Jumat, 09 Agustus 2019

Cerpen - Kisah Cinta di SMA - Regina Anjani Rizkyta - Sastra Indonesia Org




Kisah Cinta di SMA
Oleh: Regina Anjani Rizkyta

Kejadian klasik yang membuat benih-benih rasa itu tumbuh pada tempat yang tidak seharusnya. Apakah itu salah para insannya?
Kejadian klasik yang membuat bunga itu mekar sebelum waktunya. Apakah itu salah musim semi yang datangnya terlalu cepat?
Yah … ini hanya kisah klasik saat aku duduk di bangku sekolah menengah akhir semester satu pada kelas satu, kejadian klasik yang membuat rasa suka berkembang menjadi rasa cinta pada sahabat sendiri.
Awalnya kami hanya teman curhat, lebih tepatnya dia yang menjadikanku sebagai tempat berkeluh kesahnya tentang hubungannya bersama sang kekasih, dan aku sebagai sahabatnya berusaha memberikan pengertian tentang kekasihnya dan itu berlangsung sekitar sebulan lebih. Hal inilah yang membuat kami semakin dekat.
Tempat duduk kami yang berseberangan membuat dirinya pada setiap ada kesempatan pasti memiringkan badannya ke arah kanan dan menatapku dengan alisnya yang mengkerut, aku pun balas menatap dirinya karena jengah oleh tingkahnya. Kulihat dia hanya menyeringai kepadaku, setelah itu barulah dia mengutarakan segala pertanyaan dan pernyataan yang ada di kepalanya. Tentu saja itu semua tentang ia dan sang kekasih, dan lagi-lagi aku yang sebagai sahabat hanya bisa memberikan pengertian kepadanya.
Tanpa sadar setiap kali dia berkeluh kesah padaku, aku selalu betah berlama-lama memandangi wajahnya yang seringkali mengeluarkan ekspresi berbeda. Terkadang dia mengeluarkan mimik wajah serius yang dihiasi dengan alis berkerut tanda berpikir dan bibirnya yang tidak berhenti komat kamit. Kadang juga dia tertawa saat mengingat adegan lucu bersama kekasihnya hangga wajahnya memerah dan itu menular padaku yang tanpa sadar aku juga ikut tertawa meski itu karena dia yang mengingat kekasihnya.
Aku sadar sesuatu yang baru aku rasakan padanya muncul begitu saja, tanpa permisi dan tanpa undangan. Suka, yah … rasa suka yang tengah kurasakan padanya muncul begitu saja. Aku sudah berkali-kali mengingatkan diri sendiri bahwa rasa itu salah, rasa itu seharusnya tidak muncul untuknya. Namun satu hal yang kusadari bahwa rasa suka tidak bisa kita tebak dan kita atur akan jatuh pada siapa. Karena itu diriku hanya bisa menunjukan rasa suka ini padanya secara diam-diam tanpa diketahui oleh dirinya dan teman-temanku. Itu lebih dari cukup.
Aku sangat tahu resiko cinta dalam diam. Rasa sakit, suka, tidak terima, bahkan rasa cemburu pun harus dipendam sendiri. Yah … aku pernah cemburu, sepele memang. Karena saat itu teman sebangkuku bilang bahwa dia, orang yang aku suka juga mengeluarkan keluh kesahnya kepada temanku. Ketika itulah rasanya sakit karena mengetahui bahwa bukan cuma aku yang menjadi tempat berkeluh kesahnya, bukan cuma aku yang bisa dipercaya oleh dia. Akan tetapi aku bisa apa, aku hanya bisa diam dan memendam rasa sakit dan cemburu yang menjadi satu.
Cinta  dalam diamku berlangsung hingga aku duduk di bangku kelas dua SMA, dan sejauh itu aku mampu untuk memendamnya. Namun entah mengapa sejak menginjak kelas dua, tepatnya setelah kami selesai melaksanakan ulangan tengah semester sikapnya berubah. Seperti menjaga jarak denganku, menghindar setiap kali tatapan kami bertemu. Bahkan dalam satu kelompok kami jarang berbicara, mungkin bisa dihitung dengan jari. Sungguh aku bingung dengan sikap dan perubahannya padaku. Rasa takut bahwa dia  telah mengetahui aku menyukainya muncul begitu saja.


Saat itu kelas kami sedang jam kosong. Banyak temanku, termasuk aku dan dia yang keluar dari kelas sekadar duduk di meja bundar yang terletak di bawah pohon mangga samping kelas kami. Dan tanpa kusadari dia yang tadinya duduk di bangku paling ujung kini telah berada di sampingku, menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Detik berikutnya jantungku terasa berdetak dua kali lebih cepat saat dia mengatakan.
“Wajar bila kita menyukai seseorang termasuk sahabat, tapi maaf, aku tidak bisa membalas perasaanmu.”
Diam hanya itu yang mampu kulakukan saat mendengar dia mengetahui bahwa selama ini aku menyukainya dan dia yang tidak bisa membalas perasaanku. Detik berikutnya aku kembali bungkam dengan hati yang mencelos saat dia mengatakan, “Kangker tulang dan stadium lanjut,” ucapnya yang begitu tenang seolah sedang mengatakan sebuah judul cerita. Berbanding terbalik denganku, ujung-ujung jari tanganku  mulai dingin dan gemetar bahkan untuk mengeluarkan satu kata saja bibirku rasanya keluh.
Tangan dinginku yang saling bertaut dipegang olehnya dan kotak biru yang sedari tadi digenggam olehnya berpindah tempat ke tanganku, dan setelah itu barulah dia pergi meninggalkanku dengan air mata yang sedari tadi telah kutahan agar tidak dilihat olehnya.
Sesampainya dirumah, aku kembali melanjutkan aksi nangisku, bukan karena rasa suka yang tidak terbalaskan, tapi lebih kepada rasa bodoh. Bodoh karena selama ini aku hanya memikirkan perasaanku sendiri, dan bodoh karena selama ini aku tidak tahu apa-apa tentang dirinya, tentang apa yang dia rasakan. Sungguh, sakit rasanya.
Sejak saat itu hubungan kami semakin merenggang, lebih tepatnya dia yang semakin menjaga jarak denganku, dan itu membuatku menjadi lebih sakit. Seharusnya dia tidak perlu menjauhiku. Aku bisa berpura-pura tidak menyukai dan kembali menjadi sahabat agar bisa memberikan dukungan untuknya.
Lima bulan kemudian dia tidur untuk selama-lamanya, meninggalkan dunia dan meninggalkan aku dengan rasa sukaku padanya. Aku tidak menyesal dan tidak pernah menyesal telah menyukai dirinya.
Di tengah tangisku, aku teringat akan kotak biru yang diberikan olehnya. Aku membuka kotak biru itu yang berisi secarik kertas dan sebuah cincin yang terbuat dari jerami.
Seharusnya aku tidak membuka kotak itu dan seharusnya tidak membaca isi dari secarik kertas itu. Karena kini kutahu apa yang dirasakannya saat tahu penyakit itu telah bersarang di tubuhnya. Kini tangisanku berubah menjadi isakan saat mengetahui bahwa perasaanku tidak bertepuk sebelah tangan, karena dia juga memiliki perasaan yang sama sepertiku. Namun dia lebih memilih untuk memendam sepertiku dan membawa perasaan itu pergi bersamanya.
Kini aku telah mejadi istri dan telah dikaruniai seorang putra yang kuberi nama seperti dia, cinta pertamaku, Deeka.
Selama itu pula tidak ada yang mengetahui bahwa aku pernah menyukainya bahkan sampai detik ini termasuk suamiku sendiri. Hingga detik ini dia masih menempati tempat yang terdalam di hatiku.

Biodata:

Regina Anjani Rizkyta lahir di Sumbawa, 29 Maret 2002. Seorang pelajar yang memiliki hobi membaca, menulis, dan mengarang. Seseorang yang memiliki segudang cita-cita, harapan, dan keinginan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.