Muara
Cinta Sang Bidadari
Karya:
Isdamaya Seka
“Halimah ... mau menikah? Secepat itu?” batin Imran
bertanya-tanya.
Dokter
tampan itu semakin mempertajam pendengarannya. Obrolan tentang pernikahan
Halimah tak ingin ia lewatkan. Sedikit pun. Ia bahkan tak lagi fokus dengan apa
yang dibicarakan Khalid, suami Fatia.
"Kamu ... beneran mau menikah, Nak?" tanya
Bu Yani yang juga tak kalah terkejut dengan putranya.
Halimah menoleh sejenak ke arah Fatia, kemudian
menjawab, "Iya, insyaa Allah, Bu."
Mendengar apa yang diucapkan Halimah, mendadak ada
perih yang menjalar di hati. Imran menarik napas panjang. Seharusnya ia bahagia
mendengar kabar tersebut. Tapi rasa sakitlah yang justru mendominasi.
“Tidak ada orang yang tidak mau menikah, bukan?”
batin Halimah. Ia menganggap pertanyaan Bu Yani sebagai doa. Jawaban yang ia
berikan tidak bermaksud membohongi wanita paruh baya itu.
Halimah cukup terkejut dengan perkataan Fatia. Atas
sebab apa sahabatnya itu mengatakan bahwa dirinya akan segera menyusul ke
pernikahan? Halimah jadi merasa tak enak hati dengan Bu Yani dan juga Imran.
Sebab baru beberapa hari sejak lamaran Imran.
"Selamat, ya, Nak Halimah ... ibu senang
mendengarnya," ucap Bu Yani. Antara senang dan sedih, harapan untuk
memiliki menantu sebaik Halimah pupus sudah.
Halimah tersenyum. Ucapan selamat dari Bu Yani
menciptakan desiran halus di hatinya. Ada kepedihan atas luka yang belum
kering.
Imran ... lelaki itu sempat memberi harapan. Membuat
hati yang gersang kian bersemi. Sayang, semua itu hanya sebuah harap. Di hati
seorang muslimah yang tak pernah tahu rasanya mencintai.
"Kapan acaranya, Nak?" tanya Bu Yani.
Halimah bingung harus menjawab apa. Ia menoleh
kembali ke sahabatnya. Sorot matanya memohon bantuan untuk mengatakan kalau
Fatia tadi hanya bergurau.
"Maaf, Bu, kalau saya yang menjawab. Karena
Halimah merasa tak enak hati dengan Bu Yani. Pernikahan Halimah insyaa Allah
akan dilakukan dalam waktu dekat. Untuk tanggalnya masih belum dipastikan. Bu
Yani dan keluarga pasti diundang," jawab Fatia tanpa ragu.
"Oh ... begitu. Ibu pasti akan datang,"
kata Bu Yani.
Halimah menarik napas, beristigfar atas cerita palsu
yang diciptakan Fatia. Ia merasa harus segera pergi agar tidak berlanjut lebih
jauh. Kebohongan dalam hal apa pun tak pernah bisa dibenarkan.
"Kalau begitu kami pulang dulu, Bu Yani,"
pamit Halimah.
Sementara di atas brankar, pemuda malang itu memejamkan mata
setelah Khalid meninggalkannya. Pikirannya melayang pada sosok Halimah. Ia yang
melepas, kenapa ia yang merasa tidak rela?
۞۞۞
"Fatia, kenapa waktu itu kamu bilang ke Bu Yani
kalau aku segera menyusulmu?" tanya Halimah di sebuah taman. Melepas rindu
pada Fatia yang sudah seminggu tak bertemu.
Halimah sudah tidak sabar ingin klarifikasi langsung
dari sahabatnya. Namun ia harus menunggu hingga Fatia menghabiskan masa cuti
pengantin barunya. Dan menanyakan hal itu setelah pulang mengajar.
"Insyaa Allah kamu juga akan menikah,
bukan?" kata Fatia santai.
"Kamu ini ... sedang merencanakan apa, sih? Mau
coba bikin Akh Imran cemburu?"
"Kalau iya, bagaimana?"
"Ada-ada saja kamu, Fat. Tidak baik
begitu."
"Kamu senang tidak kalau dia cemburu?"
goda Fatia.
"Tidak! Aku tidak ingin menyakiti siapa pun.
Dan lagi ... tak akan ada lelaki yang cemburu padaku." Halimah menunduk
sedih.
"Maafin aku, ya, Mah."
Halimah mengangguk.
"Percayalah, ukhti salihah, Allah pasti sudah
mempersiapkan sang imam untukmu. Lelaki terbaik, yang pantas memiliki mutiara
berharga sepertimu."
Halimah mengangguk dan memperlihatkan seulas senyum.
Kata-kata Fatia cukup menghibur dan menguatkan hatinya.
"Mah, kamu ingat aku pernah bilang ingin
mengenalkanmu pada seorang ikhwan?"
Halimah mengangguk.
"Bagaimana menurutmu?" tanya Fatia.
"Aku tidak mau lagi dijodohkan, Fat. Jujur
saja, meski sudah kumaafkan, perbuatan Akh Imran cukup membuatku trauma."
"Aku paham. Tapi mau sampai kapan kamu seperti
itu?"
Halimah bergeming. Menatap burung-burung yang
terbang melintasi langit biru.
"Dia lelaki yang sangat baik. Pria dewasa yang
lembut. Fisik bukan segalanya baginya.
Sosok seperti itu, pasti mampu melihat keindahan
surga pada dirimu."
"Kenapa kamu bisa begitu mengenalnya,
Fat?" tanya Halimah penasaran.
"Dia ... sepupuku."
"Sepupu?" Fatia mengangguk.
"Dia akan mundur setelah melihatku, Fat."
"Tidak!" tegas Fatia. Sorot mata Fatia
memancarkan sebuah keyakinan tanpa ragu.
"Bagaimana kamu bisa seyakin itu?"
"Karena dia sudah pernah melihatmu. Dan aku
menceritakan tentangmu padanya."
"Melihatku? Kapan?" Halimah semakin
penasaran.
"Saat pernikahanku."
"Aku ... tidak tahu harus bagaimana, Fat,"
ucap Halimah lirih.
"Sebelumnya, ada satu hal yang harus kamu tahu,
Mah, tentang lelaki itu."
"Apa itu?" tanya Halimah antusias.
"Dia sudah memiliki istri." Fatia menatap
lembut kedua netra sahabatnya.
"I-is-tri?" Terbata Halimah mengucapkan
satu kata itu. Fatia mengangguk.
"Apakah aku serendah itu, Fat ...?" tanya
Halimah parau. Sepasang matanya berkaca-kaca. Ia mendongak agar butiran bening
itu tidak tumpah.
"Tidak, Mah. Menjadi istri kedua bukan sesuatu
yang rendah. Bukankah sunnah memiliki istri lebih dari satu jika sang lelaki
mampu berbuat adil?"
"Tapi aku merasa rendah, Fat. Hanya karena
wajahku yang buruk rupa ...." Halimah tak kuasa lagi membendung air mata.
Ia terisak sembari menutup wajah dengan kedua telapak tangan.
"Maafkan aku, Mah ...."
Fatia memeluk sahabatnya. Ia merasa bersalah, namun
ia ingin Halimah bahagia. Merasakan indahnya mengarungi bahtera rumah tangga.
Membuktikan bahwa tak semua kaum Adam hanya melihat wanita hanya dari rupa.
"Halimah ...."
Halimah segera mengusap air matanya. Menatap sayu
pada Fatia.
"Maafkan aku, Fat. Aku tahu kamu sahabat yang
baik. Kamu juga ingin aku bahagia. Tapi ... aku tidak ingin merusak kebahagiaan
orang lain."
"Istri pertama?"
Halimah mengangguk.
"Justru beliau yang ingin sang suami menikah
lagi."
Halimah mengernyit.
"Kamu tidak percaya?" tanya Fatia.
"Ada wanita sebaik itu?" Halimah bertanya
balik.
"Kenapa tidak? Bukankah ada wanita sebaik kamu
juga?"
"Aku tak sebaik itu," balas Halimah.
Kedua sahabat itu saling melempar senyum. Menikmati
semilir angin yang menyapu ujung kerudung mereka.
"Jadi ... kamu bersedia, Mah?" tanya Fatia
menanti keputusan Halimah.
"Akan kupikirkan dulu, Fat. Aku tidak ingin
mengambil keputusan tanpa melibatkan Allah."
"Seminggu," ucap Fatiah. Halimah menoleh
penuh tanda tanya.
"Seminggu?" tanyanya.
"Iya. Seminggu lagi aku akan mempertemukanmu
dengan wanita itu. Dia sudah tahu tentangmu. Bahkan dia berharap kamu mau jadi
adiknya."
۞۞۞
'Istri kedua ...?'
Pertanyaan itu terus menerus melintas di benak
Halimah. Ia gelisah memikirkan hal itu. Haruskah ia menolak dan menyendiri
hingga waktu yang Allah tentukan? Atau memang begitukah jalan jodohnya?
“Sepupu Fatia ... apakah dia benar-benar bisa
menerimaku apa adanya? Dan istrinya? Benarkah tulus menjadikanku madu dalam
rumah tangganya” batin Halimah bertanya-tanya.
"Akh Imran, bagaimana kondisinya
sekarang?" gumam Halimah.
Terakhir kali ia menjenguk Imran ketika bersama
Fatia dan Khalid. Setelahnya, ia bahkan tak berani menelepon Bu Yani untum
menanyakan kabar dokter muda itu. Biar bagaimana pun, kondisi Imran seperti itu
juga akibat kesalahannya.
Halimah melirik benda berbentuk bulat yang menempel
di dinding kamarnya. Jarum jam menunjukkan pukul delapan malam. Ada dorongan
kuat yang membuat Halimah ingin sekali menanyakan kondisi sang ikhwan pada Bu
Yani.
Ia mengambil gawai di atas nakas. Memberanikan diri
menekan nomor kontak Bu Yani, dan menekan tombol panggilan.
'Tuuut ... tuuut ....' Suara panggilan terhubung.
Detak jantung Halimah terasa lebih cepat. Ia gugup meski hanya ingin menanyakan
kabar Imran.
"Assalamualaikum ...." Terdengar suara Bu
Yani dari ujung telepon.
"Wa-Wa'alaikumussalam ... Bu Yani, maaf
menganggu."
"Nak Halimah, ibu senang kamu menelepon.
Bagaimana kabarmu, Nak?"
"Alhamdulillah baik, Bu. Saya ... ingin
menanyakan kabar Akh Imran, Bu."
"Alhamdulillah Imran sudah lebih baik. Tidak
merasa sakit lagi di kepala. Hanya tinggal pemulihan tulang bahunya saja."
"Alhamdulillah ... saya lega mendengarnya, Bu.
Karena kecelakaan itu juga saya penyebabnya."
"Jangan begitu. Semua itu qadratullah. Oh ya, ini ibu lagi duduk di samping Imran. Dia ingin
bicara sama kamu."
“Hah?” batin Halimah terkejut. Ia sama sekali tidak
menyangka jika Bu Yani sedang bersama lelaki itu.
"Assalamualaikum ...."
"Wa-Waalaikumussalam ...."
"Ukhti, saya minta maaf atas perbuatan saya.
Semoga Ukhti mau memaafkan. Dan maaf juga jika saya hanya mampu mengatakannya
lewat telepon ini. Jika sudah benar-benar pulih, saya akan meminta maaf
langsung pada Ukhti dan juga Ustaz Hanafi," ucap Imran panjang lebar.
"Na'am.
Saya sudah memaafkan. Begitu juga Ustaz Hanafi. Syafakallah. Laa ba'tsa thohuruun, insyaa Allah," balas
Halimah.
"Aaamiin.
Afwan, benarkah kalau Ukhti akan
segera menikah?"
Pertanyaan Imran membuat Halimah bingung harus
menjawab bagaimana.
"Afwan, Akh, bisa berikan teleponnya pada Bu
Yani?"
"Ah, iya."
Halimah lega, akhirnya ia tak harus menjawab
pertanyaan Imran. Ia menutup panggilan setelah berbicara dengan Bu Yani.
“Kenapa Halimah tidak mau menjawab?” batin Imran
penasaran.
Biodata:
Seorang ibu rumah tangga yang ingin berdakwah lewat
sebuah kisah. Berharap cerbung yang nanti akan dinovelkan ini bisa menjadi
Novel Best Seller dan diangkat ke
layar lebar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.