Istri 100 Hari Part 1
Oleh: Ms Faridah
Bunga mawar segar berwarna putih dan salem ditata di setiap meja
sebagai center piece. Gelas-gelas kristal yang bibirnya terukir renda berwarna
emas, bak jemari pengantin berhias mahendi, ditata di samping kanan piring
keramik putih.
Pernikahan yang sangat mewah, mungkin kamu bisa melihatnya di
pernikahan artis, atau anak pejabat. "Wedding of Tsabita Nuur Wibisono and
Raffa Bachtiar Sashmita" tertulis di depan gerbang besi lengkung berhias
janur dan bunga mawar.
Beberapa tamu tampak takjup dengan kedua mempelai, yang bak
Pangeran dan Putri dari negeri dongeng. Sang pangeran dengan jas warna hitam
yang sangat kontras dengan kulitnya yang putih. Sedang sang putri, memakai gaun
berwarna gading. Manik-manik mutiara tersulam menyebar pada gamisnya.
Senyum selalu terkembang di wajah sang putri, senyum itu mampu
menulari para tamu. Namun tidak sama dengan pasangannya, meski menyamarkan
dengan senyuman, tapi Tsabita masih bisa melihat kekakuan dari wajah sang
pangeran.
۞۞۞
Acara yang dimulai dari akad nikah sejak jam delapan pagi tadi,
berakhir jam satu siang. Tsabita segera menghamburkan diri ke mushala setelah
gaun dan beberapa asesoris, bahkan mahkota sudah dilepas dari kepalanya. Namun,
tiba-tiba ia menghentikan langkahnya karena teringat sesuatu. Tsabita
mengedarkan netranya ke sekeliling , mencari-cari sesosok lelaki, "Imam,
cepetan wudu, ini udah jam dua, ntar kelewat Zuhurnya,” ujarnya kepada lelaki
yang beberapa jam lalu telah resmi menjadi suaminya.
"Namaku bukan Imam," jawab Arbi sinis.
Tsabita mengulas senyum kepadanya, "Arbi sayang, maksud aku
cepetan wudu kita sholat bareng, kamu jadi imam."
Arbi terlihat membulatkan netranya. ‘Arbi? darimana dia tahu
nama panggilanku waktu SMA?' tanya Arbi dalam hati. Raffa Bachtiar disingkat RB
(Arbi), nama itu dia dapatkan dari teman-temannya sewaktu duduk di bangku SMU.
"Kamu kaget waktu kupanggil Arbi?" Tebak Tsabita sambil
mengerutkan keningnya.
Arbi bergeming, “Ah mungkin sudah tertulis di biodata yang
dikirimkan sewaktu kami perkenalan,” pikirnya.
"Jangan-jangan kamu juga lupa kalau kita teman satu sekolah
sewaktu SMA?"
Kedua kalinya Arbi tampak terkejut. Namun wajahnya tetap dingin
dan tak ada satu katapun terucap.
Tsabita menahan tawanya, "Aah, tebakanku benar rupanya.”
Tsabita melirik kembali pada benda bulat pipih yang menempel di dinding, “Kita
harus segera salat."
Ini pertama kalinya mereka bicara. Arbi masih sedikit canggung,
lebih banyaknya karena malas. Sebisa mungkin dia menghindari bertemu ataupun
bicara dengan Tsabita.
Apa salah Tsabita?
Tidak ada.
Orang tua Tsabita dan Arbi ternyata memang sahabat sejak lama.
Hanya saja tidak saling bertemu. Tak disangka, mereka telah merencanakan
perjodohan Arbi dan Tsabita sejak mereka masih kecil.
Arbi masih mempunyai kedua orang tua, lain kondisinya dengan
Tsabita. Ia tinggal dengan kakek dan neneknya. Abah Tsabita sibuk dengan
perusahaan, sedang Ummah sudah meninggal sewaktu Tsabita SMP. Sehingga dia dan
si adik--Ikrimah, harus tinggal dengan kakek dan neneknya.
Itulah yang membentuk karakter seorang Tsabita yang mandiri dan
periang. Dia sangat mandiri agar bisa menjaga diri sendiri juga adiknya yang
masih kecil. Dan dia juga amat periang. Sepertinya kalau yang ini karena
ummah-nya yang humoris. Meski dia telah pergi, tapi candaannya bersama keluarga
menjadi kenangan terindah bagi keluarga kecil mereka.
Mengenang kenangan indah jauh lebih meringankan hati, daripada
mengenang kepergian seorang tercinta. Ianya mampu membangkitkan semangat dan
harapan esok akan lebih indah, dan kita akan menjalani hidup ini dengan memupuk
rindu, sampai akhirnya bisa bertemu lagi kelak di akhirat.
Karena sesungguhnya kematian bukanlah akhir. Ia sebuah pintu
untuk dapat memasuki alam lainnya.
۞۞۞
Tsabita memijati pangkal leher, “Jadi ratu sehari, hmmm 5 jam
saja sudah seperti ini pegalnya. Cantik yang menyiksa,” gumam Tsabita dengan
senyum kecil.
Resepsi pernikahan mereka dilaksanakan di rumah kediaman
keluarga Sashmita. Setelah acara resepsi yang megah biasanya para tenant bagian
dekorasi akan membereskan semua, tapi karena Tsabita sendiri pemilik Wedding
Organizer--nya, dia dan teman-teman tim wedding planner tidak buru-buru
membereskan. Acara berlanjut menjadi semacam reuni.
Ternyata bukan hanya Arbi yang tidak tahu kalau Tsabita adalah
teman satu sekolah. Banyak juga yang tidak tahu, karena selain memang Tsabita
tidak pernah sekelas dengan Arbi, juga karena Tsabita yang tidak terlalu
populer. Kemana-mana dia hanya bersama sahabatnya Kholilah, atau yang biasa
Tsabita panggil Lilah. Dan beberapa teman wanita yang bergonta-ganti seiring
dengan pergantian kelas saat kenaikan.
"Bita masih ingat gue?" tanya seorang laki-laki
berperawakan tegap dan potongan rambut ala anggota TNI.
"Hmmm, Pak Ketu?" tanya Tsabita memastikan, sambil
mengembangkan senyumnya.
"Wah, masih ingat rupanya. Hehe. Kukira udah lupa,” jawab
laki-laki yang dipanggil Pak Ketu.
"Yaa ampun, mana mungkin lupa, tiga tahun berturut-turut
sekelas, tiga tahun juga lo dijadiin ketua kelas, hehehe." Tsabita merasa
geli membayangkan masa-masa sekolahnya.
"Hmm, gue patah hati nih, padahal kalau Bita belum ada yang
lamar, rencananya tahun depan gue mau ke rumah lo," ujar Pak Ketu malu-malu.
"Kelamaan tau, orang cantik yang ngantri banyak,” sahut
Lilah sambil melempar kulit kacang ke arah Pak Ketu. Tawa teman-teman yang
berada di sekitar mereka ikut menambah keseruan.
"Eh, ngomong-ngomong jangan panggil Pak Ketu terus dong,
kan gue punya nama sendiri. Atau, jangan-jangan kalian lupa ya namaku?"
Beberapa orang yang berkumpul di sekitar meja bundar terdiam.
"Waah, bener-bener nih, kalian ga sopan. Masa nama
bagus-bagus gue dilupain, mana itu babe gue sampai puasa senen kemis dulu mau
namain gue,” seloroh Pak Ketu sambil bersungut-sungut.
Tawa teman-temannya langsung memecah suasana.
"Maaf, Lucky. Kita masih ingat kok, cuman enakan manggil
Pak Ketu. Atau mau dipanggil Sersan Ketu nih? Hehehe." Tsabita terkekeh, diiringi
tawa teman-temannya.
Tak jauh dari meja bundar yang penuh keriangan itu, telah
berkumpul juga cyrcle Arbi. Pada meja Tsabita, teman-temannya dari beragam
karakter dan beragam profesi, kebanyakan perempuan. Sedang Arbi, ooh rasanya
seperti benar-benar berada di Konferensi Meja Bundar.
Pakaian rapi dengan jas-jas hitam, dasi hitam, celana hitam,
sulit membedakan mereka datang ke acara pernikahan atau kematian?
Ternyata pakaian hitam adalah dresscode yang teman-teman Arbi
sepakati sewaktu datang ke resepsi. Dan rupanya, memang hitam sangat sesuai
dengan suasana hati para wanita yang berduka. Arbi si pria lajang pujaan
seantero negeri, telah mematahkan hati para wanita hari itu.
"Gila lo, beneran nikah. Gue kira cuma main-main pas
ngabarin ke grup chat,” seloroh Kevin sambil menyenggol bahu Arbi.
"Iya nih, punya gebetan cantik diem-diem doang. Lu pasti
ngincer dia sedari SMA kan? Ayo ngaku aja. Lu kan playboy waktu di SMA.
Sayangnya Bita itu ga dibolehin pacaran pas sekolah. Eh elu ngincer nunggu pas
sudah mateng, langsung didownload," sahut Lana.
Arbi hanya diam dan sesekali tersenyum. Bagaimana mungkin dia
bisa merespon candaan temannya dengan santai sambil cengar-cengir. Kalau saja
mereka tahu jika mereka sebenarnya dijodohkan. Mungkin dia akan menjadi bahan
bully-an tujuh hari tujuh bulan. Di jaman teknologi 6G, seorang pria milenial
harus terjebak pada tradisi ala Siti Nurbaya.
Dan Arbi memang tidak tahu sama sekali tentang Tsabita. Gadis
itu seperti alien yang tiba-tiba datang ke planet ini, lalu menginvansi semesta
Arbi. Merebut kebebasan Arbi, dan akan mengubah masa depan Arbi.
۞۞۞
Jam sebelas malam, Tsabita baru bisa benar-benar meluruskan
punggungnya, tadi sore tamu tetap datang meski acara resepsi sudah berakhir
lama. Riasan wajahnya sudah benar-benar hilang, dan dia sudah mengganti baju
gamis brokat putih untuk acara yang lebih santai tadi setelah resepsi selesai,
dengan dress berbahan katun selutut berlengan pendek dan celana legging.
Segera dia menarik selimut di kamar yang berhias kain-kain satin
dan bunga mawar di beberapa sudut ranjang, dan aromanya campuran alami antara
sitrus dan pandan. Aroma itu seakan membuainya dengan lembut sehingga tak lama
dia sudah terlelap. Beberapa menit sesudahnya, Arbi memasuki kamar itu juga.
"Hello Alien, ternyata begini wujudmu sesungguhnya,"
ucapnya pelan sambil melihat ke arah Tsabita. Ini pertama kalinya Arbi melihat
wajah polos Tsabita. Tanpa riasan, tanpa kerudung yang selalu menutupi rambut
indah setulang belikatnya.
Mungkin Tsabita Alien tercantik yang pernah turun ke bumi. Bulu
matanya lentik dan panjang meskipun tidak memakai maskara, hidung mancung dan
kulit putih, badannya tidak seberapa tinggi. Tapi dengan proporsi yang tepat.
Arbi menarik selimut yang sudah hampir terjatuh, lalu
menutupkannya ke badan Tsabita sampai menutupi leher jenjangnya.
۞۞۞
Mentari pagi belum menyapa sewaktu Tsabita terbangun.
Sayup-sayup terdengar suara tarhim dari pengeras suara masjid.
Tsabita mengedarkan matanya yang belum terbuka sempurna ke
sekeliling kamar. "Hmm, aku tidur sendiri kayanya,” ujarnya sambil mengucek
mata.
Tsabita menutupkan telapak tangannya ke mulut karena menguap.
Desakan di kandung kemih memaksanya menurunkan kaki dari ranjang.
Saat dia melangkah, Tsabita merasakan sesuatu yang empuk
terinjak oleh kakinya ....
"Aaack!" Tiba-tiba terdengar suara teriakan keras dari
arah kaki Tsabita.
Tsabita menutup mulutnya karena terkejut. Dan karena dia
menghindar tiba-tiba, dia tak mampu menyeimbangkan tubuhnya. Sehingga malah
jatuh, dan menimpa orang di bawahnya.
"Aack! Kamuuu!" seru Arbi menahan marah, sambil
mendorong telapak kaki Tsabita yang terlanjur mampir di wajah tampannya.
"So-sorry. Ma-maaf, aku ga tahu,” kata Tsabita terbata
sambil menarik badannya. "Kamu siih, tiduran di bawah, aku kan ga tahu,”
lanjutnya sambil menggosok pantat yang agak sakit terantuk lantai kamar.
Arbi menarik selimutnya dengan menggerutu. Namun, Tsabita segera
menarik selimut Arbi lagi.
"Imam, udah mau subuh. Cepetan ambil wudhu," ucap
Tsabita.
"Namaku bukan Imam!" jawab Arbi sambil menarik
selimutnya dengan kasar sehingga terlepas dari pegangan Tsabita.
"Ok, jangan ngambek dong Arbi sayaang." Tsabita
menyunggingkan senyumnya.
۞۞۞
“Kita harus bicara,” bisik Arbi kepada Tsabita saat selesai
sarapan bersama dengan keluarga Arbi.
Tsabita mengangguk, dengan canggung ia berpamitan kepada
mertuanya, lalu mengikuti langkah Arbi.
Mereka berhenti di depan sebuah kolam ikan. Arbi diam agak lama.
Rahangnya yang tegas terlihat terkena sinar mentari yang menyusup dari celah
rimbun pepohonan di sekitar kolam. Tsabita mendesah pelan mensyukuri keindahan
ciptaan yang Maha Kuasa. Tsabita menunggu makhluk tampan di hadapannya membuka
percakapan sambil memberi makan ikan.
"Kamu setuju dengan perjodohan ini?" tanya Arbi dengan
suara pelan.
Meski kolam ikan itu terletak agak jauh dari bangunan rumah
utama, tapi kadang beberapa pelayan melewati jalan di samping kolam. Arbi tidak
ingin orang lain mendengar percakapan mereka, sehingga ia memelankan suaranya.
"Ehhm." Tsabita mengangguk.
"Gue gak," tukas Arbi, “asal lo tahu, gue punya
pacar,” lanjutnya. Kalimat itu pun menghantam dada Tsabita.
Bersambung
Biodata:
Lahir dan besar di kota Pahlawan. Penyuka warna ungu dan bunga
mawar. Saat ini aktif menjadi ibu rumah tangga dan pengajar RA.
Happy reading ♥♥♥♥.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.