Mustika
Bab Langkah yang Terhenti
Oleh: Indah Kusuma
Putra terjerembap di semak belukar. Keinginan dalam benak belum
sepenuhnya terpenuhi. Dia harus pergi secepatnya dan menemukan jalan keluar.
Jalan keluar ... di mana itu dan arah mana yang harus dia tuju, Putra tidak
tahu. Dia benar-benar buta dan terjerumus dalam kebimbangan. Namun, langkah
pertama yang akan dia lakukan hanyalah menjauh dari Kusuma, secepatnya
Dia berjalan cepat, berusaha mengelabui pengawal kerajaan yang
melintas dengan menundukkan kepala dan membaur dalam kerumunan. Semua tampak
sama. Jejeran kios di depan mata, tak ada beda dengan dunia manusia, atau
memang dia berada di alam manusia?
Mereka berpakaian rapi layaknya petani, pedagang, dan terlihat
beberapa orang yang mentereng dengan perhiasan. Barang-barang yang mereka
jajakan juga serupa. Sayur, rempah, pakaian, bahkan suasana pasar pun terasa.
Riuhnya tawar-menawar dan pedagang yang meneriakkan dagangan. Kucing saling
kejar, ayam-ayam berburu makanan di bawah dipan. Putra serasa berada di pasar
tradisional kedaton.
"Apa ini Malioboro tempo dulu?" gumamnya.
Tak ada bangunan tinggi, atau bergaya modern. Susunan bata, dan
beberapa tampak masih berdinding kayu. Yang lebih mengherankan, kuda masih
menjadi tunggangan beken. Dia tidak mendapati mobil atau bahkan sepeda gowes.
Dia pun yakin, ponselnya tak akan berguna di tempat seperti ini.
Di antara dinding bambu, Putra merogoh android yang sebelumnya
tersimpan di saku celana. Namun, benda itu raib entah ke mana. Dia membalik
punggung, menatap jauh ke belakang. Pertimbangan untuk kembali, hadir dalam
benaknya.
"Tidak! Aku tidak mungkin ke sana. Aku harus segera
meninggalkan tempat ini."
Dengan peta seadanya dan kompas perkiraan, Putra menyusuri jalan
setapak. Setelah melewati beberapa rumah penduduk, dia melintasi area
persawahan. Hamparan padi tumbuh subuh. Area tanaman yang mulai menguning itu
cukup luas. Galengan dialiri air nan jernih. Dia bahkan bisa melihat ikan-ikan
yang berenang di sana.
Putra tergoda. Lelaki itu jongkok di tepian anak sungai, lalu
mencuci muka. Di usapan ketiga, Putra terkejut dengan kehadiran seorang pria
tua yang berdiri tepat di sampingnya. Dia mengenakan sehelai kain putih panjang
yang terlilit sedemikian rupa, menutup separuh tubuh dan membiarkannya
menjuntai selepas melewati pundak kiri.
"Si-siapa kamu?" Putra tergagap. Dia kembali mengusap
wajah, berharap kehadirannya halusinasi belaka.
Lelaki tua itu tersenyum lebar sambil mengangguk-angguk.
Kemudian dia menunduk dan menepuk-nepuk pundak Putra. Bias kebahagiaan
terpancar jelas di matanya.
Putra yang sama sekali tidak mengerti, hanya bisa meringkuk dan
bertanya dalam hati. Bisakah lelaki ini membantuku keluar? Atau jangan-jangan,
dia suruhan Kusuma?
Netranya membulat sempurna kala pemikiran itu muncul tetiba.
Kembali ke tangan Kusuma, sekali lagi dia tak ingin melakukannya meski
kenikmatan dunia ditawarkan di depan mata.
“Aku adalah teman ayahmu, Maung.”
♦♦♦
Sementara itu, di antara dua pilar teras, Kusuma bermuram durja.
Bola matanya tak bergerak sedikit pun, kosong. Entah apa yang dia saksikan,
pikirannya masih bergelayut tak tentu arah.
Dua dayang di belakang, tak bisa berucap lebih dari permohonan
maaf. Kata itu mengalun sendu bersama tangis. Mereka merendahkan diri, menanti
maaf terbalas dengan senyuman seperti biasa. Namun, hingga lutut mereka nyeri
dan kaki kesemutan, Kusuma masih bergeming.
Tanpa kata, Kusuma berbalik, mengempas selendang putih yang
bergelayut di lengan. Kain panjang itu berkibar diterpa bayu kemurkaan.
Langkahnya panjang, lebih tegas dari biasanya.
Nawala yang bertengger di depan pilar, menjelma dalam wujud
manusia. Dia lantas mengikuti jejak Kusuma. Sekian lama dia bersama gadis itu,
masih belum jua bisa memahami apa yang tersimpan dalam hatinya. Mungkin benar
Kusuma menginginkan manusia itu, dan kehilangannya menjadi alasan sikap Kusuma
kali ini. Mungkinkan dia tak hanya sekadar menginginkan? Nawala harus mencari
jawaban atas pertanyaannya sendiri.
"Yang Mulia, izinkan aku untuk mencarinya," ucap
Nawala ketika mereka telah sampai di perigi. Akan tetapi, Kusuma seakan tak
mengindahkan ucapan lelaki itu.
Kusuma memejamkan mata, menitik fokuskan pikirannya pada satu
sosok yang ada di sana beberapa saat lalu. Kedua tangan yang berada di sisi
tubuh, terangkat perlahan. Seiring dengan gerak pelan itu, pendar cahaya biru
keluar dari ujung-ujung jemari dan terbawa kupu-kupu kecil terbang ke segala
penjuru, membentuk garis spiral, melengkung layaknya gelombang, hingga
horizontal ke langit-langit. Seketika, waktu terhenti dan kembali ke masa
pelarian Putra.
Ya, dia melihat lelaki itu melompati pagar. Kusuma lenyap dan hadir kembali di belakang Putra. Dengan santai dia mengekor laksana penguntit, bersembunyi kala Putra hampir menyadari. Permainan kucing-kucingan itu melukis senyum di paras ayu Kusuma. Air muka yang begitu ceria.
Ya, dia melihat lelaki itu melompati pagar. Kusuma lenyap dan hadir kembali di belakang Putra. Dengan santai dia mengekor laksana penguntit, bersembunyi kala Putra hampir menyadari. Permainan kucing-kucingan itu melukis senyum di paras ayu Kusuma. Air muka yang begitu ceria.
Setibanya di area persawahan, langkah Kusuma terhenti. Sosok
Narendra muncul tetiba dan menghadang tanpa norma kesopanan. Keasyikannya pun
terhenti seketika.
"Anda tampak menikmati permainan ini, Putri?"
Kusuma sama sekali tidak menyukai cara pandang lelaki itu. Dia
berusaha mengabaikan, tetapi Narendra enggan memberi jalan.
"Pergi dari hadapanku!" tukasnya.
"Tidak adakah kata 'Selamat' yang akan kudengar? Hentikan
kenaifanmu, Kusuma!" Narendra mencekal pergelangan tangan gadis itu.
"Aku tahu kau begitu menginginkanku."
Kusuma melirik tajam, dan menyengih kemudian. "Jangan
pernah berharap apa yang tidak akan kamu dapatkan! Mimpimu terlalu
tinggi."
Narendra tertawa kecil. "Terlalu tinggi? Aku bahkan bisa
merasakan kehadiranmu di sampingku, Kusuma. Hampir di setiap malam, kau selalu
hadir menemani pertapaanku, benar?"
Keduanya saling tatap tanpa kata yang terucap. Kusuma cukup terkejut
dengan ucapan Narendra. Dia mulai berpikir, bahwa lelaki di hadapannya bukan
sosok yang bisa diremehkan. Tak bisa dipungkiri, dia benar telah melakukan itu.
Bersama Safitri, dia datang untuk sekadar mengamati dan mengobrol basa-basi.
Alasan kedatangannya, tak lain karena Narendra sosok yang
tangguh dalam menghadapi ujian. Wanita cantik, makhluk mengerikan, hingga
godaan tersulit pun mampu dia lewati. Hal itu lantas menjadi gosip yang kerap
terdengar di antara dayang, membuat Kusuma penasaran. Namun, setelah beberapa
kali menengok, dia memiliki firasat buruk akan niatan lelaki itu. Aura
kegelapan yang begitu pekat menguar darinya.
"Hentikan kelancanganmu, Narendra." Kusuma berusaha
mengempas cengkeraman lelaki itu.
"Oh, Kusuma. Aku akan lebih senang jika kalimat itu
terhapus. Bagaimana kalau kau ganti dengan, 'Bawa aku ke mana pun kau mau,
Narendra'? Heem, itu akan jauh lebih menyenangkan." Narendra tampak
bermain dengan kepalsuan. Senyum dan sinar matanya berlawanan. Begitu ironis.
"Baiklah, teruslah berharap sepuasmu. Aku tidak
peduli."
"Lalu, siapa yang kau pedulikan? Manusia itu?" Kusuma
tersentak. "Ikutlah denganku! Nyi Roro Kidul ingin menemuimu. Duduk manis
berdua, membahas manusia yang kau bawa. Mungkin ada sedikit camilan nanti di
meja."
Gadis itu tak bisa lagi menutupi kegelisahan dalam hati. Apa
yang mencoba dia sembunyikan, terbuka sudah. Percuma saja kabut tipis yang
Nawala selimutkan. Panca indra Nyi Roro Kidul tetap bisa menemukan
keberadaannya. Mungkinkah Putra juga akan tertangkap?
Kusuma mendongak, tapi tak sedikit pun mampu mengintip
keberadaannya. Resan dan gelisah. Kebebasan tampaknya tak akan dia dapat dari
lelaki itu. Narendra tersenyum puas, lalu menghilang bersama Kusuma dalam
genggaman.
Surabaya, 02 Agustus 2019
Biodata:
Indah Kusuma, penggemar film action
yang gemar menulis kisah dengan genre
serupa. Tak sekadar romansa yang dia sajikan, tapi juga aksi-aksi menegangkan
akan kamu temui dalam setiap tulisannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.