Bayangan
Oleh:
Laili Rahma Hidayati
Aku memeluk erat bingkai
yang berisi foto kenang-kenanganku bersamanya, memainkan jemari tangan dengan
pandangan kosong ke depan.
"Kamu
kenapa?" Aku menoleh ketika mendengar suara yang tidak asing di telinga.
Degg ....
Rasanya jantungku
berhenti berdetak sekarang. Aku menelan saliva susah payah, lalu menampar pipi
keras-keras.
Bulu kudukku meremang
melihat bayangan tak berwujud itu, aura di sini tampak mencekam sekarang.
"Jangan menyakiti
diri sendiri, " katanya sambil tersenyum.
Aku membeku kala
merasakan suaranya begitu nyata. Namun, saat kuperhatikan wujudnya kembali, ia
tampak bayangan yang tidak menyentuh tanah. Wajahnya pucat dengan mata teduh.
"Nggak, kamu udah
tenang di sana. Jangan ganggu aku lagi!" teriakku.
"Hey, ini aku, Kal. Your, sahabat kecilmu."
Dia berusaha meyakinkanku.
"Your, kamu nggak
usah kesini lagi, aku udah ikhlas."
Aku menutup mataku
menggunakan tangan. Kalau boleh jujur, aku juga takut dengan sosok tak berwujud
di depanku ini.
"Ikhlas? Keadaan
kamu aja gitu, itu yang namanya ikhlas? Kal, aku memang udah meninggal. Ya, itu
kenyataannya." Dia mengangguk-anggukkan kepala.
Your terenggut nyawanya
karena tabrakan beruntun saat perjalanan ke rumahku. Aku yang saat itu
tertidur, tidak sempat menghadiri acara pemakaman Your.
Your sempat koma,
tetapi meninggal dunia setelah dibawa ke rumah sakit. Karena ada cidera parah
di kepala hingga membuat otaknya keluar.
"Lalu, siapa kamu?
Hantu? Setan? Jin? Atau siapa?" tanyaku menggebu.
"Aku Your, Kal.
Butuh berapa kali sih, aku jelasin ke kamu?"
Aku tertawa miris
mendengar perkataannya.
"Kayaknya aku halu
nih. Mungkin mandi dulu kali ya." Aku beranjak mengambil handuk. Aku
berjalan ke kamar mandi sambil berkomat-kamit agar halusinansiku itu pergi.
“Aku ke sini mau bilang
sesuatu sama kamu, sebentar aja.”
Aku menghentikan
langkah, lalu menoleh kepadanya.
"Sebelum tragedi
yang merenggut nyawaku, aku sudah merencanakan semuanya."
"Merencanakan apa?
Merencanakan kematian sendiri?" Dia langsung tertawa mendengar
pertanyaanku.
"Mana ada sih yang
kayak gitu."
"Terus?" Dia menunduk
setelah pertanyaanku itu.
"Aku cuma mau
nyampein sesuatu, Kal ...." Aku mengernyit ketika perkataannya itu
menggantung.
"Kita udah
sahabatan lama banget, bahkan sebelum kita lahir. Dari sana, benih cinta mulai
tumbuh dan berkembang di hatiku."
"Pikiranku selalu
soal kamu dan kamu. Itu yang sampai saat ini, belum berani aku utarakan sama kamu.
Hingga tragedi itu terjadi," lanjutnya membuat satu per satu bulir hangat
keluar dari mataku.
"Kenapa nggak dari
dulu?" tanyaku sambil mengusap kasar bulir itu. Your menggeleng tanda tak
tahu alasannya.
"Yang pasti, kita
udah beda dunia, kita udah berbeda. Kamu manusia dan aku hanya bayangan tak
berwujud."
"Aku—aku juga
sayang sama kamu," Aku tergugu mengucapkan itu.
"Maaf, Kal. Lebih
baik kamu cari orang lain yang bisa menyayangi kamu lebih dari aku."
"Terus, buat apa
kamu bilang kayak gitu ke aku?!" tanyaku kasar.
"Aku cuma mau
menyampaikan rasa ini, biar nggak mengganjal di hati."
Aku menggigit bibir ketika
tangisanku hampir pecah.
"Boleh nggak aku
peluk kamu? Untuk yang pertama dan terakhir kalinya?" tanyaku pelan.
"Nggak, Kal."
Aku menatapnya penuh
tanda tanya.
"Kenapa? Kan
selama sahabatan, kita nggak pernah pelukan."
"Karena kamu akan
memeluk bayangan, bukan wujud seorang manusia."
Lampung,
20 Juni 2019
Biodata:
Laili Rahma Hidayati,
seorang pendukung kemajuan literasi, pecinta novel, dan penggemar puisi. Email
: Lailirahma444@gmail.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.