Kamis, 08 Agustus 2019

Cerpen - Perjanjian Dua Hati - Rosi Rosmala Dewi - Sastra Indonesia Org




Perjanjian Dua Hati
Oleh: Rosi Rosmala Dewi


Memang benar kata orang, kalau kita menganggap seseorang itu berharga, kita akan dengan mudah menemukan sosoknya di antara keramaian. Ada banyak sekali kakak kelasku yang baru lulus sedang berkerumun melihat spanduk pengumuman hasil SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru-sekarang disebut SNMPTN) yang dipampang di sekitar lonceng sekolahku, dekat ruang guru. Tetap saja di antara sekian banyak orang itu, hanya butuh waktu dua detik untuk mengindrai sosok seorang Matahari Firdaus, lelaki yang begitu bersinar itu.
Aku memperlambat langkah, sekadar merekam keseluruhan Kang Hari dalam balutan seragam SMA untuk terakhir kalinya di ingatanku. Tubuhnya yang tinggi atletis, kulit kuning cerahnya, rambut ikalnya yang agak berantakan, ransel biru usang kesayangannya, sandal jepit favoritnya, bibirnya yang selalu terlihat seperti sedang tersenyum itu, juga wajahnya yang teramat tampan. Matahariku ada di sana, berdiri tegak sendirian, asyik mencermati spanduk besar di hadapannya.
Saat Raziq, ketua kelasku, memberitahukan bahwa Kang Hari ingin menemuiku, perasaanku campur aduk. Hatiku terbelah: ingin bergegas menemui idolaku sang manusia-nyaris-sempurna itu, juga ingin segera melarikan diri sejauh-jauhnya karena malu yang tak terhingga. Untunglah Dewi, teman sebangkuku, berhasil membangkitkan kepercayaan diriku. Jika bukan karena usaha Dewi mendapatkan nomor ponsel kakak kelasku itu agar bisa kuhubungi, mungkin aku hanya akan selalu menjadi seorang penggemar rahasia yang menyedihkan. Mengenal Kang Hari adalah satu hal yang sebelumnya kukira mustahil terjadi.
"Kesempatan ini gak akan dateng dua kali, Lan. Sekarang mungkin terakhir kalinya kamu bisa liat dia di sekolah ini. Besok-besok dia pasti sibuk ngurusin persiapan masuk Fakultas Kedokteran. Kamu mau ngelewatin kesempatan terakhir kamu ngeliat dia?"
Kata-kata Dewi membuatku tersadar. Semua keraguan pun menguap, berganti perasaan tak sabar dan tegang karena sebentar lagi Kang Hari akan melihat wajahku, sang penggemar rahasia yang selama sebulan terakhir hanya berkomunikasi dengannya lewat SMS.
Akhirnya, di sinilah aku. Aku memandanginya dari samping sejenak. Kurapikan kerudungku sebentar seraya sekali lagi berdoa dalam hati semoga pertemuanku dengannya ini menimbulkan kesan yang baik.
"Assalamualaikum, Kang Hari,” sapaku dengan suara yang kentara sekali bergetar.
Kang Hari menoleh ke arahku, menjawab salam, bola matanya membulat saat melihat sosokku. Sedetik setelahnya, ia refleks mundur selangkah, memperlebar jaraknya denganku, lalu menundukkan pandangannya ke samping, tak mau melihat ke arahku. Tipikal aktivis DKM (Dewan Kemakmuran Masjid) yang membuatku benar-benar menyeganinya.
Kukatupkan kedua tanganku di depan dada, lalu sedikit membungkuk saat memperkenalkan diri, "Ini saya, Wulan."
Ia mengangkat pandangannya sesaat, kemudian balas mengatupkan tangannya di depan dada. "Wa’alaikumsalam, Lan. Akhirnya kita bisa ketemu juga, ya."
Tanpa kuduga, ia meminta waktuku sebentar, lima belas menit saja, untuk bicara berdua. Ia berjalan melewatiku menyusuri koridor dan aku mengikuti langkahnya. Tak lama kemudian, kami sudah duduk berhadapan dengan jarak lebih kurang semeter, di dalam kelas seberang perpustakaan yang kebetulan kosong, di atas kursi yang diletakkannya dekat pintu kelas yang terbuka lebar.
Kira-kira apa yang mau dia bicarakan? Apa dia mau minta aku ngejauhin dia?
Kang Hari terdiam. Mataku mencuri pandang ke arahnya sedetik. Detik itu ternyata ia sedang memandangiku pula. Bersamaan kami lekas menundukkan pandangan kembali.
Duh, suasananya kenapa jadi gak nyaman begini ya?
Tetiba saja, lelaki itu mengubah posisi duduknya, agak membungkuk ke arahku, berdeham, lalu bertanya, "Lan, boleh saya nanya, kamu anggap saya apa? Kakak kelas biasa? Idola? Teman? Lelaki yang kamu kagumi, sayangi, atau cintai?"
Aku terkesiap. Karena tak habis pikir, aku mendongak, menatap tepat ke dalam matanya, lupa sama sekali soal keharusan menjaga pandangan. Kali ini lelaki itu tak mengelak, balas menatapku dengan sorot mata penuh keingintahuan dan harapan akan sebuah jawaban. Sorot mata itu begitu polos tanpa ada niat tak baik apa pun di baliknya.
"Jangan salah paham. Saya hanya ingin tahu gimana saya harus bersikap ke kamu," jelasnya.
Mulanya aku ragu untuk menjawab, tapi akhirnya aku mengakui dengan kegugupan yang pasti tampak jelas, "Saya kagum sama Akang, sama kecerdasan dan kepribadian Akang, tapi cuma itu, gak lebih. Akang itu kakak kelas yang saya jadikan teladan, sudah seperti kakak saya sendiri."
Karena saya tahu saya akan terbakar dengan bodohnya jika mencoba menggapai matahari yang begitu bersinar sepertimu, Kang, batinku dalam hati.
"Saya hanya manusia biasa, Lan, bukan malaikat sempurna yang pantas kamu kagumi," Kang Hari merendah, masih dengan nada tenangnya yang membuatku menunduk, lalu melanjutkan, "dan harus kamu ingat, hati itu tempat kita memandang dunia. Pahamkan selalu keinginannya agar tetap di jalan-Nya, betapa pun keadaannya. Kamu bisa pahami itu?"


Aku tak sanggup berkata apa-apa lagi, hanya bisa menganggukkan kepala sebagai jawaban. Aku mulai paham ke mana arah pembicaraan ini.
"Pandanglah seseorang yang bukan mahram kita sebagai seseorang yang memang benar-benar bukan mahram kita. Meski niat awal kita baik hanya menganggapnya saudara, adakah manusia yang tahu apa kehendak-Nya?"
Selesai mengucapkannya, Kang Hari terdiam sejenak.
"Gimana kalau ... ternyata saya sama kamu itu berjodoh? Gimana kalau sekarang niat kita baik, hanya berhubungan sebatas teman, sebatas pengagum dan orang yang dikagumi, tapi lama-lama tanpa kita sadari, ternyata muncul feeling sedikit demi sedikit yang lama-lama jadi cinta?" tanyanya pelan, tapi masih cukup keras untuk kudengar.
Aku mendongak memandanginya. Jantungku yang semula baik-baik saja kini berdegup aneh, begitu cepat dan membuat dadaku tiba-tiba terasa sesak. Apa katanya tadi? Aku dan dia ... berjodoh? Astaga, bahkan aku tak pernah berani memikirkan itu walau sedetik saja sejak kekaguman itu pertama kali muncul setahun yang lalu. Aku kembali menundukkan pandanganku saat ia menoleh ke arahku lagi. Mulutku masih terkunci rapat. Kata-katanya benar-benar menohokku. Sungguh, sekali pun aku tak pernah memikirkan tentang kemungkinan itu.
"Jujur, saya masih trauma. Saya pernah memberi harapan kepada teman perempuan saya tanpa saya sadari. Menyakiti hati seorang perempuan, membuatnya menangis, dan merusak tali silaturahim itu gak mau saya ulangi lagi. Sampai kapan pun. Saya juga ingin fokus kuliah. Saya belum siap, bahkan belum terpikir untuk menikah. Dalam kamus hidup saya, gak ada kata pacaran sebelum menikah. Jalan kita masih panjang, banyak mimpi yang menunggu kita gapai, bukan? Jangan sampai persoalan hati ini jadi hambatan kita buat meraih impian-impian kita. Kita saling mendoakan ya, Lan, supaya kita sama-sama bisa jaga hati?" tanya Kang Hari setelah bertutur panjang lebar.
Aku tergugu dalam kediamanku. Masih sulit kupercayai kalau kalimat-kalimat bijak itu bisa keluar dari mulut lelaki di hadapanku yang baru genap berusia 18 tahun bulan lalu ini. Sedewasakah itu pemikirannya? Menjaga hati, meraih mimpi, pernikahan ... semua topik yang sungguh langka dibicarakan lelaki seusianya. Pandangan kami kembali bertemu.
Duhai, sungguh elok dirimu, Kang. Keseluruhanmu, baik fisik maupun isi hati dan pikiranmu, benar-benar penuh pesona. Sekarang kekagumanku kepadamu kian bertambah.
Selama beberapa detik, Kang Hari menanti reaksiku. Lama-lama kami kembali jengah dan sama-sama memalingkan pandangan.
Aku berdeham sebelum menjawab, "Saya janji saya akan jaga hati saya, Kang. Saya juga tahu Akang akan masuk dunia kuliah yang pasti gak mudah, sangat melelahkan, dan perlu persiapan mental juga fisik yang kuat. Saya gak mau nyusahin atau jadi beban pikiran Kang Hari. Tenang aja, mulai sekarang saya gak akan sering-sering menghubungi Akang, kecuali benar-benar perlu."
"Alhamdulillah, makasih ya, Lan. Saya lega bisa bicarain ini semua sama kamu. Bener-bener lega," sahut Kang Hari seraya menghela napas panjang dan tertawa kecil sebentar.
"Sama-sama, Kang," balasku sambil tersenyum lebar.
Ketegangan yang melingkupi kami sebelumnya menguap seiring tawanya yang bergema di ruang kelas ini. Rasa canggung di antara kami memudar. Aku senang melihatnya tertawa. Tawanya menular dan menggemaskan, membuatku tergoda untuk ikut tertawa.
Azan Zuhur berkumandang, menghentikan gelak tawa kami.
"Oke, Lan. Itu aja yang mau saya omongin," ucap Hari sambil berdiri dan membetulkan letak ransel di punggungnya.
Aku ikut berdiri dan memberanikan diri sekali lagi menatap matanya. Untunglah kali ini ia tak lekas memalingkan pandangannya. Bibirnya menyunggingkan senyuman menenangkan. Aku pun balas tersenyum.
"Sama-sama, Kang. Makasih buat semua obrolan tadi. Saya akan selalu doain Akang, lancar terus kuliahnya, biar bisa jadi seorang dokter yang hebat kelak," ucapku.
Padahal, sejujurnya, aku masih ingin lebih lama mengobrol dengannya tentang apa pun. Bisa jadi inilah pertemuan pertama sekaligus pertemuan terakhir kami. Entah kapan aku bisa melihat sosoknya lagi. Memikirkannya membuat rasa sedih tetiba merayapi benakku.
"Aamiin. Makasih, Lan. Sukses juga buat kamu, ya. Assalamualaikum."
Calon mahasiswa kedokteran itu mengangguk sebentar ke arahku, kemudian berlalu ke arah masjid. Aku menjawab salamnya lirih. Sesaat, aku tetap berdiri di tempatku sembari memandangi punggungnya sampai tak bisa lagi kulihat. Ada yang aneh terasa di dalam hati ini. Berat, sesak, sedih, dan kehilangan. Entahlah, aku tak bisa, juga tak ingin memaknainya lebih jauh. Lagipula, aku sudah berjanji kepada lelaki terelok itu untuk menjaga hati ini dari perasaan dan pikiran yang tidak perlu. Semua petuahnya terngiang-ngiang di benakku. Ah, belum apa-apa aku sudah merindukan sosok yang kini tambah kukagumi begitu sangat itu.
Bolehkah rindu ini ada, Kang? Atau tak boleh?
Perjanjian antara hatiku dan hatinya barusan menggugah kesadaranku. Ternyata seberat apa pun kita berpikir tentang takdir, pada akhirnya tetap saja kesimpulannya kita harus menjalankan aturan main-Nya.


TAMAT




Biodata:

Rosi Rosmala Dewi lahir di Bandung, 9 Desember 1986. Ia seorang ibu rumah tangga, juga proofreader dan editor freelance. Hobinya membaca buku fiksi, menulis novel, dan sesekali menulis puisi. Alumni Sastra Indonesia Unpad yang bernama pena Cherry Calosa ini sedang merampungkan novel perdananya, Semesta Hati, yang dapat dibaca di Wattpad. Email:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.