Part 11 Panti
Asuhan
Oleh: Isdamaya Seka
Halimah mengerjapkan mata. Berusaha untuk dapat
melihat dengan jelas. Sakit kepala berangsur hilang, meski masih terasa berat.
"Halimah, kamu sudah sadar? Alhamdulillah
...."
Sayup-sayup ia mendengar suara sahabatnya.
"Fatia ... ini di Rumah Sakit?" tanyanya
ketika kesadaran telah kembali seluruhnya.
"Iya, Mah."
Halimah diperbolehkan keluar dari rumah sakit karena
ia berkata tidak ada keluhan apapun dalam dirinya. Gadia itu menolak untuk
dilakukan pemeriksaan lanjutan.
"Mah, kamu sebenarnya sakit apa? Kenapa sering
sekali sakit kepala?" tanya Fatia selagi mereka menunggu bus tiba.
"Cuma sakit kepala biasa, Fat. Mungkin kurang
tidur."
"Tapi itu terlalu sering, Mah. Sebaiknya kamu
periksa lebih lanjut agar tahu sebab dari sakit kepala yang hampir tiap hari
datang."
"Jangan khawatir, Fat. Ini cuma sakit kepala
biasa."
Tak seperti biasa, kali ini kedua sahabat itu saling
diam. Mereka larut dalam pikiran masing-masing. Hingga bus yang mereka tunggu
akhirnya datang.
***
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam, baru pulang, Mah?"
"Iya, Ammah." Halimah mencium punggung
tangan Bu Piana.
"Wajahmu pucat sekali? Kamu sakit?" tanya Bu
Piana panik. Menempelkan Telapak tangannya di kening Halimah.
"Tidak, Ammah. Halimah sehat-sehat. Mungkin
kurang tidur saja, jadi agak pucat."
"Ya sudah, sana istirahat."
"Ammah bikin kue untuk anak panti?" tanya
Halimah yang mencium aroma kue dari dapur.
"Iya. Kamu di rumah saja, istirahat. Jangan ikut
ke panti."
"Halimat sehat, Ammah. Halimah rindu sama
anak-anak."
"Ya sudah, tidur dulu. Nanti pukul lima ammah
bangunkan."
Halimah menuju kamarnya. Tempat ia melepas lelah.
Tempat ternyaman untuk mengadu pada Yang Kuasa.
Ia merebahkan tubuh di kasur. Memijit-mijit pelan kening
hingga kepala. Sakit yang biasa menyerang, namun nyaris tak pernah ia hiraukan.
Ia tak pernah ambil pusing dengan sakit kepala yang
sering ia rasakan. Baginya itu hanya sakit biasa. Cukup dengan istirahat maka
akan pulih kembali. Namun siang tadi, ia merasakan sakit yang teramat sangat.
'Semoga segera pulih. Jangan ada penyakit apapun. Berilah
hamba kesembuhan dengan kesembuhan yang baik, Ya Rabb ....' Doa Halimah dalam
hati sebelum akhirnya terlelap.
***
Riuh tawa anak-anak panti menyatu dengan kicau burung yang
terbang kembali ke sarang. Suasana ceria yang tak pernah ingin ia lewatkan.
Memandang wajah-wajah lugu anak-anak tak berdosa. Yang tak dapat memilih takdir
hidup tanpa orang tua.
Halimah bersyukur atas segala yang Dia berikan
padanya. Orang tua yang begitu menyayangi tanpa celah. Meski kini telah tiada,
namun ada dua orang yang mampu memberikan kasih sayang layaknya orang tua.
Ustaz Hanafi dan Bu Piana, betapa ia menyayangi mereka.
Tiap akhir pekan Halimah menyempatkan datang ke panti
bersama Bu Piana, ataupun Fatia. Menceritakan berbagai kisah para sahabat
Rasulullah, juga memberi beberapa makanan untuk mereka. Tawa anak-anak malang
itu adalah suplemen bagi hatinya. Agar ia selalu merasa bersyukur atas apa yang
Allah berikan.
"Kak, hari ini mau cerita tentang siapa?"
tanya seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun.
"Kakak mau cerita tentang tamu istimewa
Rasulullah. Ada yang tahu?" tanya Halimah pada anak-anak.
Anak-anak itu saling berpandangan, kemudian
menggeleng.
"Nah, dengarkan, ya ...." Halimah mulai
bercerita. "Suatu hari, ketika Rasulullah sedang duduk bersama para
sahabat, datanglah seorang lelaki dengan pakaian yang sangat bagus. Kemudian
lelaki itu meminta izin untuk menghadap Rasulullah. Kemudian ia bertanya pada
Rasulullah tentang Islam. Nah ... siapa yang bisa menjelaskan apa itu
Islam?" tanya Halimah pada anak-anak.
Beberapa anak dari mereka berebut untuk menjawab.
Halimah memilih satu di antaranya. Seorang gadis kecil berusia lima tahun,
dengan jilbab merah muda.
"Islam itu mengucap syahadat, salat, puasa,
zakat, dan naik haji, Kak," jawabnya dengan semangat.
"Pintar kamu, Sayang." Halimah membelai
lembut kepala anak itu. Kemudian mengeluarkan sebuah buku tulis baru dari dalam
tasnya, dan memberikan kepada sang anak.
Ia selalu menyiapkan hadiah-hadiah kecil bagi
anak-anak panti. Sebuah hadiah yang tak bernilai bagi sebagian orang. Namun
sangat berarti dan dapat menciptakan senyuman di wajah anak-anak yatim tersebut
"Kemudian tamu lelaki itu bertanya lagi pada
Rasulullah tentang iman," Halimah melanjutkan ceritanya, "siapa yang
tahu apa itu iman?"
Anak-anak kembali mengangkat tangan. Halimah menunjuk
seorang di antaranya.
"Iman itu percaya pada Allah, malaikat, kitab,
Rasul, kiamat, takdir."
"Yeeiy ... kamu pintar!" puji Halimah seraya
memberikan sebuah buku tulis baru.
"Setelah itu, sang tamu bertanya untuk yang
terakhir kali pada Rasulullah. Ia bertanya tentang ihsan. Siapa yang tahu apa
itu ihsan?"
Tak banyak anak yang mengangkat tangannya. Halimah
memilih yang tercepat.
"Ihsan itu ... kita beribadah seolah kita melihat
Allah, Kak, meskipun kita tidak melihat-Nya. Sesungguhnya Allah melihat
kita," jawabnya.
"Masyaa Allah ... barakallah, Dik."
Anak itu pun menerima hadiah dengan senang hati.
"Setelah bertanya pada Rasulullah tentang Islam,
iman, juga ihsan, tamu itu pergi. Lalu Rasulullah bertanya pada para
sahabatnya, siapakah tamu laki-laki tadi?" Halimah bertanya pada
anak-anak. Mereka saling berbisik, namun tidak ada yang menjawab dengan keras.
"Tidak ada yang tahu?" tanya Halimah. Semua
menggeleng.
"Nah, tamu yang datang tadi adalah malaikat
Jibril. Yang diutus oleh Allah untuk mengajarkan agama," jelas Halimah.
Tanpa terasa, matahari mulai kembali ke peraduannya.
Halimah dan Bu Piana meminta izin pada anak-anak dan pengurus panti untuk
pulang. Meninggalkan anak-anak yang selalu menyambutnya dengan suka cita.
***
'Ting!' Sebuah notifikasi masuk ke ponsel Halimah
sebelum ia memejamkan mata. Memeriksa sebentar pesan yang masuk melalui sebuah
aplikasi.
[Assalamualaikum ... Halimah, sudah tidur? Aku minta
maaf kalau siang tadi membuat suasana jadi kaku. Aku cuma mengkhawatirkanmu.]
Sebuah pesan dari Fatia.
[Wa'alaikumussalam, tidak apa, Fat. Aku tidak marah
sama sekali. Maaf juga jadi membuatmu merasa bersalah.]
Balasan dari Halimah terkirim. Bertanda centang dua
berwarna biru.
[Makasih, Mah. Syafakillah. Oh ya, belum tidur?]
[Belum. Kamu belum tidur, Fat?]
[Belum. Ini lagi duduk sama Mas Khalid.]
Membaca nama 'Mas Khalid', Halimah langsung teringat
tawaran sahabatnya untuk menikah dengan lelaki itu. Ia menghela.
[Oh. Ya sudah, aku tidur duluan, Fat.
Assalamualaikum.]
[Wa'alaikumussalam.]
Rasa kantuk yang mendera Halimah mendadak hilang. Ia
mengambil mukena dan melakukan salat istikharah. Kembali meminta petunjuk pada
Allah.
***
Seorang pemuda tampan beriris cokelat berdiri di
balkon. Menatap bintang yang bertaburan menghiasi pekatnya langit malam. Ia
menadaburkan penciptaan langit dari surah
Al Mulk yang baru saja
dibaca.
"Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang
dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat
pelempar setan, dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang
menyala-nyala." Lirih Imran melafalkan arti dari surah Al Mulk ayat 5.
"Ternyata, bintang yang indah itu memiliki fungsi
lain selain menghiasi langit," gumamnya.
"Allah tidak menciptakan segala sesuatu dengan
sia-sia."
Halimah ... entah kenapa nama itu tiba-tiba melintas
di benaknya. Ia sedang mentadaburi ciptaan Allah. Namun malah gadis itu lagi
yang ia bayangkan.
'Ah, bukankah Halimah juga ciptaan Allah?' batinnya.
"Kenapa Halimah lagi yang terus muncul, Ya
Allah?"
Imran frustasi atas perasaannya sendiri. Ia merasa
harus segera yakin dan memantapkan hatinya. Haruskah ia kembali melamar
Halimah?
Biodata
Seorang ibu rumah tangga dengan dua orang putra.
Memiliki harapan agar kisah yang dituliskan bisa menjadi karya yang inspiratif
dan menarik.