Misteri Tewasnya Saksi Kunci
Karya: Tania Yuna
Mendung masih
terlihat di wajah Joice. Meski seminggu telah terlewati, tampaknya dia belum
juga bisa menerima kematian orang tuanya yang begitu tiba-tiba. Terasa baru
kemarin ayah ibunya itu pamit untuk perjalanan bisnis, sebelum kecelakaan maut
merenggut nyawa mereka.
Netranya menatap
kosong sekeliling pekarangan rumah dari balkon kamar. Sendiri di rumah sebesar
ini, sebenarnya tak membuat gadis itu takut. Namun, kesepian terasa menggila di
hatinya.
Berkali-kali ia menghela napas, sebelum akhirnya
pandangan itu tertuju pada sebuah gudang. Bangunan yang berjarak lima meter
dari pintu belakang. Seingatnya, itu adalah tempat terakhir yang dihampiri sang
ayah sebelum kepergiannya.
Perlahan,
gadis berambut pendek itu melangkah menuju gudang. Hatinya tergelitik untuk
mengetahui apa yang ada dalam tempat itu, hingga membuat ayahnya sering
terlihat keluar-masuk area tersebut.
Pintu
dibuka, dan lampu dinyalakan. Dirinya sedikit takjub melihat isi ruangan. Satu
set meja kerja tua lengkap dengan lampu duduk, dan tumpukan buku di atasnya.
Memang banyak sekali barang, tapi tersimpan dalam kardus yang disusun rapi.
Joice
menggeser kursi kerja, lalu duduk dan memandang ke seluruh penjuru gudang.
Pantas saja ayahnya sering kemari. Rasanya seperti tempat semedi yang ‘perfect’.
Berniat
membereskan ruangan, gadis yang bergelar ‘sabeum’ dalam ilmu beladiri
‘taekwondo’ itu meraih kardus di dekatnya. Mulai memasukkan buku satu per satu.
Hingga tangannya membuka laci meja yang berisi beberapa kertas, dan … buku
setebal lima sentimeter dengan ‘hardcover’.
Penasaran,
dibukanya buku tersebut. Membalikkan kertas yang terlihat menguning lembar demi
lembar. Tak ada yang aneh, hanya buku tentang strategi penjualan yang ditulis
oleh profesor pemasaran Amerika, Philip Kotler.
Namun,
tangannya tiba-tiba berhenti saat meraba lembar yang kesekian. Benar saja … ada
sesuatu di tengah buku, dan sepertinya sengaja dilubangi. Sebuah kunci.
‘Kunci
apa ini? Sepertinya penting. Hingga Ayah harus menyembunyikannya dalam buku
ini,’ bersitnya dalam hati.
Segera
diambilnya benda silver itu, lalu membereskan buku-buku dalam kardus untuk
diletakkan pada tumpukan di sudut ruangan. Baru saja beranjak melangkah,
kakinya tersandung dengan sesuatu yang tampak menonjol tertutup karpet, tepat
berada di bawah kursi yang tadi ia geser.
‘Apa
lagi ini?’ Sigap dirinya membuka karpet tersebut, dan … lagi-lagi ia dibuat
kaget setelah membukanya. Sebuah peti kayu sepanjang lengan tangan, tertanam
dalam lantai dengan gembok yang menyembul ke atas. Tak menunggu lama, Joice segera
mencocokkan kunci di tangannya, dan … klik, terbuka.
Belumlah
habis rasa penasarannya, kini bunyi bel berhasil membuat gadis cantik itu
menjengit kaget. Bergegas ia merapikan dan mengunci gudang, lalu membukakan
pintu. Sosok pemuda tinggi tegap berwajah tirus, kini berdiri di hadapannya.
“Selamat
malam, kau pasti Joice. Aku Rage,” ucap lelaki itu seraya memberikan kartu
namanya. “Turut berduka cita atas meninggalnya orang tuamu. Maaf jika
kedatangan ini terkesan tiba-tiba. Namun, ada hal penting yang harus
kuberitahukan padamu.”
Joice
mengernyitkan dahi. Menatap curiga lelaki di depannya dari atas ke bawah, meski
di detik kemudian mempersilahkan lelaki itu masuk. Dilihat dari kartu namanya,
dia adalah seorang detektif.
“Sehari
sebelum kecelakaan itu terjadi, Ayahmu sempat menghubungiku. Dia adalah saksi
kunci atas kasus mantan Direktur Utama tempatnya bekerja--Thomas Wijaya. Hari
itu ia berjanji akan menyerahkan bukti-bukti sepulangnya ia dari perjalanan
bisnis,” jelasnya panjang lebar.
‘Bukti?
Apa ini ada kaitannya dengan peti itu?’ bersitnya.
“Tim
kami juga mencurigai, bahwa kecelakaan orang tuamu mungkin sebuah konspirasi.
Terdapat tanda tak wajar di bagian rem, yang sebelumnya dinyatakan blong. Saat
ini, kami masih menelusuri bukti-bukti lainnya.” Rage menatap gadis di depannya
dengan prihatin.
Joice
coba mencerna kata demi kata yang diucapkan lelaki itu. Namun, tetap saja dia
belum bisa mempercayainya begitu saja. Baru saja hendak beranjak bangkit,
dirinya menangkap kelebat bayangan seseorang dari arah belakang, dan ….
“Awas!”
Sebuah
pisau melayang ke arahnya, dan menancap tepat ke punggung sofa. Beruntung Rage
menarik cepat tubuh gadis itu ke sisinya. Namun, belum sempat bertindak, sosok
itu telah raib meninggalkan secarik kertas yang bertuliskan kalimat dengan
tinta darah.
‘Diam,
maka kau akan selamat!’
Mereka
berdua saling berpandangan. Menyadari akan sesuatu, Joice segera berlari menuju
gudang diikuti Rage. Membuka peti kayu dengan kunci yang ia simpan di saku
jaketnya sejak tadi.
Matanya
melebar demi melihat isinya. Sebuah map biru berisi lembar-lembar kertas
seperti laporan keuangan, dan beberapa bukti transfer ke rekening berbeda.
Sebuah foto dengan gambar dua orang pria berdasi, yang salah satunya tampak
sedang menyalakan rokok, juga terselip di situ.
“Sepertinya
kau mulai tak aman di sini. Ikutlah denganku,” ucap Rage yang ikut
memperhatikan lembar-lembar kertas di tangan Joice.
Tak
menunggu ba-bi-bu, Joice mengikuti lelaki berjaket hitam itu dari belakang,
menuju mobil yang membawa mereka melesat ke gelap malam. Kecurigaannya
terbantahkan saat Rage baru saja berhasil menyelamatkan hidupnya.
♦♦♦
“Kukira
kau akan aman di sini. Mereka tak mungkin tahu tempatku. Sebentar lagi akan ada
tim yang berjaga di sekitar rumah. Beristirahatlah! Jika butuh sesuatu, aku ada
di ruang tamu.” Rage mengantar gadis itu ke kamarnya.
Joice
menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Memijat pangkal hidung sambil
memejamkan mata. Segala rasa bercampur aduk karena kejadian yang menimpanya
hari ini.
Ditinggal
pergi kedua orang yang begitu berharga dalam hidupnya saja, sudah membuat Joice
amat terpukul. Lalu kini, menjadi sasaran seseorang yang misterius. Miris,
sungguh mengenaskan kehidupan yang harus ia jalani.
♦♦♦
Keesokan
paginya, Rage pamit sebentar untuk menemui rekannya terkait perkembangan kasus
kecelakaan orang tua Joice.
“Jangan
khawatir, ada dua orang yang akan berjaga di depan. Jika ada apa-apa, segera
hubungi aku,” ucap Rage, yang kemudian berlalu meninggalkan gadis itu
sendirian.
Joice
baru akan membuka jendela kamar, saat ponselnya berdering. Diterimanya
panggilan tersebut. Terdengar bunyi teriakan seorang wanita yang begitu
ketakutan. Kata-katanya seperti memohon ampun pada seseorang.
“Siapa
ka-”
“Tak
perlu tau siapa aku. Serahkan saja dokumen itu pada anak buahku yang akan
datang sebentar lagi. Kalau tidak, nasibmu juga akan sama dengan perempuan
jalang ini.”
Terdengar
bunyi letusan pistol, lalu suara perempuan tadi lenyap. Belum lagi hilang rasa
terkejutnya, kini gadis itu dikagetkan dengan suara dobrakan pintu depan. Suara
tawa berat masih terdengar dari ponselnya.
Otaknya
berpikir cepat. Tak mungkin Rage yang datang. Pasti mereka adalah suruhan orang
yang baru saja meneleponnya. Secepat kilat meraih tas berisi dokumen, lalu
keluar melalui jendela. Ia berjalan mengendap-endap dari pinggir rumah menuju
halaman depan.
‘Ke
mana para polisi-polisi itu? Bukankah tadi Rage bilang akan berjaga di depan?’
Matanya mencari-cari sosok yang dimaksud. Sialnya, tak satu pun yang ia
temukan. Justru para penjahat bertato dan berwajah sangar yang memonopoli tempat
ini.
Ah,
sial, dirinya terlihat oleh salah satu anak buah mereka. Dengan wajah bengis,
pria itu menghampirinya dengan pisau yang berkilat terkena cahaya.
Insting
petarung gadis itu berkobar. Tangan dan kakinya dengan gesit menangkis serangan
lawan, membuat lelaki itu semakin menggeram. Dirinya menyerang Joice
membabi-buta. Namun, gadis itu berhasil melumpuhkannya hingga terhuyung-huyung.
Tak
menunggu perintah, Joice langsung lari meninggalkan rumah Rage dengan dua
algojo tersisa yang kini mengejarnya. Tubuh yang ramping itu terlihat lincah
dan gesit saat melewati orang-orang di pinggir jalan raya.
“Kau
di mana? Mereka mengejarku,” ucapnya saat panggilannya diterima Rage.
Joice
berhasil mengecoh para algojo saat berada di keramaian tadi. Namun, tak butuh waktu
lama, para penjahat sudah terlihat tak jauh dari tempatnya sembunyi. Mau tak
mau, dirinya harus terus berlari, menghindar dari pandangan mereka jika tak
ingin mati konyol. Hingga sebuah mobil berhenti tepat di ujung jalan.
“Masuklah!”
Rage berteriak dari dalam. Secepat kilat menginjak gas saat Joice sudah masuk
ke mobil. Para algojo yang mengejarnya, tampak semakin marah melihat mereka
berlalu.
“Kau
tak apa?” tanya Rage sembari sesekali menatap gadis di sampingnya yang terlihat
ngos-ngosan. Joice tak sanggup bicara, hanya menganggukkan kepala sebagai
jawaban.
“Sebaiknya
kita bergegas ke kantor polisi untuk menyerahkan alat bukti. Kau membawanya,
kan?” lanjutnya.
Joice
mengiyakan seraya mengangkat sedikit tas hitamnya.
“Bagus.
Kau juga akan lebih aman di sana.”
Tak
lama berselang, tibalah mereka di tempat tujuan. Tim kepolisian bergegas
menindaklanjuti kasusnya, dan menahan Thomas atas tuduhan penyuapan dan
penggelapan barang ilegal, juga dugaan keterlibatan pembunuhan ayah ibunya.
♦♦♦
Tiga
hari berselang, Joice kembali ke rumahnya dan bisa bernapas lega. Ditemani Rage
dan beberapa anggota kepolisian tentunya. Awalnya lelaki itu belum
mengizinkannya pulang. Namun, gadis yang tak kenal takut itu meyakinkan tak kan
terjadi apa-apa.
Setelah
makan malam bersama seadanya, Rage pun pamit. Mata Joice kini seakan meminta
jatahnya untuk istirahat. Melewati malam dengan tidur yang paling nyenyak,
setelah beberapa hari melalui mimpi dan tragedi buruk.
Paginya,
gadis itu terbangun dengan sesuatu yang terasa dingin di pipi. Betapa terkejut
dirinya melihat lelaki paruh baya dan beberapa anak buah, duduk di sisi tempat
tidur dengan senjata api ditodongkan padanya.
“Sudah
kukatakan untuk diam, tapi kau tak mendengarkanku, gadis bodoh!” Suara berat
itu sama persis yang dia dengar di telepon waktu itu. Lelaki di depannya kini
terbahak, sembari menyalakan rokok.
‘Benda
itu?’ Mata Joice membulat demi apa yang dilihatnya.
“Yeah,
aku … seperti yang kau pikirkan. Namun, kurasa kau berhak mendapat ucapan
terima kasih, karena sudah menyingkirkan Thomas untukku.” Lagi-lagi lelaki itu
tertawa berat.
“Semua
alat bukti sudah kuserahkan pada polisi,” ucap Joice dengan tatapan geram. “Aku
yakin, para polisi itu akan segera menangkap dan membuatmu membusuk di
penjara!”
“Dasar
gadis dungu!”
Terdengar
suara tembakan.
Peluru
pistol pabrikan Jerman itu kini bersarang di kepala Joice. Membuat bantal dan
sprei biru, berubah menjadi merah. Seringai lelaki itu masih terlihat di
matanya. Sebelum pandangannya berbayang, buram … lalu gelap.
Sementara
di pengadilan, petugas sedang melihat barang bukti berupa foto. Tentang
seseorang yang sedang menyalakan rokok, dengan pemantik api seperti yang tadi
dilihat Joice.
Bangka, 8 Agustus 2019
Biodata:
Perempuan
dari tanah Laskar Pelangi yang masih haus ilmu akan dunia literasi. Berharap
semoga tiap aksaranya menjadi berarti bagi pembaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.