Sumber pixabay |
Mata ini tertunduk
menatap lantai, tak mampu memandang teman-teman yang lain. Aku malu karena
terlambat, meskipun guru belum ada yang datang.
Sebenarnya mereka
cuek dengan kehadiranku. Tidak ada satu pun yang memperhatikan. Gadis tidak
cantik dan tidak pintar sepertiku, pastinya tidak akan yang memedulikan. Bahkan
mungkin tidak disadari keberadaannya.
Aku berjalan
melintasi papan tulis, menuju tempat dudukku yang berada di pojok belakang.
Tepat di bawah jendela.
Belum sampai ke
tempatku duduk, tiba-tiba sebuah gulungan kertas menimpa kepala.
"Aduh!"
kataku lirih.
Kemudian diikuti
tawa berderai teman-temanku. Tidak ada permintaan maaf dari siapa pun. Aku
menatap ke sekeliling dengan wajah penuh amarah. Mereka, bukannya takut malah
saling berbisik dan menahan tawa. Sudah biasa aku melihat tingkah mereka.
Iya, sejak kelas
sepuluh aku memang selalu menjadi bahan ejekan. Mereka bilang penampilanku
aneh. Wajahku jelek karena berbintik. Rambutku kriting tak beraturan, padahal
aku sudah menyisir dan memberi vitamin rambut setiap hari.
Aku semakin
menunduk, bergegas duduk di kursi. Tampak di sana, Saga sudah meletakkan kepala
di meja, mungkin dia tidur seperti biasanya.
Aku menatap pria
itu, sepertinya hidup Saga nyaman sekali, tidak ada beban. Apa pun yang orang
bilang, dia tidak peduli. Bahkan pria itu bisa melawan baik melalui verbal
maupun fisik. Aku menghela napas lagi.
Kepala aku taruh di
atas meja, mengikuti Saga. Pandangan, aku arahkan menatap belakang kepala pria
berambut lurus itu. Dia satu-satunya teman yang tidak pernah protes terhadap
penampilanku. Aku tersenyum, sangat bersyukur memiliki teman sebangku
sepertinya.
Tiba-tiba dia
berbalik dan menatapku. Aku terbelalak lalu mengangkat kepala. Mata nyalang
menatap asal ke arah lain. Entah apa yang terjadi dengan wajahku, karena pipi
rasanya hangat. Jantung juga berdebar aneh.
"Woi! Culun!
Hapus papan tulis!" teriak seseorang.
Aku melihat
seseorang berdiri di depan kelas, Siska, dia menatap tajam ke arahku.
"Woi! Jangan
pura-pura nggak denger!" Kembali teriakan terdengar. Siska masih
menatapku. Ah, pasti yang dimaksud culun adalah aku.
"Yuni!"
teriaknya memanggil nama.
"Apa,"
jawabku tak kalah tajam.
"Hapus papan
tulis!"
Aku membuang muka.
Di antara semua, kenapa hanya aku yang disuruh? Toh, hari ini bukan jadwalku
piket.
"Yun,
buru!"
"Ini bukan
jadwal piketku," sanggahku pelan. Rambut kritingku yang tergerai bergerak
mengikuti arah kepala menatap Siska--gadis cantik berambut pendek.
"Memang, tapi
... sepertinya kamu nggak keberatan bantu kami yang piketkan? Atau ... mau
nasib ban motor kamu kayak kemarin." Siska tersenyum sinis penuh
kemenangan.
Aku beranjak maju ke
depan kelas dengan jengkel. Menghapus papan tulis sisa pelajaran kemarin. Marah
sebenarnya, tapi aku tak memiliki kemampuan untuk menolak ataupun melawan.
"Duh!
Pelan-pelan, dong."
Siska yang masih
berada di dekatku melambaikan tangan mengusir debu yang berterbangan. Lah,
salah siapa dia masih di situ. Aku hanya meliriknya sekilas. Wajah cantiknya
menunjukan kekesalan. Bibir tipisnya mengerucut, sejenak aku merasa iri, bahkan
dalam kondisi seperti itu pun dia masih terlihat cantik. Namun, aku segera
menggelengkan kepala. Siska tidak pantas aku irikan karena sikapnya yang tak
pernah menghargai orang lain.
Selesai menghapus,
tangan kucuci di tempat cuci tangan yang ada di sudut depan ruang kelas.
Diletakkan bersebelahan dengan tiang bendera.
Sebelum melangkah ke
arah kursiku, aku melirik jam di dinding belakang. Waktu sudah menunjukkan
pukul 07.07, sebentar lagi guru pasti akan datang. Bergegas aku kembali. Saat
itulah teman-temanku tertawa. Menunjuk diriku yang tak tahu apa-apa.
"Kamu jadi
bahan tertawaan kok diem aja? Lawan." Suara Saga mengagetkanku. Akhirnya
setelah satu Minggu duduk semeja, pria aneh di sampingku ini buka suara.
Aku menggeleng
sebagai jawaban. Dia berdecak sebal. Lalu menaruh kepalanya kembali di meja.
Aku sadar, sebagai
orang yang tampak aneh bagi mereka, tak punya pilihan lain selain menuruti
semua perintah agar bisa 'hidup' layak. Dalam arti, tidak diganggu.
Meski memang aku
adalah sasaran empuk bully-an.
Sikapku menghadapi mereka, biasa saja. Tidak melawan adalah cara yang aman
untuk lolos dari bentuk kekerasan lain.
Mereka masih saja
melirikku, menahan tawa sambil berisik-bisik. Sadar ada sesuatu yang salah. Aku
segera memeriksa sekujur tubuh, menepuk di beberapa bagian termasuk kepala. Ah,
jadi ini yang membuat mereka tertawa. Debu bekas kapur tadi menempel di atas
kepalaku. Putih seperti salju. Ck! Ternyata hanya hal sepele bisa membuat
mereka bahagia. Jadi, kejelekanku cukup bermanfaat untuk orang lain.
"Selamat
pagi," sapa Pak Anton. Setelah membuka pintu kelas. Sapaannya disambut
serempak oleh kami.
Aku melirik Saga,
pria aneh itu masih di posisinya semula. Tanganku rasanya gatal ingin
membangunkannya, tetapi sekali lagi, aku takut.
Pak Anton
menerangkan tentang dimensi tiga. Semua anak mencatat tak terkecuali aku.
Setiap apa yang diucapkan ataupun ditulis guru, sebisa mungkin harus kucatat.
Sebagai siswa yang tak pintar, tak ada alasan hanya duduk tenang mendengar.
Terlebih aku tidak memiliki teman, jadi tidak ada satu pun orang yang bisa
kumintai tolong untuk menjelaskan atau sekadar mengajari. Aku harus mandiri.
Semua siswa sangat
tenang mendengarkan penjelasan pria berkacamata itu. Sikap tegasnya yang tak
memberi ampun kepada siswa yang bicara sendiri atau ramai, cukup membuat mereka
takut membuka suara.
"Kalau kalian
tidur, itu tidak masalah bagi saya. Asal, jangan bicara sendiri. Kasihan orang
yang ingin pintar, terganggu oleh suara kalian." Itu perkataan beliau saat
pertama kali kami bertemu di kelas 12 ini. Dan Pak Anton memang membuktikan,
tidak peduli siswa yang ngobrol adalah anak pintar, tetap mendapat hukuman
darinya.
Aku melirik pria
yang ada di sebelahku. Melihat cara tidurnya membuatku terganggu. Dengan posisi
seperti itu, apa dia tidak merasakan pegal. Akhirnya, aku memberanikan diri
mengusiknya. Toh, Saga tidak seperti anak-anak lain. Dia tampak baik. Terbukti
dari perhatiannya tadi.
"Saga,"
bisikku. Takut jika Pak Anton mendengar suaraku.
Tubuh Saga bergerak
perlahan. Namun, tidak bangun.
"Saga."
Kembali aku mengulang panggilan. Sekarang dengan menarik bagian samping
seragamnya.
Kepala Saga tegak,
lalu menoleh. Tatapan kami bertemu. Tampak matanya merah. Ternyata dia memang
tidur beneran, aku tersenyum melihat tampangnya yang tampak lucu. Pria itu
kembali meletakkan kepalanya, bedanya dia mengarahkan wajahnya ke arahku.
"Bangun,"
perintahku, pipiku kembali panas. Jantung berdegup kencang. Ada rasa aneh yang
merambat di hati.
Pria itu masih
menatapku dalam diam. Aku salah tingkah, pandangan kulayangkan ke arah depan.
Berusaha kembali berkonsentrasi pada penjelasan Pak Anton.
Kulirik sekilas,
Saga tersenyum, badannya ditegakkan, berdiri lalu izin keluar. Beberapa menit
kemudian, dia kembali dengan kepala basah dan wajah segar. Menimbulkan
pertanyaan di wajah teman-teman yang menatapnya heran. Terutama aku. Senyum
kukulum melihat pemandangan yang langka ini. Menyimpannya baik-baik di dalam
ingatan.
Saga kembali duduk
di sebelah. Matanya menatap ke depan, mendengarkan penjelasan Pak Anton.
Bahkan, saat pria yang berusia sekitar 50 tahun itu melempar soal, Saga mampu
menjawabnya dengan tepat. Dahiku mengernyit. Menatap kagum padanya. Benar-benar
manusia aneh dan ajaib.
Setelah Pak Anton
berpamitan karena bel pergantian pelajaran berbunyi, kuberanikan diri untuk
bertanya.
"Kok
bisa?"
"Apanya?"
"Mengerjakan
soal itu, padahal kamu tidak mendengarkan dari awal."
Saga mengangkat
bahu, kemudian dia kembali tidur lagi.
"Jangan berani
membangunkan aku lagi. Kalau masih ngeyel pindah dari sini."
"Kamu nggak
takut dimarahi guru karena tidur di kelas?"
Pria itu mengangkat
kepala. Membuatku terlonjak kaget, hingga badanku undur.
"Cerewet."
"Mau ke mana?
Saga!" Pria itu tidak menjawab, badannya hilang di balik pintu.
Teriakanku ternyata
membuat banyak mata menatap, lalu terdengar kembali tawa dan bisik-bisik.
"Orang kaya dia
mau ngerayu Saga. Padahal Saga disodorin cewek cantik aja ogah. Apalagi
dia"
"Huuh, lihat
kacamata yang tebel, wajahnya yang kusam. Nggak sadar diri. Heran kenapa Saga
nggak ngusir dia, ya?"
"Kasihan
mungkin. Mau duduk di mana coba?" Kedua gadis berwajah ayu itu tertawa
sambil menutupi mulutnya.
"Duduk di
lantai pun nggak apa-apa padahal." Kali ini terdengar gelak tawa dari
bibir mereka.
"Kenapa kalian
menatapku seperti itu?" tanyaku dengan penuh keberanian.
"Nggak
apa-apa," jawab salah satu dari mereka. Namun, tetap tertawa.
Aku menunduk,
menatap buku pelajaran selanjutnya. Sesekali memainkan bolpoin atau sekadar
mencorat-coret. Suara bising yang melukai hati perlahan pudar berganti topik
lain yang lebih menarik bagi mereka. Pergi ke Mall, nonton, membahas gosip para artis, hingga make up. Dan juga membicarakan teman
pria mereka.
Hingga bel istirahat
pertama berbunyi, Saga tak kembali lagi ke kelas. Aku menatap kursi kosong di
sebelahku. Tas masih ada di sana. Kemungkinan dia masih ada di sekolah. Aku
menghela napas. Saga sangat terkenal di sekolah. Selain wajahnya yang rupawan,
juga karena sikap buruknya yang suka tidur di kelas, membolos juga berkelahi.
Tak heran, tidak ada yang berani duduk bersamanya. Mereka bilang Saga tipe
orang yang cuek.
Namun, selama duduk
dengan Saga, aku tak pernah terganggu olehnya. Meskipun dia cuek, dia tetap
menganggapku sebagai teman.
Hari ini, aku
memutuskan untuk duduk diam di kelas. Kadang membaca, membersihkan papan tulis,
atau mendengarkan lagu di ponsel.
Lagu Alan Walker
mengalun merdu. Sesekali mulut ikut bersenandung lirih. Tiba-tiba terdengar
keributan. Orang berteriak lalu bunyi sesuatu menabrak pintu kelas. Tampak Saga
berkelahi dengan teman sekelas kami yang lain. Saling memukul, saling mendorong
dan saling memaki.
Beberapa orang lain
melerai tetapi tak diacuhkan. Bahkan ada yang tak sengaja terkena pukul.
Orang-orang menjauh, lalu guru datang. Mereka berhenti. Keduanya dibawa guru
tersebut ke ruang BP, aku melihat mereka tanpa berkedip. Kaget. Kasak-kusuk
terdengar dari beberapa siswa yang memasuki kelas.
"Saga nggak
terima anak-anak ngejek Yuni," kata siswa yang berambut sebahu.
"Mungkin
pacaran mereka," timpal siswa lain yang mengikat rambutnya.
"Masak Saga mau
sama Yuni?" Siswa berambut sebahu bertanya penasaran.
"Nyatanya dia
marah saat nama Yuni diejek."
"Nggak
tahulah."
Mereka duduk, tetapi
pandangan sesekali tertuju padaku. Aku tak percaya dengan perkataan mereka.
Namun, apa yang kulihat barusan seolah membenarkan ucapan mereka. Padangan Saga
sesaat sebelum guru BP membawanya seolah menyiratkan sesuatu.
Seharian itu, aku
sama sekali tak fokus pada mata pelajaran, masih memikirkan Saga dan omongan
yang beredar. Aku memutuskan akan bertemu dengannya saat bel terakhir berbunyi.
Bel berbunyi, semua
teman berhamburan ke luar, aku tetap duduk. Sengaja, menanti Saga, untuk
menginterogasinya.
Benar saja orang
yang sepuluh menit lalu kunanti itu muncul. Wajahnya lebam di beberapa tempat,
juga ada yang tergores. Dia menghampiri meja kami.
"Ga!
Kenapa?" tanyaku.
"Apanya?"
"Alasan kamu
berkelahi."
"Kamu pasti
sudah dengar. Karena gosip tak butuh waktu lama untuk menyebar."
"Jadi, bener?
Kenapa?"
"Aku nggak suka
cewek lemah kaya kamu."
"Lalu, kenapa
kamu berkelahi sama orang yang ngejek aku? Kenapa nggak kamu biarin aja."
"Aku nggak
terima mereka mencelakakan orang yang perhatian sama aku."
"Mencelakakan?
Maksudmu?"
"Entah, apa
yang akan mereka lakukan, hanya saja aku tadi dengar mereka akan mengempeskan
ban motormu."
"Hah? Lagi?
Kenapa?"
"Nggak
tahu." Saga mengangkat bahu.
"Apa salahku,
Ga?" tanyaku lirih.
"Kamu nggak
salah, mereka yang salah."
"Tunggu! Kamu
tadi bilang perhatian? Aku?" Aku menahan saat pria itu akan beranjak
pergi.
Aku mengingat
kembali momen kedekatan kami. Sebenarnya tidak ada yang istimewa. Karena kami
baru seminggu duduk bersama, dan baru hari ini saling bicara. Aku tidak
mengingat satu hal pun.
"Saat aku nggak
bawa buku paket, kamu menyodorkan punyamu. Saat aku tidur kamu sering berusaha
membangunkan aku. Saat aku nggak bawa alat tulis, kamu meminjamkan."
"Itu kan hal
biasa, Ga."
"Bahkan tak
penting bagi orang lain. Tapi bagiku, itu perhatian yang tulus. Kamu tidak
mengharap imbalan dariku."
Aku
menangkap kesungguhan di matanya. Baru kali ini aku mendapat perhatian dari
seorang kawan. Dari orang yang selalu dinilai negatif, malah lebih memiliki
empati dari orang yang selalu dianggap baik. Sejak saat itu, kami berteman.
Namun, sikapnya tak berubah, masih sama seperti dulu. Ibarat mengerjakan soal,
Saga selalu remidi.
Yogyakarta, 18 Juli 2019
Biodata:
Seorang
ibu rumah tangga biasa yang menyukai literasi. Menulis menjadi hobinya kini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.