Kisah
Cinta di SMA
Oleh:
Regina Anjani Rizkyta
Kejadian klasik yang
membuat benih-benih rasa itu tumbuh pada tempat yang tidak seharusnya. Apakah
itu salah para insannya?
Kejadian klasik yang
membuat bunga itu mekar sebelum waktunya. Apakah itu salah musim semi yang
datangnya terlalu cepat?
Yah … ini hanya kisah klasik
saat aku duduk di bangku sekolah menengah akhir semester satu pada kelas satu,
kejadian klasik yang membuat rasa suka berkembang menjadi rasa cinta pada
sahabat sendiri.
Awalnya kami hanya
teman curhat, lebih tepatnya dia yang menjadikanku sebagai tempat berkeluh
kesahnya tentang hubungannya bersama sang kekasih, dan aku sebagai sahabatnya
berusaha memberikan pengertian tentang kekasihnya dan itu berlangsung sekitar
sebulan lebih. Hal inilah yang membuat kami semakin dekat.
Tempat duduk kami yang
berseberangan membuat dirinya pada setiap ada kesempatan pasti memiringkan
badannya ke arah kanan dan menatapku dengan alisnya yang mengkerut, aku pun
balas menatap dirinya karena jengah oleh tingkahnya. Kulihat dia hanya
menyeringai kepadaku, setelah itu barulah dia mengutarakan segala pertanyaan
dan pernyataan yang ada di kepalanya. Tentu saja itu semua tentang ia dan sang
kekasih, dan lagi-lagi aku yang sebagai sahabat hanya bisa memberikan
pengertian kepadanya.
Tanpa sadar setiap kali
dia berkeluh kesah padaku, aku selalu betah berlama-lama memandangi wajahnya
yang seringkali mengeluarkan ekspresi berbeda. Terkadang dia mengeluarkan mimik
wajah serius yang dihiasi dengan alis berkerut tanda berpikir dan bibirnya yang
tidak berhenti komat kamit. Kadang juga dia tertawa saat mengingat adegan lucu
bersama kekasihnya hangga wajahnya memerah dan itu menular padaku yang tanpa
sadar aku juga ikut tertawa meski itu karena dia yang mengingat kekasihnya.
Aku sadar sesuatu yang
baru aku rasakan padanya muncul begitu saja, tanpa permisi dan tanpa undangan.
Suka, yah … rasa suka yang tengah kurasakan padanya muncul begitu saja. Aku sudah
berkali-kali mengingatkan diri sendiri bahwa rasa itu salah, rasa itu seharusnya
tidak muncul untuknya. Namun satu hal yang kusadari bahwa rasa suka tidak bisa
kita tebak dan kita atur akan jatuh pada siapa. Karena itu diriku hanya bisa
menunjukan rasa suka ini padanya secara diam-diam tanpa diketahui oleh dirinya
dan teman-temanku. Itu lebih dari cukup.
Aku sangat tahu resiko
cinta dalam diam. Rasa sakit, suka, tidak terima, bahkan rasa cemburu pun harus
dipendam sendiri. Yah … aku pernah cemburu, sepele memang. Karena saat itu
teman sebangkuku bilang bahwa dia, orang yang aku suka juga mengeluarkan keluh
kesahnya kepada temanku. Ketika itulah rasanya sakit karena mengetahui bahwa
bukan cuma aku yang menjadi tempat berkeluh kesahnya, bukan cuma aku yang bisa
dipercaya oleh dia. Akan tetapi aku bisa apa, aku hanya bisa diam dan memendam
rasa sakit dan cemburu yang menjadi satu.
Cinta dalam diamku berlangsung hingga aku duduk di bangku
kelas dua SMA, dan sejauh itu aku mampu untuk memendamnya. Namun entah mengapa
sejak menginjak kelas dua, tepatnya setelah kami selesai melaksanakan ulangan
tengah semester sikapnya berubah. Seperti menjaga jarak denganku, menghindar
setiap kali tatapan kami bertemu. Bahkan dalam satu kelompok kami jarang
berbicara, mungkin bisa dihitung dengan jari. Sungguh aku bingung dengan sikap
dan perubahannya padaku. Rasa takut bahwa dia
telah mengetahui aku menyukainya muncul begitu saja.
Saat itu kelas kami
sedang jam kosong. Banyak temanku, termasuk aku dan dia yang keluar dari kelas
sekadar duduk di meja bundar yang terletak di bawah pohon mangga samping kelas
kami. Dan tanpa kusadari dia yang tadinya duduk di bangku paling ujung kini
telah berada di sampingku, menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Detik
berikutnya jantungku terasa berdetak dua kali lebih cepat saat dia mengatakan.
“Wajar bila kita
menyukai seseorang termasuk sahabat, tapi maaf, aku tidak bisa membalas
perasaanmu.”
Diam hanya itu yang
mampu kulakukan saat mendengar dia mengetahui bahwa selama ini aku menyukainya
dan dia yang tidak bisa membalas perasaanku. Detik berikutnya aku kembali
bungkam dengan hati yang mencelos saat dia mengatakan, “Kangker tulang dan
stadium lanjut,” ucapnya yang begitu tenang seolah sedang mengatakan sebuah
judul cerita. Berbanding terbalik denganku, ujung-ujung jari tanganku mulai dingin dan gemetar bahkan untuk
mengeluarkan satu kata saja bibirku rasanya keluh.
Tangan dinginku yang
saling bertaut dipegang olehnya dan kotak biru yang sedari tadi digenggam
olehnya berpindah tempat ke tanganku, dan setelah itu barulah dia pergi
meninggalkanku dengan air mata yang sedari tadi telah kutahan agar tidak
dilihat olehnya.
Sesampainya dirumah,
aku kembali melanjutkan aksi nangisku, bukan karena rasa suka yang tidak
terbalaskan, tapi lebih kepada rasa bodoh. Bodoh karena selama ini aku hanya
memikirkan perasaanku sendiri, dan bodoh karena selama ini aku tidak tahu
apa-apa tentang dirinya, tentang apa yang dia rasakan. Sungguh, sakit rasanya.
Sejak saat itu hubungan
kami semakin merenggang, lebih tepatnya dia yang semakin menjaga jarak denganku,
dan itu membuatku menjadi lebih sakit. Seharusnya dia tidak perlu menjauhiku. Aku
bisa berpura-pura tidak menyukai dan kembali menjadi sahabat agar bisa
memberikan dukungan untuknya.
Lima bulan kemudian dia
tidur untuk selama-lamanya, meninggalkan dunia dan meninggalkan aku dengan rasa
sukaku padanya. Aku tidak menyesal dan tidak pernah menyesal telah menyukai
dirinya.
Di tengah tangisku, aku
teringat akan kotak biru yang diberikan olehnya. Aku membuka kotak biru itu
yang berisi secarik kertas dan sebuah cincin yang terbuat dari jerami.
Seharusnya aku tidak
membuka kotak itu dan seharusnya tidak membaca isi dari secarik kertas itu.
Karena kini kutahu apa yang dirasakannya saat tahu penyakit itu telah bersarang
di tubuhnya. Kini tangisanku berubah menjadi isakan saat mengetahui bahwa
perasaanku tidak bertepuk sebelah tangan, karena dia juga memiliki perasaan
yang sama sepertiku. Namun dia lebih memilih untuk memendam sepertiku dan
membawa perasaan itu pergi bersamanya.
Kini aku telah mejadi
istri dan telah dikaruniai seorang putra yang kuberi nama seperti dia, cinta
pertamaku, Deeka.
Selama itu pula tidak
ada yang mengetahui bahwa aku pernah menyukainya bahkan sampai detik ini
termasuk suamiku sendiri. Hingga detik ini dia masih menempati tempat yang
terdalam di hatiku.
Biodata:
Regina Anjani Rizkyta
lahir di Sumbawa, 29 Maret 2002. Seorang pelajar yang memiliki hobi membaca,
menulis, dan mengarang. Seseorang yang memiliki segudang cita-cita, harapan,
dan keinginan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.