Jumat, 09 Agustus 2019

#Kamis_Cerpen - Misteri Tewasnya Saksi Kunci - Tania Yuna - Sastra Indonesia Org





Misteri Tewasnya Saksi Kunci
Karya: Tania Yuna

Mendung masih terlihat di wajah Joice. Meski seminggu telah terlewati, tampaknya dia belum juga bisa menerima kematian orang tuanya yang begitu tiba-tiba. Terasa baru kemarin ayah ibunya itu pamit untuk perjalanan bisnis, sebelum kecelakaan maut merenggut nyawa mereka.
Netranya menatap kosong sekeliling pekarangan rumah dari balkon kamar. Sendiri di rumah sebesar ini, sebenarnya tak membuat gadis itu takut. Namun, kesepian terasa menggila di hatinya.
Berkali-kali ia menghela napas, sebelum akhirnya pandangan itu tertuju pada sebuah gudang. Bangunan yang berjarak lima meter dari pintu belakang. Seingatnya, itu adalah tempat terakhir yang dihampiri sang ayah sebelum kepergiannya.
Perlahan, gadis berambut pendek itu melangkah menuju gudang. Hatinya tergelitik untuk mengetahui apa yang ada dalam tempat itu, hingga membuat ayahnya sering terlihat keluar-masuk area tersebut.
Pintu dibuka, dan lampu dinyalakan. Dirinya sedikit takjub melihat isi ruangan. Satu set meja kerja tua lengkap dengan lampu duduk, dan tumpukan buku di atasnya. Memang banyak sekali barang, tapi tersimpan dalam kardus yang disusun rapi.
Joice menggeser kursi kerja, lalu duduk dan memandang ke seluruh penjuru gudang. Pantas saja ayahnya sering kemari. Rasanya seperti tempat semedi yang ‘perfect’.
Berniat membereskan ruangan, gadis yang bergelar ‘sabeum’ dalam ilmu beladiri ‘taekwondo’ itu meraih kardus di dekatnya. Mulai memasukkan buku satu per satu. Hingga tangannya membuka laci meja yang berisi beberapa kertas, dan … buku setebal lima sentimeter dengan ‘hardcover’.
Penasaran, dibukanya buku tersebut. Membalikkan kertas yang terlihat menguning lembar demi lembar. Tak ada yang aneh, hanya buku tentang strategi penjualan yang ditulis oleh profesor pemasaran Amerika, Philip Kotler.
Namun, tangannya tiba-tiba berhenti saat meraba lembar yang kesekian. Benar saja … ada sesuatu di tengah buku, dan sepertinya sengaja dilubangi. Sebuah kunci.
‘Kunci apa ini? Sepertinya penting. Hingga Ayah harus menyembunyikannya dalam buku ini,’ bersitnya dalam hati.
Segera diambilnya benda silver itu, lalu membereskan buku-buku dalam kardus untuk diletakkan pada tumpukan di sudut ruangan. Baru saja beranjak melangkah, kakinya tersandung dengan sesuatu yang tampak menonjol tertutup karpet, tepat berada di bawah kursi yang tadi ia geser.
‘Apa lagi ini?’ Sigap dirinya membuka karpet tersebut, dan … lagi-lagi ia dibuat kaget setelah membukanya. Sebuah peti kayu sepanjang lengan tangan, tertanam dalam lantai dengan gembok yang menyembul ke atas. Tak menunggu lama, Joice segera mencocokkan kunci di tangannya, dan … klik, terbuka.
Belumlah habis rasa penasarannya, kini bunyi bel berhasil membuat gadis cantik itu menjengit kaget. Bergegas ia merapikan dan mengunci gudang, lalu membukakan pintu. Sosok pemuda tinggi tegap berwajah tirus, kini berdiri di hadapannya.
“Selamat malam, kau pasti Joice. Aku Rage,” ucap lelaki itu seraya memberikan kartu namanya. “Turut berduka cita atas meninggalnya orang tuamu. Maaf jika kedatangan ini terkesan tiba-tiba. Namun, ada hal penting yang harus kuberitahukan padamu.”
Joice mengernyitkan dahi. Menatap curiga lelaki di depannya dari atas ke bawah, meski di detik kemudian mempersilahkan lelaki itu masuk. Dilihat dari kartu namanya, dia adalah seorang detektif.
“Sehari sebelum kecelakaan itu terjadi, Ayahmu sempat menghubungiku. Dia adalah saksi kunci atas kasus mantan Direktur Utama tempatnya bekerja--Thomas Wijaya. Hari itu ia berjanji akan menyerahkan bukti-bukti sepulangnya ia dari perjalanan bisnis,” jelasnya panjang lebar.
‘Bukti? Apa ini ada kaitannya dengan peti itu?’ bersitnya.
“Tim kami juga mencurigai, bahwa kecelakaan orang tuamu mungkin sebuah konspirasi. Terdapat tanda tak wajar di bagian rem, yang sebelumnya dinyatakan blong. Saat ini, kami masih menelusuri bukti-bukti lainnya.” Rage menatap gadis di depannya dengan prihatin.
Joice coba mencerna kata demi kata yang diucapkan lelaki itu. Namun, tetap saja dia belum bisa mempercayainya begitu saja. Baru saja hendak beranjak bangkit, dirinya menangkap kelebat bayangan seseorang dari arah belakang, dan ….
“Awas!”
Sebuah pisau melayang ke arahnya, dan menancap tepat ke punggung sofa. Beruntung Rage menarik cepat tubuh gadis itu ke sisinya. Namun, belum sempat bertindak, sosok itu telah raib meninggalkan secarik kertas yang bertuliskan kalimat dengan tinta darah.
‘Diam, maka kau akan selamat!’
Mereka berdua saling berpandangan. Menyadari akan sesuatu, Joice segera berlari menuju gudang diikuti Rage. Membuka peti kayu dengan kunci yang ia simpan di saku jaketnya sejak tadi.
Matanya melebar demi melihat isinya. Sebuah map biru berisi lembar-lembar kertas seperti laporan keuangan, dan beberapa bukti transfer ke rekening berbeda. Sebuah foto dengan gambar dua orang pria berdasi, yang salah satunya tampak sedang menyalakan rokok, juga terselip di situ.
“Sepertinya kau mulai tak aman di sini. Ikutlah denganku,” ucap Rage yang ikut memperhatikan lembar-lembar kertas di tangan Joice.
Tak menunggu ba-bi-bu, Joice mengikuti lelaki berjaket hitam itu dari belakang, menuju mobil yang membawa mereka melesat ke gelap malam. Kecurigaannya terbantahkan saat Rage baru saja berhasil menyelamatkan hidupnya. 



♦♦♦

“Kukira kau akan aman di sini. Mereka tak mungkin tahu tempatku. Sebentar lagi akan ada tim yang berjaga di sekitar rumah. Beristirahatlah! Jika butuh sesuatu, aku ada di ruang tamu.” Rage mengantar gadis itu ke kamarnya.
Joice menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Memijat pangkal hidung sambil memejamkan mata. Segala rasa bercampur aduk karena kejadian yang menimpanya hari ini.
Ditinggal pergi kedua orang yang begitu berharga dalam hidupnya saja, sudah membuat Joice amat terpukul. Lalu kini, menjadi sasaran seseorang yang misterius. Miris, sungguh mengenaskan kehidupan yang harus ia jalani.

♦♦♦

Keesokan paginya, Rage pamit sebentar untuk menemui rekannya terkait perkembangan kasus kecelakaan orang tua Joice.
“Jangan khawatir, ada dua orang yang akan berjaga di depan. Jika ada apa-apa, segera hubungi aku,” ucap Rage, yang kemudian berlalu meninggalkan gadis itu sendirian.
Joice baru akan membuka jendela kamar, saat ponselnya berdering. Diterimanya panggilan tersebut. Terdengar bunyi teriakan seorang wanita yang begitu ketakutan. Kata-katanya seperti memohon ampun pada seseorang.
“Siapa ka-”
“Tak perlu tau siapa aku. Serahkan saja dokumen itu pada anak buahku yang akan datang sebentar lagi. Kalau tidak, nasibmu juga akan sama dengan perempuan jalang ini.”
Terdengar bunyi letusan pistol, lalu suara perempuan tadi lenyap. Belum lagi hilang rasa terkejutnya, kini gadis itu dikagetkan dengan suara dobrakan pintu depan. Suara tawa berat masih terdengar dari ponselnya.
Otaknya berpikir cepat. Tak mungkin Rage yang datang. Pasti mereka adalah suruhan orang yang baru saja meneleponnya. Secepat kilat meraih tas berisi dokumen, lalu keluar melalui jendela. Ia berjalan mengendap-endap dari pinggir rumah menuju halaman depan.
‘Ke mana para polisi-polisi itu? Bukankah tadi Rage bilang akan berjaga di depan?’ Matanya mencari-cari sosok yang dimaksud. Sialnya, tak satu pun yang ia temukan. Justru para penjahat bertato dan berwajah sangar yang memonopoli tempat ini.
Ah, sial, dirinya terlihat oleh salah satu anak buah mereka. Dengan wajah bengis, pria itu menghampirinya dengan pisau yang berkilat terkena cahaya.
Insting petarung gadis itu berkobar. Tangan dan kakinya dengan gesit menangkis serangan lawan, membuat lelaki itu semakin menggeram. Dirinya menyerang Joice membabi-buta. Namun, gadis itu berhasil melumpuhkannya hingga terhuyung-huyung.
Tak menunggu perintah, Joice langsung lari meninggalkan rumah Rage dengan dua algojo tersisa yang kini mengejarnya. Tubuh yang ramping itu terlihat lincah dan gesit saat melewati orang-orang di pinggir jalan raya.
“Kau di mana? Mereka mengejarku,” ucapnya saat panggilannya diterima Rage.
Joice berhasil mengecoh para algojo saat berada di keramaian tadi. Namun, tak butuh waktu lama, para penjahat sudah terlihat tak jauh dari tempatnya sembunyi. Mau tak mau, dirinya harus terus berlari, menghindar dari pandangan mereka jika tak ingin mati konyol. Hingga sebuah mobil berhenti tepat di ujung jalan.
“Masuklah!” Rage berteriak dari dalam. Secepat kilat menginjak gas saat Joice sudah masuk ke mobil. Para algojo yang mengejarnya, tampak semakin marah melihat mereka berlalu.
“Kau tak apa?” tanya Rage sembari sesekali menatap gadis di sampingnya yang terlihat ngos-ngosan. Joice tak sanggup bicara, hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban.
“Sebaiknya kita bergegas ke kantor polisi untuk menyerahkan alat bukti. Kau membawanya, kan?” lanjutnya.
Joice mengiyakan seraya mengangkat sedikit tas hitamnya.
“Bagus. Kau juga akan lebih aman di sana.”
Tak lama berselang, tibalah mereka di tempat tujuan. Tim kepolisian bergegas menindaklanjuti kasusnya, dan menahan Thomas atas tuduhan penyuapan dan penggelapan barang ilegal, juga dugaan keterlibatan pembunuhan ayah ibunya.

♦♦♦

Tiga hari berselang, Joice kembali ke rumahnya dan bisa bernapas lega. Ditemani Rage dan beberapa anggota kepolisian tentunya. Awalnya lelaki itu belum mengizinkannya pulang. Namun, gadis yang tak kenal takut itu meyakinkan tak kan terjadi apa-apa.
Setelah makan malam bersama seadanya, Rage pun pamit. Mata Joice kini seakan meminta jatahnya untuk istirahat. Melewati malam dengan tidur yang paling nyenyak, setelah beberapa hari melalui mimpi dan tragedi buruk.
Paginya, gadis itu terbangun dengan sesuatu yang terasa dingin di pipi. Betapa terkejut dirinya melihat lelaki paruh baya dan beberapa anak buah, duduk di sisi tempat tidur dengan senjata api ditodongkan padanya.
“Sudah kukatakan untuk diam, tapi kau tak mendengarkanku, gadis bodoh!” Suara berat itu sama persis yang dia dengar di telepon waktu itu. Lelaki di depannya kini terbahak, sembari menyalakan rokok.
‘Benda itu?’ Mata Joice membulat demi apa yang dilihatnya.
“Yeah, aku … seperti yang kau pikirkan. Namun, kurasa kau berhak mendapat ucapan terima kasih, karena sudah menyingkirkan Thomas untukku.” Lagi-lagi lelaki itu tertawa berat.
“Semua alat bukti sudah kuserahkan pada polisi,” ucap Joice dengan tatapan geram. “Aku yakin, para polisi itu akan segera menangkap dan membuatmu membusuk di penjara!”
“Dasar gadis dungu!”
Terdengar suara tembakan.
Peluru pistol pabrikan Jerman itu kini bersarang di kepala Joice. Membuat bantal dan sprei biru, berubah menjadi merah. Seringai lelaki itu masih terlihat di matanya. Sebelum pandangannya berbayang, buram … lalu gelap.
Sementara di pengadilan, petugas sedang melihat barang bukti berupa foto. Tentang seseorang yang sedang menyalakan rokok, dengan pemantik api seperti yang tadi dilihat Joice.

Bangka, 8 Agustus 2019

Biodata:

Perempuan dari tanah Laskar Pelangi yang masih haus ilmu akan dunia literasi. Berharap semoga tiap aksaranya menjadi berarti bagi pembaca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.