Sabtu, 17 Agustus 2019

#Jumat_Cebung - Istri 100 Hari Part 1 - Ms Faridah - Sastra Indonesia Org





Istri 100 Hari Part 1
Oleh: Ms Faridah


Bunga mawar segar berwarna putih dan salem ditata di setiap meja sebagai center piece. Gelas-gelas kristal yang bibirnya terukir renda berwarna emas, bak jemari pengantin berhias mahendi, ditata di samping kanan piring keramik putih.
Pernikahan yang sangat mewah, mungkin kamu bisa melihatnya di pernikahan artis, atau anak pejabat. "Wedding of Tsabita Nuur Wibisono and Raffa Bachtiar Sashmita" tertulis di depan gerbang besi lengkung berhias janur dan bunga mawar.
Beberapa tamu tampak takjup dengan kedua mempelai, yang bak Pangeran dan Putri dari negeri dongeng. Sang pangeran dengan jas warna hitam yang sangat kontras dengan kulitnya yang putih. Sedang sang putri, memakai gaun berwarna gading. Manik-manik mutiara tersulam menyebar pada gamisnya.
Senyum selalu terkembang di wajah sang putri, senyum itu mampu menulari para tamu. Namun tidak sama dengan pasangannya, meski menyamarkan dengan senyuman, tapi Tsabita masih bisa melihat kekakuan dari wajah sang pangeran.

۞۞۞

Acara yang dimulai dari akad nikah sejak jam delapan pagi tadi, berakhir jam satu siang. Tsabita segera menghamburkan diri ke mushala setelah gaun dan beberapa asesoris, bahkan mahkota sudah dilepas dari kepalanya. Namun, tiba-tiba ia menghentikan langkahnya karena teringat sesuatu. Tsabita mengedarkan netranya ke sekeliling , mencari-cari sesosok lelaki, "Imam, cepetan wudu, ini udah jam dua, ntar kelewat Zuhurnya,” ujarnya kepada lelaki yang beberapa jam lalu telah resmi menjadi suaminya.
"Namaku bukan Imam," jawab Arbi sinis.
Tsabita mengulas senyum kepadanya, "Arbi sayang, maksud aku cepetan wudu kita sholat bareng, kamu jadi imam."
Arbi terlihat membulatkan netranya. ‘Arbi? darimana dia tahu nama panggilanku waktu SMA?' tanya Arbi dalam hati. Raffa Bachtiar disingkat RB (Arbi), nama itu dia dapatkan dari teman-temannya sewaktu duduk di bangku SMU.
"Kamu kaget waktu kupanggil Arbi?" Tebak Tsabita sambil mengerutkan keningnya.
Arbi bergeming, “Ah mungkin sudah tertulis di biodata yang dikirimkan sewaktu kami perkenalan,” pikirnya.
"Jangan-jangan kamu juga lupa kalau kita teman satu sekolah sewaktu SMA?"
Kedua kalinya Arbi tampak terkejut. Namun wajahnya tetap dingin dan tak ada satu katapun terucap.
Tsabita menahan tawanya, "Aah, tebakanku benar rupanya.” Tsabita melirik kembali pada benda bulat pipih yang menempel di dinding, “Kita harus segera salat."
Ini pertama kalinya mereka bicara. Arbi masih sedikit canggung, lebih banyaknya karena malas. Sebisa mungkin dia menghindari bertemu ataupun bicara dengan Tsabita.
Apa salah Tsabita?
Tidak ada.
Orang tua Tsabita dan Arbi ternyata memang sahabat sejak lama. Hanya saja tidak saling bertemu. Tak disangka, mereka telah merencanakan perjodohan Arbi dan Tsabita sejak mereka masih kecil.
Arbi masih mempunyai kedua orang tua, lain kondisinya dengan Tsabita. Ia tinggal dengan kakek dan neneknya. Abah Tsabita sibuk dengan perusahaan, sedang Ummah sudah meninggal sewaktu Tsabita SMP. Sehingga dia dan si adik--Ikrimah, harus tinggal dengan kakek dan neneknya.
Itulah yang membentuk karakter seorang Tsabita yang mandiri dan periang. Dia sangat mandiri agar bisa menjaga diri sendiri juga adiknya yang masih kecil. Dan dia juga amat periang. Sepertinya kalau yang ini karena ummah-nya yang humoris. Meski dia telah pergi, tapi candaannya bersama keluarga menjadi kenangan terindah bagi keluarga kecil mereka.
Mengenang kenangan indah jauh lebih meringankan hati, daripada mengenang kepergian seorang tercinta. Ianya mampu membangkitkan semangat dan harapan esok akan lebih indah, dan kita akan menjalani hidup ini dengan memupuk rindu, sampai akhirnya bisa bertemu lagi kelak di akhirat.
Karena sesungguhnya kematian bukanlah akhir. Ia sebuah pintu untuk dapat memasuki alam lainnya.

۞۞۞

Tsabita memijati pangkal leher, “Jadi ratu sehari, hmmm 5 jam saja sudah seperti ini pegalnya. Cantik yang menyiksa,” gumam Tsabita dengan senyum kecil.
Resepsi pernikahan mereka dilaksanakan di rumah kediaman keluarga Sashmita. Setelah acara resepsi yang megah biasanya para tenant bagian dekorasi akan membereskan semua, tapi karena Tsabita sendiri pemilik Wedding Organizer--nya, dia dan teman-teman tim wedding planner tidak buru-buru membereskan. Acara berlanjut menjadi semacam reuni.
Ternyata bukan hanya Arbi yang tidak tahu kalau Tsabita adalah teman satu sekolah. Banyak juga yang tidak tahu, karena selain memang Tsabita tidak pernah sekelas dengan Arbi, juga karena Tsabita yang tidak terlalu populer. Kemana-mana dia hanya bersama sahabatnya Kholilah, atau yang biasa Tsabita panggil Lilah. Dan beberapa teman wanita yang bergonta-ganti seiring dengan pergantian kelas saat kenaikan.
"Bita masih ingat gue?" tanya seorang laki-laki berperawakan tegap dan potongan rambut ala anggota TNI.
"Hmmm, Pak Ketu?" tanya Tsabita memastikan, sambil mengembangkan senyumnya.
"Wah, masih ingat rupanya. Hehe. Kukira udah lupa,” jawab laki-laki yang dipanggil Pak Ketu.
"Yaa ampun, mana mungkin lupa, tiga tahun berturut-turut sekelas, tiga tahun juga lo dijadiin ketua kelas, hehehe." Tsabita merasa geli membayangkan masa-masa sekolahnya.
"Hmm, gue patah hati nih, padahal kalau Bita belum ada yang lamar, rencananya tahun depan gue mau ke rumah lo," ujar Pak Ketu malu-malu.
"Kelamaan tau, orang cantik yang ngantri banyak,” sahut Lilah sambil melempar kulit kacang ke arah Pak Ketu. Tawa teman-teman yang berada di sekitar mereka ikut menambah keseruan.
"Eh, ngomong-ngomong jangan panggil Pak Ketu terus dong, kan gue punya nama sendiri. Atau, jangan-jangan kalian lupa ya namaku?" Beberapa orang yang berkumpul di sekitar meja bundar terdiam.
"Waah, bener-bener nih, kalian ga sopan. Masa nama bagus-bagus gue dilupain, mana itu babe gue sampai puasa senen kemis dulu mau namain gue,” seloroh Pak Ketu sambil bersungut-sungut.


Tawa teman-temannya langsung memecah suasana.
"Maaf, Lucky. Kita masih ingat kok, cuman enakan manggil Pak Ketu. Atau mau dipanggil Sersan Ketu nih? Hehehe." Tsabita terkekeh, diiringi tawa teman-temannya.
Tak jauh dari meja bundar yang penuh keriangan itu, telah berkumpul juga cyrcle Arbi. Pada meja Tsabita, teman-temannya dari beragam karakter dan beragam profesi, kebanyakan perempuan. Sedang Arbi, ooh rasanya seperti benar-benar berada di Konferensi Meja Bundar.
Pakaian rapi dengan jas-jas hitam, dasi hitam, celana hitam, sulit membedakan mereka datang ke acara pernikahan atau kematian?
Ternyata pakaian hitam adalah dresscode yang teman-teman Arbi sepakati sewaktu datang ke resepsi. Dan rupanya, memang hitam sangat sesuai dengan suasana hati para wanita yang berduka. Arbi si pria lajang pujaan seantero negeri, telah mematahkan hati para wanita hari itu.
"Gila lo, beneran nikah. Gue kira cuma main-main pas ngabarin ke grup chat,” seloroh Kevin sambil menyenggol bahu Arbi.
"Iya nih, punya gebetan cantik diem-diem doang. Lu pasti ngincer dia sedari SMA kan? Ayo ngaku aja. Lu kan playboy waktu di SMA. Sayangnya Bita itu ga dibolehin pacaran pas sekolah. Eh elu ngincer nunggu pas sudah mateng, langsung didownload," sahut Lana.
Arbi hanya diam dan sesekali tersenyum. Bagaimana mungkin dia bisa merespon candaan temannya dengan santai sambil cengar-cengir. Kalau saja mereka tahu jika mereka sebenarnya dijodohkan. Mungkin dia akan menjadi bahan bully-an tujuh hari tujuh bulan. Di jaman teknologi 6G, seorang pria milenial harus terjebak pada tradisi ala Siti Nurbaya.
Dan Arbi memang tidak tahu sama sekali tentang Tsabita. Gadis itu seperti alien yang tiba-tiba datang ke planet ini, lalu menginvansi semesta Arbi. Merebut kebebasan Arbi, dan akan mengubah masa depan Arbi.

۞۞۞

Jam sebelas malam, Tsabita baru bisa benar-benar meluruskan punggungnya, tadi sore tamu tetap datang meski acara resepsi sudah berakhir lama. Riasan wajahnya sudah benar-benar hilang, dan dia sudah mengganti baju gamis brokat putih untuk acara yang lebih santai tadi setelah resepsi selesai, dengan dress berbahan katun selutut berlengan pendek dan celana legging.
Segera dia menarik selimut di kamar yang berhias kain-kain satin dan bunga mawar di beberapa sudut ranjang, dan aromanya campuran alami antara sitrus dan pandan. Aroma itu seakan membuainya dengan lembut sehingga tak lama dia sudah terlelap. Beberapa menit sesudahnya, Arbi memasuki kamar itu juga.
"Hello Alien, ternyata begini wujudmu sesungguhnya," ucapnya pelan sambil melihat ke arah Tsabita. Ini pertama kalinya Arbi melihat wajah polos Tsabita. Tanpa riasan, tanpa kerudung yang selalu menutupi rambut indah setulang belikatnya.
Mungkin Tsabita Alien tercantik yang pernah turun ke bumi. Bulu matanya lentik dan panjang meskipun tidak memakai maskara, hidung mancung dan kulit putih, badannya tidak seberapa tinggi. Tapi dengan proporsi yang tepat.
Arbi menarik selimut yang sudah hampir terjatuh, lalu menutupkannya ke badan Tsabita sampai menutupi leher jenjangnya.

۞۞۞

Mentari pagi belum menyapa sewaktu Tsabita terbangun. Sayup-sayup terdengar suara tarhim dari pengeras suara masjid.
Tsabita mengedarkan matanya yang belum terbuka sempurna ke sekeliling kamar. "Hmm, aku tidur sendiri kayanya,” ujarnya sambil mengucek mata.
Tsabita menutupkan telapak tangannya ke mulut karena menguap. Desakan di kandung kemih memaksanya menurunkan kaki dari ranjang.
Saat dia melangkah, Tsabita merasakan sesuatu yang empuk terinjak oleh kakinya ....
"Aaack!" Tiba-tiba terdengar suara teriakan keras dari arah kaki Tsabita.
Tsabita menutup mulutnya karena terkejut. Dan karena dia menghindar tiba-tiba, dia tak mampu menyeimbangkan tubuhnya. Sehingga malah jatuh, dan menimpa orang di bawahnya.
"Aack! Kamuuu!" seru Arbi menahan marah, sambil mendorong telapak kaki Tsabita yang terlanjur mampir di wajah tampannya.
"So-sorry. Ma-maaf, aku ga tahu,” kata Tsabita terbata sambil menarik badannya. "Kamu siih, tiduran di bawah, aku kan ga tahu,” lanjutnya sambil menggosok pantat yang agak sakit terantuk lantai kamar.
Arbi menarik selimutnya dengan menggerutu. Namun, Tsabita segera menarik selimut Arbi lagi.
"Imam, udah mau subuh. Cepetan ambil wudhu," ucap Tsabita.
"Namaku bukan Imam!" jawab Arbi sambil menarik selimutnya dengan kasar sehingga terlepas dari pegangan Tsabita.
"Ok, jangan ngambek dong Arbi sayaang." Tsabita menyunggingkan senyumnya.

۞۞۞

“Kita harus bicara,” bisik Arbi kepada Tsabita saat selesai sarapan bersama dengan keluarga Arbi.
Tsabita mengangguk, dengan canggung ia berpamitan kepada mertuanya, lalu mengikuti langkah Arbi.
Mereka berhenti di depan sebuah kolam ikan. Arbi diam agak lama. Rahangnya yang tegas terlihat terkena sinar mentari yang menyusup dari celah rimbun pepohonan di sekitar kolam. Tsabita mendesah pelan mensyukuri keindahan ciptaan yang Maha Kuasa. Tsabita menunggu makhluk tampan di hadapannya membuka percakapan sambil memberi makan ikan.
"Kamu setuju dengan perjodohan ini?" tanya Arbi dengan suara pelan.
Meski kolam ikan itu terletak agak jauh dari bangunan rumah utama, tapi kadang beberapa pelayan melewati jalan di samping kolam. Arbi tidak ingin orang lain mendengar percakapan mereka, sehingga ia memelankan suaranya.
"Ehhm." Tsabita mengangguk.
"Gue gak," tukas Arbi, “asal lo tahu, gue punya pacar,” lanjutnya. Kalimat itu pun menghantam dada Tsabita.



Bersambung


Biodata:

Lahir dan besar di kota Pahlawan. Penyuka warna ungu dan bunga mawar. Saat ini aktif menjadi ibu rumah tangga dan pengajar RA.
Happy reading ♥♥♥♥.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.