang perawatan,”
terang dokter yang membuat semua orang bernapas lega.
Valerie dan Tiga Sekawan saling berpelukan menyambut
kabar baik akan kondisi Endra. Mereka berharap Endra semakin membaik.
Seseorang mendekat, lalu menyentuh pundak Valerie
yang baru saja melepas pelukan dengan Tiga Sekawan. Valerie menoleh dan
mendapati sang ayah menatapnya lembut. Ia bergeser tak nyaman menghindari
kontak fisik dengan ayahnya.
“Valerie! Ayah ingin bicara. Ayah mohon!” mohon Budi
dengan tatapan sayu memandang putrinya.
Valerie terdiam tak tahu harus berbuat apa. Pria tua
itu tetaplah ayahnya. Namun, sudah sepuluh tahun ia tidak bertemu dengannya.
Sudah sepuluh tahun ia membencinya. Lalu sekarang, dia ingin mengajaknya
bicara. Bicara tentang apa? Apakah belum cukup bagi pria tua itu menyakiti
ibunya? Apa dia juga berniat menyakitinya dengan menyuruh meninggalkan Endra?
“Bicara soal apa?” tanya Valerie pelan tanpa melihat
wajah Budi.
“Semuanya, Sayang. Semuanya,” ucap Budi serak
seperti menahan tangis.
Setelah terdiam beberapa lama, Valerie mengangguk.
“Rie!” Garin memegang lengan Valerie seolah
mempertanyakan keyakinan gadis itu untuk bicara dengan orang yang paling
dibenci.
“Nggak apa-apa, Rin." Valerie tersenyum tipis,
hingga membuat Garin melepas lengannya, membiarkan dirinya menyelesaikan
masalah keluarga.
Embusan angin di lorong rumah sakit berhasil
memainkan helaian rambut Valerie yang tergerai. Dengan perasaan gundah, ia
berjalan keluar mengikuti Budi dan Diandra menuju taman.
“Ayah minta maaf. Ayah bersalah padamu dan Ibu.” Ucapan
pertama Budi untuk mengawali kecanggungan di antara mereka. Ia mendekat ingin
memeluk Valerie, tapi harus kecewa saat Valerie mundur menghindar. “Ayah tahu,
kamu pasti marah dan benci dengan Ayah. Tapi, Ayah sangat menyayangimu.”
Valerie masih bergeming, tak berniat membuka
mulutnya.
“Mama juga minta maaf, Valerie. Ini semua terjadi
karena kesalahanku,” celetuk Diandra sambil menangis
“Dulu, Ayah dan Mama Dian saling mencintai, tapi
hubungan kami tidak direstui oleh orang tua Mama Dian. Akhirnya, Mama Dian
menikah dengan orang yang dijodohkan dengannya, dan lahirlah Endra. Setelah
itu, Ayah menikah dengan ibumu. Saat kamu berusia tiga tahun dan Endra berusia
empat tahun, ayah Endra meninggal dunia. Mama Dian putus asa dan hampir
mengakhiri hidupnya. Karena itulah, Ayah menikahi Mama Dian untuk mengembalikan
semangat hidupnya agar bisa membesarkan Endra yang masih kecil. Ayah bersalah
karena waktu itu tidak berpikir panjang, menikahi Mama Dian tanpa memberitahu
ibumu terlebih dahulu. Saat aku ingin menjelaskan keadaan yang sebenarnya,
Arumi sudah membawamu pergi jauh. Ayah berusaha mencari kalian di semua tempat,
tapi tidak menemukan kalian. Ayah minta maaf, Sayang. Ayah mengaku salah. Ayah
sudah gagal untuk menjadi ayah yang baik. Ayah benar-benar menyesal. Maafkan
Ayah, Nak. Maaf .”
Tubuh Valerie kaku dengan air mata yang sudah
mengalir deras di kedua pipi. Jadi, semua cerita itu benar, bahwa sang ayah
menikah tanpa sepengatahuan ibunya. Ayah telah mengkhianati ibunya. Kasihan
ibunya yang hidup menderita karena telah mencintai pria yang lebih mencintai
wanita lain. Ia benci pria tua itu. Ia juga benci dengan wanita itu.
“Kalian tahu kalo Ibu dan aku akan terluka, tapi
kalian tetap bersama, ‘kan? Jadi, kenapa sekarang kalian minta maaf?” balas
Valerie sambil menangis.
“Mama tahu, Nak. Mama egois meminta ayahmu menikahi
Mama.”
“Jangan panggil aku 'Nak'! Aku bukan anakmu!” bentak
Valerie. Kedua matanya memerah akibat terkumpulnya emosi dan sakit hati.
“Valerie, jangan marah padanya! Orang yang patut
disalahkan itu Ayah. Ayah minta maaf. Kamu boleh memukul Ayah sepuasmu, Nak.
Tapi, Ayah mohon. Maafkan Ayah!”
Air mata Valerie sudah menganak sungai di pipi
tirusnya. Matanya berkilat marah menatap Budi. “Apa dengan aku mukul Ayah, Ibu
akan bangun lagi? Nggak, Yah. Ibu udah meninggal, dan itu semua karena Ayah dan
dia.” Telunjuk Valerie mengarah pada Budi dan Diandra bergantian. Persetan
dengan kesopanan, ia sudah tak peduli dengan mereka. Yang dipedulikannya
hanyalah Endra.
“Ibu itu orang baik, tapi Ayah menyakitinya
sepanjang hidupnya. Asal Ayah tahu? Meski Ibu menderita karena Ayah, Ibu selalu
bilang padaku, untuk tidak marah, tidak dendam, tidak sedih. Aku tahu, Ibu
sengaja bilang padaku agar aku tidak membenci Ayah. Tapi, tetap saja aku benci
kalian!” Valerie kembali membentak mereka.
“Maafkan kami, Nak,” ucap Budi setengah memohon.
Valerie berdiri tak acuh dengan napas memburu karena marah.
“Aku nggak bisa maafin kalian.”
“Aku mohon, Nak. Ayah akan menebus semua kesalahan
Ayah. Kembalilah bersama Ayah, dan tinggallah dengan kami." Budi menggapai
tangan Valerie yang langsung ditepisnya.
“Kenapa baru sekarang Ayah memintaku tinggal?
Bukankah udah sepuluh tahun Ayah meninggalkanku? Dengan mudah, Ayah dan dia
datang padaku, lalu bilang maaf dan memintaku tinggal. Lalu, ke mana saja
kalian saat aku dan Ibu menderita, berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan
lain? Ke mana saja kalian saat aku terbaring di ruang operasi? Di mana kalian
saat aku di-bully karena aku dan
ibuku hidup miskin? Lalu, ke mana saja kalian saat aku dan Ibu berbagi makanan
agar kami bisa tetap hidup? Ke mana saja kalian saat aku harus bekerja sendiri
untuk Ibu yang sakit? Di mana kalian saat ibu mengembuskan napas terakhir? Ada
di mana kalian saat aku menangis sendiri karena kepergian Ibu?” Pecah sudah
tangis dan amarah Valerie. Budi bahkan langsung terduduk lemas sambil menangis.
Sementara, Diandra sudah terisak pilu.
Seolah tak cukup mengeluarkan bisa yang menghunus
Budi dan Diandra dengan penyesalan terdalam. Valerie kembali berucap dengan menatap
tajam ke arah keduanya.
“Bahkan sekarang, karena kalian aku nggak bisa
bersama Endra,” imbuhnya sebelum pergi meninggalkan Budi dan Diandra yang masih
menangis di taman.
Langkah Valerie memberat. Ia tidak bisa menjabarkan
perasaaanya. Semua rasa bertumpuk jadi satu, hingga sulit untuk diurai. Dari
kejauhan, ia melihat Ello yang berdiri melihatnya.
“Kamu baik-baik aja?” tanya Ello saat Valerie
mendekat ke arahnya.
Valerie menggeleng. Ello menarik Valerie, memberinya
tempat untuk menumpahkan kesedihan. Dengan menggantikan peran Endra, ia memeluk
sembari menepuk lembut punggung Valerie yang bergetar karena isakan.
“Jangan ditahan, Rie. Nangis aja kalo itu bisa bikin
kamu lega.” Ello ikut terenyuh melihat keadaan Valerie dan Endra sekarang.
Bagaimanapun, Endra dan Valerie adalah sahabatnya dan ia begitu menyayangi
mereka.
Dengan begitu, jebol sudah pertahanan Valerie. Air
matanya mengalir deras seiring nyeri yang kian berdenyut di dalam hati. Demi
Tuhan, ia masih berusia tujuh belas tahun sekarang. Namun, kenapa ia harus
dipaksa menerima cobaan bertubi sesakit ini? Tidak bisakah ia bahagia dan
menjalani kehidupan normal selayaknya remaja lain tanpa ada luka, tanpa beban,
dan tanpa sakit hati?
'Kenapa harus seperti ini, Tuhan?'
Puas berlamentasi, Valerie melepaskan diri. Kedua
tangan mengusap kasar wajahnya yang basah. Ia pikir air matanya sudah mengering
seiring duka yang selalu diterimanya. Namun, nyatanya ia masih saja menangis
dan ia benci itu. Ia membenci dirinya yang begitu rapuh.
“Endra gimana?” tanya Valerie serak. Efek terlalu
banyak menangis.
“Dia udah sadar. Sekarang, lagi sama Juno dan
Garin.”
“Terima kasih, El, udah minjemin dada kamu.”
Ello tersenyum. “Anytime, kalo kamu butuh tempat
buat nangis. Aku selalu siap.”
Sudut bibir Valerie terangkat. Ucapan Ello sedikit
membuatnya terhibur.
“Mau liat Endra, nggak? Tadi, dia nyari kamu.”
“Dengan muka kayak gini, apa Endra masih mau ketemu
aku?”
“Astaga, Rie, meski muka kamu cemong semua. Endra
bakalan tetap cinta mati sama kamu."
Pukulan Valerie mendarat di lengan Ello. Sebuah
usaha untuk menutupi malunya dari lelaki berwajah khas Asia Timur itu.
Ello tak marah. Justru ia terkekeh mendapati gadis
di depannya yang sedang salah tingkah. "Hehehe ... kamu itu cantik, Rie,
nggak heran kalo Endra bisa posesif banget sama kamu. Tahu nggak? Sampe
sekarang aja kadang aku, Garin, dan Juno masih belum percaya kalo dia yang
cueknya minta ampun bisa takluk sama kamu.”
Lagi, ucapan Ello membuat Valerie malu sekaligus
senang. Jangankan Tiga Sekawan, dirinya saja kadang masih sukar percaya bisa
bersama dengan Endra. Bahagia? Jelas ia sangat bahagia. Sebelum kenyataan pahit
memporak-porandakan hatinya.
Helaan napas panjang dilakukan Valerie untuk menahan
emosinya agar tidak meluap lagi. Dirasa cukup, ia mengikuti langkah Ello
memasuki lorong rumah sakit menuju ruang perawatan Endra.
♥♥♥
Bibir Endra mengulas senyum tipis melihat Valerie
berdiri di depannya. Kehadiran Valerie menjadi penawar sakit paling ampuh.
Hanya dengan melihat wajah sembap gadisnya, ia sudah senang bukan main.
“Katanya jago bawa motor, tapi kenapa bisa luka
kayak ini?” Valerie memukul pelan dada Endra, hingga lelaki tampan itu meringis.
“Aku udah terluka dan kamu masih tega mukul aku.”
Tanpa Endra duga, Valerie memeluknya yang masih
terbaring lemah.
“Jangan pernah ngelakuin ini lagi. Aku nggak mau
lihat kamu terluka,” bisik Valerie membuat dada Endra membuncah bahagia.
Valerie masih menaruh perhatian padanya. Dengan tersenyum tipis, ia mengangguk
sambil mengusap punggung gadisnya menggunakan kanan yang terinfus. Pelukan itu
berlangsung lama. Valerie baru melepasnya setelah mendengar dehaman Garin.
“Ehem, yaelah yang lagi kasmaran, sampai nggak sadar
ada orang di sini." Garin mengerling jail, hingga wajah Valerie tersipu.
“Gimana tadi waktu ngobrol sama ayahmu?” celetuk
Juno, hingga membuat Endra tersentak.
“Kamu udah bicara dengannya?” Endra bertanya cepat.
Valerie mengangguk. “Aku juga udah bicara dengan
mamamu.”
Mata Endra membulat tak percaya. Ada kecemasan dalam
manik cokelat miliknya. Apakah Valerie baik-baik saja?
“Aku baik-baik aja." Valerie seolah bisa
membaca pikiran Endra. “Aku lega udah ngeluarin semua perasaanku yang terpendam
selama sepuluh tahun terakhir. Dulu, kamu pernah tanya, apa aku akan maafin
ayah? Ternyata aku masih belum bisa maafin dia,” lirih Valerie bersamaan dengan
pintu kamar Endra yang terbuka. Budi dan Diandra masuk dengan wajah sendu
sehabis menangis.
“Aku pulang dulu, ya, Ndra,” pamit Valerie yang tak
nyaman jika harus berada di dekat ayah dan istrinya.
Endra menahan tangan Valerie dan menggenggamnya
erat. “Jangan pergi, Rie! Di sini aja sama aku.”
Meski suara Endra masih lemah, tapi Valerie bisa
mendengar nada emosi di dalamnya. Ia tersenyum, lalu kembali bersuara. “Udah
malam, aku harus pulang. Besok, aku ke sini lagi,” bujuknya.
“Janji?” tanya Endra yang direspons anggukan oleh
Valerie.
“Ayah akan mengantarmu pulang, Sayang.” Budi berkata
sambil berjalan mendekati ranjang Endra.
Valerie menggeleng. “Nggak perlu, aku pulang bareng
Tiga Sekawan,” tolaknya.
Tiga Sekawan berpamitan pada Budi dan Diandra.
Sementara, Valerie justru keluar ruangan lebih dulu tanpa menoleh sedikit pun
pada Budi dan Diandra yang melihatnya dengan tatapan sedih.
Selepas kepulangan Valerie dan sahabatnya, Endra
langsung memejamkan mata. Bersikap sama seperti Valerie, yakni menghindari
Diandra dan Budi.
Valerie melihat ke luar kaca mobil, mengamati
kelebatan gedung-gedung dengan lampu yang berpendar indah. Akan seperti apa
hubungannya dengan Endra nanti? Ia sadar masih ada rasa yang mengikat hatinya
dan Endra. Tak hanya cinta, tapi juga pertalian keluarga. Endra adalah kakak
tirinya. Ia adalah adik tiri Endra. Apakah dengan hubungan rumit seperti itu
cinta mereka bisa terikat sempurna?
“Gimana perasaanmu sekarang?” Juno bertanya sembari
menoleh ke jok belakang di mana Valerie duduk bersama Garin.
Tersadar dari lamunan, Valerie mengerjap sesaat,
kemudian menggeleng pelan. “Sakit.”
“Terus kelanjutan hubungan kamu dan Endra?” Giliran
Garin yang bertanya. Tatapannya mengarah sepenuhnya pada Valerie yang kebetulan
duduk di sebelah kiri. Sementara, Valerie hanya mengedikkan bahu.
“Setiap masalah pasti ada jalan keluar.” Ello
mencoba berpendapat.
“Nggak ada jalan keluar untuk aku dan Endra selama
kita bersaudara,” sahut Valerie serak menahan tangis.
Kepalanya menoleh pada Garin. “Rin, boleh aku pinjam
bahu kamu?”
Tanpa menjawab, tangan kiri Garin menarik kepala
Valerie dan menyandarkannya di pundak.
“Kenapa mencintai seseorang bisa sesakit ini?”
Itulah ucapan terakhir Valerie sebelum akhirnya
menangis di bahu Garin.
Tbc
Pati, 20 September
2019
Biodata:
Penulis lahir di Malang, tapi sekarang menetap di
Pati. Bercita-cita ingin menerbitkan novel solo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.