Sabtu, 24 Agustus 2019

#Jumat_Cerbung - Mutiara yang Tak Tersentuh Part 7 - Muara Cinta Sang Bidadari - Isdamaya Seka - Sastra Indonesia Org







Muara Cinta Sang Bidadari
Karya: Isdamaya Seka

“Halimah ... mau menikah? Secepat itu?” batin Imran bertanya-tanya.
Dokter tampan itu semakin mempertajam pendengarannya. Obrolan tentang pernikahan Halimah tak ingin ia lewatkan. Sedikit pun. Ia bahkan tak lagi fokus dengan apa yang dibicarakan Khalid, suami Fatia.
"Kamu ... beneran mau menikah, Nak?" tanya Bu Yani yang juga tak kalah terkejut dengan putranya.
Halimah menoleh sejenak ke arah Fatia, kemudian menjawab, "Iya, insyaa Allah, Bu."
Mendengar apa yang diucapkan Halimah, mendadak ada perih yang menjalar di hati. Imran menarik napas panjang. Seharusnya ia bahagia mendengar kabar tersebut. Tapi rasa sakitlah yang justru mendominasi.
“Tidak ada orang yang tidak mau menikah, bukan?” batin Halimah. Ia menganggap pertanyaan Bu Yani sebagai doa. Jawaban yang ia berikan tidak bermaksud membohongi wanita paruh baya itu.
Halimah cukup terkejut dengan perkataan Fatia. Atas sebab apa sahabatnya itu mengatakan bahwa dirinya akan segera menyusul ke pernikahan? Halimah jadi merasa tak enak hati dengan Bu Yani dan juga Imran. Sebab baru beberapa hari sejak lamaran Imran.
"Selamat, ya, Nak Halimah ... ibu senang mendengarnya," ucap Bu Yani. Antara senang dan sedih, harapan untuk memiliki menantu sebaik Halimah pupus sudah.
Halimah tersenyum. Ucapan selamat dari Bu Yani menciptakan desiran halus di hatinya. Ada kepedihan atas luka yang belum kering.
Imran ... lelaki itu sempat memberi harapan. Membuat hati yang gersang kian bersemi. Sayang, semua itu hanya sebuah harap. Di hati seorang muslimah yang tak pernah tahu rasanya mencintai.
"Kapan acaranya, Nak?" tanya Bu Yani.
Halimah bingung harus menjawab apa. Ia menoleh kembali ke sahabatnya. Sorot matanya memohon bantuan untuk mengatakan kalau Fatia tadi hanya bergurau.
"Maaf, Bu, kalau saya yang menjawab. Karena Halimah merasa tak enak hati dengan Bu Yani. Pernikahan Halimah insyaa Allah akan dilakukan dalam waktu dekat. Untuk tanggalnya masih belum dipastikan. Bu Yani dan keluarga pasti diundang," jawab Fatia tanpa ragu.
"Oh ... begitu. Ibu pasti akan datang," kata Bu Yani.
Halimah menarik napas, beristigfar atas cerita palsu yang diciptakan Fatia. Ia merasa harus segera pergi agar tidak berlanjut lebih jauh. Kebohongan dalam hal apa pun tak pernah bisa dibenarkan.
"Kalau begitu kami pulang dulu, Bu Yani," pamit Halimah.
Sementara di atas brankar, pemuda malang itu memejamkan mata setelah Khalid meninggalkannya. Pikirannya melayang pada sosok Halimah. Ia yang melepas, kenapa ia yang merasa tidak rela?

۞۞۞

"Fatia, kenapa waktu itu kamu bilang ke Bu Yani kalau aku segera menyusulmu?" tanya Halimah di sebuah taman. Melepas rindu pada Fatia yang sudah seminggu tak bertemu.
Halimah sudah tidak sabar ingin klarifikasi langsung dari sahabatnya. Namun ia harus menunggu hingga Fatia menghabiskan masa cuti pengantin barunya. Dan menanyakan hal itu setelah pulang mengajar.
"Insyaa Allah kamu juga akan menikah, bukan?" kata Fatia santai.
"Kamu ini ... sedang merencanakan apa, sih? Mau coba bikin Akh Imran cemburu?"
"Kalau iya, bagaimana?"
"Ada-ada saja kamu, Fat. Tidak baik begitu."
"Kamu senang tidak kalau dia cemburu?" goda Fatia.
"Tidak! Aku tidak ingin menyakiti siapa pun. Dan lagi ... tak akan ada lelaki yang cemburu padaku." Halimah menunduk sedih.
"Maafin aku, ya, Mah."
Halimah mengangguk.
"Percayalah, ukhti salihah, Allah pasti sudah mempersiapkan sang imam untukmu. Lelaki terbaik, yang pantas memiliki mutiara berharga sepertimu."
Halimah mengangguk dan memperlihatkan seulas senyum. Kata-kata Fatia cukup menghibur dan menguatkan hatinya.
"Mah, kamu ingat aku pernah bilang ingin mengenalkanmu pada seorang ikhwan?"
Halimah mengangguk.
"Bagaimana menurutmu?" tanya Fatia.
"Aku tidak mau lagi dijodohkan, Fat. Jujur saja, meski sudah kumaafkan, perbuatan Akh Imran cukup membuatku trauma."
"Aku paham. Tapi mau sampai kapan kamu seperti itu?"
Halimah bergeming. Menatap burung-burung yang terbang melintasi langit biru.
"Dia lelaki yang sangat baik. Pria dewasa yang lembut. Fisik bukan segalanya baginya.
Sosok seperti itu, pasti mampu melihat keindahan surga pada dirimu."
"Kenapa kamu bisa begitu mengenalnya, Fat?" tanya Halimah penasaran.
"Dia ... sepupuku."
"Sepupu?" Fatia mengangguk.
"Dia akan mundur setelah melihatku, Fat."
"Tidak!" tegas Fatia. Sorot mata Fatia memancarkan sebuah keyakinan tanpa ragu.


"Bagaimana kamu bisa seyakin itu?"
"Karena dia sudah pernah melihatmu. Dan aku menceritakan tentangmu padanya."
"Melihatku? Kapan?" Halimah semakin penasaran.
"Saat pernikahanku."
"Aku ... tidak tahu harus bagaimana, Fat," ucap Halimah lirih.
"Sebelumnya, ada satu hal yang harus kamu tahu, Mah, tentang lelaki itu."
"Apa itu?" tanya Halimah antusias.
"Dia sudah memiliki istri." Fatia menatap lembut kedua netra sahabatnya.
"I-is-tri?" Terbata Halimah mengucapkan satu kata itu. Fatia mengangguk.
"Apakah aku serendah itu, Fat ...?" tanya Halimah parau. Sepasang matanya berkaca-kaca. Ia mendongak agar butiran bening itu tidak tumpah.
"Tidak, Mah. Menjadi istri kedua bukan sesuatu yang rendah. Bukankah sunnah memiliki istri lebih dari satu jika sang lelaki mampu berbuat adil?"
"Tapi aku merasa rendah, Fat. Hanya karena wajahku yang buruk rupa ...." Halimah tak kuasa lagi membendung air mata. Ia terisak sembari menutup wajah dengan kedua telapak tangan.
"Maafkan aku, Mah ...."
Fatia memeluk sahabatnya. Ia merasa bersalah, namun ia ingin Halimah bahagia. Merasakan indahnya mengarungi bahtera rumah tangga. Membuktikan bahwa tak semua kaum Adam hanya melihat wanita hanya dari rupa.
"Halimah ...."
Halimah segera mengusap air matanya. Menatap sayu pada Fatia.
"Maafkan aku, Fat. Aku tahu kamu sahabat yang baik. Kamu juga ingin aku bahagia. Tapi ... aku tidak ingin merusak kebahagiaan orang lain."
"Istri pertama?"
Halimah mengangguk.
"Justru beliau yang ingin sang suami menikah lagi."
Halimah mengernyit.
"Kamu tidak percaya?" tanya Fatia.
"Ada wanita sebaik itu?" Halimah bertanya balik.
"Kenapa tidak? Bukankah ada wanita sebaik kamu juga?"
"Aku tak sebaik itu," balas Halimah.
Kedua sahabat itu saling melempar senyum. Menikmati semilir angin yang menyapu ujung kerudung mereka.
"Jadi ... kamu bersedia, Mah?" tanya Fatia menanti keputusan Halimah.
"Akan kupikirkan dulu, Fat. Aku tidak ingin mengambil keputusan tanpa melibatkan Allah."
"Seminggu," ucap Fatiah. Halimah menoleh penuh tanda tanya.
"Seminggu?" tanyanya.
"Iya. Seminggu lagi aku akan mempertemukanmu dengan wanita itu. Dia sudah tahu tentangmu. Bahkan dia berharap kamu mau jadi adiknya."

۞۞۞

'Istri kedua ...?'
Pertanyaan itu terus menerus melintas di benak Halimah. Ia gelisah memikirkan hal itu. Haruskah ia menolak dan menyendiri hingga waktu yang Allah tentukan? Atau memang begitukah jalan jodohnya?
“Sepupu Fatia ... apakah dia benar-benar bisa menerimaku apa adanya? Dan istrinya? Benarkah tulus menjadikanku madu dalam rumah tangganya” batin Halimah bertanya-tanya.
"Akh Imran, bagaimana kondisinya sekarang?" gumam Halimah.
Terakhir kali ia menjenguk Imran ketika bersama Fatia dan Khalid. Setelahnya, ia bahkan tak berani menelepon Bu Yani untum menanyakan kabar dokter muda itu. Biar bagaimana pun, kondisi Imran seperti itu juga akibat kesalahannya.
Halimah melirik benda berbentuk bulat yang menempel di dinding kamarnya. Jarum jam menunjukkan pukul delapan malam. Ada dorongan kuat yang membuat Halimah ingin sekali menanyakan kondisi sang ikhwan pada Bu Yani.
Ia mengambil gawai di atas nakas. Memberanikan diri menekan nomor kontak Bu Yani, dan menekan tombol panggilan.
'Tuuut ... tuuut ....' Suara panggilan terhubung. Detak jantung Halimah terasa lebih cepat. Ia gugup meski hanya ingin menanyakan kabar Imran.
"Assalamualaikum ...." Terdengar suara Bu Yani dari ujung telepon.
"Wa-Wa'alaikumussalam ... Bu Yani, maaf menganggu."
"Nak Halimah, ibu senang kamu menelepon. Bagaimana kabarmu, Nak?"
"Alhamdulillah baik, Bu. Saya ... ingin menanyakan kabar Akh Imran, Bu."
"Alhamdulillah Imran sudah lebih baik. Tidak merasa sakit lagi di kepala. Hanya tinggal pemulihan tulang bahunya saja."
"Alhamdulillah ... saya lega mendengarnya, Bu. Karena kecelakaan itu juga saya penyebabnya."
"Jangan begitu. Semua itu qadratullah. Oh ya, ini ibu lagi duduk di samping Imran. Dia ingin bicara sama kamu."
“Hah?” batin Halimah terkejut. Ia sama sekali tidak menyangka jika Bu Yani sedang bersama lelaki itu.
"Assalamualaikum ...."
"Wa-Waalaikumussalam ...."
"Ukhti, saya minta maaf atas perbuatan saya. Semoga Ukhti mau memaafkan. Dan maaf juga jika saya hanya mampu mengatakannya lewat telepon ini. Jika sudah benar-benar pulih, saya akan meminta maaf langsung pada Ukhti dan juga Ustaz Hanafi," ucap Imran panjang lebar.
"Na'am. Saya sudah memaafkan. Begitu juga Ustaz Hanafi. Syafakallah. Laa ba'tsa thohuruun, insyaa Allah," balas Halimah.
"Aaamiin. Afwan, benarkah kalau Ukhti akan segera menikah?"
Pertanyaan Imran membuat Halimah bingung harus menjawab bagaimana.
"Afwan, Akh, bisa berikan teleponnya pada Bu Yani?"
"Ah, iya."
Halimah lega, akhirnya ia tak harus menjawab pertanyaan Imran. Ia menutup panggilan setelah berbicara dengan Bu Yani.
“Kenapa Halimah tidak mau menjawab?” batin Imran penasaran.


Biodata:

Seorang ibu rumah tangga yang ingin berdakwah lewat sebuah kisah. Berharap cerbung yang nanti akan dinovelkan ini bisa menjadi Novel Best Seller dan diangkat ke layar lebar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.