Sabtu, 17 Agustus 2019

#Jumat_Cerbung - Karena Kamu Pangeranku Part 8 - Titin Akhiroh - Sastra Indonesia Org





Karena Kamu Pangeranku Part 8
Oleh: Titin Akhiroh

Mata Valerie terbelalak mendengar permintaan Endra. Belum hilang rasa kagetnya karena ciuman tiba-tiba. Ia kembali dibuat menganga oleh pengakuan cinta Endra. Sungguh ini bagaikan mimpi bagi Valerie. Ia butuh benar-benar diyakinkan akan kenyataan yang terpampang di depannya kali ini.
Sementara, Endra yang berdiri menjulang di hadapan Valerie harus mati-matian menahan jantungnya yang bergetar hebat. Diamnya gadis itu menjadikannya gugup setengah mati. Ia berkeringat dingin seperti sedang menunggu kepastian nasib. 
Valerie mengerjapkan mata, lalu memalingkan wajahnya dari Endra. Bukan ia marah lelaki itu telah mencuri ciuman pertamanya, tapi lebih pada dilema dalam hati. Ada bagian dari hatinya yang lantang menyambut perasaan Endra. Namun di sisi lain, ia takut kalau ini hanya buaian semata yang nanti bisa menghancurkan harapannya. Sedari awal, ia sadar ada penghalang tak kasatmata antara dirinya dan Endra. Strata sosial hal pertama yang akan memberatkan langkahnya ke depan jika tetap memilih Endra menjadi kekasih hatinya. 
“Ndra, pikirkan ulang ucapan kamu.” Kalimat pertama yang berhasil keluar dari bibir Valerie setelah beberapa lama mematung karena perlakuan Endra.
“Kenapa aku harus memikirkan ulang? Apa kamu pikir aku bercanda soal itu?” Endra menatap dalam manik mata Valerie. Mencoba mencari kebenaran perasaan Valerie padanya. Ia tahu binar cinta itu ada.
“Ini nggak akan mudah, Ndra.” Valerie mulai dilanda bingung meyakinkan Endra bahwa ia tak pantas untuk bersamanya.
“Kita belum coba, lalu kenapa kamu bisa bilang ini nggak mudah?” Endra menatap tajam Valerie.
“Aku nggak cukup pantas bagimu.”
Sekarang, Endra mengerti. Ini bukan soal perasaan, tapi lebih pada rasa rendah diri. “Cukup terima aku. Aku nggak peduli dengan yang lainnya. Jika aku pilih kamu, maka itu artinya kamu lebih dari pantas bagiku.” 
Valerie begitu tersanjung. Baru kali ini, ia merasa dihargai. 
Endra melepas cengkeramannya di lengan Valerie, lalu meraih kedua telapak tangan gadisnya untuk ia genggam. “Aku tahu kamu pasti belum yakin denganku, tapi kamu harus tahu, aku nggak pernah seserius ini bicara soal hati. Aku hanya menuruti kemauannya karena sepertinya hatiku telah memilih kamu.” Endra menarik kuat napasnya sebelum kembali mengutarakan rasanya pada Valerie. “Jadi, apakah Valerie Wijaya mau menerima Tarendra Yama Mananta sebagai kekasihnya?”
Lama Valerie tak kunjung menjawab. Sampai akhirnya, Endra bernapas lega saat gadis itu mengangguk malu-malu. Segela beban dalam hatinya yang selama ini memendam rasa untuk Valerie, seakan lenyap tak bersisa. Kini, hatinya dipenuhi rasa bahagia akan cinta pertama. Cinta pertamanya yang indah bersama Peri Valentine. 
“Terima kasih sudah mau terima aku. Aku nggak bisa berjanji apa pun padamu. Aku hanya berharap, kita bisa terikat selama mungkin sampai kita nggak tahu bagaimana cara melepasnya.”
Bagaimana Valerie tak semakin sayang jika selalu mendengar ucapan manis Endra seperti ini? Ucapan yang lebih dahsyat dari sebuah janji. Ucapan yang penuh doa dan harapan. Karena janji bisa saja diingkari, sedangkan doa dan harapan akan selalu terucap setiap hari.
“Terima kasih sudah mau memilihku.” 
Ucapan Valerie memantik senyuman Endra. Kemudian, ia memeluk Valerie. Pelukan pertama mereka sebagai sepasang kekasih. Valerie yang lebih dulu melepaskan diri. Wajahnya merah, perpaduan dari rasa senang dan malu. Endra tersenyum, lalu mengangkat tangan kanan untuk mengusap lembut luka di kepala Valerie.
“Di mana kotak obatnya? Biar aku rawat lukamu. Endra berbisik sambil memeriksa luka Valerie yang cukup dalam. 
Valerie memasuki ruang tengah, mengambil kotak dari dalam laci buffet. Kemudian, ia kembali ke depan menyerahkan kotak warna putih pada Endra. Dengan telaten, Endra membersihkan lukanya dengan kapas yang diberi alkohol. Ia mengernyit menahan perih saat rasa dingin alkohol bersentuhan dengan lukanya. Ia cukup takjub dengan keahlian Endra merawat luka. Dari mana lelaki di depannya bisa mendapatkan keahlian itu?
“Mamaku seorang dokter kandungan. Dulu, saat aku masih kecil, Mama sering mengajakku ke rumah sakitnya. Aku jadi terbiasa melihat luka dan darah. Aku sering melihat suster merawat luka, makanya aku cukup terampil sekarang,” tutur Endra seolah bisa membaca pikiran Valerie. 
Valerie sedikit terkejut akan fakta menarik yang baru diketahuinya. Tak heran jika Endra memang berbakat merawat orang. 
“Nanti jangan lupa minum anti nyeri,” titah Endra sambil mengobati luka Valerie dengan Betadine. 
“Ya, Pak Dokter,” sahut Valerie. Endra tersenyum dengan tangannya yang masih bergerak menutup luka dengan perban. 
“Sudah selesai.” Endra cukup puas dengan hasilnya yang rapi membalut luka.
“Terima kasih banyak.” 
Selarik senyum diberikan Endra guna menanggapi perkataan Valerie. Seperti biasanya ia akan menikmati wajah ayu sang gadis. Lalu, kembali dibuat penasaran dengan kronologis jatuhnya Valerie. “Kenapa bisa jatuh dari angkot?”
Valerie terkesiap, lalu buru-buru merapikan kotak obat. “Ehm, tadi aku kurang hati-hati,” jawabnya sedikit pelan.
Endra mengangkat sebelah alisnya curiga. Valerie tampak salah tingkah seperti bingung ingin mencari jawaban. Mata tajamnya mengamati keseluruhan tubuh Valerie. Tak ada luka selain di kening. Celana dan baju Valerie juga masih bersih.
“Valerie, jujur sama aku. Kenapa kamu bisa luka?” Endra bertanya sambil memegang tangan Valerie yang hendak bangkit dari duduknya.
“Sudah aku bilang. Aku jatuh dari angkot.”
“Valerie, please! Jujur sama aku.” Kini, tangan Endra menangkup pipi Valerie untuk menatapnya. Gadis itu mulai terlihat sedikit takut.
Valerie menghela napas. Sepertinya memang tak mudah baginya menyembunyikan rahasia dari Endra. “Kalo aku cerita, kamu harus janji untuk nggak marah,” ucapnya pelan dan dibalas Endra dengan anggukan.
“Tadi pas aku lagi menunggu angkot, Annalise, Sofia, dan Helena mengajakku pergi. Mereka melarangku dekat denganmu dan Tiga Sekawan. Waktu Annalise mendorongku, nggak sengaja kepalaku terbentur pohon.”
Wajah Endra memerah. “Jadi, ini ulah Annalise dan teman-temannya,” desisnya.
Valerie mengangguk. “Kamu jangan marah sama mereka.” 
“Tapi, mereka sudah membuatmu terluka.” 
“Aku nggak apa-apa, Ndra. Lukaku nanti juga sembuh. Aku nggak mau mereka tambah marah dan benci padaku kalo kamu sampai marah sama mereka. Janji, kamu nggak akan marah pada mereka?” Bujuk Valerie berusaha meredam emosi Endra. 
Endra mendengkus kesal. Dengan berat hati, ia mengangguk. “Ya, aku janji.”
“Beneran?”
“Ya.” Sahut Endra cepat.
“Ya, apa?”
“Ya, aku janji nggak akan marah. Puas!” Geram Endra dan membuat Valerie tersenyum.

۞۞۞

Endra memarkirkan motor mahalnya di parkiran sekolah. Dengan langkah cepat, ia menuju gedung B, tempat kelasnya berada. Namun, alih-alih menuju kelasnya, ia justru melangkah menuju kelas 3IPA2. Tampak Juno berdiri di ambang pintu kelas memainkan ponsel. 
“Annalise ada?” Pertanyaan Endra berhasil mengejutkan Juno.
“Tumben kamu nyari dia,” balas Juno keheranan. Bukan tanpa alasan dirinya heran karena yang ia tahu, selama ini Endra selalu menolak Annalise.
“Aku ada perlu sama dia,” sahut Endra cepat.
“Tuh, ada di dalam. Garin dan Ello juga ada di sana.”
Tanpa mengindahkan wajah kaget sahabatnya, Endra langsung masuk ke kelas Juno yang memang sekelas dengan Annalise. Di belakang, ada Juno mengikutinya dengan masih memasang wajah heran.
“Eh, Endra! Tumben datang ke kelas ini. Annalise menyambut dengan bibir tersenyum lebar. Garin dan Ello yang sedang mengobrol dengan Helena sontak menoleh ke arah Endra. Sama seperti Juno, mereka juga memasang wajah heran.
“Aku mau ngomong sesuatu.”
“Ehm, oke. Ngomong apa?” tanya Annalise sambil tersenyum manis. Dalam hati, ia bahagia Endra datang menghampirinya. Itu pertanda, lelaki tampan itu mulai membuka hati untuknya.
Berbeda dengan Annalise yang berbunga-bunga, Endra justru muak melihat gadis berdarah Perancis itu menutupi sifat jahat dengan mengulas senyum sok polosnya.
“Mulai sekarang, jangan pernah dekat dengan Valerie.”
Senyum yang tadinya tersungging di bibir merah Annalise, perlahan memudar. “Valerie? Kamu ngomong apa, sih, Ndra? Aku nggak ngerti.”
“Nggak perlu pasang muka polos kayak gitu. Aku tahu soal kejadian kemarin.” Endra menyahut dingin dengan ekspresi wajah yang tenang seperti biasa.
Annalise tersentak, tubuhnya sedikit gemetar. Ia mulai ketakutan. “Aku nggak ngapa-ngapain dia.”
“Lalu, kenapa kepala Valerie bisa luka?” tembak Endra langsung dengan nada emosi. Wajah Annalise berubah pucat pasi.
“Tunggu, Ndra! Valerie terluka?” tanya Garin.
Endra mengangguk. “Cewekmu juga ikutan bawa Valerie ke taman,” jawabnya sembari melihat Helena yang pucat di tempat.
Garin menoleh, lalu menatap tajam Helena. “Valerie kamu apain?”
“Ehm aku nggak ngapa-ngapain dia. Aku cuma diajak Annalise sama Sofia,” jawab Helena dengan ketakutan.
“Jangan pernah ganggu Valerie. Dia sudah jadi cewekku. Jadi, aku nggak akan pernah terima ada yang ganggu dia.” 
Selesai bicara, Endra langsung pergi meninggalkan semua orang yang melongo tak percaya. Tiga Sekawan yang tersadar lebih dulu segera berlari menyusulnya. 
“Eh, Ndra, apa maksud kamu tadi? Beneran Valerie sudah jadi cewekmu?” tanya Juno setelah berhasil menyusul Endra yang hendak masuk ke kelas IPA1. 
Endra menoleh dan menatap wajah Tiga Sekawan bergantian. Telunjuk kanannya menggaruk pelan pelipis, usaha untuk menutupi salah tingkahnya.
“Sorry, Guys, aku belum sempat cerita. Kemarin, aku dan Valerie sudah jadian.” 
“Serius?! Ello masih belum percaya. Endra mengangguk membenarkan dan detik berikutnya Tiga Sekawan sudah memukulinya. Tentu saja aksi mereka menarik perhatian murid lain yang berada di lorong kelas.
“Gila kamu, Ndra! Gila! Beruntung banget bisa jalan sama Valerie. Gila kamu!” seru Garin dengan nada iri.
“Tapi, kok, bisa Valerie nerima kamu? Kamu nggak paksa atau ngancam dia buat jadi cewek kamu, kan?” tukas Juno yang langsung dihadiahi jitakan maut dari Endra.
“Kalo ngomong disaring dulu,” sahut Endra sedikit kesal.
“Apa benar Valerie terluka?” tanya Ello.
“Tuh, lihat sen ....”
Belum sempat Endra menyelesaikan ucapannya, Tiga Sekawan sudah berlari memasuki kelasnya menemui Valerie. Kini, gantian Endra yang melongo heran dengan kelakuan absurd tiga sahabatnya.
Endra masuk kelas dan bisa melihat Tiga Sekawan sudah mengelilingi Valerie.
“Jadi, memang benar, ya? Kalo Annalise yang melukai kepalamu. Juno yang pertama kali bersuara saat melihat dahi Valerie tertutup perban.
“Kalian tahu dari mana?” tanya Valerie heran.
“Tuh, cowok kamu.” Ello mendengkus sembari menunjuk ke arah Endra.
Valerie menatap Endra yang berjalan mendekati bangku. “Kenapa kamu melanggar janji?” tanyanya saat Endra menaruh tas di meja.
“Aku nggak marah. Tadi, aku cuma ngomong sama mereka. Jadi, aku nggak langgar janji, kan?” Endra tersenyum menggoda ke arah Valerie. Sementara, gadis itu mencebikkan bibirnya.
“Rie, hati-hati sama Endra, mood swing banget,” ucap Garin sambil merangkul leher Valerie. Sontak Endra memukul kepalanya.
“Kalo kamu dicueki atau diomelin Endra, curhat sama aku saja. Aku selalu available buat jadi tempat curhat kamu,” rayu Ello sambil menggandeng tangan Valerie. Wajah Valerie merah padam mendengar Garin dan Ello yang terus menggodanya.
“Ih, muka Valerie langsung merah. Cute banget sih kamu, Rie,” goda Juno sambil menepuk pelan kepala Valerie.
Endra tersenyum sebelum mengusir ketiga teman laknatnya keluar kelas. “Bubar-bubar! Sudah bel, tuh. Cepat pergi!”
Ello mendengkus, Garin mencebikkan bibirnya. Sementara, Juno mulai mengancam Endra.
“Nanti pulang sekolah, kamu harus traktir kita. Awas kalo kamu kabur! Aku bakal bawa kabur Valerie dari kamu,” Ancam Juno sambil berjalan keluar kelas meninggalkan Endra dan Valerie yang sama-sama terkekeh pelan melihat ekspresi lucu Tiga Sekawan.

۞۞۞

Hari Minggu semua berkumpul di paviliun Endra, termasuk Valerie. Garin dan Ello serius bermain catur. Endra dan Juno sedang makan mi instan. Sementara, Valerie hanya duduk mengamati Garin dan Ello memainkan bidak catur.
“Hahaha kamu sudah nggak bisa bergerak, El.” Garin bersorak dengan penuh kemenangan, sedangkan Ello cuma mendengkus.


“Jangan ambil kuda, nanti kamu kalah,” sela Valerie saat Ello akan menggerakkan kudanya.
“Lalu, aku harus gerakin yang mana?” tanya Ello menoleh Valerie. Tanpa menjawab, Valerie mengambil benteng miliknya dan memakan kuda Garin. “Wah bener, Rie! Kenapa aku nggak kepikiran?” lirih Ello.
“Karena kamu oon nggak bisa main catur,” celetuk Juno yang langsung dipukul Ello. 
Garin diam mencoba berpikir, lalu kembali menggerakan bidak caturnya. “Sorry, El, aku ambil punyamu lagi,” ujarnya girang.
“Waduh gimana, Rie?” Bukannya berpikir untuk menyusun strategi menyerang, lelaki bermata sipit itu justru merengek pada Valerie yang duduk di sebelah kanannya. Valerie tampak berpikir sejenak, lalu mengambil salah satu bidak Ello. Tepat sasaran, karena gadis itu berhasil memakan ratu milik Garin.
“Skak mat!” seru Valerie.
“Horeee, aku menang!” sorak Ello langsung tos dengan Valerie.
“Kamu curang, menang karena dibantu Valerie,” ucap Garin tak mau kalah.
“Yang penting menang.” Ello tertawa keras, lalu meraih gelas minumnya.
“Kamu bisa main catur, Rie?” tanya Juno selesai makan.
“Sedikit,” jawab Valerie sambil minum air.
“Kalo gitu lawan aku,” tantang Juno.
“Oke, siapa takut?” sahut Valerie.
Juno dan Valerie akhirnya serius main catur. Endra hanya diam mengamati. Cukup kaget melihat Valerie yang mahir bermain catur. Sekarang saja, gadisnya sudah memakan banyak bidak catur milik Juno.
“Skak mat!” seru Valerie yang cukup membuat Endra terkesima. Valerie-nya memang hebat.
“Ternyata kamu jago juga main caturnya, Rie,” ucap Garin.
“Yah ... nggak cool dikalahin sama cewek.” Juno memasang tampang lemas dan Valerie hanya tertawa.
Tiba-tiba Juno tersenyum jahat, lalu menatap Valerie. “Nah sekarang, kamu lawan Endra, dia paling jago di antara kami. Berani, nggak?”
Valerie menoleh ke arah Endra yang memainkan kedua alisnya. Tanpa menjawab, ia pun mengangguk setuju. Jujur, ia penasaran melihat Endra bermain catur.
“Kalo nggak pake taruhan nggak seru,” celetuk Ello yang langsung disetujui Garin dan Juno.
Endra berdeham. “Gini aja, kalo aku yang menang. Kamu harus buat bekal untukku selama seminggu penuh,” ucapnya sambil menatap Valerie.
“Sama kita juga dong, masa cuma kamu saja, Ndra. Kita juga pingin bekal buatan Valerie,” tukas Garin.
“Oke, aku setuju. Kalo kamu menang, aku bakal buat bekal makanan untuk kalian semua. Tapi, kalo aku yang menang kalian harus mau melakukan apa pun yang aku minta. Deal?” Valerie mengulurkan tangan kanannya.
Tangan kanan Endra terulur, membalas jabat tangan Valerie. “Deal!”
“Ayo, Ndra! Kamu harus menang, jangan sampai kalah sama cewek sendiri.” Ello menepuk-nepuk pundak Endra.
“Harga diri kita ada di pundakmu, Bro,” sahut Juno.
“Sesama cowok kita dukung kamu, Ndra. Ayo menang biar kita dapat bekal makanan dari Valerie!” Garin menyemangati Endra.
Endra dan Valerie mulai bermain. Keduanya duduk berhadapan dengan konsentrasi penuh mengatur strategi. Bagi Endra bermain catur bukan hal yang terlalu sulit. Bisa dikatakan ia cukup menguasai permainan ini. Terbukti dengan dirinya yang tak pernah terkalahkan. Entah itu bermain dengan Tiga Sekawan maupun dengan papa dan adik lelakinya.
Bagi Valerie, bermain catur saat ini sedikit bernilai sentimentil. Permainan catur mengingatkan kenangan akan almarhum ibunya. Valerie ingat, saat ibunya masih sehat dulu, setiap hari Sabtu dan Minggu sore, mereka berdua akan bermain catur di ruang tamu. Dari situlah, bakat bermain caturnya terasah. Sang ibu menjadi mentor terbaiknya selama ini.
Menit bergulir hampir menyentuh jam, keduanya masih bertahan untuk mengamankan raja masing-masing. Pertandingan berjalan seru di mana Endra dan Valerie bergantian memakan bidak, hingga Tiga Sekawan ikut tegang menyaksikan pertandingan yang terasa imbang.
Kini, giliran Valerie yang menyerang. Matanya fokus memandangi bidak miliknya dan Endra bergantian. Kemudian, ia mulai menggerakan pion, dan ....
“Skak mat!” pekik Valerie saat berhasil mengunci raja milik Endra.
Endra melongo tak percaya. Sementara, Tiga Sekawan sudah tertawa melihat kekalahan Endra.
“Aduh, Ndra. Nggak keren banget kamu bisa kalah sama cewek sendiri,” cibir Garin dengan mulut laknatnya.
“Keren banget kamu, Rie! Jago main catur dan berhasil mengalahkan Endra,” ucap Ello sembari bertepuk tangan.
“Akhirnya, rekor tak terkalahkanmu dipatahkan sama cewekmu sendiri, Ndra,” timpal Juno sambil tertawa.
Baru kali ini, Endra mendapatkan lawan yang tangguh. Kemampuan hebat Valerie bermain catur memang harus diakuinya. Meskipun begitu, ia belum percaya bisa dikalahkan oleh Valerie yang tak lain tak bukan adalah kekasihnya sendiri. Sungguh ironi yang manis sekali.
“Seperti perjanjian di awal, aku akan melakukan apa pun yang kamu minta,” ucap Endra sportif.
“Ya, Rie, kamu mau kita ngapain? Mijit kamu?” sahut Juno yang langsung dijitak Endra.
Valerie tampak berpikir, sebuah senyum tercetak di wajah cantiknya. “Selama seminggu ke depan kalian nggak boleh bawa mobil atau motor saat sekolah.”
“Lalu, kita harus naik apa? Taksi?” Kali ini, Ello yang bertanya.
Valerie menggeleng keras. “Naik angkot.”
“What!!!” Empat sekawan memekik bersamaan.
“Yang lain deh, Rie, jangan yang itu!” sahut Garin.
“Kenapa nggak mau naik angkot?” tanya Valerie polos.
“Panas, terus kita nggak mau desak-desakan dalam angkot,” sahut Juno.
Endra memasang senyum terbaiknya. “Valerieku sayang, minta yang lain saja, ya.” Bujuknya dan Valerie tetap menggeleng.
“Kalian sudah janji mau melakukan apa saja?” Valerie memasang wajah merajuknya.
Jelas wajah Valerie yang penuh permohonan mampu meluruhkan hati Endra. “Harus seminggu? Dua hari saja, ya!” Ia masih berusaha membujuk dan lagi-lagi Valerie menggeleng.
“My guardian angels, please!” pinta Valerie dengan tatapan memohon. Tatapan maut yang membuat Endra, Juno, Garin, dan Ello tak tega menolak permintaannya. Ia tersenyum penuh kemenangan melihat Empat Sekawan mengangguk lemah.

۞۞۞

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Empat Sekawan dengan didampingi Valerie naik angkot sesuai kesepakatan. Valerie mulai kasihan melihat Empat Sekawan dengan wajah berkeringat karena suhu panas dalam angkot. Endra dan Garin yang berambut panjang sampai harus mengikat rambut untuk menghalau panas. Belum lagi postur tubuh mereka yang jangkung terlihat tak nyaman saat duduk dalam angkot. Mereka berempat sudah mengeluarkan buku dari dalam tas untuk mengipasi wajah mereka yang kegerahan.
“Kalo hukuman ini sudah berakhir, aku nggak akan kasih izin kamu naik angkot lagi,” ancam Endra sambil mengipasi wajahnya. Tatapannya menyorot tajam ke arah Valerie yang mengangguk patuh.
“Apa kamu nggak kepanasan, Rie?” Juno bertanya pada Valerie yang anteng melempem.
“Aku sudah terbiasa.”
“Kalo bukan karena kita sayang sama kamu, Rie. Nggak bakalan kita mau naik angkot,” ucap Garin mengipasi wajahnya.
“Aduuh!” pekik Ello saat kepalanya terbentur jendela karena sopir menghentikan angkotnya tiba-tiba.
“Ini hukuman paling berat dibanding hukumannya Pak Gun,” desah Juno. Pak Gun adalah guru matematika super killer yang tak segan menghukum muridnya jika lupa mengerjakan tugas atau dapat nilai merah saat kuis maupun ulangan.
Valerie tersenyum tipis, lalu mencoba mengamati jalan. “Kiri, Pak!” serunya saat angkot akan melintas di depan perumahan Tante Hesti.
Gadis mungil itu turun disusul oleh Endra yang kepalanya terbentur pintu.
“Shit!” umpat Endra sambil memegang kepalanya.
Setelah membayar ongkos angkot untuk lima orang, Valerie berbalik menatap Endra. “Sakitkah?” tanyanya dan Endra mengangguk sembari mengelus kepala.
“Akhirnya sampai juga,” ucap Ello dengan nada lega saat turun paling akhir.
Empat Sekawan menatap gerbang perumahan dengan nanar. Penderitaan yang lain sudah menanti karena mereka harus berjalan kaki sejauh enam ratus meter lebih untuk bisa sampai ke rumah Tante Hesti.
Sebenarnya, Valerie sudah ingin tertawa melihat wajah kekasih dan tiga sahabatnya yang tak berdaya. Namun, ia menahan diri dan lebih memilih memberi semangat. “Ayo, semangat!” ucapnya dengan tersenyum lebar.
Pandangan Endra terpaku pada Valerie. Tidak percaya melihat semangat gadis itu yang menggebu-gebu. Bagaimana Valerie bisa tersenyum lebar di saat dirinya sudah tak bertenaga?
Mereka mulai memasuki perumahan. Valerie terus memancing obrolan untuk mengalihkan rasa capek Endra, Garin, Juno, dan Ello. Dalam hati, ia ingin tertawa melihat wajah Empat Sekawan yang memerah dipenuhi keringat. Setelah melalui perjalanan yang panjang bagi Empat Sekawan, akhirnya mereka sampai juga di paviliun Tante Hesti. Endra langsung tengkurap di sofa, sedangkan Tiga Sekawan merebahkan diri di lantai marmer yang dingin.
“Dasar cowok-cowok manja! Baru naik angkot saja sudah banyak ngeluh,” ejek Valerie saat duduk di sofa, tepat di kaki Endra.
“Ini pertama kalinya kita naik angkot, Rie.” Endra membalik badannya demi melihat Valerie.
“Panas, gerah, dan sopirnya itu lho ugal-ugalan banget,” sambar Ello dengan napas ngos-ngosan.
“Sekali-kali kalian harus merasakan hidup prihatin, biar kalian terus bersyukur karena sudah dikasih kemewahan dari lahir. Valerie kembali mencubit hati Endra dan yang lainnya.
“Ya, Rie, kita tahu sekarang, gimana rasanya?” sahut Garin.
“Ini belum seberapa dibanding dengan anak-anak jalanan yang nyari uang nggak peduli hujan atau panas.”
Dengan gerak cepat, Endra bangun untuk memeluk Valerie dari samping, kemudian menumpukan wajahnya di pundak Valerie. “Thanks, Rie, sudah kasih kita pelajaran hidup yang berharga,” bisiknya.
Awalnya, tubuh Valerie menegang karena dekapan Endra melingkupi badannya, tapi tak urung ia tersenyum. Perlahan tangan kanannya terangkat untuk mengelus kepala Endra yang masih bertumpu di pundaknya.
“Biar kalian semangat lagi, aku buatin makan siang, ya.”
“You're the best, Rie. I like you so much,” puji Juno sambil senyum.

۞۞۞

Selesai memberi privat si Kembar, Putra dan Putri, Valerie kembali ke paviliun Endra. Mobil Garin, Juno, dan Ello masih terparkir berjajar di halaman paviliun sejak pagi saat mereka berangkat naik angkot ke sekolah. Valerie masuk ruang tamu saat empat sekawan merokok seperti biasa.
“Udah selesai ngajarnya, Rie?” Endra bertanya saat melihat Valerie memasuki ruang tamu. Gadis itu mengangguk, lalu duduk di sampingnya. “Kalo gitu makan dulu sana.”
“Aku sudah makan di rumah Tante Hesti,” tolak Valerie.
“Kok bisa?” tanya Endra heran.
“Tadi Tante Hesti bikin sup jagung katanya spesial buatku. Jadi nggak enak mau menolak.” Valerie menyahut sambil tersenyum. “O iya, besok kalian nggak perlu naik angkot lagi.”
Endra yang sedang mematikan rokoknya menoleh. “Kenapa? Kan perjanjiannya seminggu.”
“Aku nggak tega lihat kalian kayak tadi, jadi lupakan saja perjanjiannya.” Valerie meraih tasnya dekat sofa.
“Beneran, Rie?” tanya Ello dan Valerie mengangguk sambil memakai tasnya.
“Mau ke mana?” tanya Garin.
“Ngajar lagi ke blok depan.”
“Nggak capek?” Juno menatap sekilas ke arahnValerie sebelum mengetuk abu bekas bakaran rokok ke asbak.
Kepala Valerie menggeleng. “Memangnya kalian naik angkot saja sudah ngeluh.” Ia tertawa, hingga membuat wajah Empat Sekawan memerah karena malu.
“By the way, kemarin kamu keren banget main caturnya. Siapa yang mengajarimu?” Ello bertanya sembari mengetuk-ngetuk abu rokok dalam asbak.
“Ibu. Dulu, Ibuku atlet catur,” jawab Valerie sembari mengingat kembali mendiang ibunya. Ia kembali teringat ibunya yang sering bercerita tentang pengalamannya memenangkan kejuaraan sembari menunjukkan potret kenangan dengan penuh bangga.
“Benarkah? Pantesan kamu jago, rupanya bakat Ibu menurun padamu.” Ucapan Endra menarik Valerie dari lamunan singkat tentang Arumi.
“Mungkin,” sahut Valerie.
“Ayo, aku antar!” Endra meraih kunci motornya di meja. Valerie berpamitan dengan Tiga Sekawan, lalu mengikutinya ke luar. 

۞۞۞

“Kalo mau pulang SMS aku. Nanti aku antar pulang.” Endra berkata saat membantu Valerie turun dari motor.
“Kamu nggak kerja?”
Endra menggeleng. “Aku libur hari ini. Sebenarnya, aku pingin ngajak kamu nonton, tapi kamu lagi sibuk kasih privat.” Tangannya masih memegang tangan Valerie.
“Hari ini, aku cuma kasih privat sampai jam lima.”
Senyum Endra terbit. “Kalo gitu nanti malam kita bisa nge-date.”
“Cuma kita berdua?”
“Ya iyalah, masa mau nge-date harus rame-rame sama Tiga Sekawan,” balas Endra dengan nada gemas.
Valerie tersenyum, kemudian memalingkan wajah untuk menimbang usulan Endra. “Oke, nanti aku SMS kamu kalo sudah selesai, tapi nanti antar aku pulang dulu, ya. Buat mandi dan ganti baju.”
“Oke, Valerieku,” ujar Endra sambil mencium tangan Valerie.


Tbc


Pati, 16 Agustus 2019

Biodata:

Penulis lahi di Malang. Sekarang tengah mempersiapkan antologi kedelapan miliknya. Memiliki impian bisa menerbitkan novel solo suatu hari nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.