Layang-layang Bertuah
Oleh: Rainy Venesiia
Pesta baru saja dimulai. Sorak-sorai dari tepi lapangan,
bergemuruh meneriaki jagoan masing-masing. Sebenarnya bukan lapangan dalam arti
sebenarnya. Akan tetapi, sawah yang mengering karena hujan terlalu lama tak
turun. Air dari irigasi pun, alirannya sudah tak sanggup membasahi lahan padi
tersebut.
Tepuk tangan terdengar diiringi jerit kekalahan. Sebuah
layang-layang terputus dan meliuk terbawa angin. Beberapa anak laki-laki usia
tujuh hingga sepuluh tahunan berlari mengejar. Mereka berlomba saling
mendahului hingga jatuh dan terluka. Namun, bocah-bocah itu segera bangkit dan
berlari menyusul yang lain. Darah seolah lebih murah dari harga layang-layang.
Di atas panggung kecil terlihat beberapa lelaki dewasa. Beberapa
cangkir kopi dan piring-piring yang dipenuhi ragam makanan hasil kebun,
terhidang di tengah lingkaran. Asap tembakau mengepul mengepung wajah-wajah
semringah, ditingkahi tawa dan gurauan politik ala penduduk desa.
"Kemarau kali ini katanya akan lama," kata Deni, salah
satu pemuda desa yang sempat mengenyam pendidikan di kota.
"Kata siapa?" tanya Pak Surya. Seorang kepala desa
yang meraih suara terbanyak di pilkades dua tahun lalu. Konon, harga jabatan
itu senilai seluruh petak sawah, kebun dan kambing miliknya. Bahkan kabar yang
dibawa angin, sertifikat rumah pun sudah dititipkan di bank.
"Iya, Pak Kades. Gimana atuh, nanti kalau kita
kekeringan?" tanya Deni. Dia dipercaya teman-temannya memikul tanggung
jawab sebagai ketua karang taruna.
"Jangan khawatir, tak perlu cemas atuh, Den. Kan kita mah
punya mata air si Caringin. Dari dulu sampai sekarang, itu teh gak pernah
kering. Dari abah kecil, belum pernah desa kita kehabisan air." Abah Jaya,
tokoh masyarakat yang dikenal garang. Namun, dia akan berada di depan jika hal
buruk terjadi pada desanya. Matanya memberi isyarat pada pemuda berusia dua
puluh lima tahun tersebut.
"Tapi Bah, ibu-ibu sudah ramai. Katanya air mulai sering
gak ngalir. Kalau ngalir pun keciiil."
"Masa?" Abah Jaya terkejut begitu pun kepala desa.
"Eeeh ... kan kita teh punya situ. Ngapain bingung
atuh?"
Semua menoleh pada Pak Asid, si empunya suara. Lalu seperti
dikomando, mereka kompak mengalihkan pandangan ke arah lapangan, ketika Pak
Kades berdehem sambil menyomot singkong rebus.
Pak Asid garuk kepala saat Deni memberi isyarat dengan matanya.
Dia baru menyadari kesalahan dalam berbicara. Apa daya, situ yang dulu sebagai
satu-satunya penyelamat setiap kali kemarau melanda, kini statusnya telah
berubah.
Semua orang hanya bilang oh, ketika terdengar berita aset desa
telah tergadai. Tak seorang pun berniat bertanya lebih lanjut ketika area
tersebut dipagar, setelah beberapa kali dikunjungi pengusaha besar. Mereka
hanya melihat dari kejauhan, manakala truk besar mengangkut benih ikan. Lalu
disusul pemasangan papan bertuliskan 'KOLAM IKAN JOHARI', lengkap dengan
keterangan prosedur transaksi.
Sejak hari itu, pemandian umum yang letaknya persis di samping
situ ditutup. Bukan karena aliran air disumbat, tapi karena kualitas air
menjadi keruh dan bau anyir. Debit air situ tak mampu mempertahankan diri dari
pengaruh pakan ikan.
"Lah, itu tinggal dua lagi yang masih berlaga. Itu
punyaku," seru Pak Kades sambil berdiri. Usahanya mengalihkan perhatian,
sukses gemilang.
Yang lainnya ikut berdiri. Abah Jaya dan Deni saling berpandangan.
Niat hati untuk membicarakan solusi warga kembali tertunda. Abah Jaya menghela
napas. Teringat omelan istrinya yang selalu kehabisan stok air di rumah.
Sepertinya dia harus berangkat tengah malam ke mata air Caringin, menghindari
antrian yang panjangnya sama dengan jumlah kepala keluarga satu desa.
Pak Kades bertepuk tangan sambil tertawa. Layang-layang miliknya
menang di arena. Walau dimainkan oleh pembantu, tapi gelar juara tetap tersemat
padanya.
"Sudah kubilang, layang-layangku bertuah," ujarnya
sambil menunjuk ke atas. Tawanya keras terbahak-bahak.
Layang-layang berbentuk naga raksasa menari sendiri. Terlihat
gagah di bawah langit sore yang masing biru. Kembali dia mengalahkan seluruh
layang-layang milik warga. Satu persatu disabetnya hingga terputus dan jatuh.
Seringai naga seolah unjuk diri, bahwa dialah juara dan satu-satunya di setiap
pesta rakyat.
Warna jingga mulai menyapu cakrawala. Pertanda pesta sudah usai.
Namun, Abah Jaya dan Deni masih berdiam di sudut panggung. Pandangan keduanya
kosong menatap lapangan sepi. Hanya dihuni sampah berserakan yang lupa dibawa
pulang pemiliknya.
"Bagaimana, Bah?" Deni menoleh sebentar, lalu kembali
matanya menatap lurus ke depan.
"Kita telah salah langkah, Den." Suara Abah Jaya
terlampau halus, tak sebanding dengan tinggi tegapnya perawakan. Jambang dan
jenggot di wajah serta kain iket yang menghias kepala.
"Maksud Abah?"
"Dulu, kita salah menilai." Kepala Abah Jaya
tertunduk. Ingatannya bergerak ke masa-masa yang lalu.
Satu waktu ketika dia sangat semangat memberi arahan pada warga.
Tentang calon kepala desa idaman. Seorang yang berpendidikan dan telah beberapa
kali mendapat penghargaan di bidang sosial. Dia sangat berwibawa dan nyaris tak
ada cela. Impian Abah Jaya tentang desanya yang maju, dia letakkan di pundak
Pak Surya.
Deni menghela napas. Pikirannya pun sama, melayang ke dua tahun
yang lalu. Perbincangan indah tentang program-program yang ditawarkan Pak
Surya, sanggup mengalahkan panggilan kerja dari ibukota. Gaji besar tak mampu
meluruhkan cintanya pada tanah kelahiran. Dia sudah membayangkan, potensi
pemuda desa akan berkembang bersama kepemimpinan Pak Surya.
"Mungkin dulu kita benar saat menilai, tapi waktu telah
mengubah jati diri," gumam Deni seolah untuk dirinya sendiri.
"Tapi kita tak boleh menyerah, Bah." Lanjut Deni
setelah tak ada reaksi dari sosok di samping.
"Kamu benar, Den. Cukuplah layang-layang kita saja yang
kalah."
Suara Abah Jaya masih terdengar lemah. Dia masih ingat bagaimana
sang kepala desa menancapkan kuku kekuasaannya di setiap pondasi desa. Struktur
yang terpampang di kantor seolah hanya hiasan. Entah siapa yang meniupkan rumor
tentang layang-layang sakti milik Pak Surya. Celakanya rumor tersebut tersebar
ke seluruh pelosok desa, membuat rasa takut bersemayam di hati warga. Hingga
setiap kata-kata lelaki pemilik layang-layang naga menjadi tak terbantahkan.
Sialnya, layang-layang itu kini menang lagi. Mungkin alam masih
memihak Pak Surya, atau takdir sedang menguji kesabaran warga. Yang jelas,
kemenangannya kali ini semakin menguatkan cerita tentang tuah yang melekat pada
layang-layang naga. Artinya semakin kokoh kekuatan Pak Surya di benak
masyarakat. Makin leluasa pula sang kepala desa berbuat sesuka hati. Seolah
dirinya adalah raja, pemilik desa beserta seluruh isinya. Tak terkecuali
penghuni yang bernyawa.
Abah Jaya menepuk pundak Deni. "Kita harus segera mencari
solusi masalah air buat penduduk."
"Iya, Bah." Deni bangkit lalu berjalan di belakang
lelaki paruh baya yang masih terlihat gagah. Dia belum tahu solusi yang
dimaksud Abah Jaya. Seperti kemarau tahun kemarin, kenyataannya solusi tak
pernah ditemukan hingga musim hujan datang.
Pak Surya tak akan pernah merasakan bersusah payah mencari air.
Mesin air miliknya mampu menjangkau sumur artesis dibawah permukaan bumi. Dia
tak perlu khawatir akan kekurangan salah satu sumber kehidupan tersebut. Andai
terjadi pun, kekuasaannya akan mampu mendatangkan mobil tangki air dari kota.
Namun, hanya untuk dirinya sendiri. Terbukti, walau tiap hari ada laporan dari
warga tentang kesulitan air, tak pernah ditindak lanjuti. Alih-alih
mengupayakan solusi, rapat darurat pun tak pernah terjadi.
"Nanti malam kau mau ikut?" tanya Abah Jaya tiba-tiba.
"Ke mana?" tanya Deni sambil menjejeri langkah lelaki
yang dia teladani.
"Ngantri air di Caringin." Abah Jaya terkekeh.
Deni tertawa mengingat dirinya pun sudah dua hari tak kebagian
air untuk mandi.
Bandung, 14 Agustus 2019
Biodata:
Penulis adalah seorang ibu yang mulai belajar menulis sejak awal
tahun 2019. Saat ini berusaha aktif di beberapa komunitas menulis Facebook.
Meskipun tulisannya masih banyak yang harus dibenahi, dia berharap melalui
rangkaian aksara bisa menebarkan secuil kebaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.