Sabtu, 10 Agustus 2019

#Jumat_Cerbung - Mutiara yang Tak Tersentuh Part 5 - Isdamaya Seka - Sastra Indonesia Org





Mutiara yang Tak Tersentuh Part 5
Oleh : Isdamaya Seka


Andai mutiara yang tersimpan dalam diri Halimah itu dapat terlihat, tak akan ada lelaki beriman yang menolak menikahinya. Cahaya surga, terpancar jelas di wajahnya.


Halimah dan Fatia menunggu di depan ruang Instalasi Gawat Darurat. Kecemasan terpancar jelas dari wajah teduh gadis itu. Rasa bersalah itu muncul, andai saja ia tidak mengabaikan Imran ....
"Halimah!" Bu Yani yang baru tiba di rumah sakit menghambur ke arahnya. Memeluk erat gadis itu dan terisak.
Di belakangnya, berdiri Pak Rudi yang menunduk. Tak berani memandang wajah Halimah. Rasa malu akan sikapnya juga Imran membuatnya tak berani mengangkat wajah.
"Bu, Akh Imran di dalam."
"Iya, sudah ditangani dokter Andi. Tadi beliau menghubungi Ibu. Kita tunggu saja hasil pemeriksaannya," jelas Bu Yani setelah melepaskan pelukan. Menyeka air mata dengan jemarinya.
"Bu Yani, maafkan Halimah."
"Ini bukan salah kamu, Halimah. Ini semua qadarullah."
"Tapi Akh Imran meng--." Kalimat Halimah terhenti karena Bu Yani menempelkan telunjuknya di bibir Halimah.
"Jangan menyalahkan dirimu, Nak. Mungkin ini semua teguran dari Allah."
Gadis itu bergeming. 
"Imran sudah menceritakannya pada kami. Ibu minta maaf, Nak," lanjut Bu Yani, kembali menitikkan air mata.
"Saya juga minta maaf, Nak Halimah. Maafkan atas kata-kata saya waktu itu. Juga atas sikap Imran." Pak Rudi melangkah mendekati Halimah, memandangnya sejenak. Pria paruh baya berwatak keras itu akhirnya melunak.
"Sudah saya maafkan, Pak, Bu," jawab Halimah.
"Kamu memang berhati mulia, Nak. Wanita sebaik kamu mungkin memang tidak pantas untuk anak kami yang pengecut," ucap Bu Yani.
"Masyaa Allah, Bu. Saya hanya manusia biasa. Jodoh Allah yang mengatur, semua saya serahkan pada-Nya."
Sebuah murotal surah Ar Rahman dari Syaikh Mishary Rasheed Al-Afasy di gawai Fatia menghentikan percakapan Bu Yani dan Halimah. Fatia sedikit menjauh untuk menerima panggilan telepon dari orang tuanya.
"Mah, aku harus pulang sekarang," ucap Fatia menghampiri Halimah setelah menutup telepon. 
Lusa Fatia akan melangsungkan pernikahan. Seharusnya hari ini ia sudah libur mengajar, namun tetap saja ia ingin masuk. Persiapan untuk acara akad nikah dan walimah sudah dilakukan oleh keluarga. Tidak ada hal lain yang harus ia lakukan di rumah.
Hari ini gadis cantik itu harus menuruti kehendak orang tua. Melakukan luluran, 'facial', serta serangkaian kegiatan lain sebelum pernikahan. Agar kulit lebih segar dan cantik saat menikah, begitu kata orang tuanya.
"Iya, Fat. Maaf, kamu jadi terlambat pulang."
"Kamu juga pulanglah, Nak. Istirahat," pinta Bu Yani pada Halimah.
"Saya khawatir kondisi Akh Imran, Bu."
"Jangan khawatir, insyaa Allah semua akan baik-baik saja. Istirahatlah."
"Kalau begitu kami pulang dulu, Bu Yani, Pak Rudi," pamit Halimah.
"Assalamualaikum," ucap Halimah dan Fatia bersamaan.
"Wa'alaikumussalam."

♦♦♦

Hasil pemeriksaan Imran sudah keluar. Pemeriksaan dengan Glasgow Coma Scale (GCS) menunjukkan nilai 13, yang artinya Imran hanya mengalami cedera ringan di bagian kepala.
Imran tidak kehilangan kesadaran. Hanya saja, ia seperti orang linglung. Terasa sakit di kepala serta hilang keseimbangan. 
Pantauan selama 24 jam pun dilakukan. Tidak ada gejala-gejala yang harus diwaspadai. Beruntung, saat terpental ke trotoar, bukan kepalanya duluan yang mendarat di sana.
Dokter Andi, yang juga rekan sesama dokter di rumah sakit tersebut telah melakukan pemeriksaan radiologi. Diagnosis dilakukan setelah mempertimbangkan riwayat kejadian dan posisi saat terjatuh. Halimah menceritakan bagaimana posisi Imran ketika melihatnya sudah terbaring di tepi trotoar.
Hasil dari pemeriksaan radiologi menunjukkan adanya patah tulang Clavikula di bahu kiri Imran. Yaitu tulang panjang penghubung antara tulang dada dengan tulang belikat. Foto X-Ray menunjukkan kedua patahan saling berdekatan dalam satu garis lurus. Tidak berubah dari posisi semula.
Tidak ada cedera yang perlu diwaspadai pada Imran. Tidak memerlukan tindakan operasi apapun. Hanya saja, memerlukan waktu cukup lama untuk pemulihan, terutama pada bagian bahunya yang patah.

♦♦♦

Halimah pulang dengan perasaan tak menentu. Ia masih belum mengetahui perihal kondisi Imran. Wajah gadis itu sayu, matanya memancarkan kesedihan. Ia berjalan lunglai ke dalam rumah.
"Assalamualaikum," ucapnya ketika memasuki rumah.
"Wa'alaikumussalam. Halimah, apa yang terjadi?" Bu Piana seolah menangkap hal buruk yang menimpa keponakan suaminya dari gestur yang Halimah tunjukkan.
"Imran kecelakaan, Ammah. Dan itu karena Halimah." Pertahanan gadis itu selalu rubuh ketika berbicara dengan bibinya. Ada rasa nyaman di sana, rasa cinta dari seorang ibu.
"Innalillah ... terus sekarang kondisinya bagaimana, Nak?"
"Kurang tau, Ammah. Tadi Bu Yani menyuruh Halimah pulang untuk istirahat.
"Kenapa kamu bilang itu karena kamu?"
Halimah menatap Bu Piana. Ia tak mungkin lagi menyembunyikan fakta. Akhirnya gadis itu menceritakan perihal kecelakaan Imran dan apa yang membuat Imran menemuinya di sekolah.
"Ya Allah, anakku ... betapa besar cobaan untukmu." Bu Piana menumpahkan tangisnya dengan memeluk Halimah. Ia tak menyangka seorang Imran tega melakukan itu padanya.

♦♦♦



Imran melangkah keluar dari sebuah ruangan yang gelap. Hamparan padang rumput yang hijau serta berbagai macam jenis tumbuhan terlihat sangat indah. Ia berjalan menyusuri aliran sungai di sepanjang padang tersebut.
Rasa haus melanda. Ia menepi lalu berjongkok di sisi sungai. Tangannya menyiduk air sebelum akhirnya ia berteriak dan terjungkal ke belakang.
"Tidaak!"
Imran memberanikan diri kembali berjongkok di tepi sungai. Melihat pantulan wajahnya dari air.
"Tidak! Tidak mungkin! Wajahku ...."
Imran frustasi. Sesosok wajah dengan kulit hitam seperti terbakar, hidung pesek, gigi yang tidak rata tumbuh di sana sini. Serta benjolan sebesar biji jagung hampir memenuhi seluruh bagian wajah. Sungguh mengerikan, Imran nyaris kehilangan kesadaran melihat dirinya di sana.
Ia menyiduk air dengan kedua tangannya lalu mengusap-usap kasar ke wajah. Berharap yang ia lihat hanya halusinasinya saja. Sayang, wajah menyeramkan itu tidak berubah.
"Tidak mungkin! Itu bukan aku! Bukan aku!" Imran meninju sekuat tenaga air sungai tersebut. Ia kemudian berlari ke segala arah menjauhi sungai, mencari ruangan tempat ia tadi berasal.
Lelah ia berlari, tidak ada apapun yang ia temukan kecuali bunga-bunga dan pepohonan buah di sepanjang hamparan hijau itu.
Imran gemetar. Kedua kakinya tak mampu lagi menopang berat tubuhnya. Ia luruh dengan kedua lutut bertumpu ke tanah.
"Assalamualaikum."
Suara lembut seorang wanita terdengar dari belakangnya. Imran menoleh, memastikan pendengarannya tidak salah. Apakah ada manusia lain di tempat ini?
"Assalamualaikum," sapa wanita itu lagi seraya tersenyum ketika Imran melihatnya.
"Wa-wa'alaikumussalam. Siapa kamu?" tanya Imran penasaran.
Gadis cantik dengan gaun biru muda, berhias permata kecil-kecil di bagian bawah. Kerudung panjang berwarna senada menambah indah kilau pesonanya. Wajah cerah, bibir merona, hidung mancung, bulu mata lentik, iris hitam pekat, semua tampak sempurna di mata Imran. Keindahannya melebihi lukisan pelangi di kala hujan reda.
"Kamu tidak mengenal saya, Akhy?" tanya gadis itu.
"Tidak!"
"Saya Halimah."
Imran terperanjat. Iris cokelatnya menatap intens ke mata Halimah.
"Benarkah kamu Halimah?"
Halimah mengangguk dan tersenyum. Senyuman yang mengalahkan keindahan arunika.
"Kamu tidak takut melihatku?" tanya Imran.
"Kenapa harus takut? Bukankah kita sama-sama manusia ciptaan-Nya?"
"Tapi ... kamu lihat wajahku, menyeramkan!" Imran menunjuk wajah dengan kedua telunjuknya.
"Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk-bentuk kalian dan tidak pula harta-harta kalian, akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amalan kalian." Halimah mengutip salah satu sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Imran tertunduk. Merenungi riwayat yang diucapkan gadis cantik yang mengaku sebagai Halimah.
'Apakah Allah sedang menghukumku?' batin Imran. Kini wajahnya sungguh buruk rupa. Sedangkan Halimah, seperti bidadari surga. 
Ia mendongak, melihat sosok Halimah yang masih berdiri di hadapannya.
"Ini tempat apa?" tanya Imran penasaran.
"Taman surga," jawab Halimah.
"Taman surga?" Imran menegaskan kembali ucapan Halimah.
Gadis itu mengangguk, kemudian berbalik dan meninggalkan Imran.
"Halimah ... tunggu!" Imran berusaha mengejar Halimah, namun langkah kakinya terasa begitu berat.
"Halimah!"
Gadis itu menoleh dan tersenyum. Kemudian kembali melanjutkan langkahnya. Perlahan tubuhnya menghilang hingga tak ada jejak apapun tentang sosok bidadari yang baru saja menghampiri Imran.
"Halimah! Halimah ...!" Imran berteriak memanggil sosok Halimah yang sudah tidak terlihat.

♦♦♦

"Halimah ... Halimah ...." Lirih Imran menyebut-nyebut nama Halimah di atas brankar dengan tubuh yang lemah.
Bu Yani memeluk anaknya, berusaha membangunkan Imran dari mimpinya.
"Bangun, Nak. Imran, kamu mimpi?"
Perlahan dokter muda itu membuka mata. Ia mengerjap-kerjapkan kelopak untuk memulihkan penglihatannya. Sekujur tubuh terasa sakit seperti habis dipukuli. Terutama di bagian bahu kiri, terasa begitu nyeri.
"Halimah ... di mana Halimah?" tanyanya parau. Suaranya begitu lemah, nyaris tak terdengar. 
"Halimah di rumah. Dia mengkhawatirkan kondisimu. Sekaligus meminta maaf atas kejadian ini." Ustaz Hanafi mendekat ke brankar.
"Ustaz, saya minta maaf. Saya yang --."
"Sudahlah, yang lalu biar berlalu. Bukankah sesama muslim harus saling memaafkan?" potong Ustaz Hanafi.
Imran mengangguk pelan. Rasa sakit di kepala masih terasa.
"Mungkin ini teguran buatku," ucapnya lirih.
'Mimpi itu ... terasa begitu nyata,' batin Imran. Bulu kuduknya meremang. Begitu burukkah ia di hadapan Allah?

♦♦♦

Halimah gelisah menanti paman dan bibinya pulang untuk mengetahui kabar Imran. Ia mengambil mushaf dan membaca dengan tartil surah Al Mulk. Sebuah surah yang sunnah dibaca ketika malam hari.
"Ya Allah, aku memohon kesembuhan pada-Mu atas Akhi Imran. Ampuni aku, Ya Rabb, dan akupun telah memaafkannya. Sembuhkanlah ia dengan kesembuahan yang baik." Halimah menutup harinya dengan doa.
Penat begitu melanda hati dan pikirannya. Lelah tubuh pun tak lagi terasa. Hanya Allah, tempat Halimah mencurahkan segala rasa dan asa.


Riau, 09 Agustus 2019

Biodata:

Penulis adalah seorang ibu rumah tangga dengan dua orang putra. Harapannya saat ini, cerbung di atas bisa segera menjadi novel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.