Sabtu, 24 Agustus 2019

#Jumat_Cerbung - Mustika Bab 8 - Melepas yang Tak Pernah Terengkuh - Indah Kusuma - Sastra Indonesia Org





Melepas yang Tak Pernah Terengkuh
Karya: Indah Kusuma

Fakta tak akan mengubah apapun. Semua akan tetap berjalan sesuai aturan alam. Namun, fakta akan masa lalu, terkadang bisa merusak apa yang ada di depan mata.
Di tepi sungai, Putra tertunduk. Dia memasrahkan bobotnya pada sebongkah batu besar. Duduk bersila dengan kedua tangan meremas kumpulan helai rambut.
Masih tak percaya. Dia sulit menerima fakta tentang rangkaian ritual yang pernah dilakukan sang ayah di tengah belantara, terlebih asal mula mustika itu. Puasa pati geni (puasa selama 40 hari berturut-turut), semedi, itu masih bisa dia ampuni. Namun, bercinta dengan Nyi Roro Kidul demi harta, Putra murka mendengarnya.
“Jadi, seperti itulah ayahku? Baguslah. Dari dulu aku memang tidak respek padanya.”
Lelaki tua mengambil air dengan kedua telapak tangan. Dia lantas meneguk air bening itu, lalu membasuh wajah. “Bagaimana dengan ibumu?”
Dia berdiri, berkacak pinggang. “Aku tidak peduli dengan mustika itu. Mau Aki buang atau miliki, terserah!”
Putra pergi.
“Tapi kau harus peduli sebab ....”
“Aku tidak mendengarnya,” tukas Putra dengan nada santai.
Maung menarik napas berat. “Sebab dia menawan jiwa ibumu!”
Gerak Putra terhenti. Dia menelan kalimat bersama saliva. Dia berpikir bahwa apa yang diucapkan kakek-kakek itu tidaklah benar. Ibunya ada di rumah, bersamanya. Yah, setidaknya sebelum dia terdampar di tempat ini. Wanita itu nyata dan ada. Dia tidak tertawan.
Keyakinan itu kembali membuat Putra acuh tak acuh. Pria bertubuh proporsional itu melanjutkan perjalanan tanpa menoleh ke belakang, sedikit pun. Dia merasa cukup siap menghadapi hutan belantara di depan.
Itu hanya hutan yang lebat. Pohon-pohon berbaris rapat di sana, di antara semak-semak dan beri. Ada pula tanaman beracun dan hewan-hewan buas, salah satunya harimau malam itu. Bukan harimau dalam wujud sebenarnya, tapi jelmaan dari bangsa jin. Dia tidak sedang berdiri di atas tanah manusia.
Ada banyak makhluk halus yang tak bisa terlihat oleh Putra. Mereka menanti di balik pohon, menatap pria itu dengan sorot mata tak menyenangkan.
“Tunggu!” Maung memangkas langkah Putra. “Jangan pergi ke sana! Ini adalah hutan larangan, penjara bagi kaum jin yang membangkang.”
Putra terbeliak. Gelenyar aneh tetiba menjalar di sekujur tubuhnya. Dingin dan menyesakkan. Dia mulai sulit bernapas, serasa ada sesuatu yang mengimpit lelaki itu. Begitu erat dan kuat. Seolah-olah dia ada di sebuah ruang sempit, sangat sempit hingga tak ada celah untuk bergerak.
“Ana kedawang miber ing tawang alat-alat. Macan sewu ing mripatku. Macan putih ing dhadhaku. Peteng ngampar suwaraku. Ngadoh o sira tekan nisun!” Maung merapal mantra sembari menatap tajam aura kegelapan yang menyergap Putra.
Sesaat kemudian, kepulan asap kelam menampakkan diri dan menjauh perlahan, kembali memasuki hutan. Maung menangkap tubuh Putra, membawanya menjauh dengan cepat. Desa adalah pilihan yang tepat. Paling tidak, dia menemukan tempat singgah hingga Putra tersadar.

҉ ҉ ҉

Narendra mewujud di depan balai agung bersama Kusuma. Perlakuan yang tak menyenangkan dan memalukan, Kusuma sangat tidak menyukai itu. Apalagi Narendra tak memandang di mana mereka sekarang. Di dalam istana, di hadapan pengawal dan dayang, dia tidak akan pernah melupakan hari ini.
Dua pengawal memberi salam—menunjukkan rasa hormat dengan menundukkan kepala—sebelum mempersilakan keduanya memasuki balai agung. Mereka lantas membuka pintu ganda setinggi tiga meter. Terbuat dari emas yang terukir indah, bermotif dedaunan, bunga, dan ular berkepala manusia.
Di dalam, Nyi Roro Kidul menyambut mereka dengan senyuman. Dia tidak sendiri. Safitri, Sekar, dan Lastri berjejer di depan sana. Air muka mereka berbanding terbalik dengan penghuni singgasana, murung dan khawatir.
Kusuma menoleh pada Narendra dan mengingat bagaimana lelaki itu menjemputnya. Ancaman, tidak sopan, dan menyebalkan. Dia bersumpah akan membalas perlakuannya kelak hingga lelaki itu tak mampu kembali berpijak.
Gadis bergaun putih memejamkan mata untuk sesaat. Dalam sepersekian detik perjalanan waktu, bagian lain dari diri Kusuma kembali ke masa yang tidak diketahui. Pertemuan di gua dan alasan Narendra membawanya ke tempat ini, semua terlihat jelas.
Kala mata gadis itu kembali terbuka, irisnya berwarna biru terang dan menyala dalam kurun waktu yang cukup singkat hingga kedipan melenyapkannya. Dia tersenyum manis, lalu menundukkan kepala sebagai balasan untuk keramahtamahan Nyi Roro Kidul.
“Salam untukmu, Ibunda. Ada apakah gerangan hingga Ibunda menugaskan Narendra untuk menjemput hamba ... dengan cara tidak santun?” Kusuma melirik tajam pria di sampingnya.
“Salam untukmu, Putriku.” Penguasa pantai selatan itu beranjak mendekati Kusuma. Helai panjang selendang hijaunya menyapu permadani. Sesekali angin mengangkat kain panjang itu dan menurunkannya dengan layak. “Kamu pasti telah mengetahui alasannya. Siapa dia?”
Kusuma tak gentar. Alih-alih cemas, dia malah menertawakan kegalakan Nyi Roro Kidul.
“Maaf, Ibunda. Kenapa ini terkesan begitu penting? Dia hanya manusia yang tersesat. Dia juga tidak menginginkan apa pun dari hamba.”
“Oh, benarkah? Seingatku, tidak ada manusia yang datang tanpa meminta, Kusuma.”
Nyi Roro berjalan perlahan, mengitari putrinya. “Apa kamu telah lupa? Lima belas tahun yang lalu, kamu pernah beranggapan serupa terhadap seorang manusia. Dia hanya butuh ketenangan, menikmati pantai, dan debur ombaknya. Namun fakta berkata lain, dia menginginkan hal yang lain, yang .... Ah, manusia itu serakah, Kusuma.”
“Tapi dia berbeda,” sergah gadis itu, “dia datang untuk mengembalikan mustika. Akan tetapi, ada kaum kita yang menyesatkan dia dan merampas benda itu.”


Nyi Roro berkerut kening. Sementara dua gadis di sana, Sekar dan Lastri, terperanjat sebab tahu siapa yang dimaksud Kusuma.
“Mustika?” lirih wanita bermahkota emas.
Kusuma menunduk. “Hamba mohon, izinkan hamba mencarinya dan mengembalikan dia ke dunia manusia. Hamba sudah berjanji padanya, Ibunda.”
Sebelah alis Nyi Roro terangkat bersamaan dengan seringai tipis yang hampir tak terlihat. Lantas, dia menaiki undakan guna menuju ke singgasana. “Aku penasaran, seperti apa dia hingga kamu membantah ucapanku, Kusuma!”
“Ibunda!” Kusuma meraih pergelangan tangan Nyi Roro Kidul. “Hamba sudah berjanji. Hamba mohon.”
Nyi Roro mengumpulkan energi di ujung lengan. Setelah terasa cukup, dia mengempas tangan Kusuma dan melempar tubuh gadis itu sebagai peringatan. Dalam sekejap, dia telah berdiri di depan putrinya yang sempat berciuman dengan dinding balai agung.
Safitri tersentak, begitu pula dua gadis di sana. Lain halnya dengan Narendra, dia tampak menikmati adegan itu. Situasi yang tak bisa dihentikan. Mereka hanya bisa menjadi penonton dan mungkin akan menjadi pemantik isu di kerajaan.
“Aku telah memperingatkanmu. Jangan pernah mendekati manusia! Jadilah putriku yang baik,” ucapnya sembari mengelus pipi Kusuma. Dia kembali berdiri dan berkata, “Safitri, jaga dia lebih baik lagi. Jika tidak, nyawamulah yang akan kulenyapkan.”
Safitri menundukkan kepala dan bergegas menghampiri Kusuma setelah kepergian Nyi Roro Kidul. Dia membantu Kusuma berdiri, lalu memperbaiki penampilannya. Beberapa kali dia mengelus punggung gadis itu untuk memastikan.
“Aku baik-baik saja.” Ucapan yang berbeda dari apa yang terlihat di mata. Dia tidak baik-baik saja setelah menerima perlakuan seperti itu, tidak. Hati, juga harga dirinya sedang terinjak. Memulihkannya tidaklah mudah. Kusuma telah menobatkan hari ini sebagai hari terburuk sepanjang hidup.
“Emm, maaf. Aku tidak menyukai momen seperti ini. Hanya ingin berpesan, lebih baik urungkan niatmu sebab aku tidak akan membiarkan dia kembali.”
Kusuma mendongak. Cara pandang Narendra bukanlah omong kosong belaka. Lelaki itu bagai palung laut yang begitu gelap hingga tak terbaca ujungnya. Entah apa yang dia rencanakan, Kusuma tidak bisa menemukan itu. Bahkan ketika dia telah menelusuri jejak Narendra di masa lalu, dia belum mendapatkan apapun.
“Hamba permisi, Putri.” Sikap santun Narendra memuakkan. Kusuma memalingkan muka, sebab tak ingin melihat perilaku palsu itu.
“Sekar, Lastri!” Safitri melihat ke belakang, mencari dua gadis yang seharusnya masih di sana. “Di mana mereka?”
Wanita itu menggeleng, lalu membawa Kusuma lenyap dari ruang itu dan hadir kembali di tempat yang berbeda, bilik sang Putri. Ruang luas nan indah beraroma Lily Velley. Gadis penyuka warna putih itu duduk di sudut ranjang, meredam amarah dan kepedihan yang berada di pangkal tenggorokan.
Sementara Safitri menyiapkan air hangat, Kusuma mendekati jendela. Dalam hati dia bertanya, Di mana pria itu? Akankah dia baik-baik saja?
“Yang Mulia.” Safitri menghampirinya. Dia tak ingin melihat kepedihan di mata gadis itu. Bila mungkin, dia ingin menyodorkan pundaknya sebagai sandaran.
“Kenapa? Kenapa seperti ini, Safitri? Tidakkah dia begitu egois? Hhh, aku ingin menangis.”
Safitri tertawa kecil. “Putri, kita bukan manusia yang bisa menitikkan air mata.”
“Apa aku boleh mandi sekarang?”
Guyonan ringan selalu mampu meredam emosi meski hanya sementara. Kusuma tersenyum. Walau tak selepas biasanya, tapi cukup sebagai pertanda bahwa dia tidak lagi dirundung kesedihan.
Dan air hangat yang disiapkan Safitri, tentu akan merelakskan. Kenyamanannya akan membuat magma di kepala Kusuma mereda. Tak lupa, aroma wewangian yang akan menyenangkan dihirup lama-lama. Cara termudah untuk mengalihkan amarah adalah memanjakan tubuh.
Ketika jemari kaki Kusuma menyapa genang air itu, ah, seperti ada belai manja yang siap menerima tubuhnya dan menjanjikan kenyamanan hingga pemiliknya bosan. Dia menenggelamkan tubuh, seakan-akan tak ingin lagi melihat dunia. Matanya terpejam. Tak bergerak. Gelitik bunga yang menyapa pundak pun tidak dia hiraukan. Setelah cukup lama bermain kematian, Kusuma menaikkan kepala ke permukaan.
Dia duduk di tepian kolam, melepas kain sutra yang basah, dan membiarkan sehelai tetap melingkar di tubuhnya. Sayup-sayup terdengar lantunan syair, tentang kerinduan dan pengharapan, kidung lara yang selalu dia nyanyikan bila lelah menatap dunia.
Kusuma menyabuni tangan, pundak, dan berlama-lama mengusap leher hingga banyak busa tercipta. Jauh di dalam lubuk hati, dia ingin belaian jemari-jemari yang akan memanjakannya dengan cinta. Kisah-kisah para dayang tentang gairah para manusia, sering kali membuatnya penasaran. Seperti apa rasanya? Bagaimana mereka melakukannya?
Namun, semua keinginan itu terpatahkan oleh peraturan yang ditetapkan ibundanya. Entah mengapa peraturan itu diciptakan hanya untuk dia? Nyi Roro Kidul tidak pernah mengungkap alasan maupun tujuan, hanya doktrin-doktrin kebencian yang dia dapatkan.
Pendar biru menyala di sudut ruang. Kemunculan Nawala, sedikit mengejutkan dan dia tahu lelaki itu bukan ancaman.
“Salam untukmu, Yang Mulia. Anda memanggil hamba?” Nawala menunduk, enggan melihat pemandangan apik di sana.
“Salam untukmu, Nawala. Sudahkah kau menemukannya?” tanya Kusuma sembari meraup air untuk membasuh muka.
“Hamba belum berhasil menemukannya. Sepertinya, ada seseorang yang menyelimutinya dengan kabut tak kasat mata, sebab jejaknya tak bisa hamba rasakan.”
“Kemarilah!”
Perintah itu mengejutkan. Nawala mendongak, mengunci pandangan dan berharap permintaan itu tak pernah ada. “Maafkan hamba yang terlalu lancang,” ucapnya sebelum kembali menundukkan kepala.
Kusuma tersenyum simpul. Dia mengintip gelagat Nawala lewat sudut mata. Kemudian, dia mendesah dan meletakkan kedua tangan di sisi badan. “Kamu tidak lancang, tapi aku. Bisakah kamu mencari tahu apa alasan Ibunda melarangku mendekati manusia?”
Nawala kembali mengangkat kepala. “Yang Mulia, hamba mohon, berhentilah melewati batas!”
Kusuma berpindah tempat dengan cepat. Dia menatap tajam lelaki yang telah menentangnya. Begitu dekat hingga membuat Nawala terperanjat. Dia yang tak memiliki keberanian untuk membalas tatapan itu, membuang muka ke kiri.
“Batas? Aku sudah melewatinya sejak lama dan kau tahu itu.” Kusuma mundur dan membelakangi Nawala. “Jika kau menemukannya, kembalikan dia ke dunia manusia sebab aku tidak ingin ibunda memilikinya.”



Biodata:

Penulis yang hobi diem di pojokan perpustakaan ini telah merampungkan novel ketiganya. Kini sedang menanti dua antologi yang akan segera terbit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.