Jumat, 09 Agustus 2019

#Kamis_Cerpen - Perlintasan Cerita - Rainy Venesiia - Sastra Indonesia Org




Gambar oleh Suliestya Ummu Fillah

Perlintasan Cerita

Aku berlari menuju stasiun, sesekali melihat jam di pergelangan tangan kiri. Tujuh menit lagi kereta datang, lalu lima menit kemudian akan segera pergi. Tidak! Aku tidak boleh terlambat. Meskipun tak akan kesiangan jika naik kereta berikutnya, tapi aku harus naik kereta itu! Kereta no. 395.
Akhirnya aku berhasil menerobos kerumunan di pintu masuk. Lalu, sambil terengah membeli tiket seharga lima ribu rupiah, sangat murah dibandingkan tiga kali naik angkot dan terjebak macet. Kasir cantik sebayaku tersenyum penuh pengertian. Gerakannya cepat membuat hati ini lega.
Bagai anak panah, aku melesat menuju pemeriksaan tiket.
"Telat ya, Neng?" tanya Pak Arif, petugas yang hampir tiap hari bertemu. Tangannya memberi isyarat pada rekan yang bersiap meniup peluit, sebuah instrumen khas pengantar keberangkatan kereta.
Aku berlari setelah melakukan tos dengan Mas Agung yang berdiri di peron. Dengan rok sedikit terangkat, meloncat ke pintu kereta. Kuacungkan jempol pada sepupuku itu, isyarat aku sudah aman. Peluit berbunyi dan laju KRD Bandung Raya membuatku lega.
Aku menyisiri bangku-bangku yang belum penuh. Namun, aku melewatkan semua kursi kosong. Bagi sebagian orang pukul 06.10 mungkin masih bersembunyi di balik selimut. Tak heran, jika sebagian besar penghuni kereta menikmati perjalanan dengan melanjutkan mimpinya yang tertunda.
Aha ... akhirnya menemukan kursi yang kucari. Di depannya duduk seorang laki-laki yang berbeda. Wajah cerah dan matanya yang teduh, terkesan segar, juga menyenangkan. Model rambut ala tokoh utama pria dalam drama korea "Descendent of The Sun" membuatnya tampak keren. 
"Assalamu'alaikum," sapaku sambil duduk, merapat ke jendela.
Dia menjawab salam. Lalu tersenyum.
"Telat lagi," katanya kemudian.
Ah, dia memang mengagumkan. Tepatnya telah mencuri hatiku sejak lama. Mungkin sejak dia bercerita tentang banyak hal. Tentang kisah-kisah unik yang pernah ditemuinya. Kadang tentang pro kontra sebuah kasus yang sedang hangat di media sosial. Pernah juga bercerita tentang dongeng atau kisah fiksi menarik yang pernah dia baca. Lalu cerita akan diakhiri dengan pertanyaan tentang pendapatku.
Setengah jam perjalanan yang kulalui tiap pagi, menjadi terisi oleh pengalaman. Lebih dari itu, hati ini pun perlahan dan pasti juga disiram sesuatu yang menggebu. Sebuah rasa yang sebelumnya tak kutahu.
Kebersamaan yang terjalin setiap 30 menit, membuatku bersemangat saat bangun subuh. Rasa engga:n menyentuh dinginnya air, tersapu rindu ingin segera bertemu. Sarapan alakadarnya terasa spesial karena dibumbui emosi yang menarik, emosi yang akan redam setelah mendengar suara seseorang.
Namun, rasa itu sirna dalam sekejap. Terusir oleh sakit bercampur cemburu. Perih tiba-tiba hadir sesaat setelah menatap jejak kenyataan yang terpampang di depan mata.
Mungkin dia tergesa, hingga tak menyadari sesuatu terjatuh dari saku celana. Aku segera mengambil dan membuka benda kecil berwarna hitam tersebut. Seketika, hati terasa rapuh manakala menatap wajah cantik terbingkai jilbab hijau dalam foto yang terselip. Bukankah dia tak punya saudara perempuan?
Kakiku mendadak lemas saat turun di stasiun Bandung. Bahkan senyum yang kutebar pada petugas di pintu keluar kini hilang.

♦♦♦

Pagi ini aku tidak terlambat. Kereta belum tiba saat tiket sudah diperiksa Pak Arif. Dahinya berkerut saat suara riangku tak terdengar. Mas Agung merasa heran melihat wajahku penuh awan kelabu, bahkan lupa tos dengannya. 
Saat masuk gerbong aku tetap mencari sosok yang kucintai diam-diam. Tentu saja dompet itu harus kukembalikan. Tak seperti biasa, kali ini aku mencarinya tanpa semangat, tak ada harapan. Keinginan untuk mencuri-curi pandang saat dia bercerita lenyap begitu saja.
Entah hanya perasaan saja yang melihat dia semringah menyambut kedatanganku. Seperti biasa aku mengucap salam dan duduk di hadapannya. Tak menunggu lama, dompet itu kembali ke pemilik.
Dia menatapku sesaat. Lalu tersenyum membuka dompet.
"Gak ada yang hilang kan?" tanyaku memastikan.
"Ada." Dia kembali menatap, wajahnya tegang. Namun, lebih tegang lagi hatiku.
"Serius?”
"Hatimu." Dia tersenyum penuh kemenangan. " Kau sudah melihat fotonya kan?" Dia menatap dompet lalu menyimpannya dalam saku celana.
"Calon?" Suaraku bergetar. Berharap dia tak mendengar nada getir dalam intonasi rendah, tapi nyatanya salah.
Raut mukanya berubah. Dia memalingkan wajah ke jendela saat harus bersitatap. Mungkin menikmati sawah-sawah yang sedang digarap petani atau melihat kumpulan burung kuntul putih yang menari.
Suara besi beradu bergemuruh, meredam gejolak dalam dada. Sungguh, aku benci pada diri yang menunggu jawabannya sesuai harap
Aku merasakan hangat yang menjalari pipi, tanpa menoleh aku tahu dia sedang memandangku lama. 
"Apa kau akan mencariku dalam kereta ini tiap hari?"
Deg! Pertanyaan itu tak mampu kujawab. Aku melewatkan satu hal selama hampir enam bulan mengejar kereta sepagi ini. Dia tahu segalanya. Pipi yang basah segera kuhapus dengan ujung kerudung. Ah, aku memang cengeng, terlalu melankolis. 
"Punya kertas?" tanyanya setelah cukup lama terdiam. 
Aku mengamati tangannya yang lincah menarikan pulpen. Setelah selesai dia menyerahkannya padaku. Sebuah alamat tertulis lengkap.
"Maaf, undangan yang kusiapkan tertinggal tadi," katanya pelan.
Entah memang benar atau sekadar basa-basi. Aku tak peduli. Kini aku harus mati-matian membunuh rasa yang tumbuh tanpa sengaja.

♦♦♦

Hari ini, aku menyambut lokomotif tanpa asa. Juga tak peduli tatapan heran dari orang yang kukenal. Mungkin, mereka melihatku berubah jadi sosok yang aneh. Tanpa senyum apalagi tawa. Hanya sekadar sapa biasa. 
Aku duduk di peron, sendiri di antara ramainya lalu lalang banyak orang. Mas Agung tiba-tiba duduk di samping. 
"Udah seminggu adikku kehilangan gairah. Kenapa, Neng?" Dia menyodorkan permen loli. Aku menggeleng. 
"Oh, aku tahu. Karena tak ada pangeran tampan.” Mas Agung terkekeh.
"Apaan sih?" Kusembunyikan pipi yang merona.
"Mas Agung tahu karena seseorang mencarimu." Tangannya terulur, sebuah kado membuat keningku berkerut.
"Siapa?" tanyaku tak mengerti.
"Dia nitip ini untukmu."
Aku segera membuka bungkusan dengan motif batik warna biru tua. Sebuah buku cukup tebal dengan tulisan tangan yang rapi. 
Cukup melihat kalimat singkat di awal, aku tahu bahwa dia adalah sosok yang menghilang sejak seminggu.

♦♦♦

Waktu belum mampu menghapus jejak kisah singkat tentang dia. Namun, garis tangan membawaku kembali padanya.
Aku menatap wajah pengantin wanita sambil mencoba mengingat di mana raut itu pernah kutemui. Teni menggamit lengan, terus membawa langkah menuju deretan menu yang menggugah selera.
"Ten, pengantin wanita itu namanya Aida kan?”
"Iya, emang kenapa?" Teni terlihat anteng menikmati mie kocok Bandung. 
"Kupikir dia sudah menikah setahun lalu, dengan temanku." Aku menatapnya serius.


"Hmm ... iya sih, dulu dia mau nikah, tapi pengantin prianya kecelakaan saat di jalan. Dia dan rombongan tak ada yang selamat di lintasan rel kereta." Teni bercerita tanpa beban. Mengalir begitu saja.
Hampir saja gelas di tanganku terjatuh. Aku menatap ke arah pelaminan. Memori tentang sebuah cinta sepanjang rel kereta kembali menggila.
Sampai di rumah, aku membaca kembali rangkaian kata yang tertulis dalam buku bersampul biru. Satu-satunya kenangan tentang cinta pertama. Kisah dua hati yang bertemu di saat tak tepat.
Hari ini, aku merasa rindu berangkat sangat pagi. Menunggu kereta itu lewat, membuat jantung berdetak tak karuan. Hati melonjak kegirangan ketika suara merdu mengumumkan kedatangannya. Detak jantung semakin liar, sulit dikendalikan, ketika suara deru roda beradu rel samar terdengar. Namun, hatiku kecewa membaca angka 397 di lokomotif. Mas Agung mendekat, mengerti keheranan yang terpapar dari wajah ceria. Katanya kereta itu berada di lansiran untuk perbaikan. Sejak menabrak rombongan pengantin, ular besi itu gagal beroperasi.


Bandung, 5 Mei 2019


Biodata:




Rainy Venesiia lahir di Garut bulan Desember. Sekarang tinggal di Bandung bersama keluarga kecilnya. Dia sangat suka pada literasi, dan mulai belajar menulis sejak awal tahun 2019.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.