Karena Kamu Pangeranku Part 8
Oleh: Titin Akhiroh
Mata Valerie terbelalak mendengar permintaan
Endra. Belum hilang rasa kagetnya karena ciuman tiba-tiba. Ia kembali dibuat
menganga oleh pengakuan cinta Endra. Sungguh ini bagaikan mimpi bagi Valerie.
Ia butuh benar-benar diyakinkan akan kenyataan yang terpampang di depannya kali
ini.
Sementara, Endra yang berdiri menjulang di
hadapan Valerie harus mati-matian menahan jantungnya yang bergetar hebat.
Diamnya gadis itu menjadikannya gugup setengah mati. Ia berkeringat dingin
seperti sedang menunggu kepastian nasib.
Valerie mengerjapkan mata, lalu memalingkan
wajahnya dari Endra. Bukan ia marah lelaki itu telah mencuri ciuman pertamanya,
tapi lebih pada dilema dalam hati. Ada bagian dari hatinya yang lantang
menyambut perasaan Endra. Namun di sisi lain, ia takut kalau ini hanya buaian
semata yang nanti bisa menghancurkan harapannya. Sedari awal, ia sadar ada
penghalang tak kasatmata antara dirinya dan Endra. Strata sosial hal pertama
yang akan memberatkan langkahnya ke depan jika tetap memilih Endra menjadi
kekasih hatinya.
“Ndra, pikirkan ulang ucapan kamu.” Kalimat
pertama yang berhasil keluar dari bibir Valerie setelah beberapa lama mematung
karena perlakuan Endra.
“Kenapa aku harus memikirkan ulang? Apa kamu
pikir aku bercanda soal itu?” Endra menatap dalam manik mata Valerie. Mencoba
mencari kebenaran perasaan Valerie padanya. Ia tahu binar cinta itu ada.
“Ini nggak akan mudah, Ndra.” Valerie mulai
dilanda bingung meyakinkan Endra bahwa ia tak pantas untuk bersamanya.
“Kita belum coba, lalu kenapa kamu bisa bilang
ini nggak mudah?” Endra menatap tajam Valerie.
“Aku nggak cukup pantas bagimu.”
Sekarang, Endra mengerti. Ini bukan soal
perasaan, tapi lebih pada rasa rendah diri. “Cukup terima aku. Aku nggak peduli
dengan yang lainnya. Jika aku pilih kamu, maka itu artinya kamu lebih dari
pantas bagiku.”
Valerie begitu tersanjung. Baru kali ini, ia
merasa dihargai.
Endra melepas cengkeramannya di lengan Valerie,
lalu meraih kedua telapak tangan gadisnya untuk ia genggam. “Aku tahu kamu
pasti belum yakin denganku, tapi kamu harus tahu, aku nggak pernah seserius ini
bicara soal hati. Aku hanya menuruti kemauannya karena sepertinya hatiku telah
memilih kamu.” Endra menarik kuat napasnya sebelum kembali mengutarakan rasanya
pada Valerie. “Jadi, apakah Valerie Wijaya mau menerima Tarendra Yama Mananta
sebagai kekasihnya?”
Lama Valerie tak kunjung menjawab. Sampai
akhirnya, Endra bernapas lega saat gadis itu mengangguk malu-malu. Segela beban
dalam hatinya yang selama ini memendam rasa untuk Valerie, seakan lenyap tak
bersisa. Kini, hatinya dipenuhi rasa bahagia akan cinta pertama. Cinta
pertamanya yang indah bersama Peri Valentine.
“Terima kasih sudah mau terima aku. Aku nggak
bisa berjanji apa pun padamu. Aku hanya berharap, kita bisa terikat selama
mungkin sampai kita nggak tahu bagaimana cara melepasnya.”
Bagaimana Valerie tak semakin sayang jika
selalu mendengar ucapan manis Endra seperti ini? Ucapan yang lebih dahsyat dari
sebuah janji. Ucapan yang penuh doa dan harapan. Karena janji bisa saja
diingkari, sedangkan doa dan harapan akan selalu terucap setiap hari.
“Terima kasih sudah mau memilihku.”
Ucapan Valerie memantik senyuman Endra.
Kemudian, ia memeluk Valerie. Pelukan pertama mereka sebagai sepasang kekasih.
Valerie yang lebih dulu melepaskan diri. Wajahnya merah, perpaduan dari rasa
senang dan malu. Endra tersenyum, lalu mengangkat tangan kanan untuk mengusap lembut
luka di kepala Valerie.
“Di mana kotak obatnya? Biar aku rawat lukamu.
Endra berbisik sambil memeriksa luka Valerie yang cukup dalam.
Valerie memasuki ruang tengah, mengambil kotak
dari dalam laci buffet. Kemudian, ia kembali ke depan menyerahkan kotak warna
putih pada Endra. Dengan telaten, Endra membersihkan lukanya dengan kapas yang
diberi alkohol. Ia mengernyit menahan perih saat rasa dingin alkohol
bersentuhan dengan lukanya. Ia cukup takjub dengan keahlian Endra merawat luka.
Dari mana lelaki di depannya bisa mendapatkan keahlian itu?
“Mamaku seorang dokter kandungan. Dulu, saat
aku masih kecil, Mama sering mengajakku ke rumah sakitnya. Aku jadi terbiasa
melihat luka dan darah. Aku sering melihat suster merawat luka, makanya aku
cukup terampil sekarang,” tutur Endra seolah bisa membaca pikiran
Valerie.
Valerie sedikit terkejut akan fakta menarik
yang baru diketahuinya. Tak heran jika Endra memang berbakat merawat
orang.
“Nanti jangan lupa minum anti nyeri,” titah
Endra sambil mengobati luka Valerie dengan Betadine.
“Ya, Pak Dokter,” sahut Valerie. Endra
tersenyum dengan tangannya yang masih bergerak menutup luka dengan
perban.
“Sudah selesai.” Endra cukup puas dengan
hasilnya yang rapi membalut luka.
“Terima kasih banyak.”
Selarik senyum diberikan Endra guna menanggapi
perkataan Valerie. Seperti biasanya ia akan menikmati wajah ayu sang gadis.
Lalu, kembali dibuat penasaran dengan kronologis jatuhnya Valerie. “Kenapa bisa
jatuh dari angkot?”
Valerie terkesiap, lalu buru-buru merapikan
kotak obat. “Ehm, tadi aku kurang hati-hati,” jawabnya sedikit pelan.
Endra mengangkat sebelah alisnya curiga.
Valerie tampak salah tingkah seperti bingung ingin mencari jawaban. Mata
tajamnya mengamati keseluruhan tubuh Valerie. Tak ada luka selain di kening.
Celana dan baju Valerie juga masih bersih.
“Valerie, jujur sama aku. Kenapa kamu bisa
luka?” Endra bertanya sambil memegang tangan Valerie yang hendak bangkit dari
duduknya.
“Sudah aku bilang. Aku jatuh dari angkot.”
“Valerie, please! Jujur sama aku.” Kini, tangan
Endra menangkup pipi Valerie untuk menatapnya. Gadis itu mulai terlihat sedikit
takut.
Valerie menghela napas. Sepertinya memang tak
mudah baginya menyembunyikan rahasia dari Endra. “Kalo aku cerita, kamu harus
janji untuk nggak marah,” ucapnya pelan dan dibalas Endra dengan anggukan.
“Tadi pas aku lagi menunggu angkot, Annalise,
Sofia, dan Helena mengajakku pergi. Mereka melarangku dekat denganmu dan Tiga
Sekawan. Waktu Annalise mendorongku, nggak sengaja kepalaku terbentur pohon.”
Wajah Endra memerah. “Jadi, ini ulah Annalise
dan teman-temannya,” desisnya.
Valerie mengangguk. “Kamu jangan marah sama
mereka.”
“Tapi, mereka sudah membuatmu terluka.”
“Aku nggak apa-apa, Ndra. Lukaku nanti juga
sembuh. Aku nggak mau mereka tambah marah dan benci padaku kalo kamu sampai
marah sama mereka. Janji, kamu nggak akan marah pada mereka?” Bujuk Valerie
berusaha meredam emosi Endra.
Endra mendengkus kesal. Dengan berat hati, ia
mengangguk. “Ya, aku janji.”
“Beneran?”
“Ya.” Sahut Endra cepat.
“Ya, apa?”
“Ya, aku janji nggak akan marah. Puas!” Geram
Endra dan membuat Valerie tersenyum.
۞۞۞
Endra memarkirkan motor mahalnya di parkiran
sekolah. Dengan langkah cepat, ia menuju gedung B, tempat kelasnya berada.
Namun, alih-alih menuju kelasnya, ia justru melangkah menuju kelas 3IPA2.
Tampak Juno berdiri di ambang pintu kelas memainkan ponsel.
“Annalise ada?” Pertanyaan Endra berhasil
mengejutkan Juno.
“Tumben kamu nyari dia,” balas Juno keheranan.
Bukan tanpa alasan dirinya heran karena yang ia tahu, selama ini Endra selalu
menolak Annalise.
“Aku ada perlu sama dia,” sahut Endra cepat.
“Tuh, ada di dalam. Garin dan Ello juga ada di
sana.”
Tanpa mengindahkan wajah kaget sahabatnya,
Endra langsung masuk ke kelas Juno yang memang sekelas dengan Annalise. Di belakang,
ada Juno mengikutinya dengan masih memasang wajah heran.
“Eh, Endra! Tumben datang ke kelas ini.
Annalise menyambut dengan bibir tersenyum lebar. Garin dan Ello yang sedang
mengobrol dengan Helena sontak menoleh ke arah Endra. Sama seperti Juno, mereka
juga memasang wajah heran.
“Aku mau ngomong sesuatu.”
“Ehm, oke. Ngomong apa?” tanya Annalise sambil
tersenyum manis. Dalam hati, ia bahagia Endra datang menghampirinya. Itu
pertanda, lelaki tampan itu mulai membuka hati untuknya.
Berbeda dengan Annalise yang berbunga-bunga,
Endra justru muak melihat gadis berdarah Perancis itu menutupi sifat jahat
dengan mengulas senyum sok polosnya.
“Mulai sekarang, jangan pernah dekat dengan
Valerie.”
Senyum yang tadinya tersungging di bibir merah
Annalise, perlahan memudar. “Valerie? Kamu ngomong apa, sih, Ndra? Aku nggak
ngerti.”
“Nggak perlu pasang muka polos kayak gitu. Aku
tahu soal kejadian kemarin.” Endra menyahut dingin dengan ekspresi wajah yang
tenang seperti biasa.
Annalise tersentak, tubuhnya sedikit gemetar.
Ia mulai ketakutan. “Aku nggak ngapa-ngapain dia.”
“Lalu, kenapa kepala Valerie bisa luka?” tembak
Endra langsung dengan nada emosi. Wajah Annalise berubah pucat pasi.
“Tunggu, Ndra! Valerie terluka?” tanya Garin.
Endra mengangguk. “Cewekmu juga ikutan bawa
Valerie ke taman,” jawabnya sembari melihat Helena yang pucat di tempat.
Garin menoleh, lalu menatap tajam Helena.
“Valerie kamu apain?”
“Ehm aku nggak ngapa-ngapain dia. Aku cuma
diajak Annalise sama Sofia,” jawab Helena dengan ketakutan.
“Jangan pernah ganggu Valerie. Dia sudah jadi
cewekku. Jadi, aku nggak akan pernah terima ada yang ganggu dia.”
Selesai bicara, Endra langsung pergi
meninggalkan semua orang yang melongo tak percaya. Tiga Sekawan yang tersadar
lebih dulu segera berlari menyusulnya.
“Eh, Ndra, apa maksud kamu tadi? Beneran
Valerie sudah jadi cewekmu?” tanya Juno setelah berhasil menyusul Endra yang
hendak masuk ke kelas IPA1.
Endra menoleh dan menatap wajah Tiga Sekawan
bergantian. Telunjuk kanannya menggaruk pelan pelipis, usaha untuk menutupi
salah tingkahnya.
“Sorry, Guys, aku belum sempat cerita. Kemarin,
aku dan Valerie sudah jadian.”
“Serius?! Ello masih belum percaya. Endra
mengangguk membenarkan dan detik berikutnya Tiga Sekawan sudah memukulinya.
Tentu saja aksi mereka menarik perhatian murid lain yang berada di lorong
kelas.
“Gila kamu, Ndra! Gila! Beruntung banget bisa
jalan sama Valerie. Gila kamu!” seru Garin dengan nada iri.
“Tapi, kok, bisa Valerie nerima kamu? Kamu
nggak paksa atau ngancam dia buat jadi cewek kamu, kan?” tukas Juno yang
langsung dihadiahi jitakan maut dari Endra.
“Kalo ngomong disaring dulu,” sahut Endra
sedikit kesal.
“Apa benar Valerie terluka?” tanya Ello.
“Tuh, lihat sen ....”
Belum sempat Endra menyelesaikan ucapannya,
Tiga Sekawan sudah berlari memasuki kelasnya menemui Valerie. Kini, gantian
Endra yang melongo heran dengan kelakuan absurd tiga sahabatnya.
Endra masuk kelas dan bisa melihat Tiga Sekawan
sudah mengelilingi Valerie.
“Jadi, memang benar, ya? Kalo Annalise yang
melukai kepalamu. Juno yang pertama kali bersuara saat melihat dahi Valerie
tertutup perban.
“Kalian tahu dari mana?” tanya Valerie heran.
“Tuh, cowok kamu.” Ello mendengkus sembari
menunjuk ke arah Endra.
Valerie menatap Endra yang berjalan mendekati
bangku. “Kenapa kamu melanggar janji?” tanyanya saat Endra menaruh tas di meja.
“Aku nggak marah. Tadi, aku cuma ngomong sama
mereka. Jadi, aku nggak langgar janji, kan?” Endra tersenyum menggoda ke arah
Valerie. Sementara, gadis itu mencebikkan bibirnya.
“Rie, hati-hati sama Endra, mood swing banget,”
ucap Garin sambil merangkul leher Valerie. Sontak Endra memukul kepalanya.
“Kalo kamu dicueki atau diomelin Endra, curhat
sama aku saja. Aku selalu available buat jadi tempat curhat kamu,” rayu Ello
sambil menggandeng tangan Valerie. Wajah Valerie merah padam mendengar Garin
dan Ello yang terus menggodanya.
“Ih, muka Valerie langsung merah. Cute banget
sih kamu, Rie,” goda Juno sambil menepuk pelan kepala Valerie.
Endra tersenyum sebelum mengusir ketiga teman
laknatnya keluar kelas. “Bubar-bubar! Sudah bel, tuh. Cepat pergi!”
Ello mendengkus, Garin mencebikkan bibirnya.
Sementara, Juno mulai mengancam Endra.
“Nanti pulang sekolah, kamu harus traktir kita.
Awas kalo kamu kabur! Aku bakal bawa kabur Valerie dari kamu,” Ancam Juno
sambil berjalan keluar kelas meninggalkan Endra dan Valerie yang sama-sama
terkekeh pelan melihat ekspresi lucu Tiga Sekawan.
۞۞۞
Hari Minggu semua berkumpul di paviliun Endra,
termasuk Valerie. Garin dan Ello serius bermain catur. Endra dan Juno sedang
makan mi instan. Sementara, Valerie hanya duduk mengamati Garin dan Ello
memainkan bidak catur.
“Hahaha kamu sudah nggak bisa bergerak, El.”
Garin bersorak dengan penuh kemenangan, sedangkan Ello cuma mendengkus.
“Jangan ambil kuda, nanti kamu kalah,” sela
Valerie saat Ello akan menggerakkan kudanya.
“Lalu, aku harus gerakin yang mana?” tanya Ello
menoleh Valerie. Tanpa menjawab, Valerie mengambil benteng miliknya dan memakan
kuda Garin. “Wah bener, Rie! Kenapa aku nggak kepikiran?” lirih Ello.
“Karena kamu oon nggak bisa main catur,”
celetuk Juno yang langsung dipukul Ello.
Garin diam mencoba berpikir, lalu kembali
menggerakan bidak caturnya. “Sorry, El, aku ambil punyamu lagi,” ujarnya
girang.
“Waduh gimana, Rie?” Bukannya berpikir untuk
menyusun strategi menyerang, lelaki bermata sipit itu justru merengek pada
Valerie yang duduk di sebelah kanannya. Valerie tampak berpikir sejenak, lalu
mengambil salah satu bidak Ello. Tepat sasaran, karena gadis itu berhasil memakan
ratu milik Garin.
“Skak mat!” seru Valerie.
“Horeee, aku menang!” sorak Ello langsung tos
dengan Valerie.
“Kamu curang, menang karena dibantu Valerie,”
ucap Garin tak mau kalah.
“Yang penting menang.” Ello tertawa keras, lalu
meraih gelas minumnya.
“Kamu bisa main catur, Rie?” tanya Juno selesai
makan.
“Sedikit,” jawab Valerie sambil minum air.
“Kalo gitu lawan aku,” tantang Juno.
“Oke, siapa takut?” sahut Valerie.
Juno dan Valerie akhirnya serius main catur.
Endra hanya diam mengamati. Cukup kaget melihat Valerie yang mahir bermain
catur. Sekarang saja, gadisnya sudah memakan banyak bidak catur milik Juno.
“Skak mat!” seru Valerie yang cukup membuat
Endra terkesima. Valerie-nya memang hebat.
“Ternyata kamu jago juga main caturnya, Rie,”
ucap Garin.
“Yah ... nggak cool dikalahin sama cewek.” Juno
memasang tampang lemas dan Valerie hanya tertawa.
Tiba-tiba Juno tersenyum jahat, lalu menatap
Valerie. “Nah sekarang, kamu lawan Endra, dia paling jago di antara kami.
Berani, nggak?”
Valerie menoleh ke arah Endra yang memainkan
kedua alisnya. Tanpa menjawab, ia pun mengangguk setuju. Jujur, ia penasaran
melihat Endra bermain catur.
“Kalo nggak pake taruhan nggak seru,” celetuk
Ello yang langsung disetujui Garin dan Juno.
Endra berdeham. “Gini aja, kalo aku yang
menang. Kamu harus buat bekal untukku selama seminggu penuh,” ucapnya sambil
menatap Valerie.
“Sama kita juga dong, masa cuma kamu saja,
Ndra. Kita juga pingin bekal buatan Valerie,” tukas Garin.
“Oke, aku setuju. Kalo kamu menang, aku bakal
buat bekal makanan untuk kalian semua. Tapi, kalo aku yang menang kalian harus
mau melakukan apa pun yang aku minta. Deal?” Valerie mengulurkan tangan
kanannya.
Tangan kanan Endra terulur, membalas jabat
tangan Valerie. “Deal!”
“Ayo, Ndra! Kamu harus menang, jangan sampai
kalah sama cewek sendiri.” Ello menepuk-nepuk pundak Endra.
“Harga diri kita ada di pundakmu, Bro,” sahut
Juno.
“Sesama cowok kita dukung kamu, Ndra. Ayo
menang biar kita dapat bekal makanan dari Valerie!” Garin menyemangati Endra.
Endra dan Valerie mulai bermain. Keduanya duduk
berhadapan dengan konsentrasi penuh mengatur strategi. Bagi Endra bermain catur
bukan hal yang terlalu sulit. Bisa dikatakan ia cukup menguasai permainan ini.
Terbukti dengan dirinya yang tak pernah terkalahkan. Entah itu bermain dengan
Tiga Sekawan maupun dengan papa dan adik lelakinya.
Bagi Valerie, bermain catur saat ini sedikit
bernilai sentimentil. Permainan catur mengingatkan kenangan akan almarhum
ibunya. Valerie ingat, saat ibunya masih sehat dulu, setiap hari Sabtu dan
Minggu sore, mereka berdua akan bermain catur di ruang tamu. Dari situlah,
bakat bermain caturnya terasah. Sang ibu menjadi mentor terbaiknya selama ini.
Menit bergulir hampir menyentuh jam, keduanya
masih bertahan untuk mengamankan raja masing-masing. Pertandingan berjalan seru
di mana Endra dan Valerie bergantian memakan bidak, hingga Tiga Sekawan ikut
tegang menyaksikan pertandingan yang terasa imbang.
Kini, giliran Valerie yang menyerang. Matanya
fokus memandangi bidak miliknya dan Endra bergantian. Kemudian, ia mulai
menggerakan pion, dan ....
“Skak mat!” pekik Valerie saat berhasil
mengunci raja milik Endra.
Endra melongo tak percaya. Sementara, Tiga
Sekawan sudah tertawa melihat kekalahan Endra.
“Aduh, Ndra. Nggak keren banget kamu bisa kalah
sama cewek sendiri,” cibir Garin dengan mulut laknatnya.
“Keren banget kamu, Rie! Jago main catur dan
berhasil mengalahkan Endra,” ucap Ello sembari bertepuk tangan.
“Akhirnya, rekor tak terkalahkanmu dipatahkan
sama cewekmu sendiri, Ndra,” timpal Juno sambil tertawa.
Baru kali ini, Endra mendapatkan lawan yang
tangguh. Kemampuan hebat Valerie bermain catur memang harus diakuinya. Meskipun
begitu, ia belum percaya bisa dikalahkan oleh Valerie yang tak lain tak bukan
adalah kekasihnya sendiri. Sungguh ironi yang manis sekali.
“Seperti perjanjian di awal, aku akan melakukan
apa pun yang kamu minta,” ucap Endra sportif.
“Ya, Rie, kamu mau kita ngapain? Mijit kamu?”
sahut Juno yang langsung dijitak Endra.
Valerie tampak berpikir, sebuah senyum tercetak
di wajah cantiknya. “Selama seminggu ke depan kalian nggak boleh bawa mobil
atau motor saat sekolah.”
“Lalu, kita harus naik apa? Taksi?” Kali ini,
Ello yang bertanya.
Valerie menggeleng keras. “Naik angkot.”
“What!!!” Empat sekawan memekik bersamaan.
“Yang lain deh, Rie, jangan yang itu!” sahut
Garin.
“Kenapa nggak mau naik angkot?” tanya Valerie
polos.
“Panas, terus kita nggak mau desak-desakan
dalam angkot,” sahut Juno.
Endra memasang senyum terbaiknya. “Valerieku
sayang, minta yang lain saja, ya.” Bujuknya dan Valerie tetap menggeleng.
“Kalian sudah janji mau melakukan apa saja?”
Valerie memasang wajah merajuknya.
Jelas wajah Valerie yang penuh permohonan mampu
meluruhkan hati Endra. “Harus seminggu? Dua hari saja, ya!” Ia masih berusaha
membujuk dan lagi-lagi Valerie menggeleng.
“My guardian angels, please!” pinta Valerie
dengan tatapan memohon. Tatapan maut yang membuat Endra, Juno, Garin, dan Ello
tak tega menolak permintaannya. Ia tersenyum penuh kemenangan melihat Empat
Sekawan mengangguk lemah.
۞۞۞
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Empat
Sekawan dengan didampingi Valerie naik angkot sesuai kesepakatan. Valerie mulai
kasihan melihat Empat Sekawan dengan wajah berkeringat karena suhu panas dalam
angkot. Endra dan Garin yang berambut panjang sampai harus mengikat rambut
untuk menghalau panas. Belum lagi postur tubuh mereka yang jangkung terlihat
tak nyaman saat duduk dalam angkot. Mereka berempat sudah mengeluarkan buku
dari dalam tas untuk mengipasi wajah mereka yang kegerahan.
“Kalo hukuman ini sudah berakhir, aku nggak
akan kasih izin kamu naik angkot lagi,” ancam Endra sambil mengipasi wajahnya.
Tatapannya menyorot tajam ke arah Valerie yang mengangguk patuh.
“Apa kamu nggak kepanasan, Rie?” Juno bertanya
pada Valerie yang anteng melempem.
“Aku sudah terbiasa.”
“Kalo bukan karena kita sayang sama kamu, Rie.
Nggak bakalan kita mau naik angkot,” ucap Garin mengipasi wajahnya.
“Aduuh!” pekik Ello saat kepalanya terbentur
jendela karena sopir menghentikan angkotnya tiba-tiba.
“Ini hukuman paling berat dibanding hukumannya
Pak Gun,” desah Juno. Pak Gun adalah guru matematika super killer yang tak
segan menghukum muridnya jika lupa mengerjakan tugas atau dapat nilai merah
saat kuis maupun ulangan.
Valerie tersenyum tipis, lalu mencoba mengamati
jalan. “Kiri, Pak!” serunya saat angkot akan melintas di depan perumahan Tante
Hesti.
Gadis mungil itu turun disusul oleh Endra yang
kepalanya terbentur pintu.
“Shit!” umpat Endra sambil memegang kepalanya.
“Shit!” umpat Endra sambil memegang kepalanya.
Setelah membayar ongkos angkot untuk lima
orang, Valerie berbalik menatap Endra. “Sakitkah?” tanyanya dan Endra
mengangguk sembari mengelus kepala.
“Akhirnya sampai juga,” ucap Ello dengan nada
lega saat turun paling akhir.
Empat Sekawan menatap gerbang perumahan dengan
nanar. Penderitaan yang lain sudah menanti karena mereka harus berjalan kaki
sejauh enam ratus meter lebih untuk bisa sampai ke rumah Tante Hesti.
Sebenarnya, Valerie sudah ingin tertawa melihat
wajah kekasih dan tiga sahabatnya yang tak berdaya. Namun, ia menahan diri dan
lebih memilih memberi semangat. “Ayo, semangat!” ucapnya dengan tersenyum
lebar.
Pandangan Endra terpaku pada Valerie. Tidak
percaya melihat semangat gadis itu yang menggebu-gebu. Bagaimana Valerie bisa
tersenyum lebar di saat dirinya sudah tak bertenaga?
Mereka mulai memasuki perumahan. Valerie terus
memancing obrolan untuk mengalihkan rasa capek Endra, Garin, Juno, dan Ello.
Dalam hati, ia ingin tertawa melihat wajah Empat Sekawan yang memerah dipenuhi
keringat. Setelah melalui perjalanan yang panjang bagi Empat Sekawan, akhirnya
mereka sampai juga di paviliun Tante Hesti. Endra langsung tengkurap di sofa,
sedangkan Tiga Sekawan merebahkan diri di lantai marmer yang dingin.
“Dasar cowok-cowok manja! Baru naik angkot saja
sudah banyak ngeluh,” ejek Valerie saat duduk di sofa, tepat di kaki Endra.
“Ini pertama kalinya kita naik angkot, Rie.”
Endra membalik badannya demi melihat Valerie.
“Panas, gerah, dan sopirnya itu lho ugal-ugalan
banget,” sambar Ello dengan napas ngos-ngosan.
“Sekali-kali kalian harus merasakan hidup
prihatin, biar kalian terus bersyukur karena sudah dikasih kemewahan dari
lahir. Valerie kembali mencubit hati Endra dan yang lainnya.
“Ya, Rie, kita tahu sekarang, gimana rasanya?”
sahut Garin.
“Ini belum seberapa dibanding dengan anak-anak
jalanan yang nyari uang nggak peduli hujan atau panas.”
Dengan gerak cepat, Endra bangun untuk memeluk
Valerie dari samping, kemudian menumpukan wajahnya di pundak Valerie. “Thanks,
Rie, sudah kasih kita pelajaran hidup yang berharga,” bisiknya.
Awalnya, tubuh Valerie menegang karena dekapan
Endra melingkupi badannya, tapi tak urung ia tersenyum. Perlahan tangan
kanannya terangkat untuk mengelus kepala Endra yang masih bertumpu di
pundaknya.
“Biar kalian semangat lagi, aku buatin makan
siang, ya.”
“You're the best, Rie. I like you so much,”
puji Juno sambil senyum.
۞۞۞
Selesai memberi privat si Kembar, Putra dan
Putri, Valerie kembali ke paviliun Endra. Mobil Garin, Juno, dan Ello masih
terparkir berjajar di halaman paviliun sejak pagi saat mereka berangkat naik
angkot ke sekolah. Valerie masuk ruang tamu saat empat sekawan merokok seperti
biasa.
“Udah selesai ngajarnya, Rie?” Endra bertanya
saat melihat Valerie memasuki ruang tamu. Gadis itu mengangguk, lalu duduk di
sampingnya. “Kalo gitu makan dulu sana.”
“Aku sudah makan di rumah Tante Hesti,” tolak
Valerie.
“Kok bisa?” tanya Endra heran.
“Tadi Tante Hesti bikin sup jagung katanya
spesial buatku. Jadi nggak enak mau menolak.” Valerie menyahut sambil
tersenyum. “O iya, besok kalian nggak perlu naik angkot lagi.”
Endra yang sedang mematikan rokoknya menoleh.
“Kenapa? Kan perjanjiannya seminggu.”
“Aku nggak tega lihat kalian kayak tadi, jadi
lupakan saja perjanjiannya.” Valerie meraih tasnya dekat sofa.
“Beneran, Rie?” tanya Ello dan Valerie
mengangguk sambil memakai tasnya.
“Mau ke mana?” tanya Garin.
“Ngajar lagi ke blok depan.”
“Nggak capek?” Juno menatap sekilas ke
arahnValerie sebelum mengetuk abu bekas bakaran rokok ke asbak.
Kepala Valerie menggeleng. “Memangnya kalian naik
angkot saja sudah ngeluh.” Ia tertawa, hingga membuat wajah Empat Sekawan
memerah karena malu.
“By the way, kemarin kamu keren banget main
caturnya. Siapa yang mengajarimu?” Ello bertanya sembari mengetuk-ngetuk abu
rokok dalam asbak.
“Ibu. Dulu, Ibuku atlet catur,” jawab Valerie
sembari mengingat kembali mendiang ibunya. Ia kembali teringat ibunya yang
sering bercerita tentang pengalamannya memenangkan kejuaraan sembari
menunjukkan potret kenangan dengan penuh bangga.
“Benarkah? Pantesan kamu jago, rupanya bakat
Ibu menurun padamu.” Ucapan Endra menarik Valerie dari lamunan singkat tentang
Arumi.
“Mungkin,” sahut Valerie.
“Ayo, aku antar!” Endra meraih kunci motornya
di meja. Valerie berpamitan dengan Tiga Sekawan, lalu mengikutinya ke
luar.
۞۞۞
“Kalo mau pulang SMS aku. Nanti aku antar
pulang.” Endra berkata saat membantu Valerie turun dari motor.
“Kamu nggak kerja?”
Endra menggeleng. “Aku libur hari ini.
Sebenarnya, aku pingin ngajak kamu nonton, tapi kamu lagi sibuk kasih privat.”
Tangannya masih memegang tangan Valerie.
“Hari ini, aku cuma kasih privat sampai jam
lima.”
Senyum Endra terbit. “Kalo gitu nanti malam
kita bisa nge-date.”
“Cuma kita berdua?”
“Ya iyalah, masa mau nge-date harus rame-rame
sama Tiga Sekawan,” balas Endra dengan nada gemas.
Valerie tersenyum, kemudian memalingkan wajah
untuk menimbang usulan Endra. “Oke, nanti aku SMS kamu kalo sudah selesai, tapi
nanti antar aku pulang dulu, ya. Buat mandi dan ganti baju.”
“Oke, Valerieku,” ujar Endra sambil mencium
tangan Valerie.
Tbc
Pati, 16 Agustus 2019
Biodata:
Penulis lahi di Malang. Sekarang tengah
mempersiapkan antologi kedelapan miliknya. Memiliki impian bisa menerbitkan
novel solo suatu hari nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.