Sabtu, 21 September 2019

#Jumat_Cerbung - Karena Kamu Pangeranku - Part 10 - Titin Akhiroh - Sastra Indonesia Org






Karena Kamu Pangeranku
Oleh: Titin Akhiroh

Sudah satu minggu sejak Endra dan Valerie putus, maka seminggu pula Endra tidak keluar paviliun. Ia bahkan tak berangkat kerja. Masa bodoh jika harus dipecat karena ia sudah terlalu lelah untuk melakukan apa pun. Ia lebih suka tidur dalam kamar seharian, bermain PS, dan bermain gitar jika sudah bosan.
Endra merindukan Valerie. Beberapa kali, ia ingin menelepon atau mengirim pesan untuk hanya sekadar ingin tahu keadaan gadisnya. Namun, selalu saja berakhir dengan ia membanting ponsel. Jika ponsel itu benda hidup pasti sudah berteriak dan mengeluh karena selama seminggu terakhir selalu terbanting. Belum lagi mamanya yang selalu menelepon setiap saat dan tak pernah digubrisnya. Ia masih terlalu marah untuk bicara dengan mamanya walaupun hanya lewat telepon. Selama seminggu ini, ia telah berubah menjadi lelaki berengsek yang selalu bad mood sepanjang hari.
Satu hal yang bisa membuat Endra bertahan adalah ketiga sahabatnya. Ia bersyukur memiliki teman yang baik dan pengertian melebihi saudara kandung. Di saat, ia uring-uringan, mereka selalu datang membawakan makanan, mengajaknya mengobrol dan bercanda, bermain band, atau hanya menumpang tidur. Ia cukup terharu, libur panjang sekolah yang seharusnya dinikmati untuk liburan, mereka habiskan untuk menemani dirinya yang sedang patah hati.
Seperti sekarang misalnya. Ketiganya sudah berada di dalam kamar Endra. Juno dan Ello yang seru bermain PS. Garin sibuk bermain gitar. Sementara, Endra hanya berbaring malas sambil membaca majalah musik di tempat tidurnya.
“Akhir tahun ada festival musik di Senayan, ikutan yuk! Udah lama kita nggak ikut event,” ucap Garin sambil memainkan Crystal Planet-nya Joe Satriani.
“Aku setuju. Rasanya tanganku udah gatel pingin gebukin drum.” Juno menyahut dengan tatapan penuh pada TV layar datar di depannya.
“Gimana, Ndra?” tanya Ello.
“Oke." Endra menyahut singkat.
Mereka kembali diam, hingga suasana kamar hanya dipenuhi suara permainan dari PS dan gitar yang dimainkan Garin. Beberapa saat kemudian, teriakan kemenangan Ello menggema. Bosan bermain karena selalu kalah dari Ello, Juno pun tak mau lagi bermain PS. Sementara, Garin juga lebih memilih berbaring di samping Endra. Untuk beberapa lama, mereka berempat hanya mengobrol ringan hingga terdengar pintu depan yang terbuka.
“Ada tamu, Ndra,” tutur Ello yang kebetulan duduk di dekat pintu kamar.
Endra langsung bangkit untuk keluar kamar. Saat tiba di ruang tamu, ia melihat mama dan papanya masuk. Mood-nya langsung berubah buruk. Rasa sakit dan marah kembali muncul.
“Apa kamu baru bangun, Ndra?” tanya Diandra—mama Endra—sambil tersenyum menghampiri putra sulungnya. Namun, wajahnya berubah bingung saat Endra mundur menolak untuk dicium.
“Kenapa kamu diam saja, Ndra? Apa kamu sakit?” tanya Diandra sambil mengangkat telapak tangannya hendak menyentuh kening sang putra, tapi Endra segera menepisnya. Ia semakin bingung dengan sikap Endra. Sebenarnya apa yang telah terjadi pada putranya?
“Kenapa datang ke sini?” tanya Endra sinis.
“Mama dan Papa khawatir padamu. Kamu tidak pernah menelepon Mama dan tidak pernah mau mengangkat telepon.” Diandra masih tampak bingung.
Endra melirik papanya atau lebih tepatnya ayah Valerie mengempaskan diri di sofa.
“Sepertinya kita butuh bicara. Ada apa denganmu, Ndra?” tanya Budi sambil menatap Endra.
Diandra mencoba memegang tangan Endra dan menariknya untuk duduk bersama. Endra marah, tapi akhirnya menurut untuk bergabung dengan mama dan papanya. Mungkin memang ini saatnya ia bicara soal Valerie.
“Ada apa, Nak?” tanya Diandra sesaat setelah Endra duduk di sampingnya.
“Aku pingin tanya satu hal. Apa kalian mengenal Ibu Arumi dan putrinya Valerie?”
Budi dan Diandra tak bisa menyembunyikan rona kaget mendengar pertanyaan Endra. Endra mengamati keduanya seolah mendengar nama yang sudah begitu mereka kenal. Ia semakin marah melihatnya.
“Bagaimana kamu bisa tahu mereka?” tanya Diandra dengan suara bergetar.
Endra mendengkus. “Jadi kalian memang kenal, berarti semua cerita itu benar.”
“Endra, bagaimana kamu bisa mengenal mereka?” tanya Budi dengan wajah yang masih terkejut.
“Kenal? Tentu saja aku kenal mereka. Aku pacaran sama Valerie. Kami berdua saling cinta, tapi kami putus seminggu yang lalu. Mau tahu kenapa kami berdua putus? Kami putus karena kalian!” Meledak sudah emosi Endra yang selama satu minggu ini dipendamnya.
“Jadi, gadis yang kamu ceritakan itu, Valerie?” tanya Diandra yang sudah mulai menangis.
“Ya, Valerie, putri kandung Papa, putri istri pertama Papa,” jawab Endra sembari melempar tatapan tajam ke arah Budi.
“Mereka sekarang tinggal di mana?” tanya Budi pelan dan Endra mendengkus.
“Bahkan kalian nggak tahu di mana mereka tinggal. Keterlaluan sekali! Jadi, kalian juga nggak tahu kalo Bu Arumi udah meninggal.”
Wajah Budi pucat pasi. “Apaaaa?” ucapnya terkejut, “Ka-kapan?”
“Empat bulan yang lalu karena meningitis,” ucap Endra lirih saat kembali teringat akan Valerie yang waktu itu begitu terpuruk.
“Ya, Tuhan ....” Diandra terkejut sembari menutup mulutnya, kemudian kembali menangis.
Endra melirik tajam ke arah Diandra. “Kenapa Mama nangis? Mama menyesal karena belum sempat minta maaf padanya, ‘kan?” Ia beralih menatap Budi. “Dan Papa, kenapa terkekjut? Bukankah Papa udah meninggalkan mereka sejak lama. Apa Papa juga menyesal? Udah terlambat untuk menyesal, Pa!” Napas Endra memburu karena emosi yang sudah tak bisa ia kendalikan lagi.
“Papa pasti akan lebih menyesal jika tahu keadaan Valerie. Sejak kecil, dia udah menderita. Kemiskinan membuat dia nggak punya teman. Dia juga hampir kehilangan nyawa saat mengalami kecelakaan. Dia harus berpindah-pindah kontrakan. Dia harus bekerja sendiri untuk biaya pengobatan ibunya. Dia menyaksikan ibunya meninggal di hadapannya. Dan dia benar-benar terluka, sedih, kesakit—“
“Tolong antarkan Papa bertemu dengannya!” Budi menyela cepat dengan tatapan memohon agar Endra bisa membawanya menemui putri cantiknya.
Endra melempar tatapan dingin ke arah Budi. Seolah menantang pria tua itu yang sudah membuat segalanya menjadi rumit. “Untuk apa? Mau taruh garam di atas lukanya? Atau Papa ingin menegaskan padanya kalo aku dan dia nggak bisa saling cinta. Terlambat, Pa. Kita berdua udah saling cinta, dan terluka sekarang. Kita berdua udah jadi korban pengkhianatan kalian di masa lalu!”
Setelah mengeluarkan emosinya, Endra berdiri dan masuk ke kamar. Ia baru sadar akan keberadaan Garin, Juno, dan Ello. Ia tahu pasti jika Tiga Sekawan mendengar pertengkarannya dengan orang tuanya. Namun, mereka bertiga terlihat biasa saja. Itulah yang membuatnya suka berteman dengan mereka yang tidak pernah turut campur urusan orang lain kalau memang tidak dilibatkan.
“Kamu mau ke mana, Ndra?” tanya Juno saat melihat Endra mengambil dompet, ponsel, kunci motor, dan helm keluar kamar.
“Cari angin, aku nggak tahan satu atap dengan mereka.”
Endra melirik sebentar ke arah mama dan papanya yang menangis. Entah apa yang mereka tangiskan, ia pun tak tahu dan tak mau tahu. Ia tidak peduli dan terus melangkah ke luar paviliun. Dengan cepat, ia membawa motornya menuju jalan raya.
Ia menjalankan motornya tanpa arah karena tak tahu harus pergi ke mana. Ia hanya ingin pergi jauh. Kalau bisa ia ingin menghilang, sehingga tak akan pernah mengingat Valerie.
Valerie ... nama, wajah, senyuman, dan aromanya selalu terbayang-bayang di kepala Endra. Ia menambah kecepatan motor. Berharap angin kencang yang menerpa wajah bisa membawa pergi jauh sakit hatinya. Sampai akhirnya, ia merasakan tubuhnya terbentur dengan sangat keras. Seluruh badannya terasa sakit. Samar-samar terdengar riuh teriakan. Kepalanya berputar, sehingga semua tampak kabur. Sampai kegelapan mulai menyambutnya.

♥♥♥

Valerie memandangi kanvas besar di depannya dengan nanar. Lukisan itu begitu spesial baginya. Lukisan yang merupakan curahan cintanya untuk seseorang. Lukisan wajah yang begitu ia puja. Dia adalah Endra, Tarendra, pangerannya. Setiap malam, ia menggoreskan warna, melukis wajah Endra di kanvas besar. Ia sengaja melakukannya karena bulan depan adalah ulang tahun Endra. Ia ingin memberikan hadiah lukisan wajah. Benar-benar lukisan penuh warna. Warna yang sesuai dengan Endra. Bukan gambar wajah dari pensil yang selama ini ia buat. Namun sekarang, ia hanya bisa menatap lukisan itu tanpa bisa memberikannya.
Sudah seminggu, ia dan Endra putus. Rasanya benar-benar kosong, hampa, gelap, dan sakit. Ia bukan lagi bintang terang seperti yang selalu dikatakan Endra. Sekarang, ia hanya bintang mati yang meledak menjadi blackhole. Ia sangat merindukan Endra. Tidak ada lagi tawa Endra yang renyah, suara Endra yang menenangkan, sentuhan Endra yang lembut, dan perhatian Endra yang menyenangkan. Selama seminggu terakhir, ia mengamati ponselnya. Berharap lelaki bermanik mata cokelat akan menelepon atau mengirim pesan untuk menanyakan kabarnya, tapi semua nihil. Sementara, ia tidak punya keberanian untuk menanyakannya kabar, kecuali melalui Garin, Ello, dan Juno yang selalu mengirim pesan dan menelepon setiap hari.
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Valerie akan Endra. Dengan malas, ia berjalan keluar kamar menuju pintu dan membukanya. “Ello, tumben ke sini, ayo masuk!” ajaknya sambil membuka lebar pintu.
“Rie, kamu ikut aku, ya,” sahut Ello dengan masih berdiri di depan pintu. Valerie melihat wajah Ello yang tidak biasa. Tidak ada senyuman yang menghiasi wajah tampannya. Ia mulai dilanda cemas.
“Ke mana?” Suara Valerie bergetar takut.
“Rumah sakit, Endra kecelakaan.”
Kecelakaan! Endra kecelakaan, itu pasti bohong. Endra tidak mungkin kecelakaan karena dia jago membawa motor. Itu mustahil. Valerie merasa kepalanya berat. Dadanya mulai sesak. Kedua matanya panas karena sesuatu di dalamnya mendorong paksa untuk keluar.
“Valerie!” Ello menepuk pipi Valerie pelan. Berusaha menyadarkannya dari lamunan. Dengan cepat, ia berlari ke dalam kamar untuk mengambil dompet dan ponselnya. Ia memasukkan semua dalam tas selempang kecil dan keluar. Ello sudah menuju mobil saat dirinya mengunci pintu. Tak ingin membuang waktu, ia bergegas masuk ke mobil Ello.
Perjalanan ke rumah sakit terasa lama. Ia tak sabar ingin segera bertemu Endra.
“Gimana Endra? Apa dia terluka parah?” tanya Valerie. Suaranya terdengar serak. Sementara, tetesan air mulai berjatuhan dari pelupuk matanya.
“Cukup parah,” jawab Ello tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan.
“Kenapa dia bisa kecelakaan?”
“Tadi, mama dan papanya datang ke tempat Endra. Mereka bertengkar, lalu Endra pergi naik motor, dan dia kecelakaan.”
Deg!
Endra bertengkar dengan sang papa, atau lebih tepat ayahnya. Apakah mereka bertengkar karena dirinya? Valerie sangat membenci ayahnya. Dulu, pria tua itu telah membuat ibunya meninggal. Sekarang, dia membuat Endra-nya kecelakaan.
Ello memarkirkan mobilnya di parkiran rumah sakit. Keduanya turun dan segera masuk ke bangunan yang didominasi warna putih. Air mata Valerie kembali luruh saat Ello membawanya melewati lorong ICU. Apakah Endra separah itu sampai harus dirawat dalam ruang ICU?
Dari kejauhan tampak Garin dan Juno berdiri bersandar di tembok. Valerie hendak menghampiri mereka, tapi langkahnya terhenti saat baru menyadari ayahnya duduk di kursi tunggu samping Juno berdiri.
“Valerie!" Panggilan Budi menghentikan gerakan Valerie yang ingin membalik badan untuk pergi menjauh. Ketika Budi menghampirinya, refleks ia mundur dan memilih berdiri di belakang punggung Ello.
“Valerie Ayah ingin bicara. Ayah merindukanmu, Sayang." Budi mulai membujuk. Kedua matanya tidak kuasa menahan air mata haru bertemu putri kesayangan setelah bertahun-tahun tidak dilihatnya. Ia bahagia melihat putri kecilnya telah tumbuh menjadi gadis cantik seperti sekarang. Namun, goresan luka ia dapatkan saat Valerie enggan melihatnya dan berusaha menghindar. Demi Tuhan, ia menyesal karena tak mengetahui keberadaan putrinya sejak lama. Ia ingin memeluk erat putri kecilnya dan membayar kesalahan yang pernah dilakukannya.
“El, apa boleh aku lihat Endra?” tanya Valerie tanpa menggubris keberadaan ayahnya.
Tanpa menjawab, Ello merangkul pundak Valerie yang gemetar menuju kamar Endra dirawat. Lelaki bermata sipit itu mengetuk pintu kaca, hingga Diandra menoleh lalu berdiri dan keluar ruangan. Diandra melepas baju steril yang harus dipakai pengunjung saat menemui pasien, lalu menyerahkannya pada Valerie.
“Pakailah ini, Valerie! Endra sudah menunggumu,” ucap Diandra terdengar sedih. Valerie menerima baju itu tanpa melihat wajah Diandra. Ia hanya menunduk dan mulai memakai baju itu.
Hati Valerie berdenyut nyeri saat melihat keadaan Endra yang jauh dari kata baik. Tangan kiri dan kaki kanannya di-gips. Tangan kanannya terpasang selang infus. Dahinya tertutup perban. Wajahnya penuh memar dan hidungnya terpasang selang oksigen. Di dadanya terpasang kabel yang terhubung dengan monitor untuk melihat detak jantung dan tekanan darah. Melihat Endra mengingatkannya kembali dengan sang ibu yang meninggal di ruang ICU.
Dengan langkah berat, Valerie mendekat tepat di samping ranjang. Kedua tangannya yang gemetar menggenggam telapak tangan Endra yang tidak ikut di-gips. Ia membungkuk, lalu mencium pipi Endra.
“Endra bangun! Ini aku, Valerie. Maafin aku, Ndra! Aku udah bikin kamu kayak gini,” bisik Valerie dengan isakan keras. Namun, Endra masih belum juga merespons. “Maafin aku, Ndra. Aku cinta kamu. Ayo bangun! Jangan tinggalin aku sendirian.”
Pecah sudah tangis Valerie. Ia menumpukan wajahnya pada lengan kiri Endra, menumpahkan air matanya di sana. Sungguh, bukan akhir seperti ini yang ia inginkan. Ia melepas Endra karena begitu mencintai lelaki itu. Ia hanya tak ingin mencintai Endra diiringi luka yang setiap saat bisa mereka rasakan saat berada di dekat orang tua mereka.


Namun, melihat keadaan Endra yang jauh dari kata baik, ia menyesal karena gegabah memutuskan hubungan. Bahkan saat itu, ia sama sekali tidak memberi kesempatan Endra untuk berargumen atau sekadar mengutarakan perasaan terlukanya.
Melihat Valerie menangis di dekat Endra, tentu saja menarik air mata Budi dan Diandra yang berdiri di depan jendela kaca. Tak pernah terbayangkan sebelumnya jika putra-putri mereka harus terjebak dalam hubungan yang rumit seperti sekarang.
Kepala Valerie terangkat, memandang lekat wajah tampan Endra. Diusapnya pelan wajah itu dengan jemarinya. Dimulai dari mata tajam yang terpejam, hidung mancung nan angkuh, bibir penuh dan rahang yang tegas. Tanpa diduga setetes air jatuh dari sudut mata Endra. Valerie tersentak untuk sesaat. Ketika kesadarannya kembali, ia segera berlari keluar ruangan. Tiga Sekawan yang berdiri di dekat pintu langsung terlihat panik. Diandra dan Budi berlari menghampirinya.
“Ada apa, Rie?” tanya Garin.
“Aku lihat Endra nangis.”
Diandra lantas memasuki ruangan. Endra memang menangis. Betapa besar pengaruh Valerie bagi putranya. Dengan cepat, ia memencet tombol darurat hingga beberapa saat kemudian dokter dan suster berlarian memasuki ruangan Endra.
Semua orang berharap-harap cemas menunggu hasil pemeriksaan Endra. Valerie yang sudah berhenti menangis tampak menyandarkan kepalanya di pundak kiri Garin. Sementara, tangan kirinya digenggam erat Juno. Setelah cukup lama menunggu, akhirnya dokter dan suster keluar dari ruangan. Diandra dan Budi mendekat. Valerie dan Tiga Sekawan berdiri bersiap menerima kabar dari dokter. Valerie berharap bahwa dokter akan memberinya kabar baik.
“Dia sudah melewati masa kritis, kesadarannya telah kembali. Namun, dia masih butuh istirahat dan beberapa observasi. Jika kondisinya sudah benar-benar stabil, dia bisa dipindah ke ruang perawatan,” terang dokter yang membuat semua orang bernapas lega.
Valerie dan Tiga Sekawan saling berpelukan menyambut kabar baik akan kondisi Endra. Mereka berharap Endra semakin membaik.
Seseorang mendekat, lalu menyentuh pundak Valerie yang baru saja melepas pelukan dengan Tiga Sekawan. Valerie menoleh dan mendapati sang ayah menatapnya lembut. Ia bergeser tak nyaman menghindari kontak fisik dengan ayahnya.
“Valerie! Ayah ingin bicara. Ayah mohon!” mohon Budi dengan tatapan sayu memandang putrinya.
Valerie terdiam tak tahu harus berbuat apa. Pria tua itu tetaplah ayahnya. Namun, sudah sepuluh tahun ia tidak bertemu dengannya. Sudah sepuluh tahun ia membencinya. Lalu sekarang, dia ingin mengajaknya bicara. Bicara tentang apa? Apakah belum cukup bagi pria tua itu menyakiti ibunya? Apa dia juga berniat menyakitinya dengan menyuruh meninggalkan Endra?
“Bicara soal apa?” tanya Valerie pelan tanpa melihat wajah Budi.
“Semuanya, Sayang. Semuanya,” ucap Budi serak seperti menahan tangis.
Setelah terdiam beberapa lama, Valerie mengangguk.
“Rie!” Garin memegang lengan Valerie seolah mempertanyakan keyakinan gadis itu untuk bicara dengan orang yang paling dibenci.
“Nggak apa-apa, Rin." Valerie tersenyum tipis, hingga membuat Garin melepas lengannya, membiarkan dirinya menyelesaikan masalah keluarga.
Embusan angin di lorong rumah sakit berhasil memainkan helaian rambut Valerie yang tergerai. Dengan perasaan gundah, ia berjalan keluar mengikuti Budi dan Diandra menuju taman.
“Ayah minta maaf. Ayah bersalah padamu dan Ibu.” Ucapan pertama Budi untuk mengawali kecanggungan di antara mereka. Ia mendekat ingin memeluk Valerie, tapi harus kecewa saat Valerie mundur menghindar. “Ayah tahu, kamu pasti marah dan benci dengan Ayah. Tapi, Ayah sangat menyayangimu.”
Valerie masih bergeming, tak berniat membuka mulutnya.
“Mama juga minta maaf, Valerie. Ini semua terjadi karena kesalahanku,” celetuk Diandra sambil menangis
“Dulu, Ayah dan Mama Dian saling mencintai, tapi hubungan kami tidak direstui oleh orang tua Mama Dian. Akhirnya, Mama Dian menikah dengan orang yang dijodohkan dengannya, dan lahirlah Endra. Setelah itu, Ayah menikah dengan ibumu. Saat kamu berusia tiga tahun dan Endra berusia empat tahun, ayah Endra meninggal dunia. Mama Dian putus asa dan hampir mengakhiri hidupnya. Karena itulah, Ayah menikahi Mama Dian untuk mengembalikan semangat hidupnya agar bisa membesarkan Endra yang masih kecil. Ayah bersalah karena waktu itu tidak berpikir panjang, menikahi Mama Dian tanpa memberitahu ibumu terlebih dahulu. Saat aku ingin menjelaskan keadaan yang sebenarnya, Arumi sudah membawamu pergi jauh. Ayah berusaha mencari kalian di semua tempat, tapi tidak menemukan kalian. Ayah minta maaf, Sayang. Ayah mengaku salah. Ayah sudah gagal untuk menjadi ayah yang baik. Ayah benar-benar menyesal. Maafkan Ayah, Nak. Maaf .”
Tubuh Valerie kaku dengan air mata yang sudah mengalir deras di kedua pipi. Jadi, semua cerita itu benar, bahwa sang ayah menikah tanpa sepengatahuan ibunya. Ayah telah mengkhianati ibunya. Kasihan ibunya yang hidup menderita karena telah mencintai pria yang lebih mencintai wanita lain. Ia benci pria tua itu. Ia juga benci dengan wanita itu.
“Kalian tahu kalo Ibu dan aku akan terluka, tapi kalian tetap bersama, ‘kan? Jadi, kenapa sekarang kalian minta maaf?” balas Valerie sambil menangis.
“Mama tahu, Nak. Mama egois meminta ayahmu menikahi Mama.”
“Jangan panggil aku 'Nak'! Aku bukan anakmu!” bentak Valerie. Kedua matanya memerah akibat terkumpulnya emosi dan sakit hati.
“Valerie, jangan marah padanya! Orang yang patut disalahkan itu Ayah. Ayah minta maaf. Kamu boleh memukul Ayah sepuasmu, Nak. Tapi, Ayah mohon. Maafkan Ayah!”
Air mata Valerie sudah menganak sungai di pipi tirusnya. Matanya berkilat marah menatap Budi. “Apa dengan aku mukul Ayah, Ibu akan bangun lagi? Nggak, Yah. Ibu udah meninggal, dan itu semua karena Ayah dan dia.” Telunjuk Valerie mengarah pada Budi dan Diandra bergantian. Persetan dengan kesopanan, ia sudah tak peduli dengan mereka. Yang dipedulikannya hanyalah Endra.
“Ibu itu orang baik, tapi Ayah menyakitinya sepanjang hidupnya. Asal Ayah tahu? Meski Ibu menderita karena Ayah, Ibu selalu bilang padaku, untuk tidak marah, tidak dendam, tidak sedih. Aku tahu, Ibu sengaja bilang padaku agar aku tidak membenci Ayah. Tapi, tetap saja aku benci kalian!” Valerie kembali membentak mereka.
“Maafkan kami, Nak,” ucap Budi setengah memohon. Valerie berdiri tak acuh dengan napas memburu karena marah.
“Aku nggak bisa maafin kalian.”
“Aku mohon, Nak. Ayah akan menebus semua kesalahan Ayah. Kembalilah bersama Ayah, dan tinggallah dengan kami." Budi menggapai tangan Valerie yang langsung ditepisnya.
“Kenapa baru sekarang Ayah memintaku tinggal? Bukankah udah sepuluh tahun Ayah meninggalkanku? Dengan mudah, Ayah dan dia datang padaku, lalu bilang maaf dan memintaku tinggal. Lalu, ke mana saja kalian saat aku dan Ibu menderita, berpindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain? Ke mana saja kalian saat aku terbaring di ruang operasi? Di mana kalian saat aku di-bully karena aku dan ibuku hidup miskin? Lalu, ke mana saja kalian saat aku dan Ibu berbagi makanan agar kami bisa tetap hidup? Ke mana saja kalian saat aku harus bekerja sendiri untuk Ibu yang sakit? Di mana kalian saat ibu mengembuskan napas terakhir? Ada di mana kalian saat aku menangis sendiri karena kepergian Ibu?” Pecah sudah tangis dan amarah Valerie. Budi bahkan langsung terduduk lemas sambil menangis. Sementara, Diandra sudah terisak pilu.
Seolah tak cukup mengeluarkan bisa yang menghunus Budi dan Diandra dengan penyesalan terdalam. Valerie kembali berucap dengan menatap tajam ke arah keduanya.
“Bahkan sekarang, karena kalian aku nggak bisa bersama Endra,” imbuhnya sebelum pergi meninggalkan Budi dan Diandra yang masih menangis di taman.
Langkah Valerie memberat. Ia tidak bisa menjabarkan perasaaanya. Semua rasa bertumpuk jadi satu, hingga sulit untuk diurai. Dari kejauhan, ia melihat Ello yang berdiri melihatnya.
“Kamu baik-baik aja?” tanya Ello saat Valerie mendekat ke arahnya.
Valerie menggeleng. Ello menarik Valerie, memberinya tempat untuk menumpahkan kesedihan. Dengan menggantikan peran Endra, ia memeluk sembari menepuk lembut punggung Valerie yang bergetar karena isakan.
“Jangan ditahan, Rie. Nangis aja kalo itu bisa bikin kamu lega.” Ello ikut terenyuh melihat keadaan Valerie dan Endra sekarang. Bagaimanapun, Endra dan Valerie adalah sahabatnya dan ia begitu menyayangi mereka.
Dengan begitu, jebol sudah pertahanan Valerie. Air matanya mengalir deras seiring nyeri yang kian berdenyut di dalam hati. Demi Tuhan, ia masih berusia tujuh belas tahun sekarang. Namun, kenapa ia harus dipaksa menerima cobaan bertubi sesakit ini? Tidak bisakah ia bahagia dan menjalani kehidupan normal selayaknya remaja lain tanpa ada luka, tanpa beban, dan tanpa sakit hati?
'Kenapa harus seperti ini, Tuhan?'
Puas berlamentasi, Valerie melepaskan diri. Kedua tangan mengusap kasar wajahnya yang basah. Ia pikir air matanya sudah mengering seiring duka yang selalu diterimanya. Namun, nyatanya ia masih saja menangis dan ia benci itu. Ia membenci dirinya yang begitu rapuh.
“Endra gimana?” tanya Valerie serak. Efek terlalu banyak menangis.
“Dia udah sadar. Sekarang, lagi sama Juno dan Garin.”
“Terima kasih, El, udah minjemin dada kamu.”
Ello tersenyum. “Anytime, kalo kamu butuh tempat buat nangis. Aku selalu siap.”
Sudut bibir Valerie terangkat. Ucapan Ello sedikit membuatnya terhibur.
“Mau liat Endra, nggak? Tadi, dia nyari kamu.”
“Dengan muka kayak gini, apa Endra masih mau ketemu aku?”
“Astaga, Rie, meski muka kamu cemong semua. Endra bakalan tetap cinta mati sama kamu."
Pukulan Valerie mendarat di lengan Ello. Sebuah usaha untuk menutupi malunya dari lelaki berwajah khas Asia Timur itu.
Ello tak marah. Justru ia terkekeh mendapati gadis di depannya yang sedang salah tingkah. "Hehehe ... kamu itu cantik, Rie, nggak heran kalo Endra bisa posesif banget sama kamu. Tahu nggak? Sampe sekarang aja kadang aku, Garin, dan Juno masih belum percaya kalo dia yang cueknya minta ampun bisa takluk sama kamu.”
Lagi, ucapan Ello membuat Valerie malu sekaligus senang. Jangankan Tiga Sekawan, dirinya saja kadang masih sukar percaya bisa bersama dengan Endra. Bahagia? Jelas ia sangat bahagia. Sebelum kenyataan pahit memporak-porandakan hatinya.
Helaan napas panjang dilakukan Valerie untuk menahan emosinya agar tidak meluap lagi. Dirasa cukup, ia mengikuti langkah Ello memasuki lorong rumah sakit menuju ruang perawatan Endra.

♥♥♥

Bibir Endra mengulas senyum tipis melihat Valerie berdiri di depannya. Kehadiran Valerie menjadi penawar sakit paling ampuh. Hanya dengan melihat wajah sembap gadisnya, ia sudah senang bukan main.
“Katanya jago bawa motor, tapi kenapa bisa luka kayak ini?” Valerie memukul pelan dada Endra, hingga lelaki tampan itu meringis.
“Aku udah terluka dan kamu masih tega mukul aku.”
Tanpa Endra duga, Valerie memeluknya yang masih terbaring lemah.
“Jangan pernah ngelakuin ini lagi. Aku nggak mau lihat kamu terluka,” bisik Valerie membuat dada Endra membuncah bahagia. Valerie masih menaruh perhatian padanya. Dengan tersenyum tipis, ia mengangguk sambil mengusap punggung gadisnya menggunakan kanan yang terinfus. Pelukan itu berlangsung lama. Valerie baru melepasnya setelah mendengar dehaman Garin.
“Ehem, yaelah yang lagi kasmaran, sampai nggak sadar ada orang di sini." Garin mengerling jail, hingga wajah Valerie tersipu.
“Gimana tadi waktu ngobrol sama ayahmu?” celetuk Juno, hingga membuat Endra tersentak.
“Kamu udah bicara dengannya?” Endra bertanya cepat.
Valerie mengangguk. “Aku juga udah bicara dengan mamamu.”
Mata Endra membulat tak percaya. Ada kecemasan dalam manik cokelat miliknya. Apakah Valerie baik-baik saja?
“Aku baik-baik aja." Valerie seolah bisa membaca pikiran Endra. “Aku lega udah ngeluarin semua perasaanku yang terpendam selama sepuluh tahun terakhir. Dulu, kamu pernah tanya, apa aku akan maafin ayah? Ternyata aku masih belum bisa maafin dia,” lirih Valerie bersamaan dengan pintu kamar Endra yang terbuka. Budi dan Diandra masuk dengan wajah sendu sehabis menangis.
“Aku pulang dulu, ya, Ndra,” pamit Valerie yang tak nyaman jika harus berada di dekat ayah dan istrinya.
Endra menahan tangan Valerie dan menggenggamnya erat. “Jangan pergi, Rie! Di sini aja sama aku.”
Meski suara Endra masih lemah, tapi Valerie bisa mendengar nada emosi di dalamnya. Ia tersenyum, lalu kembali bersuara. “Udah malam, aku harus pulang. Besok, aku ke sini lagi,” bujuknya.
“Janji?” tanya Endra yang direspons anggukan oleh Valerie.
“Ayah akan mengantarmu pulang, Sayang.” Budi berkata sambil berjalan mendekati ranjang Endra.
Valerie menggeleng. “Nggak perlu, aku pulang bareng Tiga Sekawan,” tolaknya.
Tiga Sekawan berpamitan pada Budi dan Diandra. Sementara, Valerie justru keluar ruangan lebih dulu tanpa menoleh sedikit pun pada Budi dan Diandra yang melihatnya dengan tatapan sedih.
Selepas kepulangan Valerie dan sahabatnya, Endra langsung memejamkan mata. Bersikap sama seperti Valerie, yakni menghindari Diandra dan Budi.
Valerie melihat ke luar kaca mobil, mengamati kelebatan gedung-gedung dengan lampu yang berpendar indah. Akan seperti apa hubungannya dengan Endra nanti? Ia sadar masih ada rasa yang mengikat hatinya dan Endra. Tak hanya cinta, tapi juga pertalian keluarga. Endra adalah kakak tirinya. Ia adalah adik tiri Endra. Apakah dengan hubungan rumit seperti itu cinta mereka bisa terikat sempurna?
“Gimana perasaanmu sekarang?” Juno bertanya sembari menoleh ke jok belakang di mana Valerie duduk bersama Garin.
Tersadar dari lamunan, Valerie mengerjap sesaat, kemudian menggeleng pelan. “Sakit.”
“Terus kelanjutan hubungan kamu dan Endra?” Giliran Garin yang bertanya. Tatapannya mengarah sepenuhnya pada Valerie yang kebetulan duduk di sebelah kiri. Sementara, Valerie hanya mengedikkan bahu.
“Setiap masalah pasti ada jalan keluar.” Ello mencoba berpendapat.
“Nggak ada jalan keluar untuk aku dan Endra selama kita bersaudara,” sahut Valerie serak menahan tangis.
Kepalanya menoleh pada Garin. “Rin, boleh aku pinjam bahu kamu?”
Tanpa menjawab, tangan kiri Garin menarik kepala Valerie dan menyandarkannya di pundak.
“Kenapa mencintai seseorang bisa sesakit ini?”
Itulah ucapan terakhir Valerie sebelum akhirnya menangis di bahu Garin.

Tbc

Pati, 20 September 2019

Biodata:

Penulis lahir di Malang, tapi sekarang menetap di Pati. Bercita-cita ingin menerbitkan novel solo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.