Senin, 05 Agustus 2019

Cerpen - Semu - Berlian Atma - Sastra Indonesia Org




Semu
Oleh: Berlian Atma


Adena berjalan tergesa menuruni tangga sembari memakai sepatunya dan membenarkan letak kacamatanya yang sedikit turun, menghampiri Tania, sang kakak yang sedang menikmati sarapannya di meja makan.
“Pagi, Kak. Dena langsung berangkat ya.” Mengambil roti yang sudah sang kakak olesi selai dengan asal lalu mencium pipi Tania dan segera bergegas keluar.
“Hati-hati, Dek!” Teriak Tania dari dalam rumah yang entah didengar atau tidak oleh Adena.
Turun dari angkutan umum dengan tidak serantanan dan menggendong tas punggungnya dengan asal lalu berlari seperti orang kesetanan menabrak para mahasiswa yang lewat sudah menjadi kebiasaan Adena. Berbelok memasuki kelas seni yang bisa dibilang masih kosong, Adena hanya terbengong, seingatnya dia ada jadwal pukul tujuh pagi.
“Dena!” Suara sapaan dengan sedikit teriakan mengalihkan atensi Adena dari kelas yang sepi dari penghuni itu.
“Ara? Kok kamu santai dan baru datang sih?” Ara hanya menatap Adena dengan tatapan tak mengerti.
“Maksudnya? Iya, aku baru aja dating. Emang kenapa?” tanyanya sembari menarik tangan Adena memasuki kelas.
“Bukannya harusnya kelas udah mulai ya?” Adena bertanya dengan wajah bingung.
Sekarang Ara mengerti kenapa sahabatnya ini kebingungan saat dirinya datang dengan santainya, karena seharusnya mata kuliah sudah dimulai. Ara terkekeh pelan sebelum menepuk pipi Adena pelan dan berkata, “Makanya, Den. Jangan itu terus yang diurusin. Kan kemarin ketua kelas udah bilang kalau jam kuliah diundur jam setengah delapan,” ucapnya.
“Aish! Aku lupa lagi! Kenapa aku harus buru-buru tadi kalau gitu, mendingan tidur lagi.” Gerutunya sembari menyamankan tangannya untuk dijadikan bantalan.
Hamparan ilalang yang menguning adalah hal yang Adena lihat pertama kali, dia selalu menyukai tempat ini hanya untuk sebagai pelepas penatnya. Tempat ini adalah tempat favorit Adena dan selalu mampu membuat Adena betah berlama-lama di tempat ini. Apalagi jika seseorang itu hadir.
“Dor!” Adena terlonjak kaget ketika seseorang datang dan mengageti dirinya dari belakang. Sontak Adena berbalik dan melihat siapa yang berani mengerjai dirinya.
“Devan! Ngagetin aja sih,” ucap Adena kesal dan yang dimarahi hanya tersenyum tanpa dosa.
“Kenapa ke sini jam segini? Tumben?” tanyanya heran.
“Aneh banget ya Dev aku ke sini jam segini?”
“Enggak, Den. Bukan gitu. Aku cuma ngerasa aneh aja, gak biasanya kamu ke sini jam segini,” jelas Devan agar tidak menimbulkan salah faham.
“Emm, Den. Aku kayaknya mesti pergi sekarang deh. Ada keperluan mendadak soalnya.” Devan mengusap pelan kepala Adena sebagai ucapan selamat tinggal, dan sepersekian menit kemudian yang Adena lihat hanyalah punggung Devan yang semakin menjauh dari pandangannya.
Adena terlonjak kaget kala seorang dosen mengacungkan bulpoint tepat di depan wajahnya, dan yang membuat Adena lebih melotot hingga bola matanya seperti akan keluar adalah dia diberi tugas untuk membuat sebuah lukisan bertemakan semu dan itu berhasil membuat Adena gila seketika.
“Aku harus buat apa?! Deadline udah Kamis minggu depan!” Entah kepada siapa Adena mengomel marah, karena saat ini tidak ada siapa pun di kamar Adena selain dirinya sendiri dan jangan lupakan peralatan melukis yang sama sekali belum terjamah olehnya.
Seketika Adena hanya memikirkan tentang sebuah padang ilalang luas yang menguning serta beberapa klise kenangan yang tak bisa Adena jabarkan secara menyeluruh. Dapatkah ia melukiskan itu? Namun Adena berharap itu bukanlah semu semata, dapatkah Adena berharap itu menjadi kenyataan?


“Dek.” Panggilan dari luar kamar membuat Adena langsung membukakan pintu dan di sana berdiri sang kakak yang sedang membawa sesuatu yang Adena sendiri tak tahu.
“Boleh Kakak masuk?” Adena mengangguk dan mempersilakan sang kakak masuk, mereka berdua duduk di tepi kasur Adena.
“Ada apa, Kak?” tanya Adena langsung.
“Ini.” Tania memberikan sebuah amplop yang Adena sendiri tak mengetahui isi amplop itu apa.
Adena membuka perlahan amplop itu, hal pertama kali yang Adena temukan adalah sebuah foto. Adena berusaha mengenali siapa yang ada di dalam foto itu dan seketika tubuh Adena membeku, itu Devan!
“Kak, ini … Devan. Apa maksudnya, Kak?” Adena sedikit tidak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang dan membuatnya sedikit linglung.
“Itu foto,” jawab Tania tenang.
“Kak! Dena serius!” ucapnya sedikit ketus.
Tania menghela napas dan menghembuskannya dengan kasar. Ada sesuatu mengganjal yang tak bisa Tania bendung untuk tidak menceritannya pada Adena, tetapi ada perasaan tak tega juga merasuki hati Tania.
“Itu Devan, orang yang sering kamu ceritain sama Kakak. Ternyata dia adalah sahabat kenalan Kakak. Tadi Kakak gak sengaja ketemu sama dia dan dia lagi nyari orang yang namanya Adena untuk ngasih surat dari Devan, dan Kakak pikir itu kamu, dan ternyata benar,” jelas Tania.
“Terus maksudnya?” Adena masih belum paham dengan situasi ini.
“Kamu baca sendiri aja suratnya. Kakak keluar ya.” Pamit Tania.
Ketika pintu tertutup perlahan, saat itulah Adena merasakan kehancuran yang tidak dapat ia gambarkan lagi. Menutup matanya berharap agar ia tertidur dan bertemu Devan di tempat mereka biasa bertemu. Devan berjalan ke arah Adena yang sedang berdiri menunggunya di tengah padang ilalang sembari membawa secarik kertas.
“Den,” panggilnya.
“Kenapa kamu gak pernah bilang, Dev?” tanya Adena dengan sedikit menahan sesegukannya.
“Maaf.” Hanya kata itu yang dapat Devan ucapkan.
“Ini juga alasan kamu mulai jarang nemuin aku? Aku kira kita udah bisa saling berbagi satu sama lain, tapi ternyata kamu nyembunyiin hal sebesar ini?”
“Maaf, Den. Aku gak mau kamu kepikiran.” Devan menarik tubuh Adena ke dalam pelukannya untuk merasakan pelukan hangat itu untuk terakhir kalinya.
“Aku udah rela, Dev, yang penting kamu bahagia. Makasih udah mau buat pagi hariku bahagia. Walaupun kita hanya bertemu lewat mimpi, aku harap suatu hari nanti kita bisa bertemu lagi,” ucap Adena setelah melepaskan pelukan mereka.
“Aku pergi ya, jaga diri periku.” Devan mengusap rambut hitam itu untuk terakhir kalinya sebelum hilang dari pandangan Adena.
Tangis Adena pecah, orang yang akan selalu datang ke mimpinya, membuat pagi harinya bahagia, membuat penatnya hilang, kini sudah pergi. Bukan pergi karena prakara lain, tetapi dia pergi karena Tuhan yang meminta. Tangisan Adena semakin tak bisa terbendung saat mengingat kembali memorinya bersama Devan. Mata Adena memang terpejam, tetapi tak berhenti mengeluarkan air mata hingga bibirnya bergetar menahan sakit yang mendalam. Mungkin Adena takkan bisa mewujudkan harapan semu yang ia inginkan, tetapi Adena yakin harapannya akan terwujud walaupun tidak sekarang.


Biodata:

Berlian Atma,  lahir di Surabaya 08 April 16 tahun lalu. Merupakan siswi SMA biasa yang sangat menyukai menulis dan sekarang sedang mendalami dunia kepenulisan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.