Melepas
yang Tak Pernah Terengkuh
Karya:
Indah Kusuma
Fakta tak akan mengubah apapun. Semua akan tetap
berjalan sesuai aturan alam. Namun, fakta akan masa lalu, terkadang bisa
merusak apa yang ada di depan mata.
Di tepi sungai, Putra tertunduk. Dia memasrahkan
bobotnya pada sebongkah batu besar. Duduk bersila dengan kedua tangan meremas
kumpulan helai rambut.
Masih tak percaya. Dia sulit menerima fakta tentang
rangkaian ritual yang pernah dilakukan sang ayah di tengah belantara, terlebih
asal mula mustika itu. Puasa pati geni (puasa selama 40 hari berturut-turut),
semedi, itu masih bisa dia ampuni. Namun, bercinta dengan Nyi Roro Kidul demi
harta, Putra murka mendengarnya.
“Jadi, seperti itulah ayahku? Baguslah. Dari dulu
aku memang tidak respek padanya.”
Lelaki tua mengambil air dengan kedua telapak
tangan. Dia lantas meneguk air bening itu, lalu membasuh wajah. “Bagaimana
dengan ibumu?”
Dia berdiri, berkacak pinggang. “Aku tidak peduli
dengan mustika itu. Mau Aki buang atau miliki, terserah!”
Putra pergi.
“Tapi kau harus peduli sebab ....”
“Aku tidak mendengarnya,” tukas Putra dengan nada
santai.
Maung menarik napas berat. “Sebab dia menawan jiwa
ibumu!”
Gerak Putra terhenti. Dia menelan kalimat bersama
saliva. Dia berpikir bahwa apa yang diucapkan kakek-kakek itu tidaklah benar.
Ibunya ada di rumah, bersamanya. Yah, setidaknya sebelum dia terdampar di
tempat ini. Wanita itu nyata dan ada. Dia tidak tertawan.
Keyakinan itu kembali membuat Putra acuh tak acuh.
Pria bertubuh proporsional itu melanjutkan perjalanan tanpa menoleh ke
belakang, sedikit pun. Dia merasa cukup siap menghadapi hutan belantara di
depan.
Itu hanya hutan yang lebat. Pohon-pohon berbaris
rapat di sana, di antara semak-semak dan beri. Ada pula tanaman beracun dan
hewan-hewan buas, salah satunya harimau malam itu. Bukan harimau dalam wujud
sebenarnya, tapi jelmaan dari bangsa jin. Dia tidak sedang berdiri di atas
tanah manusia.
Ada banyak makhluk halus yang tak bisa terlihat oleh
Putra. Mereka menanti di balik pohon, menatap pria itu dengan sorot mata tak
menyenangkan.
“Tunggu!” Maung memangkas langkah Putra. “Jangan
pergi ke sana! Ini adalah hutan larangan, penjara bagi kaum jin yang
membangkang.”
Putra terbeliak. Gelenyar aneh tetiba menjalar di
sekujur tubuhnya. Dingin dan menyesakkan. Dia mulai sulit bernapas, serasa ada
sesuatu yang mengimpit lelaki itu. Begitu erat dan kuat. Seolah-olah dia ada di
sebuah ruang sempit, sangat sempit hingga tak ada celah untuk bergerak.
“Ana kedawang miber ing tawang alat-alat. Macan sewu
ing mripatku. Macan putih ing dhadhaku. Peteng ngampar suwaraku. Ngadoh o sira
tekan nisun!” Maung merapal mantra sembari menatap tajam aura kegelapan yang
menyergap Putra.
Sesaat kemudian, kepulan asap kelam menampakkan diri
dan menjauh perlahan, kembali memasuki hutan. Maung menangkap tubuh Putra,
membawanya menjauh dengan cepat. Desa adalah pilihan yang tepat. Paling tidak,
dia menemukan tempat singgah hingga Putra tersadar.
҉ ҉ ҉
Narendra mewujud di depan balai agung bersama
Kusuma. Perlakuan yang tak menyenangkan dan memalukan, Kusuma sangat tidak
menyukai itu. Apalagi Narendra tak memandang di mana mereka sekarang. Di dalam
istana, di hadapan pengawal dan dayang, dia tidak akan pernah melupakan hari
ini.
Dua pengawal memberi salam—menunjukkan rasa hormat
dengan menundukkan kepala—sebelum mempersilakan keduanya memasuki balai agung.
Mereka lantas membuka pintu ganda setinggi tiga meter. Terbuat dari emas yang
terukir indah, bermotif dedaunan, bunga, dan ular berkepala manusia.
Di dalam, Nyi Roro Kidul menyambut mereka dengan
senyuman. Dia tidak sendiri. Safitri, Sekar, dan Lastri berjejer di depan sana.
Air muka mereka berbanding terbalik dengan penghuni singgasana, murung dan
khawatir.
Kusuma menoleh pada Narendra dan mengingat bagaimana
lelaki itu menjemputnya. Ancaman, tidak sopan, dan menyebalkan. Dia bersumpah
akan membalas perlakuannya kelak hingga lelaki itu tak mampu kembali berpijak.
Gadis bergaun putih memejamkan mata untuk sesaat. Dalam
sepersekian detik perjalanan waktu, bagian lain dari diri Kusuma kembali ke
masa yang tidak diketahui. Pertemuan di gua dan alasan Narendra membawanya ke
tempat ini, semua terlihat jelas.
Kala mata gadis itu kembali terbuka, irisnya
berwarna biru terang dan menyala dalam kurun waktu yang cukup singkat hingga
kedipan melenyapkannya. Dia tersenyum manis, lalu menundukkan kepala sebagai
balasan untuk keramahtamahan Nyi Roro Kidul.
“Salam untukmu, Ibunda. Ada apakah gerangan hingga
Ibunda menugaskan Narendra untuk menjemput hamba ... dengan cara tidak santun?”
Kusuma melirik tajam pria di sampingnya.
“Salam untukmu, Putriku.” Penguasa pantai selatan
itu beranjak mendekati Kusuma. Helai panjang selendang hijaunya menyapu
permadani. Sesekali angin mengangkat kain panjang itu dan menurunkannya dengan
layak. “Kamu pasti telah mengetahui alasannya. Siapa dia?”
Kusuma tak gentar. Alih-alih cemas, dia malah
menertawakan kegalakan Nyi Roro Kidul.
“Maaf, Ibunda. Kenapa ini terkesan begitu penting?
Dia hanya manusia yang tersesat. Dia juga tidak menginginkan apa pun dari
hamba.”
“Oh, benarkah? Seingatku, tidak ada manusia yang
datang tanpa meminta, Kusuma.”
Nyi Roro berjalan perlahan, mengitari putrinya. “Apa
kamu telah lupa? Lima belas tahun yang lalu, kamu pernah beranggapan serupa
terhadap seorang manusia. Dia hanya butuh ketenangan, menikmati pantai, dan
debur ombaknya. Namun fakta berkata lain, dia menginginkan hal yang lain, yang
.... Ah, manusia itu serakah, Kusuma.”
“Tapi dia berbeda,” sergah gadis itu, “dia datang untuk
mengembalikan mustika. Akan tetapi, ada kaum kita yang menyesatkan dia dan
merampas benda itu.”
Nyi Roro berkerut kening. Sementara dua gadis di
sana, Sekar dan Lastri, terperanjat sebab tahu siapa yang dimaksud Kusuma.
“Mustika?” lirih wanita bermahkota emas.
Kusuma menunduk. “Hamba mohon, izinkan hamba
mencarinya dan mengembalikan dia ke dunia manusia. Hamba sudah berjanji
padanya, Ibunda.”
Sebelah alis Nyi Roro terangkat bersamaan dengan
seringai tipis yang hampir tak terlihat. Lantas, dia menaiki undakan guna
menuju ke singgasana. “Aku penasaran, seperti apa dia hingga kamu membantah
ucapanku, Kusuma!”
“Ibunda!” Kusuma meraih pergelangan tangan Nyi Roro
Kidul. “Hamba sudah berjanji. Hamba mohon.”
Nyi Roro mengumpulkan energi di ujung lengan.
Setelah terasa cukup, dia mengempas tangan Kusuma dan melempar tubuh gadis itu
sebagai peringatan. Dalam sekejap, dia telah berdiri di depan putrinya yang
sempat berciuman dengan dinding balai agung.
Safitri tersentak, begitu pula dua gadis di sana.
Lain halnya dengan Narendra, dia tampak menikmati adegan itu. Situasi yang tak
bisa dihentikan. Mereka hanya bisa menjadi penonton dan mungkin akan menjadi
pemantik isu di kerajaan.
“Aku telah memperingatkanmu. Jangan pernah mendekati
manusia! Jadilah putriku yang baik,” ucapnya sembari mengelus pipi Kusuma. Dia
kembali berdiri dan berkata, “Safitri, jaga dia lebih baik lagi. Jika tidak,
nyawamulah yang akan kulenyapkan.”
Safitri menundukkan kepala dan bergegas menghampiri
Kusuma setelah kepergian Nyi Roro Kidul. Dia membantu Kusuma berdiri, lalu
memperbaiki penampilannya. Beberapa kali dia mengelus punggung gadis itu untuk
memastikan.
“Aku baik-baik saja.” Ucapan yang berbeda dari apa
yang terlihat di mata. Dia tidak baik-baik saja setelah menerima perlakuan
seperti itu, tidak. Hati, juga harga dirinya sedang terinjak. Memulihkannya
tidaklah mudah. Kusuma telah menobatkan hari ini sebagai hari terburuk
sepanjang hidup.
“Emm, maaf. Aku tidak menyukai momen seperti ini.
Hanya ingin berpesan, lebih baik urungkan niatmu sebab aku tidak akan
membiarkan dia kembali.”
Kusuma mendongak. Cara pandang Narendra bukanlah
omong kosong belaka. Lelaki itu bagai palung laut yang begitu gelap hingga tak
terbaca ujungnya. Entah apa yang dia rencanakan, Kusuma tidak bisa menemukan
itu. Bahkan ketika dia telah menelusuri jejak Narendra di masa lalu, dia belum
mendapatkan apapun.
“Hamba permisi, Putri.” Sikap santun Narendra
memuakkan. Kusuma memalingkan muka, sebab tak ingin melihat perilaku palsu itu.
“Sekar, Lastri!” Safitri melihat ke belakang,
mencari dua gadis yang seharusnya masih di sana. “Di mana mereka?”
Wanita itu menggeleng, lalu membawa Kusuma lenyap
dari ruang itu dan hadir kembali di tempat yang berbeda, bilik sang Putri.
Ruang luas nan indah beraroma Lily Velley. Gadis penyuka warna putih itu duduk
di sudut ranjang, meredam amarah dan kepedihan yang berada di pangkal
tenggorokan.
Sementara Safitri menyiapkan air hangat, Kusuma
mendekati jendela. Dalam hati dia bertanya, Di mana pria itu? Akankah dia
baik-baik saja?
“Yang Mulia.” Safitri menghampirinya. Dia tak ingin
melihat kepedihan di mata gadis itu. Bila mungkin, dia ingin menyodorkan
pundaknya sebagai sandaran.
“Kenapa? Kenapa seperti ini, Safitri? Tidakkah dia
begitu egois? Hhh, aku ingin menangis.”
Safitri tertawa kecil. “Putri, kita bukan manusia
yang bisa menitikkan air mata.”
“Apa aku boleh mandi sekarang?”
Guyonan ringan selalu mampu meredam emosi meski
hanya sementara. Kusuma tersenyum. Walau tak selepas biasanya, tapi cukup
sebagai pertanda bahwa dia tidak lagi dirundung kesedihan.
Dan air hangat yang disiapkan Safitri, tentu akan
merelakskan. Kenyamanannya akan membuat magma di kepala Kusuma mereda. Tak
lupa, aroma wewangian yang akan menyenangkan dihirup lama-lama. Cara termudah
untuk mengalihkan amarah adalah memanjakan tubuh.
Ketika jemari kaki Kusuma menyapa genang air itu,
ah, seperti ada belai manja yang siap menerima tubuhnya dan menjanjikan kenyamanan
hingga pemiliknya bosan. Dia menenggelamkan tubuh, seakan-akan tak ingin lagi
melihat dunia. Matanya terpejam. Tak bergerak. Gelitik bunga yang menyapa
pundak pun tidak dia hiraukan. Setelah cukup lama bermain kematian, Kusuma
menaikkan kepala ke permukaan.
Dia duduk di tepian kolam, melepas kain sutra yang
basah, dan membiarkan sehelai tetap melingkar di tubuhnya. Sayup-sayup
terdengar lantunan syair, tentang kerinduan dan pengharapan, kidung lara yang
selalu dia nyanyikan bila lelah menatap dunia.
Kusuma menyabuni tangan, pundak, dan berlama-lama
mengusap leher hingga banyak busa tercipta. Jauh di dalam lubuk hati, dia ingin
belaian jemari-jemari yang akan memanjakannya dengan cinta. Kisah-kisah para
dayang tentang gairah para manusia, sering kali membuatnya penasaran. Seperti
apa rasanya? Bagaimana mereka melakukannya?
Namun, semua keinginan itu terpatahkan oleh
peraturan yang ditetapkan ibundanya. Entah mengapa peraturan itu diciptakan
hanya untuk dia? Nyi Roro Kidul tidak pernah mengungkap alasan maupun tujuan,
hanya doktrin-doktrin kebencian yang dia dapatkan.
Pendar biru menyala di sudut ruang. Kemunculan
Nawala, sedikit mengejutkan dan dia tahu lelaki itu bukan ancaman.
“Salam untukmu, Yang Mulia. Anda memanggil hamba?”
Nawala menunduk, enggan melihat pemandangan apik di sana.
“Salam untukmu, Nawala. Sudahkah kau menemukannya?”
tanya Kusuma sembari meraup air untuk membasuh muka.
“Hamba belum berhasil menemukannya. Sepertinya, ada
seseorang yang menyelimutinya dengan kabut tak kasat mata, sebab jejaknya tak
bisa hamba rasakan.”
“Kemarilah!”
Perintah itu mengejutkan. Nawala mendongak, mengunci
pandangan dan berharap permintaan itu tak pernah ada. “Maafkan hamba yang
terlalu lancang,” ucapnya sebelum kembali menundukkan kepala.
Kusuma tersenyum simpul. Dia mengintip gelagat
Nawala lewat sudut mata. Kemudian, dia mendesah dan meletakkan kedua tangan di
sisi badan. “Kamu tidak lancang, tapi aku. Bisakah kamu mencari tahu apa alasan
Ibunda melarangku mendekati manusia?”
Nawala kembali mengangkat kepala. “Yang Mulia, hamba
mohon, berhentilah melewati batas!”
Kusuma berpindah tempat dengan cepat. Dia menatap
tajam lelaki yang telah menentangnya. Begitu dekat hingga membuat Nawala
terperanjat. Dia yang tak memiliki keberanian untuk membalas tatapan itu,
membuang muka ke kiri.
“Batas? Aku sudah melewatinya sejak lama dan kau
tahu itu.” Kusuma mundur dan membelakangi Nawala. “Jika kau menemukannya,
kembalikan dia ke dunia manusia sebab aku tidak ingin ibunda memilikinya.”
Biodata:
Penulis yang hobi diem di pojokan perpustakaan ini
telah merampungkan novel ketiganya. Kini sedang menanti dua antologi yang akan
segera terbit.
0 Response to "#Jumat_Cerbung - Mustika Bab 8 - Melepas yang Tak Pernah Terengkuh - Indah Kusuma - Sastra Indonesia Org"
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.