Gambar dari Pixabay |
Ketika
Puntung Bertemu Slogan
Oleh: Rainy Venesiia
Hari ini udara
kota sangat panas. Bukan saja karena terik matahari, tapi juga karena bara
malam tadi di hutan yang hampir gundul. Kobaran api di lereng gunung sudah
padam sejak lima jam yang lalu. Namun, nyala api di depan Kantor Bupati masih
tergambar jelas di wajah-wajah bercucuran keringat. Kemarahan tersulut, tepat
saat berita terbakarnya hutan mulai menyebar.
Mang Tarya
keluar dari kerumunan. Langkahnya gontai menghampiri gerobak es cendol. Lalu
duduk di tepi trotoar sambil mengibaskan topi hitam yang warnanya sudah pudar.
Matanya terpicing menatap seorang pemuda bersemangat sedang menyampaikan orasi.
Entah dia mengerti atau tidak, pun sebagian besar orang-orang itu.
"Ini,
Kang."
Tukang es
cendol menyerahkan satu gelas jangkung berisi bulir-bulir hijau dengan campuran
santan dan gula jawa. Tak membutuhkan waktu lama bagi Mang Tarya untuk
menghabiskan minuman dingin tersebut. Mungkin karena terlampau kehausan. Sejak
hampir tiga jam berdiri dan berteriak-teriak memgeluarkan yel-yel, hanya satu
botol air mineral yang dia dapat dari panitia.
Lelaki empat
puluh tahunan itu merogoh saku celana. Kini, perutnya pun mulai menagih minta
diisi. Beruntung masih ada lembaran sepuluh ribu. Cukup untuk membeli beberapa
gorengan sebagai pengganjal perut. Sisanya tentu saja untuk ongkos pulang.
"Jam
berapa, Sep?" tanyanya pada seorang pemuda yang baru duduk di samping.
"Jam satu,
Mang. Kenapa?"
"Mamang
mau pulang aja. Belum nyari kayu bakar."
"Bentar
lagi, Mang. Lagian nyari kayu gimana, kan hutannya kebakaran," sahut Usep,
pemuda yang katanya aktif di bidang lingkungan.
"Tapi,
Sep, kan justru kayunya pasti banyak setelah kebakaran." Mang Tarya
menatap pemuda dua puluh empat tahun tersebut.
"Sebentar
lagilah, Mang." Usep menepuk pundak Mang Tarya.
Usep adalah
seorang pemuda yang dikenal aktif di berbagai kegiatan. Mahasiswa semester
akhir ini, katanya sedang giat menggalakan beberapa program berkenaan dengan
lingkungan. Namun, tak ada yang tahu pasti jenis kegiatan yang sedang dia
geluti. Termasuk keluarganya sendiri. Hanya saja, beberapa hari ini rumahnya
sering dikunjungi orang-orang tak dikenal.
Usep pula yang
mengajak Mang Tarya dan beberapa warga kampung di lereng gunung untuk ikut
dalam aksi ini. Dia membujuk mereka dengan dalih demi kesejahteraan di masa
depan. Pemuda itu menjelaskan bahwa sering terbakarnya hutan karena unsur
sengaja. Para pengusaha dan oknum pejabat berusaha mengambil alih fungsi lahan
yang sangat penting bagi kehidupan seluruh makhluk. Mereka ingin menjadikan
lereng gunung sebagai perumahan elit. Tentu saja perumahan itu nanti akan
sangat mahal. Sulit dijangkau oleh orang-orang seperti Mang Tarya.
Sebenarnya,
Mang Tarya tak peduli dengan urusan perumahan tersebut. Dia juga tak terlalu
paham dengan perihal kegunaan hutan, hingga harus dipertahankan. Bahkan menjadi
agenda wajib dalam pemeliharaannya. Lelaki yang hanya menikmati bangku sekolah
dasar itu, hanya sanggup berpikir sederhana. Sesederhana keinginannya untuk
bisa mengisi perut anak istri tiap hari.
Dalam benaknya
hanya ada satu hal yang mampu dimengerti. Andai hutan dijadikan perumahan,
pastinya dia kehilangan tempat mencari kayu bakar untuk dijual. Jika tak bisa
menjual kayu bakar, artinya dia tak bisa membeli beras dan sedikit lauk pauk.
Juga tak bisa memberi uang saku untuk anak-anaknya sekolah.
Itulah
satu-satunya alasan yang mendorong Mang Tarya mau mengikuti ajakan Usep. Dia
tak ingin kehilangan sumber penghasilan. Selebihnya, dia tak mengerti sama
sekali. Bahkan ketika dia disuruh meneriakkan beberapa kalimat pun, dia tak
paham. Dia hanya tahu, saat ini dirinya sedang mempertahankan kehidupan
sehari-hari.
Mang Tarya
mengambil sebatang rokok yang disodorkan Usep. Meskipun timbul beberapa
pertanyaan di kepala, tak urung tetap disulutnya rokok tersebut. Selanjutnya
kepulan asap mulai bermain di depan wajah lalu naik dan hilang tertiup angin.
"Katanya
demo menjaga kelestarian hutan sebagai paru-paru dunia, lah ini asap rokok di
mana-mana," celetuk tukang cendol di samping Mang Tarya.
Entah terdengar
atau tidak oleh Mang Tarya. Pandangannya lurus menerobos kerumunan, melewati
bangunan dan jalan. Mata hatinya melihat dua anaknya sedang merajuk minta jajan
dan beberapa mainan. Kedua bocah SD itu berceloteh tentang piknik liburan
sekolah. Lalu terbayang pula istrinya sedang membuka tutup wadah beras. Suara
klontang terdengar menyayat hati.
Mang Tarya
menghela napas. Sedikit penyesalan melanda jiwa. Namun, segera pupus ketika
mengingat janji Usep tadi pagi. Dia menoleh pada
Usep yang anteng dengan ponselnya. Segera disusun kata-kata. Sayangnya, pemuda
itu terlalu asyik hingga luput pada isyarat di samping. Mang Tarya mengurungkan
niatnya.
"Hayu,
Mang," ajak Usep sambil berdiri. Lalu berjalan menuju kerumunan dan
bergabung dengan kawan-kawannya.
Kerumunan mulai
bergerak bubar. Mang Tarya celingukan mencari sosok Usep. Dia sudah yakin ingin
meminta janji pada pemuda itu, meski tetap ada rasa sungkan. Demi anak istri,
mereka tetap butuh makan. Namun, dilihatnya pemuda itu naik mobil yang baru
datang. Mungkin sengaja menjemputnya.
Mang Tarya
berjalan gontai menuju jalan simpang. Dari sana naik angkut menuju ujung desa,
lalu kembali melanjutkan perjalanan menuju rumah dengan jalan kaki.
"Katanya
dilarang nyari kayu bakar lagi mulai sekarang. Hutan akan ditutup," kata
sang istri sambil meletakkan satu mug penuh teh tawar panas.
"Kata
siapa?" tanya Mang Tarya datar. Wajahnya masih menyimpan rasa lelah.
"Pak RT."
"Kapan?"
"Tadi
siang."
Sebuah gumaman
mengakhiri bincang mereka menyambut Magrib. Dua anak usia sepuluh dan dua belas
tahun berebutan masuk rumah. Setelah mengambil buku dan pamit, keduanya kembali
berlomba ke luar menuju masjid. Mang Tarya menatap mereka dengan segenap
perasaan was-was. Takut tak bisa menjalankan amanat yang Tuhan titipkan.
"Beras
sudah habis, Pak." Istrinya duduk sambil memijit kaki. Mungkin lelah
setelah berusaha mencari daun pisang seharian. Hasil menjual daun, lumayan
untuk membantu biaya sekolah putra-putri mereka.
"Hari ini
hasil daunku sedikit. Pohon-pohon pisang banyak yang kering," lanjutnya lagi.
"Maafkan
aku, Yoh."
Hanya itu yang
keluar dari bibir Mang Tarya. Lalu tangannya meraih mug berisi teh yang masih
panas. Helaan napas mengiringi seruput terakhirnya. Kemudian lelaki itu bangkit
kala azan Magrib terdengar.
Keesokan
harinya, Mang Tarya dikejutkan oleh pengumuman melalui pengeras suara. Bergegas
dia menuju pinggir hutan. Ternyata sudah banyak orang di sana, termasuk ketua
kampung dan beberapa tokoh masyarakat. Bukan itu saja, beberapa aparat dan
pejabat daerah hadir di sana. Mata Mang Tarya tertumbuk pada sekelompok pemuda
berseragam cokelat. Tak ada Usep di sana. Juga yang lainnya, tak ada yang
dikenali. Mereka orang-orang yang berbeda dengan kemarin.
Mang Tarya
terdiam. Pidato wakil bupati tentang penebangan liar, sedikit melukai hatinya.
Sungguh dia tak pernah melakukan hal itu. Dia hanya mengambil ranting-ranting
kering dan batang kayu yang memang sudah tergeletak. Tak pernah sekali pun
tangan legamnya menebang pohon yang masih kokoh berdiri. Meskipun dia tak
begitu paham tentang fungsi hutan, sejauh ini dia masih menghargai
keberadaannya sebagai tempat mencari nafkah. Tak mungkin baginya
menghilangkan
sumber mata pencaharian.
sumber mata pencaharian.
Mang Tarya
tengadah. Kali ini matanya mengeja huruf-huruf yang tertulis di spanduk. Ajakan
tentang gerakan penghijauan dan pelestarian hutan. Di bawahnya juga tertulis
sebuah perusahaan rokok sebagai sponsor utama.
Bandung, 22 Agustus 2019
Biodata:
Penulis adalah seorang
ibu rumah tangga yang berusaha menggunakan waktu luangnya untuk belajar
menulis. Berharap ada kebaikan di setiap goresan pena yang dihasilkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.