Gambar oleh Suliestya Ummu Fillah |
Perlintasan
Cerita
Oleh: Rainy
Venesiia
Aku berlari menuju stasiun, sesekali
melihat jam di pergelangan tangan kiri. Tujuh menit lagi kereta datang, lalu
lima menit kemudian akan segera pergi. Tidak! Aku tidak boleh terlambat.
Meskipun tak akan kesiangan jika naik kereta berikutnya, tapi aku harus naik
kereta itu! Kereta no. 395.
Akhirnya aku berhasil menerobos
kerumunan di pintu masuk. Lalu, sambil terengah membeli tiket seharga lima ribu
rupiah, sangat murah dibandingkan tiga kali naik angkot dan terjebak macet.
Kasir cantik sebayaku tersenyum penuh pengertian. Gerakannya cepat membuat hati
ini lega.
Bagai anak panah, aku melesat menuju
pemeriksaan tiket.
"Telat ya, Neng?" tanya Pak
Arif, petugas yang hampir tiap hari bertemu. Tangannya memberi isyarat pada
rekan yang bersiap meniup peluit, sebuah instrumen khas pengantar keberangkatan
kereta.
Aku berlari setelah melakukan tos
dengan Mas Agung yang berdiri di peron. Dengan rok sedikit terangkat, meloncat
ke pintu kereta. Kuacungkan jempol pada sepupuku itu, isyarat aku sudah aman.
Peluit berbunyi dan laju KRD Bandung Raya membuatku lega.
Aku menyisiri bangku-bangku yang belum
penuh. Namun, aku melewatkan semua kursi kosong. Bagi sebagian orang pukul
06.10 mungkin masih bersembunyi di balik selimut. Tak heran, jika sebagian
besar penghuni kereta menikmati perjalanan dengan melanjutkan mimpinya yang
tertunda.
Aha ... akhirnya menemukan kursi yang
kucari. Di depannya duduk seorang laki-laki yang berbeda. Wajah cerah dan
matanya yang teduh, terkesan segar, juga menyenangkan. Model rambut ala tokoh
utama pria dalam drama korea "Descendent of The Sun" membuatnya tampak
keren.
"Assalamu'alaikum," sapaku
sambil duduk, merapat ke jendela.
Dia menjawab salam. Lalu tersenyum.
"Telat lagi," katanya
kemudian.
Ah, dia memang mengagumkan. Tepatnya
telah mencuri hatiku sejak lama. Mungkin sejak dia bercerita tentang banyak
hal. Tentang kisah-kisah unik yang pernah ditemuinya. Kadang tentang pro kontra
sebuah kasus yang sedang hangat di media sosial. Pernah juga bercerita tentang
dongeng atau kisah fiksi menarik yang pernah dia baca. Lalu cerita akan
diakhiri dengan pertanyaan tentang pendapatku.
Setengah jam perjalanan yang kulalui
tiap pagi, menjadi terisi oleh pengalaman. Lebih dari itu, hati ini pun
perlahan dan pasti juga disiram sesuatu yang menggebu. Sebuah rasa yang
sebelumnya tak kutahu.
Kebersamaan yang terjalin setiap 30
menit, membuatku bersemangat saat bangun subuh. Rasa engga:n menyentuh
dinginnya air, tersapu rindu ingin segera bertemu. Sarapan alakadarnya terasa
spesial karena dibumbui emosi yang menarik, emosi yang akan redam setelah
mendengar suara seseorang.
Namun, rasa itu sirna dalam sekejap.
Terusir oleh sakit bercampur cemburu. Perih tiba-tiba hadir sesaat setelah
menatap jejak kenyataan yang terpampang di depan mata.
Mungkin dia tergesa, hingga tak
menyadari sesuatu terjatuh dari saku celana. Aku segera mengambil dan membuka
benda kecil berwarna hitam tersebut. Seketika, hati terasa rapuh manakala
menatap wajah cantik terbingkai jilbab hijau dalam foto yang terselip. Bukankah
dia tak punya saudara perempuan?
Kakiku mendadak lemas saat turun di
stasiun Bandung. Bahkan senyum yang kutebar pada petugas di pintu keluar kini
hilang.
♦♦♦
Pagi ini aku tidak terlambat. Kereta
belum tiba saat tiket sudah diperiksa Pak Arif. Dahinya berkerut saat suara
riangku tak terdengar. Mas Agung merasa heran melihat wajahku penuh awan
kelabu, bahkan lupa tos dengannya.
Saat masuk gerbong aku tetap mencari
sosok yang kucintai diam-diam. Tentu saja dompet itu harus kukembalikan. Tak
seperti biasa, kali ini aku mencarinya tanpa semangat, tak ada harapan.
Keinginan untuk mencuri-curi pandang saat dia bercerita lenyap begitu saja.
Entah hanya perasaan saja yang melihat
dia semringah menyambut kedatanganku. Seperti biasa aku mengucap salam dan
duduk di hadapannya. Tak menunggu lama, dompet itu kembali ke pemilik.
Dia menatapku sesaat. Lalu tersenyum
membuka dompet.
"Gak ada yang hilang kan?"
tanyaku memastikan.
"Ada." Dia kembali menatap,
wajahnya tegang. Namun, lebih tegang lagi hatiku.
"Serius?”
"Hatimu." Dia tersenyum
penuh kemenangan. " Kau sudah melihat fotonya kan?" Dia menatap
dompet lalu menyimpannya dalam saku celana.
"Calon?" Suaraku bergetar.
Berharap dia tak mendengar nada getir dalam intonasi rendah, tapi nyatanya
salah.
Raut mukanya berubah. Dia memalingkan
wajah ke jendela saat harus bersitatap. Mungkin menikmati sawah-sawah yang
sedang digarap petani atau melihat kumpulan burung kuntul putih yang menari.
Suara besi beradu bergemuruh, meredam
gejolak dalam dada. Sungguh, aku benci pada diri yang menunggu jawabannya
sesuai harap
Aku merasakan hangat yang menjalari
pipi, tanpa menoleh aku tahu dia sedang memandangku lama.
"Apa kau akan mencariku dalam
kereta ini tiap hari?"
Deg! Pertanyaan itu tak mampu kujawab.
Aku melewatkan satu hal selama hampir enam bulan mengejar kereta sepagi ini.
Dia tahu segalanya. Pipi yang basah segera kuhapus dengan ujung kerudung. Ah,
aku memang cengeng, terlalu melankolis.
"Punya kertas?" tanyanya
setelah cukup lama terdiam.
Aku mengamati tangannya yang lincah
menarikan pulpen. Setelah selesai dia menyerahkannya padaku. Sebuah alamat
tertulis lengkap.
"Maaf, undangan yang kusiapkan
tertinggal tadi," katanya pelan.
Entah memang benar atau sekadar
basa-basi. Aku tak peduli. Kini aku harus mati-matian membunuh rasa yang tumbuh
tanpa sengaja.
♦♦♦
Hari ini, aku menyambut lokomotif
tanpa asa. Juga tak peduli tatapan heran dari orang yang kukenal. Mungkin,
mereka melihatku berubah jadi sosok yang aneh. Tanpa senyum apalagi tawa. Hanya
sekadar sapa biasa.
Aku duduk di peron, sendiri di antara
ramainya lalu lalang banyak orang. Mas Agung tiba-tiba duduk di samping.
"Udah seminggu adikku kehilangan
gairah. Kenapa, Neng?" Dia menyodorkan permen loli. Aku menggeleng.
"Oh, aku tahu. Karena tak ada
pangeran tampan.” Mas Agung terkekeh.
"Apaan sih?" Kusembunyikan
pipi yang merona.
"Mas Agung tahu karena seseorang
mencarimu." Tangannya terulur, sebuah kado membuat keningku berkerut.
"Siapa?" tanyaku tak
mengerti.
"Dia nitip ini untukmu."
Aku segera membuka bungkusan dengan
motif batik warna biru tua. Sebuah buku cukup tebal dengan tulisan tangan yang
rapi.
Cukup melihat kalimat singkat di awal,
aku tahu bahwa dia adalah sosok yang menghilang sejak seminggu.
♦♦♦
Waktu belum mampu menghapus jejak
kisah singkat tentang dia. Namun, garis tangan membawaku kembali padanya.
Aku menatap wajah pengantin wanita
sambil mencoba mengingat di mana raut itu pernah kutemui. Teni menggamit
lengan, terus membawa langkah menuju deretan menu yang menggugah selera.
"Ten, pengantin wanita itu
namanya Aida kan?”
"Iya, emang kenapa?" Teni
terlihat anteng menikmati mie kocok Bandung.
"Kupikir dia sudah menikah
setahun lalu, dengan temanku." Aku menatapnya serius.
"Hmm ... iya sih, dulu dia mau
nikah, tapi pengantin prianya kecelakaan saat di jalan. Dia dan rombongan tak
ada yang selamat di lintasan rel kereta." Teni bercerita tanpa beban.
Mengalir begitu saja.
Hampir saja gelas di tanganku
terjatuh. Aku menatap ke arah pelaminan. Memori tentang sebuah cinta sepanjang
rel kereta kembali menggila.
Sampai di rumah, aku membaca kembali
rangkaian kata yang tertulis dalam buku bersampul biru. Satu-satunya kenangan
tentang cinta pertama. Kisah dua hati yang bertemu di saat tak tepat.
Hari ini, aku merasa rindu berangkat
sangat pagi. Menunggu kereta itu lewat, membuat jantung berdetak tak karuan.
Hati melonjak kegirangan ketika suara merdu mengumumkan kedatangannya. Detak
jantung semakin liar, sulit dikendalikan, ketika suara deru roda beradu rel
samar terdengar. Namun, hatiku kecewa membaca angka 397 di lokomotif. Mas Agung
mendekat, mengerti keheranan yang terpapar dari wajah ceria. Katanya kereta itu
berada di lansiran untuk perbaikan. Sejak menabrak rombongan pengantin, ular
besi itu gagal beroperasi.
Bandung, 5 Mei 2019
Biodata:
Rainy Venesiia lahir di Garut bulan
Desember. Sekarang tinggal di Bandung bersama keluarga kecilnya. Dia sangat
suka pada literasi, dan mulai belajar menulis sejak awal tahun 2019.
0 Response to "#Kamis_Cerpen - Perlintasan Cerita - Rainy Venesiia - Sastra Indonesia Org"
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.