Mutiara
yang Tak Tersentuh Part 5
Oleh : Isdamaya Seka
Andai mutiara
yang tersimpan dalam diri Halimah itu dapat terlihat, tak akan ada lelaki
beriman yang menolak menikahinya. Cahaya surga, terpancar jelas di wajahnya.
Halimah dan
Fatia menunggu di depan ruang Instalasi Gawat Darurat. Kecemasan terpancar
jelas dari wajah teduh gadis itu. Rasa bersalah itu muncul, andai saja ia tidak
mengabaikan Imran ....
"Halimah!"
Bu Yani yang baru tiba di rumah sakit menghambur ke arahnya. Memeluk erat gadis
itu dan terisak.
Di belakangnya,
berdiri Pak Rudi yang menunduk. Tak berani memandang wajah Halimah. Rasa malu
akan sikapnya juga Imran membuatnya tak berani mengangkat wajah.
"Bu, Akh
Imran di dalam."
"Iya,
sudah ditangani dokter Andi. Tadi beliau menghubungi Ibu. Kita tunggu saja
hasil pemeriksaannya," jelas Bu Yani setelah melepaskan pelukan. Menyeka
air mata dengan jemarinya.
"Bu Yani,
maafkan Halimah."
"Ini bukan
salah kamu, Halimah. Ini semua qadarullah."
"Tapi Akh
Imran meng--." Kalimat Halimah terhenti karena Bu Yani menempelkan
telunjuknya di bibir Halimah.
"Jangan
menyalahkan dirimu, Nak. Mungkin ini semua teguran dari Allah."
Gadis itu
bergeming.
"Imran
sudah menceritakannya pada kami. Ibu minta maaf, Nak," lanjut Bu Yani,
kembali menitikkan air mata.
"Saya juga
minta maaf, Nak Halimah. Maafkan atas kata-kata saya waktu itu. Juga atas sikap
Imran." Pak Rudi melangkah mendekati Halimah, memandangnya sejenak. Pria
paruh baya berwatak keras itu akhirnya melunak.
"Sudah
saya maafkan, Pak, Bu," jawab Halimah.
"Kamu
memang berhati mulia, Nak. Wanita sebaik kamu mungkin memang tidak pantas untuk
anak kami yang pengecut," ucap Bu Yani.
"Masyaa
Allah, Bu. Saya hanya manusia biasa. Jodoh Allah yang mengatur, semua saya
serahkan pada-Nya."
Sebuah murotal
surah Ar Rahman dari Syaikh Mishary Rasheed Al-Afasy di gawai Fatia
menghentikan percakapan Bu Yani dan Halimah. Fatia sedikit menjauh untuk
menerima panggilan telepon dari orang tuanya.
"Mah, aku
harus pulang sekarang," ucap Fatia menghampiri Halimah setelah menutup
telepon.
Lusa Fatia akan
melangsungkan pernikahan. Seharusnya hari ini ia sudah libur mengajar, namun
tetap saja ia ingin masuk. Persiapan untuk acara akad nikah dan walimah sudah
dilakukan oleh keluarga. Tidak ada hal lain yang harus ia lakukan di rumah.
Hari ini gadis
cantik itu harus menuruti kehendak orang tua. Melakukan luluran, 'facial',
serta serangkaian kegiatan lain sebelum pernikahan. Agar kulit lebih segar dan
cantik saat menikah, begitu kata orang tuanya.
"Iya, Fat.
Maaf, kamu jadi terlambat pulang."
"Kamu juga
pulanglah, Nak. Istirahat," pinta Bu Yani pada Halimah.
"Saya
khawatir kondisi Akh Imran, Bu."
"Jangan
khawatir, insyaa Allah semua akan baik-baik saja. Istirahatlah."
"Kalau
begitu kami pulang dulu, Bu Yani, Pak Rudi," pamit Halimah.
"Assalamualaikum,"
ucap Halimah dan Fatia bersamaan.
"Wa'alaikumussalam."
♦♦♦
Hasil
pemeriksaan Imran sudah keluar. Pemeriksaan dengan Glasgow Coma Scale (GCS)
menunjukkan nilai 13, yang artinya Imran hanya mengalami cedera ringan di
bagian kepala.
Imran tidak
kehilangan kesadaran. Hanya saja, ia seperti orang linglung. Terasa sakit di
kepala serta hilang keseimbangan.
Pantauan selama
24 jam pun dilakukan. Tidak ada gejala-gejala yang harus diwaspadai. Beruntung,
saat terpental ke trotoar, bukan kepalanya duluan yang mendarat di sana.
Dokter Andi,
yang juga rekan sesama dokter di rumah sakit tersebut telah melakukan
pemeriksaan radiologi. Diagnosis dilakukan setelah mempertimbangkan riwayat
kejadian dan posisi saat terjatuh. Halimah menceritakan bagaimana posisi Imran
ketika melihatnya sudah terbaring di tepi trotoar.
Hasil dari
pemeriksaan radiologi menunjukkan adanya patah tulang Clavikula di bahu kiri
Imran. Yaitu tulang panjang penghubung antara tulang dada dengan tulang
belikat. Foto X-Ray menunjukkan kedua patahan saling berdekatan dalam satu
garis lurus. Tidak berubah dari posisi semula.
Tidak ada
cedera yang perlu diwaspadai pada Imran. Tidak memerlukan tindakan operasi
apapun. Hanya saja, memerlukan waktu cukup lama untuk pemulihan, terutama pada
bagian bahunya yang patah.
♦♦♦
Halimah pulang
dengan perasaan tak menentu. Ia masih belum mengetahui perihal kondisi Imran.
Wajah gadis itu sayu, matanya memancarkan kesedihan. Ia berjalan lunglai ke
dalam rumah.
"Assalamualaikum,"
ucapnya ketika memasuki rumah.
"Wa'alaikumussalam.
Halimah, apa yang terjadi?" Bu Piana seolah menangkap hal buruk yang
menimpa keponakan suaminya dari gestur yang Halimah tunjukkan.
"Imran
kecelakaan, Ammah. Dan itu karena Halimah." Pertahanan gadis itu selalu
rubuh ketika berbicara dengan bibinya. Ada rasa nyaman di sana, rasa cinta dari
seorang ibu.
"Innalillah
... terus sekarang kondisinya bagaimana, Nak?"
"Kurang
tau, Ammah. Tadi Bu Yani menyuruh Halimah pulang untuk istirahat.
"Kenapa
kamu bilang itu karena kamu?"
Halimah menatap
Bu Piana. Ia tak mungkin lagi menyembunyikan fakta. Akhirnya gadis itu
menceritakan perihal kecelakaan Imran dan apa yang membuat Imran menemuinya di
sekolah.
"Ya Allah,
anakku ... betapa besar cobaan untukmu." Bu Piana menumpahkan tangisnya
dengan memeluk Halimah. Ia tak menyangka seorang Imran tega melakukan itu
padanya.
♦♦♦
Imran melangkah
keluar dari sebuah ruangan yang gelap. Hamparan padang rumput yang hijau serta
berbagai macam jenis tumbuhan terlihat sangat indah. Ia berjalan menyusuri
aliran sungai di sepanjang padang tersebut.
Rasa haus
melanda. Ia menepi lalu berjongkok di sisi sungai. Tangannya menyiduk air
sebelum akhirnya ia berteriak dan terjungkal ke belakang.
"Tidaak!"
Imran
memberanikan diri kembali berjongkok di tepi sungai. Melihat pantulan wajahnya
dari air.
"Tidak!
Tidak mungkin! Wajahku ...."
Imran frustasi.
Sesosok wajah dengan kulit hitam seperti terbakar, hidung pesek, gigi yang
tidak rata tumbuh di sana sini. Serta benjolan sebesar biji jagung hampir
memenuhi seluruh bagian wajah. Sungguh mengerikan, Imran nyaris kehilangan
kesadaran melihat dirinya di sana.
Ia menyiduk air
dengan kedua tangannya lalu mengusap-usap kasar ke wajah. Berharap yang ia
lihat hanya halusinasinya saja. Sayang, wajah menyeramkan itu tidak berubah.
"Tidak
mungkin! Itu bukan aku! Bukan aku!" Imran meninju sekuat tenaga air sungai
tersebut. Ia kemudian berlari ke segala arah menjauhi sungai, mencari ruangan
tempat ia tadi berasal.
Lelah ia
berlari, tidak ada apapun yang ia temukan kecuali bunga-bunga dan pepohonan
buah di sepanjang hamparan hijau itu.
Imran gemetar.
Kedua kakinya tak mampu lagi menopang berat tubuhnya. Ia luruh dengan kedua
lutut bertumpu ke tanah.
"Assalamualaikum."
Suara lembut
seorang wanita terdengar dari belakangnya. Imran menoleh, memastikan
pendengarannya tidak salah. Apakah ada manusia lain di tempat ini?
"Assalamualaikum,"
sapa wanita itu lagi seraya tersenyum ketika Imran melihatnya.
"Wa-wa'alaikumussalam.
Siapa kamu?" tanya Imran penasaran.
Gadis cantik
dengan gaun biru muda, berhias permata kecil-kecil di bagian bawah. Kerudung
panjang berwarna senada menambah indah kilau pesonanya. Wajah cerah, bibir
merona, hidung mancung, bulu mata lentik, iris hitam pekat, semua tampak
sempurna di mata Imran. Keindahannya melebihi lukisan pelangi di kala hujan
reda.
"Kamu
tidak mengenal saya, Akhy?" tanya gadis itu.
"Tidak!"
"Saya
Halimah."
Imran
terperanjat. Iris cokelatnya menatap intens ke mata Halimah.
"Benarkah
kamu Halimah?"
Halimah
mengangguk dan tersenyum. Senyuman yang mengalahkan keindahan arunika.
"Kamu
tidak takut melihatku?" tanya Imran.
"Kenapa
harus takut? Bukankah kita sama-sama manusia ciptaan-Nya?"
"Tapi ...
kamu lihat wajahku, menyeramkan!" Imran menunjuk wajah dengan kedua
telunjuknya.
"Sesungguhnya
Allah tidak melihat kepada bentuk-bentuk kalian dan tidak pula harta-harta
kalian, akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amalan kalian." Halimah
mengutip salah satu sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Imran
tertunduk. Merenungi riwayat yang diucapkan gadis cantik yang mengaku sebagai
Halimah.
'Apakah Allah
sedang menghukumku?' batin Imran. Kini wajahnya sungguh buruk rupa. Sedangkan
Halimah, seperti bidadari surga.
Ia mendongak,
melihat sosok Halimah yang masih berdiri di hadapannya.
"Ini
tempat apa?" tanya Imran penasaran.
"Taman
surga," jawab Halimah.
"Taman
surga?" Imran menegaskan kembali ucapan Halimah.
Gadis itu
mengangguk, kemudian berbalik dan meninggalkan Imran.
"Halimah
... tunggu!" Imran berusaha mengejar Halimah, namun langkah kakinya terasa
begitu berat.
"Halimah!"
Gadis itu
menoleh dan tersenyum. Kemudian kembali melanjutkan langkahnya. Perlahan
tubuhnya menghilang hingga tak ada jejak apapun tentang sosok bidadari yang
baru saja menghampiri Imran.
"Halimah!
Halimah ...!" Imran berteriak memanggil sosok Halimah yang sudah tidak
terlihat.
♦♦♦
"Halimah
... Halimah ...." Lirih Imran menyebut-nyebut nama Halimah di atas brankar
dengan tubuh yang lemah.
Bu Yani memeluk
anaknya, berusaha membangunkan Imran dari mimpinya.
"Bangun,
Nak. Imran, kamu mimpi?"
Perlahan dokter
muda itu membuka mata. Ia mengerjap-kerjapkan kelopak untuk memulihkan
penglihatannya. Sekujur tubuh terasa sakit seperti habis dipukuli. Terutama di
bagian bahu kiri, terasa begitu nyeri.
"Halimah
... di mana Halimah?" tanyanya parau. Suaranya begitu lemah, nyaris tak
terdengar.
"Halimah
di rumah. Dia mengkhawatirkan kondisimu. Sekaligus meminta maaf atas kejadian
ini." Ustaz Hanafi mendekat ke brankar.
"Ustaz,
saya minta maaf. Saya yang --."
"Sudahlah,
yang lalu biar berlalu. Bukankah sesama muslim harus saling memaafkan?"
potong Ustaz Hanafi.
Imran
mengangguk pelan. Rasa sakit di kepala masih terasa.
"Mungkin
ini teguran buatku," ucapnya lirih.
'Mimpi itu ...
terasa begitu nyata,' batin Imran. Bulu kuduknya meremang. Begitu burukkah ia
di hadapan Allah?
♦♦♦
Halimah gelisah
menanti paman dan bibinya pulang untuk mengetahui kabar Imran. Ia mengambil
mushaf dan membaca dengan tartil surah Al Mulk. Sebuah surah yang sunnah dibaca
ketika malam hari.
"Ya Allah,
aku memohon kesembuhan pada-Mu atas Akhi Imran. Ampuni aku, Ya Rabb, dan akupun
telah memaafkannya. Sembuhkanlah ia dengan kesembuahan yang baik." Halimah
menutup harinya dengan doa.
Penat begitu melanda
hati dan pikirannya. Lelah tubuh pun tak lagi terasa. Hanya Allah, tempat
Halimah mencurahkan segala rasa dan asa.
Riau, 09 Agustus 2019
Biodata:
Penulis adalah
seorang ibu rumah tangga dengan dua orang putra. Harapannya saat ini, cerbung
di atas bisa segera menjadi novel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.