Menuju
Taman Mimpi
Oleh:
Jofanina Fauziah
Berjuta rasa haru
memenuhi hati Ulya ketika melihat namanya tercantum dalam daftar santri Pondok
Pesantren As-Salam Subang. Kepalanya seketika tersungkur mengucapkan beberapa
lafal syukur atas keridaan Allah yang telah mengizinkan menjadi santri. Dahulu
ia selalu melepaskan angannya jauh. Ternyata langit telah menangkapnya dan
mengumpulkan dalam sebuah taman mimpi. Kini arah telah menunjukkan jalan ke
sana. Semoga saja awan-awan kelabu tidak mengganggu perjalanan. Bersama asa,
Ulya melalui jalan itu untuk mencapai puncak taman mimpinya, bermanfaat untuk
kemajuan pesantren. Bintang-bintang memegang erat angan agar tidak terlepas
hingga usai digapai.
Hari ini hari Sabtu,
saatnya menelepon orangtua. Para santri akan mendapat giliran menghubungi
keluarganya. Remaja berjilbab panjang itu tidak sabar sembari menyiapkan
berbagai macam cerita. Rindu sekali ia dengan suara ibu, ayah, dan terutama
kakaknya. Semoga waktu sepuluh menit cukup untuk berbicara dengan mereka. Kini
telepon genggam jadul telah berada di tangan. Ia cepat-cepat menelepon ibunya.
Baru saja ia mendekatkan ke telinga, ibunya berbicara tegas.
“Ulya, ini kamu? Tolong
pulanglah, Nak. Kakakmu sakit,” kata Ibu.
Ia membisu walau detik
terus berlalu. Selama 30 menit itu tak ada pergerakan apapun. Terpaku, hanya
air mata mengalir perlahan. Hujan badai melanda hatinya. Kemarau panas
menyengat pendengaran. Wajahnya tetap membeku seperti itu. Hingga telepon
genggam itu menyelusur jatuh. Teman-teman mendekat membawa berbagai nasihat dan
saran. Keputusan telah bulat, Ulya akan pulang.
Dengan naik-turun
kendaraan umum, seorang diri ia menyusuri ramai jalanan. Suara Ibu terus
terngiang di telinga menyambar hati bagai halilintar. Cerita-cerita yang akan
disampaikan telah menguap meninggalkan benak. Saat yang ditunggu malah berbalik
menjadi saat menghancurkan hati. Seseorang yang paling mengerti perasaannya
kini sedang kesusahan. Tidak tega bila ia tidak mendampingi, berada di sisinya.
Beliau selalu hadir ketika ia butuh, kini saatnya Ulya hadir karena sang kakak
pasti butuh dirinya.
۞۞۞
Sosok penuh semangat
dengan senyum hangat bak sinar matahari yang berusaha masuk ruangan melalui
celah-celah atap bolong, kini terbaring lemah pucat pasi. Leukimia, itu
penyakitnya. Cukup berat memang, tetapi kata dokter masih ada kemungkinan
sembuh bila rutin transfusi darah setiap bulan. Masalahnya, biayanya dari mana?
Ruangan luas beratapkan
hening. Ulya, kakak, ibu, dan ayahnya duduk di pangkuan angin. Hembusan napas
lepas bergabung kembali dengan udara luar. Suara detak jantung mengiringi
tegang suasana. Segala sepi hilang seketika saat sang ayah mulai berbicara.
“Ulya, kamu harus
berhenti sekolah! Bantu Ayah dan Ibu mencari uang!” bentak Ayah.
“Tapi, Yah. Aku ....”
“Sudah, jangan
membantah. Ini demi kakakmu!”
Semua terdiam.
Perkataan sang ayah tak bisa dibantah. Ibu dan kakaknya hanya membisu. Ulya
terpaku. Gemuruh ombak besar mengarungi hatinya. Jalan menuju taman mimpi
seakan terhalang oleh dinding beton. Apa nanti jalannya akan ambruk ataukah
Ulya bisa menerobosnya?
۞۞۞
Ulya berangkat seorang
diri ke masjid. Hanya perlu perenungan sejenak. Menatap langit yang ia harap
masih memelihara mimpinya dahulu. Mimpi yang hampir ambruk ketika baru akan
dicapai. Sampai saat ini Ulya belum dapat pekerjaan. Tidak ada sesuatu apapun
yang bisa ia lakukan. Air matanya terus turun.
Lelaki tegap dengan
jaket kulit dilengkapi tas ransel hitam datang menghampiri. Penasaran, beliau
bertanya kepada Ulya. Karena sikap hangatnya, Ulya berani bercerita. Tentang
keluarga dan mimpinya yang terputus. Lelaki itu bernama Pak Nana. Nasihatnya
sungguh memotivasi.
“Ulya, janganlah
menangis. Kamu beruntung pernah jadi santri. Soal ayahmu, turuti saja
perintahnya. Karena semua ayah tidak ingin anaknya menderita. Ulya, segala
sesuatu itu perlu pengorbanan. Ayahmu tahu itu. Beliau ingin kamu mengorbankan
pendidikan demi kakakmu. Pendidikan dengan nyawa lebih penting mana? Tapi
seorang ayah selalu tahu resikonya. Ia akan selalu memikirkan pengganti dari
sebuah pengorbanan. Dalam diamnya beliau merencanakan sesuatu agar mimpimu bisa
tercapai. Tapi, mungkin untuk saat ini rencana itu belum bisa terwujud. Karena
saat ini kakakmu lebih penting dari pendidikanmu. Janganlah putus asa, ini
hanya sementara. Saya yakin ayahmu akan berusaha untuk memenuhi keinginanmu.”
“Iya, Pak. Terima kasih
atas nasihatnya. Tapi, apa yang harus saya lakukan untuk mereka? Saya tidak
bisa bekerja,” keluh Ulya.
“Ulya, ingatlah,
bukankah kamu pernah menjadi santri? Pasti ada ilmu yang telah kamu dapat,
bukan? Sampaikanlah ilmu itu. Jadilah seorang da'i.”
“Bagaimana caranya?”
“Bisa dimulai dengan
cara kamu menunjukkan diri sebagai seorang da'i. Di kabupaten ada lomba
pemilihan da'i, kamu harus ikut.”
۞۞۞
Tatapan mata para juri
sangat tajam. Itu memberikan tantangan besar bagi Ulya yang benci dengan
tatapan. Seluruh ilmu ia kemas dalam sebuah tausiah berdurasi lima menit. Lomba
itu ia jalani untuk membantu sang kakak. Hadiahnya cukup untuk membantu biaya
transfusi darah kakaknya.
Baru saja Ulya sampai
rumah, ayah dan ibunya sedang panik. Ternyata kakaknya pingsan. Buru-buru
mereka membawanya ke rumah sakit. Tak peduli ada uang atau tidak. Rupanya
transfusi harus segera dilakukan. Rasa panik terus mengiringi perjalanan mereka.
Setelah mendapat
ruangan, ayahnya dipanggil oleh salah seorang perawat. Beliau diminta melunasi
pembayaran dahulu sebelum anak sulungnya ditangani. Emosi memuncak. Ayah
meminta menghadap atasan dari perawat itu. Dibawalah ayah dan Ulya menghadap
direktur rumah sakit itu. Betapa terkejutnya Ulya ketika tahu siapa direktur
rumah sakit itu. Beliau adalah Pak Nana. Orang yang baru dikenal Ulya kemarin.
“Ulya? Kakakmu akan
transfusi darah di sini?”
“Iya, Pak,” jawab Ulya
gugup. Sedangkan si ayah bingung.
“Bapak, kenalkan, saya
Nana, direktur rumah sakit ini. Dan Ulya, anak bapak telah menginspirasi saya.
Jadi, saya gratiskan seluruh biaya pengobatan kakaknya Ulya.” Ungkap Pak Nana.
Ayah langsung
tersungkur bersujud. Bukan hanya itu, Ulya pun akan kembali ke pesantren.
Seluruh kebutuhannya ditanggung Pak Nana. Sungguh mulia hati pria itu.
Suasana yang ia
rindukan telah kembali dirasakan. Ulya telah berada di pesantren. Beberapa hari
kemudian datanglah Pak Nana bersama keluarga Ulya. Mereka membawa kabar
gembira. Ulya memenangkan lomba pemilihan da'i itu. Uang yang ia dapat sebagian
besar disumbangkan untuk pesantren, untuk keluarganya, dan sisanya untuk bekal
Ulya beberapa bulan kedepan agar tidak perlu meminta kepada ayahnya.
Kiyai Bahri, Ketua
Yayasan Pesantren As-Salam sangat berterima kasih kepada santrinya yang bernama
Ulya ini. Bukan hanya sumbangan yang Ulya beri, tetapi berkat dakwah Ulya itu,
ia telah mengharumkan nama Pesantren As-Salam. Dakwah Ulya dalam lomba itu,
telah tersebar luas. Begitu juga dengan nama pesantrennya. Karena ia selalu
membawa nama Pesantren As-Salam dalam dakwahnya.
Apakah mimpi Ulya telah
tercapai? Tentu iya, karena jasanya sangat bermanfaat bagi kemajuan Pesantren
As-Salam. Ulya mampu menerobos dinding beton yang menghalangi mimpinya itu.
Biodata:
Jofanina Fauziah, 17
tahun, tidak pandai mengungkapkan kata-kata melalui lisan, tetapi selau
berusaha dalam tulisan. Kini ia baru saja menyelesaikan masa SMA-nya, MA Al
Hikmah Cirebon. Semoga kelak Jofanina bisa mencapai impiannya untuk menjadi
seorang penulis. Ia sangat berharap karya-karyanya bisa sejajar dengan karya
idolanya, Ahmad Fuadi dan Andrea Hirata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.