Semu
Oleh:
Berlian Atma
Adena berjalan tergesa
menuruni tangga sembari memakai sepatunya dan membenarkan letak kacamatanya
yang sedikit turun, menghampiri Tania, sang kakak yang sedang menikmati
sarapannya di meja makan.
“Pagi, Kak. Dena
langsung berangkat ya.” Mengambil roti yang sudah sang kakak olesi selai dengan
asal lalu mencium pipi Tania dan segera bergegas keluar.
“Hati-hati, Dek!” Teriak
Tania dari dalam rumah yang entah didengar atau tidak oleh Adena.
Turun dari angkutan
umum dengan tidak serantanan dan menggendong tas punggungnya dengan asal lalu
berlari seperti orang kesetanan menabrak para mahasiswa yang lewat sudah
menjadi kebiasaan Adena. Berbelok memasuki kelas seni yang bisa dibilang masih
kosong, Adena hanya terbengong, seingatnya dia ada jadwal pukul tujuh pagi.
“Dena!” Suara sapaan
dengan sedikit teriakan mengalihkan atensi Adena dari kelas yang sepi dari
penghuni itu.
“Ara? Kok kamu santai
dan baru datang sih?” Ara hanya menatap Adena dengan tatapan tak mengerti.
“Maksudnya? Iya, aku
baru aja dating. Emang kenapa?” tanyanya sembari menarik tangan Adena memasuki
kelas.
“Bukannya harusnya
kelas udah mulai ya?” Adena bertanya dengan wajah bingung.
Sekarang Ara mengerti
kenapa sahabatnya ini kebingungan saat dirinya datang dengan santainya, karena seharusnya
mata kuliah sudah dimulai. Ara terkekeh pelan sebelum menepuk pipi Adena pelan
dan berkata, “Makanya, Den. Jangan itu terus yang diurusin. Kan kemarin ketua
kelas udah bilang kalau jam kuliah diundur jam setengah delapan,” ucapnya.
“Aish! Aku lupa lagi!
Kenapa aku harus buru-buru tadi kalau gitu, mendingan tidur lagi.” Gerutunya
sembari menyamankan tangannya untuk dijadikan bantalan.
Hamparan ilalang yang
menguning adalah hal yang Adena lihat pertama kali, dia selalu menyukai tempat
ini hanya untuk sebagai pelepas penatnya. Tempat ini adalah tempat favorit
Adena dan selalu mampu membuat Adena betah berlama-lama di tempat ini. Apalagi
jika seseorang itu hadir.
“Dor!” Adena terlonjak
kaget ketika seseorang datang dan mengageti dirinya dari belakang. Sontak Adena
berbalik dan melihat siapa yang berani mengerjai dirinya.
“Devan! Ngagetin aja
sih,” ucap Adena kesal dan yang dimarahi hanya tersenyum tanpa dosa.
“Kenapa ke sini jam
segini? Tumben?” tanyanya heran.
“Aneh banget ya Dev aku
ke sini jam segini?”
“Enggak, Den. Bukan
gitu. Aku cuma ngerasa aneh aja, gak biasanya kamu ke sini jam segini,” jelas
Devan agar tidak menimbulkan salah faham.
“Emm, Den. Aku kayaknya
mesti pergi sekarang deh. Ada keperluan mendadak soalnya.” Devan mengusap pelan
kepala Adena sebagai ucapan selamat tinggal, dan sepersekian menit kemudian
yang Adena lihat hanyalah punggung Devan yang semakin menjauh dari
pandangannya.
Adena terlonjak kaget
kala seorang dosen mengacungkan bulpoint
tepat di depan wajahnya, dan yang membuat Adena lebih melotot hingga bola
matanya seperti akan keluar adalah dia diberi tugas untuk membuat sebuah
lukisan bertemakan semu dan itu berhasil membuat Adena gila seketika.
“Aku harus buat apa?! Deadline udah Kamis minggu depan!” Entah
kepada siapa Adena mengomel marah, karena saat ini tidak ada siapa pun di kamar
Adena selain dirinya sendiri dan jangan lupakan peralatan melukis yang sama
sekali belum terjamah olehnya.
Seketika Adena hanya
memikirkan tentang sebuah padang ilalang luas yang menguning serta beberapa
klise kenangan yang tak bisa Adena jabarkan secara menyeluruh. Dapatkah ia
melukiskan itu? Namun Adena berharap itu bukanlah semu semata, dapatkah Adena
berharap itu menjadi kenyataan?
“Dek.” Panggilan dari
luar kamar membuat Adena langsung membukakan pintu dan di sana berdiri sang
kakak yang sedang membawa sesuatu yang Adena sendiri tak tahu.
“Boleh Kakak masuk?” Adena
mengangguk dan mempersilakan sang kakak masuk, mereka berdua duduk di tepi
kasur Adena.
“Ada apa, Kak?” tanya
Adena langsung.
“Ini.” Tania memberikan
sebuah amplop yang Adena sendiri tak mengetahui isi amplop itu apa.
Adena membuka perlahan
amplop itu, hal pertama kali yang Adena temukan adalah sebuah foto. Adena
berusaha mengenali siapa yang ada di dalam foto itu dan seketika tubuh Adena
membeku, itu Devan!
“Kak, ini … Devan. Apa
maksudnya, Kak?” Adena sedikit tidak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang dan
membuatnya sedikit linglung.
“Itu foto,” jawab Tania
tenang.
“Kak! Dena serius!” ucapnya
sedikit ketus.
Tania menghela napas
dan menghembuskannya dengan kasar. Ada sesuatu mengganjal yang tak bisa Tania
bendung untuk tidak menceritannya pada Adena, tetapi ada perasaan tak tega juga
merasuki hati Tania.
“Itu Devan, orang yang
sering kamu ceritain sama Kakak. Ternyata dia adalah sahabat kenalan Kakak.
Tadi Kakak gak sengaja ketemu sama dia dan dia lagi nyari orang yang namanya
Adena untuk ngasih surat dari Devan, dan Kakak pikir itu kamu, dan ternyata
benar,” jelas Tania.
“Terus maksudnya?” Adena
masih belum paham dengan situasi ini.
“Kamu baca sendiri aja
suratnya. Kakak keluar ya.” Pamit Tania.
Ketika pintu tertutup
perlahan, saat itulah Adena merasakan kehancuran yang tidak dapat ia gambarkan
lagi. Menutup matanya berharap agar ia tertidur dan bertemu Devan di tempat
mereka biasa bertemu. Devan berjalan ke arah Adena yang sedang berdiri
menunggunya di tengah padang ilalang sembari membawa secarik kertas.
“Den,” panggilnya.
“Kenapa kamu gak pernah
bilang, Dev?” tanya Adena dengan sedikit menahan sesegukannya.
“Maaf.” Hanya kata itu
yang dapat Devan ucapkan.
“Ini juga alasan kamu
mulai jarang nemuin aku? Aku kira kita udah bisa saling berbagi satu sama lain,
tapi ternyata kamu nyembunyiin hal sebesar ini?”
“Maaf, Den. Aku gak mau
kamu kepikiran.” Devan menarik tubuh Adena ke dalam pelukannya untuk merasakan
pelukan hangat itu untuk terakhir kalinya.
“Aku udah rela, Dev,
yang penting kamu bahagia. Makasih udah mau buat pagi hariku bahagia. Walaupun
kita hanya bertemu lewat mimpi, aku harap suatu hari nanti kita bisa bertemu
lagi,” ucap Adena setelah melepaskan pelukan mereka.
“Aku pergi ya, jaga
diri periku.” Devan mengusap rambut hitam itu untuk terakhir kalinya sebelum
hilang dari pandangan Adena.
Tangis Adena pecah,
orang yang akan selalu datang ke mimpinya, membuat pagi harinya bahagia,
membuat penatnya hilang, kini sudah pergi. Bukan pergi karena prakara lain,
tetapi dia pergi karena Tuhan yang meminta. Tangisan Adena semakin tak bisa
terbendung saat mengingat kembali memorinya bersama Devan. Mata Adena memang
terpejam, tetapi tak berhenti mengeluarkan air mata hingga bibirnya bergetar
menahan sakit yang mendalam. Mungkin Adena takkan bisa mewujudkan harapan semu
yang ia inginkan, tetapi Adena yakin harapannya akan terwujud walaupun tidak
sekarang.
Biodata:
Berlian Atma, lahir di Surabaya 08 April 16 tahun lalu.
Merupakan siswi SMA biasa yang sangat menyukai menulis dan sekarang sedang
mendalami dunia kepenulisan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.