Sabtu, 31 Agustus 2019

Puisi - Bintang di Hati - Siti Zahara Lubis - Sastra Indonesia Org




Bintang di Hati
Karya: Siti Zahara Lubis

“Hatimu milikku”
Benarkah?
Apakah itu dusta?
Atau hanya ungkapan biasa

Mungkin ...
Tapi itu nyata
Bukan bualan cerita
Atau gombalan semata

Engkau selalu melekat di hatiku
Seperti bintang yang bisa menyinariku selalu


Yang bersinar di langit luas
Dan selalu memandang ke arahku

Terima kasih
Walau namamu bukan bintang
Tapi engkau selalu menjadi bintang di hatiku
Selamanya

Medan, 27 Juni 2019

Biodata:

Siti Zahara Lubis lahir di Medan, 25 November 1993. Salah satu hobinya adalah menulis. Mendapatkan ide dari hobi lainnya yaitu jalan-jalan. Masih merintis untuk menulis berbagai tulisan.

Jumat, 30 Agustus 2019

Puisi - Meraih Bintang - Sriwijayanti - Sastra Indonesia Org




Meraih Bintang
Oleh: Sriwijayanti

Bermimpilah layaknya engkau hidup selamanya
Berlarilah seakan mimpi itu di depanmu
Mantapkan langkahmu
Lihatlah langit yang biru
Untuk membakar semangatmu

Jangan menyerah hanya karena lelah


Tapi beristirahatlah
Mimpimu adalah tujuanmu
Gantungkan tanganmu di langit
Jika jatuh berada di antara bintang-bintang

Brebes, 27 Juni 2019

Biodata:

Sriwijayanti lahir di Brebes, 24 Maret 2001. Suka membaca dan penyuka senja, lebih suka menyendiri dan suasana yang sepi. Penyuka warna ungu dan pink. Selalu bahagia ketika berada di daerah pegunungan dan berharap akan memiliki rumah di sekitar daerah pegunungan.

Kamis, 29 Agustus 2019

Materi - Jangan Memberi Karakter/ Tokoh Tempelan - Sastra Indonesia Org





Pernah dengar karakter/ tokoh tempelan gak? Apa sih tokoh tempelan itu?

Baik, langsung saja saya kasih penjelasannya apa itu tokoh tempelan. Tokoh tempelan yaitu ada atau tidaknya tokoh, tidak akan memengaruhi cerita. Misal nih, ada 6 tokoh tapi sepanjang cerita hanya ada  3 orang yang berperan, dan kalau 3 tokoh lainnya dihilangkan itu tidak akan memengaruhi cerita. Nah, 3 tokoh itulah yang dinamakan tokoh/ karakter tempelan. Silakan simak contoh di bawah ini!

Mawar tiba di kos tepat tengah malam. Di dapur, tampak Dina memasak mi  instan. Ada juga Santi yang sibuk membuat kopi susu.



Kemudian di paragraf/ cerita selanjutanya, hanya Mawar yang dibahas sampai akhir cerita. Nah, itu artinya tokoh yang lain sekadar tempelan. So, lebih baik dihilangkan saja ya 😊. Tidak perlu ditulis.

Namun, akan berbeda kalau di tengah cerita masih ada hubungannya. Misal nih, Dina dan Santi menawarkan makanan dan minuman kepada Mawar. Atau terjadi konflik antara Mawar dan mereka berdua, karena Mawar pulang tengah malam. Nah, berarti Dina dan Santi bukan lagi tokoh/ karakter tempelan, tapi bagian dari proses cerita.

Bagaimana? Sudah paham kan teman-teman? J

Silakan bertanya kalau ada yang mau ditanyakan atau menyanggah ya J.

Sumber: Didapatkan dari berbagai sumber


Puisi - Bintang - Hilda SM - Sastra Indonesia Org




Bintang
Oleh: Hilda SM

Kerlap kerlip cahayamu membawaku pergi
Menjelajahi setiap rindu di hati ini
Menciptakan wajah yang berbinar
Bersama bintang yang bersinar

Bintang
Gemerlapmu membawaku melayang
Bersama berjuta keindahan


Yang memberi langit kehidupan

Bintang, bersamamu langit hidup
Dengan cahayamu langit menjadi indah
Kehadiranmu menciptakan pengharapan
Bahwa kamu dan aku menatap bintang yang sama meski di kejauhan

27 Juni 2019

Biodata:

Nama saya Hilda Siti Maryam. Lahir di Bandung tanggal 28 April 2002. Hobiku menulis, terutama diary dan mungkin semua orang tak tahu itu. Nama ayahku Anda Cuhanda dan ibuku Enung Nurdiyah. Aku 3 bersaudara.

Rabu, 28 Agustus 2019

Puisi - Kepada Bintang - Ria Nur Rahmawati - Sastra Indonesia Org




Kepada Bintang
Karya: Ria Nur Rahmawati

Kepada bintang
Terangilah aku dalam kegelapan
Sampai aku terlelap dalam tidur
Agar aku tidak merasa kesepian

Kepada bintang
Aku celotehkan semua keluh kesah
Getir dan juga serpihan tawa
Dalam baringan, aku pejamkan mata



Kepada bintang
Aku berharap suatu hari nanti
Aku bisa menjadi bintang bersamamu
Bersinar indah di malam gelap
Bercanda ria bersamamu

Nganjuk, 27 Juni 2019

Biodata:

Seorang humoris dan tertutup yang mempunyai 2 nama pena Mowrina & Icis.

Selasa, 27 Agustus 2019

Puisi - Tarian Bintang Meringgis Kalbu - Siti Dianah - Sastra Indonesia Org




Tarian Bintang Meringgis Kalbu
Oleh: Siti Dianah

Sayup kidung menari dalam lambaian dermaga
Atap hitam menutup setiap nestapa kerinduan
Iringan nan sapaan desah angin yang melambai
Menghujan di setiap pelukan bak induk dara
Dalam kabut indah bersemi
Bersua dalam hamparan kasih
Yang terurai di atap kelam nan indah itu
Tarian ringan mengedipkan mata
Bak indahnya bintang kejora lamunanku

Aku menangis
Malam ini kau pergi menurunkan rintak bening penuh kasih


Kau hilang di antara atap kelam itu
Yang kutatap bersama ayah dalam dermaga cinta
Menyiram kalbu yang rindu akan ibu

Tarianmu seolah meringgis kalbu
Hadirmu menjadi gelak embun kalbu yang merindu
Di setiap senyum
Di setiap rindu, melihatmu
Terukir tarian bintang meringgis kalbu

27 Juni 2019

Biodata:

Seorang anak yang rindu akan sosok ibu. Hanya sekedip bintang yang menjadi kenangan untuk mengobati rindunya, ditemani sang ayah. Namun saat hujan tiba anak itu bersedih, ia tak melihat kejoranya lagi  yang selalu  mampu mengobati kerinduan pada sosok ibu.

Senin, 26 Agustus 2019

Puisi - Langit Bersedia - Ferdina Simamora - Sastra Indonesia Org




Langit Bersedia
Oleh: Ferdina Simamora

Langit biru, kembali menjelma jingga
Terpercik sinar mentari sore
Itu yang kita namakan senja
Waktu yang tepat untuk kita menikmati seteguk teh nikmat,
bersama seberkas cahaya redup yang mulai menyinar

Waktu itu …
Di mana pikirku dan pikirmu bertemu dalam satu ruang singgah

Ya … hati

Berdebar jantungku tak karuan
Saat kau raih punggung tanganku
Kau ucap beberapa kata yang membuat nadiku melonjak



“Aku mencintaimu, kejoraku,” katamu.

Kutatap kejora di atas sana, yang tak lagi redup, tak berkerlip
Seperti itulah kau. Indah, unik yang berhasil menyinari hari-hariku

Dua katamu membuat akalku tersesat,
gamang akan pernyataan yang semua orang bisa ucapkan.

Kita berhenti beberapa saat.
Kau menanti jawaban, dan aku dengan segala kebimbangan
Sampai pada akhirnya langit jingga menjelma gelap

“Dampingi saya seperti bulan bersama kejora di langit sana.
Sampai waktu tak lagi dapat kita ukur, dan hari yang tak dapat kita hitung.”
Katamu lagi bersamaan dengan sebulir mutiara di sudut matamu.
Kau tersenyum, bahagia saat hanya kuanggukkan kepala

Medan, 27 Juni 2019

Biodata:

Ferdina Simamora, sukanya disapa, Dina. Lahir tanggal 7 Januari 1999 di Belawan. Si introvert yang melankolis dan ngeselin. Hobinya menulis dan punya cita-cita menjadi seorang novelis. Saat ini kegiatannya hanya bekerja dan mengembangkan hobi. Si gadis yang bermimpi suatu saat nama penanya, DiiAlgiedi, akan lebih di kenal ketimbang namanya.

Minggu, 25 Agustus 2019

Puisi - Belenggu Temaram - Ira Dhamayanti - Sastra Indonesia Org




Belenggu Temaram
Oleh: Ira Dhamayanti

Kepada sang penguasa malam
Teguhkan hatiku dalam liku hidup yang temaram
Sejatinya, jalanku sungguh curam
Sedikit belok, suram!

Seakan ikut campur,
Sulur-sulur datang ikut menghancur


Membelenggu, jadikanku berbaur
Aku hancur

Dalam malam, meratapi kesendirian
Berharap aku datangnya angin kencang
Menyeretku keluar dari belenggu kegelapan
Menuju bintang, mengharap terang

Madiun, 27 Juni 2019

Biodata:

Ira Dhamayanti lahir di Madiun, 22 Januari 2001. Berdomisili di Ds. Ketandan, Dagangan, Madiun, Jawa Timur. Penulis cerpen dan puisi amatiran. Seorang gadis yang suka dan selalu menyambut hal baru. Hobi membaca dan menulis. Untuk lebih mengenalnya bisa menghubungi melalui alamat email ira.dhama@gmail.com.

#Sabtu_Tema - Saat Bunga Kau Taburkan - Siti Alfi Khusnia - Sastra Indonesia Org







Saat Bunga Kau Taburkan
Oleh: Siti Alfi Khusnia



Hari demi hari bagai fatamorgana
Mengingat setiap sendi aroma bunga
Mata tak mampu berpaling dari panorama
Sejuk menggelora dalam jiwa

Aku bahagia dalam setiap detiknya
Pencaran cinta menyelinap dalam setiap kata
Rasa resah yang kulalui tak ada tara
Tapi dirimu datang membawa bahagia

Di taman bunga saat musim semi bermekaran
Kau menebarkan bunga-bunga indah nan rupawan
Menghujani diri ini bagai sang putri kerajaan
Gelak tawa kita saling sematkan

Aku selalu menanti musim semi
Di mana dirimu selalu ada dalam sisi
Menyejukkan kalbu dalam setiap iringan simfoni
Yang kau tunjukkan padaku pada musim semi

Mojokerto, 24 Agustus 2019



Biodata:

Hanya seseorang yang ingin berkarya dalam diam tapi dikenal dunia.

Sabtu, 24 Agustus 2019

Puisi Akrostik - Bintang yang Hilang - Halima Tus Sa'dia - Sastra Indonesia Org




Bintang yang Hilang
Oleh: Halima Tus Sa'dia

Berhias di langit malam
Indah nan terpandang
Netra hadir memandang kilauan terang
Tentang lintang memupuk di jiwa
Andai sang lintang tak pergi
Nabastala senja mengaki langit
Guratan sedih terlukis di coretan nadi

Probolinggo, 27 Juni 2019

Biodata:

Pena Halisya adalah nama pena yang saya buat, nama Halisya pemberian dari Ummi Ian kala saya ingin membuat nama pena. Hobi saya membaca, menulis, dan menggambar.

#Jumat_Cerbung - Mustika Bab 8 - Melepas yang Tak Pernah Terengkuh - Indah Kusuma - Sastra Indonesia Org





Melepas yang Tak Pernah Terengkuh
Karya: Indah Kusuma

Fakta tak akan mengubah apapun. Semua akan tetap berjalan sesuai aturan alam. Namun, fakta akan masa lalu, terkadang bisa merusak apa yang ada di depan mata.
Di tepi sungai, Putra tertunduk. Dia memasrahkan bobotnya pada sebongkah batu besar. Duduk bersila dengan kedua tangan meremas kumpulan helai rambut.
Masih tak percaya. Dia sulit menerima fakta tentang rangkaian ritual yang pernah dilakukan sang ayah di tengah belantara, terlebih asal mula mustika itu. Puasa pati geni (puasa selama 40 hari berturut-turut), semedi, itu masih bisa dia ampuni. Namun, bercinta dengan Nyi Roro Kidul demi harta, Putra murka mendengarnya.
“Jadi, seperti itulah ayahku? Baguslah. Dari dulu aku memang tidak respek padanya.”
Lelaki tua mengambil air dengan kedua telapak tangan. Dia lantas meneguk air bening itu, lalu membasuh wajah. “Bagaimana dengan ibumu?”
Dia berdiri, berkacak pinggang. “Aku tidak peduli dengan mustika itu. Mau Aki buang atau miliki, terserah!”
Putra pergi.
“Tapi kau harus peduli sebab ....”
“Aku tidak mendengarnya,” tukas Putra dengan nada santai.
Maung menarik napas berat. “Sebab dia menawan jiwa ibumu!”
Gerak Putra terhenti. Dia menelan kalimat bersama saliva. Dia berpikir bahwa apa yang diucapkan kakek-kakek itu tidaklah benar. Ibunya ada di rumah, bersamanya. Yah, setidaknya sebelum dia terdampar di tempat ini. Wanita itu nyata dan ada. Dia tidak tertawan.
Keyakinan itu kembali membuat Putra acuh tak acuh. Pria bertubuh proporsional itu melanjutkan perjalanan tanpa menoleh ke belakang, sedikit pun. Dia merasa cukup siap menghadapi hutan belantara di depan.
Itu hanya hutan yang lebat. Pohon-pohon berbaris rapat di sana, di antara semak-semak dan beri. Ada pula tanaman beracun dan hewan-hewan buas, salah satunya harimau malam itu. Bukan harimau dalam wujud sebenarnya, tapi jelmaan dari bangsa jin. Dia tidak sedang berdiri di atas tanah manusia.
Ada banyak makhluk halus yang tak bisa terlihat oleh Putra. Mereka menanti di balik pohon, menatap pria itu dengan sorot mata tak menyenangkan.
“Tunggu!” Maung memangkas langkah Putra. “Jangan pergi ke sana! Ini adalah hutan larangan, penjara bagi kaum jin yang membangkang.”
Putra terbeliak. Gelenyar aneh tetiba menjalar di sekujur tubuhnya. Dingin dan menyesakkan. Dia mulai sulit bernapas, serasa ada sesuatu yang mengimpit lelaki itu. Begitu erat dan kuat. Seolah-olah dia ada di sebuah ruang sempit, sangat sempit hingga tak ada celah untuk bergerak.
“Ana kedawang miber ing tawang alat-alat. Macan sewu ing mripatku. Macan putih ing dhadhaku. Peteng ngampar suwaraku. Ngadoh o sira tekan nisun!” Maung merapal mantra sembari menatap tajam aura kegelapan yang menyergap Putra.
Sesaat kemudian, kepulan asap kelam menampakkan diri dan menjauh perlahan, kembali memasuki hutan. Maung menangkap tubuh Putra, membawanya menjauh dengan cepat. Desa adalah pilihan yang tepat. Paling tidak, dia menemukan tempat singgah hingga Putra tersadar.

҉ ҉ ҉

Narendra mewujud di depan balai agung bersama Kusuma. Perlakuan yang tak menyenangkan dan memalukan, Kusuma sangat tidak menyukai itu. Apalagi Narendra tak memandang di mana mereka sekarang. Di dalam istana, di hadapan pengawal dan dayang, dia tidak akan pernah melupakan hari ini.
Dua pengawal memberi salam—menunjukkan rasa hormat dengan menundukkan kepala—sebelum mempersilakan keduanya memasuki balai agung. Mereka lantas membuka pintu ganda setinggi tiga meter. Terbuat dari emas yang terukir indah, bermotif dedaunan, bunga, dan ular berkepala manusia.
Di dalam, Nyi Roro Kidul menyambut mereka dengan senyuman. Dia tidak sendiri. Safitri, Sekar, dan Lastri berjejer di depan sana. Air muka mereka berbanding terbalik dengan penghuni singgasana, murung dan khawatir.
Kusuma menoleh pada Narendra dan mengingat bagaimana lelaki itu menjemputnya. Ancaman, tidak sopan, dan menyebalkan. Dia bersumpah akan membalas perlakuannya kelak hingga lelaki itu tak mampu kembali berpijak.
Gadis bergaun putih memejamkan mata untuk sesaat. Dalam sepersekian detik perjalanan waktu, bagian lain dari diri Kusuma kembali ke masa yang tidak diketahui. Pertemuan di gua dan alasan Narendra membawanya ke tempat ini, semua terlihat jelas.
Kala mata gadis itu kembali terbuka, irisnya berwarna biru terang dan menyala dalam kurun waktu yang cukup singkat hingga kedipan melenyapkannya. Dia tersenyum manis, lalu menundukkan kepala sebagai balasan untuk keramahtamahan Nyi Roro Kidul.
“Salam untukmu, Ibunda. Ada apakah gerangan hingga Ibunda menugaskan Narendra untuk menjemput hamba ... dengan cara tidak santun?” Kusuma melirik tajam pria di sampingnya.
“Salam untukmu, Putriku.” Penguasa pantai selatan itu beranjak mendekati Kusuma. Helai panjang selendang hijaunya menyapu permadani. Sesekali angin mengangkat kain panjang itu dan menurunkannya dengan layak. “Kamu pasti telah mengetahui alasannya. Siapa dia?”
Kusuma tak gentar. Alih-alih cemas, dia malah menertawakan kegalakan Nyi Roro Kidul.
“Maaf, Ibunda. Kenapa ini terkesan begitu penting? Dia hanya manusia yang tersesat. Dia juga tidak menginginkan apa pun dari hamba.”
“Oh, benarkah? Seingatku, tidak ada manusia yang datang tanpa meminta, Kusuma.”
Nyi Roro berjalan perlahan, mengitari putrinya. “Apa kamu telah lupa? Lima belas tahun yang lalu, kamu pernah beranggapan serupa terhadap seorang manusia. Dia hanya butuh ketenangan, menikmati pantai, dan debur ombaknya. Namun fakta berkata lain, dia menginginkan hal yang lain, yang .... Ah, manusia itu serakah, Kusuma.”
“Tapi dia berbeda,” sergah gadis itu, “dia datang untuk mengembalikan mustika. Akan tetapi, ada kaum kita yang menyesatkan dia dan merampas benda itu.”


Nyi Roro berkerut kening. Sementara dua gadis di sana, Sekar dan Lastri, terperanjat sebab tahu siapa yang dimaksud Kusuma.
“Mustika?” lirih wanita bermahkota emas.
Kusuma menunduk. “Hamba mohon, izinkan hamba mencarinya dan mengembalikan dia ke dunia manusia. Hamba sudah berjanji padanya, Ibunda.”
Sebelah alis Nyi Roro terangkat bersamaan dengan seringai tipis yang hampir tak terlihat. Lantas, dia menaiki undakan guna menuju ke singgasana. “Aku penasaran, seperti apa dia hingga kamu membantah ucapanku, Kusuma!”
“Ibunda!” Kusuma meraih pergelangan tangan Nyi Roro Kidul. “Hamba sudah berjanji. Hamba mohon.”
Nyi Roro mengumpulkan energi di ujung lengan. Setelah terasa cukup, dia mengempas tangan Kusuma dan melempar tubuh gadis itu sebagai peringatan. Dalam sekejap, dia telah berdiri di depan putrinya yang sempat berciuman dengan dinding balai agung.
Safitri tersentak, begitu pula dua gadis di sana. Lain halnya dengan Narendra, dia tampak menikmati adegan itu. Situasi yang tak bisa dihentikan. Mereka hanya bisa menjadi penonton dan mungkin akan menjadi pemantik isu di kerajaan.
“Aku telah memperingatkanmu. Jangan pernah mendekati manusia! Jadilah putriku yang baik,” ucapnya sembari mengelus pipi Kusuma. Dia kembali berdiri dan berkata, “Safitri, jaga dia lebih baik lagi. Jika tidak, nyawamulah yang akan kulenyapkan.”
Safitri menundukkan kepala dan bergegas menghampiri Kusuma setelah kepergian Nyi Roro Kidul. Dia membantu Kusuma berdiri, lalu memperbaiki penampilannya. Beberapa kali dia mengelus punggung gadis itu untuk memastikan.
“Aku baik-baik saja.” Ucapan yang berbeda dari apa yang terlihat di mata. Dia tidak baik-baik saja setelah menerima perlakuan seperti itu, tidak. Hati, juga harga dirinya sedang terinjak. Memulihkannya tidaklah mudah. Kusuma telah menobatkan hari ini sebagai hari terburuk sepanjang hidup.
“Emm, maaf. Aku tidak menyukai momen seperti ini. Hanya ingin berpesan, lebih baik urungkan niatmu sebab aku tidak akan membiarkan dia kembali.”
Kusuma mendongak. Cara pandang Narendra bukanlah omong kosong belaka. Lelaki itu bagai palung laut yang begitu gelap hingga tak terbaca ujungnya. Entah apa yang dia rencanakan, Kusuma tidak bisa menemukan itu. Bahkan ketika dia telah menelusuri jejak Narendra di masa lalu, dia belum mendapatkan apapun.
“Hamba permisi, Putri.” Sikap santun Narendra memuakkan. Kusuma memalingkan muka, sebab tak ingin melihat perilaku palsu itu.
“Sekar, Lastri!” Safitri melihat ke belakang, mencari dua gadis yang seharusnya masih di sana. “Di mana mereka?”
Wanita itu menggeleng, lalu membawa Kusuma lenyap dari ruang itu dan hadir kembali di tempat yang berbeda, bilik sang Putri. Ruang luas nan indah beraroma Lily Velley. Gadis penyuka warna putih itu duduk di sudut ranjang, meredam amarah dan kepedihan yang berada di pangkal tenggorokan.
Sementara Safitri menyiapkan air hangat, Kusuma mendekati jendela. Dalam hati dia bertanya, Di mana pria itu? Akankah dia baik-baik saja?
“Yang Mulia.” Safitri menghampirinya. Dia tak ingin melihat kepedihan di mata gadis itu. Bila mungkin, dia ingin menyodorkan pundaknya sebagai sandaran.
“Kenapa? Kenapa seperti ini, Safitri? Tidakkah dia begitu egois? Hhh, aku ingin menangis.”
Safitri tertawa kecil. “Putri, kita bukan manusia yang bisa menitikkan air mata.”
“Apa aku boleh mandi sekarang?”
Guyonan ringan selalu mampu meredam emosi meski hanya sementara. Kusuma tersenyum. Walau tak selepas biasanya, tapi cukup sebagai pertanda bahwa dia tidak lagi dirundung kesedihan.
Dan air hangat yang disiapkan Safitri, tentu akan merelakskan. Kenyamanannya akan membuat magma di kepala Kusuma mereda. Tak lupa, aroma wewangian yang akan menyenangkan dihirup lama-lama. Cara termudah untuk mengalihkan amarah adalah memanjakan tubuh.
Ketika jemari kaki Kusuma menyapa genang air itu, ah, seperti ada belai manja yang siap menerima tubuhnya dan menjanjikan kenyamanan hingga pemiliknya bosan. Dia menenggelamkan tubuh, seakan-akan tak ingin lagi melihat dunia. Matanya terpejam. Tak bergerak. Gelitik bunga yang menyapa pundak pun tidak dia hiraukan. Setelah cukup lama bermain kematian, Kusuma menaikkan kepala ke permukaan.
Dia duduk di tepian kolam, melepas kain sutra yang basah, dan membiarkan sehelai tetap melingkar di tubuhnya. Sayup-sayup terdengar lantunan syair, tentang kerinduan dan pengharapan, kidung lara yang selalu dia nyanyikan bila lelah menatap dunia.
Kusuma menyabuni tangan, pundak, dan berlama-lama mengusap leher hingga banyak busa tercipta. Jauh di dalam lubuk hati, dia ingin belaian jemari-jemari yang akan memanjakannya dengan cinta. Kisah-kisah para dayang tentang gairah para manusia, sering kali membuatnya penasaran. Seperti apa rasanya? Bagaimana mereka melakukannya?
Namun, semua keinginan itu terpatahkan oleh peraturan yang ditetapkan ibundanya. Entah mengapa peraturan itu diciptakan hanya untuk dia? Nyi Roro Kidul tidak pernah mengungkap alasan maupun tujuan, hanya doktrin-doktrin kebencian yang dia dapatkan.
Pendar biru menyala di sudut ruang. Kemunculan Nawala, sedikit mengejutkan dan dia tahu lelaki itu bukan ancaman.
“Salam untukmu, Yang Mulia. Anda memanggil hamba?” Nawala menunduk, enggan melihat pemandangan apik di sana.
“Salam untukmu, Nawala. Sudahkah kau menemukannya?” tanya Kusuma sembari meraup air untuk membasuh muka.
“Hamba belum berhasil menemukannya. Sepertinya, ada seseorang yang menyelimutinya dengan kabut tak kasat mata, sebab jejaknya tak bisa hamba rasakan.”
“Kemarilah!”
Perintah itu mengejutkan. Nawala mendongak, mengunci pandangan dan berharap permintaan itu tak pernah ada. “Maafkan hamba yang terlalu lancang,” ucapnya sebelum kembali menundukkan kepala.
Kusuma tersenyum simpul. Dia mengintip gelagat Nawala lewat sudut mata. Kemudian, dia mendesah dan meletakkan kedua tangan di sisi badan. “Kamu tidak lancang, tapi aku. Bisakah kamu mencari tahu apa alasan Ibunda melarangku mendekati manusia?”
Nawala kembali mengangkat kepala. “Yang Mulia, hamba mohon, berhentilah melewati batas!”
Kusuma berpindah tempat dengan cepat. Dia menatap tajam lelaki yang telah menentangnya. Begitu dekat hingga membuat Nawala terperanjat. Dia yang tak memiliki keberanian untuk membalas tatapan itu, membuang muka ke kiri.
“Batas? Aku sudah melewatinya sejak lama dan kau tahu itu.” Kusuma mundur dan membelakangi Nawala. “Jika kau menemukannya, kembalikan dia ke dunia manusia sebab aku tidak ingin ibunda memilikinya.”



Biodata:

Penulis yang hobi diem di pojokan perpustakaan ini telah merampungkan novel ketiganya. Kini sedang menanti dua antologi yang akan segera terbit.