Jumat, 16 Agustus 2019

#Kamis_Cerpen - Layang-layang Bertuah - Rainy Venesiia - Sastra Indonesia Org





Layang-layang Bertuah
Oleh: Rainy Venesiia

Pesta baru saja dimulai. Sorak-sorai dari tepi lapangan, bergemuruh meneriaki jagoan masing-masing. Sebenarnya bukan lapangan dalam arti sebenarnya. Akan tetapi, sawah yang mengering karena hujan terlalu lama tak turun. Air dari irigasi pun, alirannya sudah tak sanggup membasahi lahan padi tersebut.
Tepuk tangan terdengar diiringi jerit kekalahan. Sebuah layang-layang terputus dan meliuk terbawa angin. Beberapa anak laki-laki usia tujuh hingga sepuluh tahunan berlari mengejar. Mereka berlomba saling mendahului hingga jatuh dan terluka. Namun, bocah-bocah itu segera bangkit dan berlari menyusul yang lain. Darah seolah lebih murah dari harga layang-layang.
Di atas panggung kecil terlihat beberapa lelaki dewasa. Beberapa cangkir kopi dan piring-piring yang dipenuhi ragam makanan hasil kebun, terhidang di tengah lingkaran. Asap tembakau mengepul mengepung wajah-wajah semringah, ditingkahi tawa dan gurauan politik ala penduduk desa.
"Kemarau kali ini katanya akan lama," kata Deni, salah satu pemuda desa yang sempat mengenyam pendidikan di kota.
"Kata siapa?" tanya Pak Surya. Seorang kepala desa yang meraih suara terbanyak di pilkades dua tahun lalu. Konon, harga jabatan itu senilai seluruh petak sawah, kebun dan kambing miliknya. Bahkan kabar yang dibawa angin, sertifikat rumah pun sudah dititipkan di bank.
"Iya, Pak Kades. Gimana atuh, nanti kalau kita kekeringan?" tanya Deni. Dia dipercaya teman-temannya memikul tanggung jawab sebagai ketua karang taruna.
"Jangan khawatir, tak perlu cemas atuh, Den. Kan kita mah punya mata air si Caringin. Dari dulu sampai sekarang, itu teh gak pernah kering. Dari abah kecil, belum pernah desa kita kehabisan air." Abah Jaya, tokoh masyarakat yang dikenal garang. Namun, dia akan berada di depan jika hal buruk terjadi pada desanya. Matanya memberi isyarat pada pemuda berusia dua puluh lima tahun tersebut.
"Tapi Bah, ibu-ibu sudah ramai. Katanya air mulai sering gak ngalir. Kalau ngalir pun keciiil."
"Masa?" Abah Jaya terkejut begitu pun kepala desa.
"Eeeh ... kan kita teh punya situ. Ngapain bingung atuh?"
Semua menoleh pada Pak Asid, si empunya suara. Lalu seperti dikomando, mereka kompak mengalihkan pandangan ke arah lapangan, ketika Pak Kades berdehem sambil menyomot singkong rebus.
Pak Asid garuk kepala saat Deni memberi isyarat dengan matanya. Dia baru menyadari kesalahan dalam berbicara. Apa daya, situ yang dulu sebagai satu-satunya penyelamat setiap kali kemarau melanda, kini statusnya telah berubah.
Semua orang hanya bilang oh, ketika terdengar berita aset desa telah tergadai. Tak seorang pun berniat bertanya lebih lanjut ketika area tersebut dipagar, setelah beberapa kali dikunjungi pengusaha besar. Mereka hanya melihat dari kejauhan, manakala truk besar mengangkut benih ikan. Lalu disusul pemasangan papan bertuliskan 'KOLAM IKAN JOHARI', lengkap dengan keterangan prosedur transaksi.
Sejak hari itu, pemandian umum yang letaknya persis di samping situ ditutup. Bukan karena aliran air disumbat, tapi karena kualitas air menjadi keruh dan bau anyir. Debit air situ tak mampu mempertahankan diri dari pengaruh pakan ikan.
"Lah, itu tinggal dua lagi yang masih berlaga. Itu punyaku," seru Pak Kades sambil berdiri. Usahanya mengalihkan perhatian, sukses gemilang.


Yang lainnya ikut berdiri. Abah Jaya dan Deni saling berpandangan. Niat hati untuk membicarakan solusi warga kembali tertunda. Abah Jaya menghela napas. Teringat omelan istrinya yang selalu kehabisan stok air di rumah. Sepertinya dia harus berangkat tengah malam ke mata air Caringin, menghindari antrian yang panjangnya sama dengan jumlah kepala keluarga satu desa.
Pak Kades bertepuk tangan sambil tertawa. Layang-layang miliknya menang di arena. Walau dimainkan oleh pembantu, tapi gelar juara tetap tersemat padanya.
"Sudah kubilang, layang-layangku bertuah," ujarnya sambil menunjuk ke atas. Tawanya keras terbahak-bahak.
Layang-layang berbentuk naga raksasa menari sendiri. Terlihat gagah di bawah langit sore yang masing biru. Kembali dia mengalahkan seluruh layang-layang milik warga. Satu persatu disabetnya hingga terputus dan jatuh. Seringai naga seolah unjuk diri, bahwa dialah juara dan satu-satunya di setiap pesta rakyat.
Warna jingga mulai menyapu cakrawala. Pertanda pesta sudah usai. Namun, Abah Jaya dan Deni masih berdiam di sudut panggung. Pandangan keduanya kosong menatap lapangan sepi. Hanya dihuni sampah berserakan yang lupa dibawa pulang pemiliknya.
"Bagaimana, Bah?" Deni menoleh sebentar, lalu kembali matanya menatap lurus ke depan.
"Kita telah salah langkah, Den." Suara Abah Jaya terlampau halus, tak sebanding dengan tinggi tegapnya perawakan. Jambang dan jenggot di wajah serta kain iket yang menghias kepala.
"Maksud Abah?"
"Dulu, kita salah menilai." Kepala Abah Jaya tertunduk. Ingatannya bergerak ke masa-masa yang lalu.
Satu waktu ketika dia sangat semangat memberi arahan pada warga. Tentang calon kepala desa idaman. Seorang yang berpendidikan dan telah beberapa kali mendapat penghargaan di bidang sosial. Dia sangat berwibawa dan nyaris tak ada cela. Impian Abah Jaya tentang desanya yang maju, dia letakkan di pundak Pak Surya.
Deni menghela napas. Pikirannya pun sama, melayang ke dua tahun yang lalu. Perbincangan indah tentang program-program yang ditawarkan Pak Surya, sanggup mengalahkan panggilan kerja dari ibukota. Gaji besar tak mampu meluruhkan cintanya pada tanah kelahiran. Dia sudah membayangkan, potensi pemuda desa akan berkembang bersama kepemimpinan Pak Surya.
"Mungkin dulu kita benar saat menilai, tapi waktu telah mengubah jati diri," gumam Deni seolah untuk dirinya sendiri.
"Tapi kita tak boleh menyerah, Bah." Lanjut Deni setelah tak ada reaksi dari sosok di samping.
"Kamu benar, Den. Cukuplah layang-layang kita saja yang kalah."
Suara Abah Jaya masih terdengar lemah. Dia masih ingat bagaimana sang kepala desa menancapkan kuku kekuasaannya di setiap pondasi desa. Struktur yang terpampang di kantor seolah hanya hiasan. Entah siapa yang meniupkan rumor tentang layang-layang sakti milik Pak Surya. Celakanya rumor tersebut tersebar ke seluruh pelosok desa, membuat rasa takut bersemayam di hati warga. Hingga setiap kata-kata lelaki pemilik layang-layang naga menjadi tak terbantahkan.
Sialnya, layang-layang itu kini menang lagi. Mungkin alam masih memihak Pak Surya, atau takdir sedang menguji kesabaran warga. Yang jelas, kemenangannya kali ini semakin menguatkan cerita tentang tuah yang melekat pada layang-layang naga. Artinya semakin kokoh kekuatan Pak Surya di benak masyarakat. Makin leluasa pula sang kepala desa berbuat sesuka hati. Seolah dirinya adalah raja, pemilik desa beserta seluruh isinya. Tak terkecuali penghuni yang bernyawa.
Abah Jaya menepuk pundak Deni. "Kita harus segera mencari solusi masalah air buat penduduk."
"Iya, Bah." Deni bangkit lalu berjalan di belakang lelaki paruh baya yang masih terlihat gagah. Dia belum tahu solusi yang dimaksud Abah Jaya. Seperti kemarau tahun kemarin, kenyataannya solusi tak pernah ditemukan hingga musim hujan datang.
Pak Surya tak akan pernah merasakan bersusah payah mencari air. Mesin air miliknya mampu menjangkau sumur artesis dibawah permukaan bumi. Dia tak perlu khawatir akan kekurangan salah satu sumber kehidupan tersebut. Andai terjadi pun, kekuasaannya akan mampu mendatangkan mobil tangki air dari kota. Namun, hanya untuk dirinya sendiri. Terbukti, walau tiap hari ada laporan dari warga tentang kesulitan air, tak pernah ditindak lanjuti. Alih-alih mengupayakan solusi, rapat darurat pun tak pernah terjadi.
"Nanti malam kau mau ikut?" tanya Abah Jaya tiba-tiba.
"Ke mana?" tanya Deni sambil menjejeri langkah lelaki yang dia teladani.
"Ngantri air di Caringin." Abah Jaya terkekeh.
Deni tertawa mengingat dirinya pun sudah dua hari tak kebagian air untuk mandi.

Bandung, 14 Agustus 2019

Biodata:

Penulis adalah seorang ibu yang mulai belajar menulis sejak awal tahun 2019. Saat ini berusaha aktif di beberapa komunitas menulis Facebook. Meskipun tulisannya masih banyak yang harus dibenahi, dia berharap melalui rangkaian aksara bisa menebarkan secuil kebaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.