Rabu, 07 Agustus 2019

Cerpen - Menuju Taman Mimpi - Jofanina Fauziah - Sastra Indonesia Org




Menuju Taman Mimpi
Oleh: Jofanina Fauziah


Berjuta rasa haru memenuhi hati Ulya ketika melihat namanya tercantum dalam daftar santri Pondok Pesantren As-Salam Subang. Kepalanya seketika tersungkur mengucapkan beberapa lafal syukur atas keridaan Allah yang telah mengizinkan menjadi santri. Dahulu ia selalu melepaskan angannya jauh. Ternyata langit telah menangkapnya dan mengumpulkan dalam sebuah taman mimpi. Kini arah telah menunjukkan jalan ke sana. Semoga saja awan-awan kelabu tidak mengganggu perjalanan. Bersama asa, Ulya melalui jalan itu untuk mencapai puncak taman mimpinya, bermanfaat untuk kemajuan pesantren. Bintang-bintang memegang erat angan agar tidak terlepas hingga usai digapai.
Hari ini hari Sabtu, saatnya menelepon orangtua. Para santri akan mendapat giliran menghubungi keluarganya. Remaja berjilbab panjang itu tidak sabar sembari menyiapkan berbagai macam cerita. Rindu sekali ia dengan suara ibu, ayah, dan terutama kakaknya. Semoga waktu sepuluh menit cukup untuk berbicara dengan mereka. Kini telepon genggam jadul telah berada di tangan. Ia cepat-cepat menelepon ibunya. Baru saja ia mendekatkan ke telinga, ibunya berbicara tegas.
“Ulya, ini kamu? Tolong pulanglah, Nak. Kakakmu sakit,” kata Ibu.
Ia membisu walau detik terus berlalu. Selama 30 menit itu tak ada pergerakan apapun. Terpaku, hanya air mata mengalir perlahan. Hujan badai melanda hatinya. Kemarau panas menyengat pendengaran. Wajahnya tetap membeku seperti itu. Hingga telepon genggam itu menyelusur jatuh. Teman-teman mendekat membawa berbagai nasihat dan saran. Keputusan telah bulat, Ulya akan pulang.
Dengan naik-turun kendaraan umum, seorang diri ia menyusuri ramai jalanan. Suara Ibu terus terngiang di telinga menyambar hati bagai halilintar. Cerita-cerita yang akan disampaikan telah menguap meninggalkan benak. Saat yang ditunggu malah berbalik menjadi saat menghancurkan hati. Seseorang yang paling mengerti perasaannya kini sedang kesusahan. Tidak tega bila ia tidak mendampingi, berada di sisinya. Beliau selalu hadir ketika ia butuh, kini saatnya Ulya hadir karena sang kakak pasti butuh dirinya.

۞۞۞

Sosok penuh semangat dengan senyum hangat bak sinar matahari yang berusaha masuk ruangan melalui celah-celah atap bolong, kini terbaring lemah pucat pasi. Leukimia, itu penyakitnya. Cukup berat memang, tetapi kata dokter masih ada kemungkinan sembuh bila rutin transfusi darah setiap bulan. Masalahnya, biayanya dari mana?
Ruangan luas beratapkan hening. Ulya, kakak, ibu, dan ayahnya duduk di pangkuan angin. Hembusan napas lepas bergabung kembali dengan udara luar. Suara detak jantung mengiringi tegang suasana. Segala sepi hilang seketika saat sang ayah mulai berbicara.
“Ulya, kamu harus berhenti sekolah! Bantu Ayah dan Ibu mencari uang!” bentak Ayah.
“Tapi, Yah. Aku ....”
“Sudah, jangan membantah. Ini demi kakakmu!”
Semua terdiam. Perkataan sang ayah tak bisa dibantah. Ibu dan kakaknya hanya membisu. Ulya terpaku. Gemuruh ombak besar mengarungi hatinya. Jalan menuju taman mimpi seakan terhalang oleh dinding beton. Apa nanti jalannya akan ambruk ataukah Ulya bisa menerobosnya?

۞۞۞

Ulya berangkat seorang diri ke masjid. Hanya perlu perenungan sejenak. Menatap langit yang ia harap masih memelihara mimpinya dahulu. Mimpi yang hampir ambruk ketika baru akan dicapai. Sampai saat ini Ulya belum dapat pekerjaan. Tidak ada sesuatu apapun yang bisa ia lakukan. Air matanya terus turun.
Lelaki tegap dengan jaket kulit dilengkapi tas ransel hitam datang menghampiri. Penasaran, beliau bertanya kepada Ulya. Karena sikap hangatnya, Ulya berani bercerita. Tentang keluarga dan mimpinya yang terputus. Lelaki itu bernama Pak Nana. Nasihatnya sungguh memotivasi.


“Ulya, janganlah menangis. Kamu beruntung pernah jadi santri. Soal ayahmu, turuti saja perintahnya. Karena semua ayah tidak ingin anaknya menderita. Ulya, segala sesuatu itu perlu pengorbanan. Ayahmu tahu itu. Beliau ingin kamu mengorbankan pendidikan demi kakakmu. Pendidikan dengan nyawa lebih penting mana? Tapi seorang ayah selalu tahu resikonya. Ia akan selalu memikirkan pengganti dari sebuah pengorbanan. Dalam diamnya beliau merencanakan sesuatu agar mimpimu bisa tercapai. Tapi, mungkin untuk saat ini rencana itu belum bisa terwujud. Karena saat ini kakakmu lebih penting dari pendidikanmu. Janganlah putus asa, ini hanya sementara. Saya yakin ayahmu akan berusaha untuk memenuhi keinginanmu.”
“Iya, Pak. Terima kasih atas nasihatnya. Tapi, apa yang harus saya lakukan untuk mereka? Saya tidak bisa bekerja,” keluh Ulya.
“Ulya, ingatlah, bukankah kamu pernah menjadi santri? Pasti ada ilmu yang telah kamu dapat, bukan? Sampaikanlah ilmu itu. Jadilah seorang da'i.”
“Bagaimana caranya?”
“Bisa dimulai dengan cara kamu menunjukkan diri sebagai seorang da'i. Di kabupaten ada lomba pemilihan da'i, kamu harus ikut.”

۞۞۞

Tatapan mata para juri sangat tajam. Itu memberikan tantangan besar bagi Ulya yang benci dengan tatapan. Seluruh ilmu ia kemas dalam sebuah tausiah berdurasi lima menit. Lomba itu ia jalani untuk membantu sang kakak. Hadiahnya cukup untuk membantu biaya transfusi darah kakaknya.
Baru saja Ulya sampai rumah, ayah dan ibunya sedang panik. Ternyata kakaknya pingsan. Buru-buru mereka membawanya ke rumah sakit. Tak peduli ada uang atau tidak. Rupanya transfusi harus segera dilakukan. Rasa panik terus mengiringi perjalanan mereka.
Setelah mendapat ruangan, ayahnya dipanggil oleh salah seorang perawat. Beliau diminta melunasi pembayaran dahulu sebelum anak sulungnya ditangani. Emosi memuncak. Ayah meminta menghadap atasan dari perawat itu. Dibawalah ayah dan Ulya menghadap direktur rumah sakit itu. Betapa terkejutnya Ulya ketika tahu siapa direktur rumah sakit itu. Beliau adalah Pak Nana. Orang yang baru dikenal Ulya kemarin.
“Ulya? Kakakmu akan transfusi darah di sini?”
“Iya, Pak,” jawab Ulya gugup. Sedangkan si ayah bingung.
“Bapak, kenalkan, saya Nana, direktur rumah sakit ini. Dan Ulya, anak bapak telah menginspirasi saya. Jadi, saya gratiskan seluruh biaya pengobatan kakaknya Ulya.” Ungkap Pak Nana.
Ayah langsung tersungkur bersujud. Bukan hanya itu, Ulya pun akan kembali ke pesantren. Seluruh kebutuhannya ditanggung Pak Nana. Sungguh mulia hati pria itu.
Suasana yang ia rindukan telah kembali dirasakan. Ulya telah berada di pesantren. Beberapa hari kemudian datanglah Pak Nana bersama keluarga Ulya. Mereka membawa kabar gembira. Ulya memenangkan lomba pemilihan da'i itu. Uang yang ia dapat sebagian besar disumbangkan untuk pesantren, untuk keluarganya, dan sisanya untuk bekal Ulya beberapa bulan kedepan agar tidak perlu meminta kepada ayahnya.
Kiyai Bahri, Ketua Yayasan Pesantren As-Salam sangat berterima kasih kepada santrinya yang bernama Ulya ini. Bukan hanya sumbangan yang Ulya beri, tetapi berkat dakwah Ulya itu, ia telah mengharumkan nama Pesantren As-Salam. Dakwah Ulya dalam lomba itu, telah tersebar luas. Begitu juga dengan nama pesantrennya. Karena ia selalu membawa nama Pesantren As-Salam dalam dakwahnya.
Apakah mimpi Ulya telah tercapai? Tentu iya, karena jasanya sangat bermanfaat bagi kemajuan Pesantren As-Salam. Ulya mampu menerobos dinding beton yang menghalangi mimpinya itu.

Biodata:

Jofanina Fauziah, 17 tahun, tidak pandai mengungkapkan kata-kata melalui lisan, tetapi selau berusaha dalam tulisan. Kini ia baru saja menyelesaikan masa SMA-nya, MA Al Hikmah Cirebon. Semoga kelak Jofanina bisa mencapai impiannya untuk menjadi seorang penulis. Ia sangat berharap karya-karyanya bisa sejajar dengan karya idolanya, Ahmad Fuadi dan Andrea Hirata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.