Perjanjian
Dua Hati
Oleh: Rosi Rosmala Dewi
Memang benar kata
orang, kalau kita menganggap seseorang itu berharga, kita akan dengan mudah
menemukan sosoknya di antara keramaian. Ada banyak sekali kakak kelasku yang
baru lulus sedang berkerumun melihat spanduk pengumuman hasil SPMB (Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru-sekarang disebut SNMPTN) yang dipampang di sekitar
lonceng sekolahku, dekat ruang guru. Tetap saja di antara sekian banyak orang
itu, hanya butuh waktu dua detik untuk mengindrai sosok seorang Matahari
Firdaus, lelaki yang begitu bersinar itu.
Aku memperlambat
langkah, sekadar merekam keseluruhan Kang Hari dalam balutan seragam SMA untuk
terakhir kalinya di ingatanku. Tubuhnya yang tinggi atletis, kulit kuning cerahnya,
rambut ikalnya yang agak berantakan, ransel biru usang kesayangannya, sandal
jepit favoritnya, bibirnya yang selalu terlihat seperti sedang tersenyum itu,
juga wajahnya yang teramat tampan. Matahariku ada di sana, berdiri tegak
sendirian, asyik mencermati spanduk besar di hadapannya.
Saat Raziq, ketua
kelasku, memberitahukan bahwa Kang Hari ingin menemuiku, perasaanku campur
aduk. Hatiku terbelah: ingin bergegas menemui idolaku sang
manusia-nyaris-sempurna itu, juga ingin segera melarikan diri sejauh-jauhnya
karena malu yang tak terhingga. Untunglah Dewi, teman sebangkuku, berhasil
membangkitkan kepercayaan diriku. Jika bukan karena usaha Dewi mendapatkan
nomor ponsel kakak kelasku itu agar bisa kuhubungi, mungkin aku hanya akan
selalu menjadi seorang penggemar rahasia yang menyedihkan. Mengenal Kang Hari
adalah satu hal yang sebelumnya kukira mustahil terjadi.
"Kesempatan ini
gak akan dateng dua kali, Lan. Sekarang mungkin terakhir kalinya kamu bisa liat
dia di sekolah ini. Besok-besok dia pasti sibuk ngurusin persiapan masuk
Fakultas Kedokteran. Kamu mau ngelewatin kesempatan terakhir kamu ngeliat
dia?"
Kata-kata Dewi
membuatku tersadar. Semua keraguan pun menguap, berganti perasaan tak sabar dan
tegang karena sebentar lagi Kang Hari akan melihat wajahku, sang penggemar
rahasia yang selama sebulan terakhir hanya berkomunikasi dengannya lewat SMS.
Akhirnya, di sinilah
aku. Aku memandanginya dari samping sejenak. Kurapikan kerudungku sebentar
seraya sekali lagi berdoa dalam hati semoga pertemuanku dengannya ini
menimbulkan kesan yang baik.
"Assalamualaikum,
Kang Hari,” sapaku dengan suara yang kentara sekali bergetar.
Kang Hari menoleh ke
arahku, menjawab salam, bola matanya membulat saat melihat sosokku. Sedetik
setelahnya, ia refleks mundur selangkah, memperlebar jaraknya denganku, lalu
menundukkan pandangannya ke samping, tak mau melihat ke arahku. Tipikal aktivis
DKM (Dewan Kemakmuran Masjid) yang membuatku benar-benar menyeganinya.
Kukatupkan kedua
tanganku di depan dada, lalu sedikit membungkuk saat memperkenalkan diri,
"Ini saya, Wulan."
Ia mengangkat
pandangannya sesaat, kemudian balas mengatupkan tangannya di depan dada.
"Wa’alaikumsalam, Lan. Akhirnya kita bisa ketemu juga, ya."
Tanpa kuduga, ia
meminta waktuku sebentar, lima belas menit saja, untuk bicara berdua. Ia
berjalan melewatiku menyusuri koridor dan aku mengikuti langkahnya. Tak lama
kemudian, kami sudah duduk berhadapan dengan jarak lebih kurang semeter, di
dalam kelas seberang perpustakaan yang kebetulan kosong, di atas kursi yang
diletakkannya dekat pintu kelas yang terbuka lebar.
Kira-kira apa yang mau
dia bicarakan? Apa dia mau minta aku ngejauhin dia?
Kang Hari terdiam.
Mataku mencuri pandang ke arahnya sedetik. Detik itu ternyata ia sedang
memandangiku pula. Bersamaan kami lekas menundukkan pandangan kembali.
Duh, suasananya kenapa
jadi gak nyaman begini ya?
Tetiba saja, lelaki itu
mengubah posisi duduknya, agak membungkuk ke arahku, berdeham, lalu bertanya,
"Lan, boleh saya nanya, kamu anggap saya apa? Kakak kelas biasa? Idola?
Teman? Lelaki yang kamu kagumi, sayangi, atau cintai?"
Aku terkesiap. Karena
tak habis pikir, aku mendongak, menatap tepat ke dalam matanya, lupa sama
sekali soal keharusan menjaga pandangan. Kali ini lelaki itu tak mengelak,
balas menatapku dengan sorot mata penuh keingintahuan dan harapan akan sebuah
jawaban. Sorot mata itu begitu polos tanpa ada niat tak baik apa pun di
baliknya.
"Jangan salah
paham. Saya hanya ingin tahu gimana saya harus bersikap ke kamu,"
jelasnya.
Mulanya aku ragu untuk
menjawab, tapi akhirnya aku mengakui dengan kegugupan yang pasti tampak jelas,
"Saya kagum sama Akang, sama kecerdasan dan kepribadian Akang, tapi cuma
itu, gak lebih. Akang itu kakak kelas yang saya jadikan teladan, sudah seperti
kakak saya sendiri."
Karena saya tahu saya
akan terbakar dengan bodohnya jika mencoba menggapai matahari yang begitu
bersinar sepertimu, Kang, batinku dalam hati.
"Saya hanya
manusia biasa, Lan, bukan malaikat sempurna yang pantas kamu kagumi," Kang
Hari merendah, masih dengan nada tenangnya yang membuatku menunduk, lalu
melanjutkan, "dan harus kamu ingat, hati itu tempat kita memandang dunia.
Pahamkan selalu keinginannya agar tetap di jalan-Nya, betapa pun keadaannya.
Kamu bisa pahami itu?"
Aku tak sanggup berkata
apa-apa lagi, hanya bisa menganggukkan kepala sebagai jawaban. Aku mulai paham
ke mana arah pembicaraan ini.
"Pandanglah
seseorang yang bukan mahram kita sebagai seseorang yang memang benar-benar
bukan mahram kita. Meski niat awal kita baik hanya menganggapnya saudara,
adakah manusia yang tahu apa kehendak-Nya?"
Selesai mengucapkannya,
Kang Hari terdiam sejenak.
"Gimana kalau ...
ternyata saya sama kamu itu berjodoh? Gimana kalau sekarang niat kita baik,
hanya berhubungan sebatas teman, sebatas pengagum dan orang yang dikagumi, tapi
lama-lama tanpa kita sadari, ternyata muncul feeling sedikit demi sedikit yang
lama-lama jadi cinta?" tanyanya pelan, tapi masih cukup keras untuk
kudengar.
Aku mendongak
memandanginya. Jantungku yang semula baik-baik saja kini berdegup aneh, begitu
cepat dan membuat dadaku tiba-tiba terasa sesak. Apa katanya tadi? Aku dan dia
... berjodoh? Astaga, bahkan aku tak pernah berani memikirkan itu walau sedetik
saja sejak kekaguman itu pertama kali muncul setahun yang lalu. Aku kembali menundukkan
pandanganku saat ia menoleh ke arahku lagi. Mulutku masih terkunci rapat.
Kata-katanya benar-benar menohokku. Sungguh, sekali pun aku tak pernah memikirkan
tentang kemungkinan itu.
"Jujur, saya masih
trauma. Saya pernah memberi harapan kepada teman perempuan saya tanpa saya
sadari. Menyakiti hati seorang perempuan, membuatnya menangis, dan merusak tali
silaturahim itu gak mau saya ulangi lagi. Sampai kapan pun. Saya juga ingin
fokus kuliah. Saya belum siap, bahkan belum terpikir untuk menikah. Dalam kamus
hidup saya, gak ada kata pacaran sebelum menikah. Jalan kita masih panjang,
banyak mimpi yang menunggu kita gapai, bukan? Jangan sampai persoalan hati ini
jadi hambatan kita buat meraih impian-impian kita. Kita saling mendoakan ya,
Lan, supaya kita sama-sama bisa jaga hati?" tanya Kang Hari setelah
bertutur panjang lebar.
Aku tergugu dalam
kediamanku. Masih sulit kupercayai kalau kalimat-kalimat bijak itu bisa keluar
dari mulut lelaki di hadapanku yang baru genap berusia 18 tahun bulan lalu ini.
Sedewasakah itu pemikirannya? Menjaga hati, meraih mimpi, pernikahan ... semua
topik yang sungguh langka dibicarakan lelaki seusianya. Pandangan kami kembali
bertemu.
Duhai, sungguh elok
dirimu, Kang. Keseluruhanmu, baik fisik maupun isi hati dan pikiranmu,
benar-benar penuh pesona. Sekarang kekagumanku kepadamu kian bertambah.
Selama beberapa detik,
Kang Hari menanti reaksiku. Lama-lama kami kembali jengah dan sama-sama
memalingkan pandangan.
Aku berdeham sebelum
menjawab, "Saya janji saya akan jaga hati saya, Kang. Saya juga tahu Akang
akan masuk dunia kuliah yang pasti gak mudah, sangat melelahkan, dan perlu
persiapan mental juga fisik yang kuat. Saya gak mau nyusahin atau jadi beban
pikiran Kang Hari. Tenang aja, mulai sekarang saya gak akan sering-sering
menghubungi Akang, kecuali benar-benar perlu."
"Alhamdulillah,
makasih ya, Lan. Saya lega bisa bicarain ini semua sama kamu. Bener-bener
lega," sahut Kang Hari seraya menghela napas panjang dan tertawa kecil
sebentar.
"Sama-sama,
Kang," balasku sambil tersenyum lebar.
Ketegangan yang
melingkupi kami sebelumnya menguap seiring tawanya yang bergema di ruang kelas
ini. Rasa canggung di antara kami memudar. Aku senang melihatnya tertawa.
Tawanya menular dan menggemaskan, membuatku tergoda untuk ikut tertawa.
Azan Zuhur berkumandang,
menghentikan gelak tawa kami.
"Oke, Lan. Itu aja
yang mau saya omongin," ucap Hari sambil berdiri dan membetulkan letak
ransel di punggungnya.
Aku ikut berdiri dan
memberanikan diri sekali lagi menatap matanya. Untunglah kali ini ia tak lekas
memalingkan pandangannya. Bibirnya menyunggingkan senyuman menenangkan. Aku pun
balas tersenyum.
"Sama-sama, Kang.
Makasih buat semua obrolan tadi. Saya akan selalu doain Akang, lancar terus
kuliahnya, biar bisa jadi seorang dokter yang hebat kelak," ucapku.
Padahal, sejujurnya,
aku masih ingin lebih lama mengobrol dengannya tentang apa pun. Bisa jadi
inilah pertemuan pertama sekaligus pertemuan terakhir kami. Entah kapan aku
bisa melihat sosoknya lagi. Memikirkannya membuat rasa sedih tetiba merayapi
benakku.
"Aamiin. Makasih,
Lan. Sukses juga buat kamu, ya. Assalamualaikum."
Calon mahasiswa
kedokteran itu mengangguk sebentar ke arahku, kemudian berlalu ke arah masjid.
Aku menjawab salamnya lirih. Sesaat, aku tetap berdiri di tempatku sembari
memandangi punggungnya sampai tak bisa lagi kulihat. Ada yang aneh terasa di
dalam hati ini. Berat, sesak, sedih, dan kehilangan. Entahlah, aku tak bisa,
juga tak ingin memaknainya lebih jauh. Lagipula, aku sudah berjanji kepada
lelaki terelok itu untuk menjaga hati ini dari perasaan dan pikiran yang tidak
perlu. Semua petuahnya terngiang-ngiang di benakku. Ah, belum apa-apa aku sudah
merindukan sosok yang kini tambah kukagumi begitu sangat itu.
Bolehkah rindu ini ada,
Kang? Atau tak boleh?
Perjanjian antara
hatiku dan hatinya barusan menggugah kesadaranku. Ternyata seberat apa pun kita
berpikir tentang takdir, pada akhirnya tetap saja kesimpulannya kita harus
menjalankan aturan main-Nya.
TAMAT
Biodata:
Rosi Rosmala Dewi lahir
di Bandung, 9 Desember 1986. Ia seorang ibu rumah tangga, juga proofreader dan
editor freelance. Hobinya membaca buku fiksi, menulis novel, dan sesekali
menulis puisi. Alumni Sastra Indonesia Unpad yang bernama pena Cherry Calosa
ini sedang merampungkan novel perdananya, Semesta Hati, yang dapat dibaca di
Wattpad. Email:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.