Jumat, 19 Juli 2019

#Kamis_Cerpen - Remidi - Suranti Vulka - Sastra Indonesia Org



Sumber pixabay


Mata ini tertunduk menatap lantai, tak mampu memandang teman-teman yang lain. Aku malu karena terlambat, meskipun guru belum ada yang datang.
Sebenarnya mereka cuek dengan kehadiranku. Tidak ada satu pun yang memperhatikan. Gadis tidak cantik dan tidak pintar sepertiku, pastinya tidak akan yang memedulikan. Bahkan mungkin tidak disadari keberadaannya.
Aku berjalan melintasi papan tulis, menuju tempat dudukku yang berada di pojok belakang. Tepat di bawah jendela.
Belum sampai ke tempatku duduk, tiba-tiba sebuah gulungan kertas menimpa kepala.
"Aduh!" kataku lirih.
Kemudian diikuti tawa berderai teman-temanku. Tidak ada permintaan maaf dari siapa pun. Aku menatap ke sekeliling dengan wajah penuh amarah. Mereka, bukannya takut malah saling berbisik dan menahan tawa. Sudah biasa aku melihat tingkah mereka.
Iya, sejak kelas sepuluh aku memang selalu menjadi bahan ejekan. Mereka bilang penampilanku aneh. Wajahku jelek karena berbintik. Rambutku kriting tak beraturan, padahal aku sudah menyisir dan memberi vitamin rambut setiap hari.
Aku semakin menunduk, bergegas duduk di kursi. Tampak di sana, Saga sudah meletakkan kepala di meja, mungkin dia tidur seperti biasanya.
Aku menatap pria itu, sepertinya hidup Saga nyaman sekali, tidak ada beban. Apa pun yang orang bilang, dia tidak peduli. Bahkan pria itu bisa melawan baik melalui verbal maupun fisik. Aku menghela napas lagi.
Kepala aku taruh di atas meja, mengikuti Saga. Pandangan, aku arahkan menatap belakang kepala pria berambut lurus itu. Dia satu-satunya teman yang tidak pernah protes terhadap penampilanku. Aku tersenyum, sangat bersyukur memiliki teman sebangku sepertinya.
Tiba-tiba dia berbalik dan menatapku. Aku terbelalak lalu mengangkat kepala. Mata nyalang menatap asal ke arah lain. Entah apa yang terjadi dengan wajahku, karena pipi rasanya hangat. Jantung juga berdebar aneh.
"Woi! Culun! Hapus papan tulis!" teriak seseorang.
Aku melihat seseorang berdiri di depan kelas, Siska, dia menatap tajam ke arahku.
"Woi! Jangan pura-pura nggak denger!" Kembali teriakan terdengar. Siska masih menatapku. Ah, pasti yang dimaksud culun adalah aku.
"Yuni!" teriaknya memanggil nama.
"Apa," jawabku tak kalah tajam.
"Hapus papan tulis!"
Aku membuang muka. Di antara semua, kenapa hanya aku yang disuruh? Toh, hari ini bukan jadwalku piket.
"Yun, buru!"
"Ini bukan jadwal piketku," sanggahku pelan. Rambut kritingku yang tergerai bergerak mengikuti arah kepala menatap Siska--gadis cantik berambut pendek.
"Memang, tapi ... sepertinya kamu nggak keberatan bantu kami yang piketkan? Atau ... mau nasib ban motor kamu kayak kemarin." Siska tersenyum sinis penuh kemenangan.
Aku beranjak maju ke depan kelas dengan jengkel. Menghapus papan tulis sisa pelajaran kemarin. Marah sebenarnya, tapi aku tak memiliki kemampuan untuk menolak ataupun melawan.
"Duh! Pelan-pelan, dong."
Siska yang masih berada di dekatku melambaikan tangan mengusir debu yang berterbangan. Lah, salah siapa dia masih di situ. Aku hanya meliriknya sekilas. Wajah cantiknya menunjukan kekesalan. Bibir tipisnya mengerucut, sejenak aku merasa iri, bahkan dalam kondisi seperti itu pun dia masih terlihat cantik. Namun, aku segera menggelengkan kepala. Siska tidak pantas aku irikan karena sikapnya yang tak pernah menghargai orang lain.
Selesai menghapus, tangan kucuci di tempat cuci tangan yang ada di sudut depan ruang kelas. Diletakkan bersebelahan dengan tiang bendera.
Sebelum melangkah ke arah kursiku, aku melirik jam di dinding belakang. Waktu sudah menunjukkan pukul 07.07, sebentar lagi guru pasti akan datang. Bergegas aku kembali. Saat itulah teman-temanku tertawa. Menunjuk diriku yang tak tahu apa-apa.
"Kamu jadi bahan tertawaan kok diem aja? Lawan." Suara Saga mengagetkanku. Akhirnya setelah satu Minggu duduk semeja, pria aneh di sampingku ini buka suara.
Aku menggeleng sebagai jawaban. Dia berdecak sebal. Lalu menaruh kepalanya kembali di meja.
Aku sadar, sebagai orang yang tampak aneh bagi mereka, tak punya pilihan lain selain menuruti semua perintah agar bisa 'hidup' layak. Dalam arti, tidak diganggu.
Meski memang aku adalah sasaran empuk bully-an. Sikapku menghadapi mereka, biasa saja. Tidak melawan adalah cara yang aman untuk lolos dari bentuk kekerasan lain.
Mereka masih saja melirikku, menahan tawa sambil berisik-bisik. Sadar ada sesuatu yang salah. Aku segera memeriksa sekujur tubuh, menepuk di beberapa bagian termasuk kepala. Ah, jadi ini yang membuat mereka tertawa. Debu bekas kapur tadi menempel di atas kepalaku. Putih seperti salju. Ck! Ternyata hanya hal sepele bisa membuat mereka bahagia. Jadi, kejelekanku cukup bermanfaat untuk orang lain.
"Selamat pagi," sapa Pak Anton. Setelah membuka pintu kelas. Sapaannya disambut serempak oleh kami.
Aku melirik Saga, pria aneh itu masih di posisinya semula. Tanganku rasanya gatal ingin membangunkannya, tetapi sekali lagi, aku takut.
Pak Anton menerangkan tentang dimensi tiga. Semua anak mencatat tak terkecuali aku. Setiap apa yang diucapkan ataupun ditulis guru, sebisa mungkin harus kucatat. Sebagai siswa yang tak pintar, tak ada alasan hanya duduk tenang mendengar. Terlebih aku tidak memiliki teman, jadi tidak ada satu pun orang yang bisa kumintai tolong untuk menjelaskan atau sekadar mengajari. Aku harus mandiri.
Semua siswa sangat tenang mendengarkan penjelasan pria berkacamata itu. Sikap tegasnya yang tak memberi ampun kepada siswa yang bicara sendiri atau ramai, cukup membuat mereka takut membuka suara.
"Kalau kalian tidur, itu tidak masalah bagi saya. Asal, jangan bicara sendiri. Kasihan orang yang ingin pintar, terganggu oleh suara kalian." Itu perkataan beliau saat pertama kali kami bertemu di kelas 12 ini. Dan Pak Anton memang membuktikan, tidak peduli siswa yang ngobrol adalah anak pintar, tetap mendapat hukuman darinya.
Aku melirik pria yang ada di sebelahku. Melihat cara tidurnya membuatku terganggu. Dengan posisi seperti itu, apa dia tidak merasakan pegal. Akhirnya, aku memberanikan diri mengusiknya. Toh, Saga tidak seperti anak-anak lain. Dia tampak baik. Terbukti dari perhatiannya tadi.
"Saga," bisikku. Takut jika Pak Anton mendengar suaraku.
Tubuh Saga bergerak perlahan. Namun, tidak bangun.
"Saga." Kembali aku mengulang panggilan. Sekarang dengan menarik bagian samping seragamnya.
Kepala Saga tegak, lalu menoleh. Tatapan kami bertemu. Tampak matanya merah. Ternyata dia memang tidur beneran, aku tersenyum melihat tampangnya yang tampak lucu. Pria itu kembali meletakkan kepalanya, bedanya dia mengarahkan wajahnya ke arahku.
"Bangun," perintahku, pipiku kembali panas. Jantung berdegup kencang. Ada rasa aneh yang merambat di hati.
Pria itu masih menatapku dalam diam. Aku salah tingkah, pandangan kulayangkan ke arah depan. Berusaha kembali berkonsentrasi pada penjelasan Pak Anton.
Kulirik sekilas, Saga tersenyum, badannya ditegakkan, berdiri lalu izin keluar. Beberapa menit kemudian, dia kembali dengan kepala basah dan wajah segar. Menimbulkan pertanyaan di wajah teman-teman yang menatapnya heran. Terutama aku. Senyum kukulum melihat pemandangan yang langka ini. Menyimpannya baik-baik di dalam ingatan.


Saga kembali duduk di sebelah. Matanya menatap ke depan, mendengarkan penjelasan Pak Anton. Bahkan, saat pria yang berusia sekitar 50 tahun itu melempar soal, Saga mampu menjawabnya dengan tepat. Dahiku mengernyit. Menatap kagum padanya. Benar-benar manusia aneh dan ajaib.
Setelah Pak Anton berpamitan karena bel pergantian pelajaran berbunyi, kuberanikan diri untuk bertanya.
"Kok bisa?"
"Apanya?"
"Mengerjakan soal itu, padahal kamu tidak mendengarkan dari awal."
Saga mengangkat bahu, kemudian dia kembali tidur lagi.
"Jangan berani membangunkan aku lagi. Kalau masih ngeyel pindah dari sini."
"Kamu nggak takut dimarahi guru karena tidur di kelas?"
Pria itu mengangkat kepala. Membuatku terlonjak kaget, hingga badanku undur.
"Cerewet."
"Mau ke mana? Saga!" Pria itu tidak menjawab, badannya hilang di balik pintu.
Teriakanku ternyata membuat banyak mata menatap, lalu terdengar kembali tawa dan bisik-bisik.
"Orang kaya dia mau ngerayu Saga. Padahal Saga disodorin cewek cantik aja ogah. Apalagi dia"
"Huuh, lihat kacamata yang tebel, wajahnya yang kusam. Nggak sadar diri. Heran kenapa Saga nggak ngusir dia, ya?"
"Kasihan mungkin. Mau duduk di mana coba?" Kedua gadis berwajah ayu itu tertawa sambil menutupi mulutnya.
"Duduk di lantai pun nggak apa-apa padahal." Kali ini terdengar gelak tawa dari bibir mereka.
"Kenapa kalian menatapku seperti itu?" tanyaku dengan penuh keberanian.
"Nggak apa-apa," jawab salah satu dari mereka. Namun, tetap tertawa.
Aku menunduk, menatap buku pelajaran selanjutnya. Sesekali memainkan bolpoin atau sekadar mencorat-coret. Suara bising yang melukai hati perlahan pudar berganti topik lain yang lebih menarik bagi mereka. Pergi ke Mall, nonton, membahas gosip para artis, hingga make up. Dan juga membicarakan teman pria mereka.
Hingga bel istirahat pertama berbunyi, Saga tak kembali lagi ke kelas. Aku menatap kursi kosong di sebelahku. Tas masih ada di sana. Kemungkinan dia masih ada di sekolah. Aku menghela napas. Saga sangat terkenal di sekolah. Selain wajahnya yang rupawan, juga karena sikap buruknya yang suka tidur di kelas, membolos juga berkelahi. Tak heran, tidak ada yang berani duduk bersamanya. Mereka bilang Saga tipe orang yang cuek.
Namun, selama duduk dengan Saga, aku tak pernah terganggu olehnya. Meskipun dia cuek, dia tetap menganggapku sebagai teman.
Hari ini, aku memutuskan untuk duduk diam di kelas. Kadang membaca, membersihkan papan tulis, atau mendengarkan lagu di ponsel.
Lagu Alan Walker mengalun merdu. Sesekali mulut ikut bersenandung lirih. Tiba-tiba terdengar keributan. Orang berteriak lalu bunyi sesuatu menabrak pintu kelas. Tampak Saga berkelahi dengan teman sekelas kami yang lain. Saling memukul, saling mendorong dan saling memaki.
Beberapa orang lain melerai tetapi tak diacuhkan. Bahkan ada yang tak sengaja terkena pukul. Orang-orang menjauh, lalu guru datang. Mereka berhenti. Keduanya dibawa guru tersebut ke ruang BP, aku melihat mereka tanpa berkedip. Kaget. Kasak-kusuk terdengar dari beberapa siswa yang memasuki kelas.
"Saga nggak terima anak-anak ngejek Yuni," kata siswa yang berambut sebahu.
"Mungkin pacaran mereka," timpal siswa lain yang mengikat rambutnya.
"Masak Saga mau sama Yuni?" Siswa berambut sebahu bertanya penasaran.
"Nyatanya dia marah saat nama Yuni diejek."
"Nggak tahulah."
Mereka duduk, tetapi pandangan sesekali tertuju padaku. Aku tak percaya dengan perkataan mereka. Namun, apa yang kulihat barusan seolah membenarkan ucapan mereka. Padangan Saga sesaat sebelum guru BP membawanya seolah menyiratkan sesuatu.
Seharian itu, aku sama sekali tak fokus pada mata pelajaran, masih memikirkan Saga dan omongan yang beredar. Aku memutuskan akan bertemu dengannya saat bel terakhir berbunyi.
Bel berbunyi, semua teman berhamburan ke luar, aku tetap duduk. Sengaja, menanti Saga, untuk menginterogasinya.
Benar saja orang yang sepuluh menit lalu kunanti itu muncul. Wajahnya lebam di beberapa tempat, juga ada yang tergores. Dia menghampiri meja kami.
"Ga! Kenapa?" tanyaku.
"Apanya?"
"Alasan kamu berkelahi."
"Kamu pasti sudah dengar. Karena gosip tak butuh waktu lama untuk menyebar."
"Jadi, bener? Kenapa?"
"Aku nggak suka cewek lemah kaya kamu."
"Lalu, kenapa kamu berkelahi sama orang yang ngejek aku? Kenapa nggak kamu biarin aja."
"Aku nggak terima mereka mencelakakan orang yang perhatian sama aku."
"Mencelakakan? Maksudmu?"
"Entah, apa yang akan mereka lakukan, hanya saja aku tadi dengar mereka akan mengempeskan ban motormu."
"Hah? Lagi? Kenapa?"
"Nggak tahu." Saga mengangkat bahu.
"Apa salahku, Ga?" tanyaku lirih.
"Kamu nggak salah, mereka yang salah."
"Tunggu! Kamu tadi bilang perhatian? Aku?" Aku menahan saat pria itu akan beranjak pergi.
Aku mengingat kembali momen kedekatan kami. Sebenarnya tidak ada yang istimewa. Karena kami baru seminggu duduk bersama, dan baru hari ini saling bicara. Aku tidak mengingat satu hal pun.
"Saat aku nggak bawa buku paket, kamu menyodorkan punyamu. Saat aku tidur kamu sering berusaha membangunkan aku. Saat aku nggak bawa alat tulis, kamu meminjamkan."
"Itu kan hal biasa, Ga."
"Bahkan tak penting bagi orang lain. Tapi bagiku, itu perhatian yang tulus. Kamu tidak mengharap imbalan dariku."
Aku menangkap kesungguhan di matanya. Baru kali ini aku mendapat perhatian dari seorang kawan. Dari orang yang selalu dinilai negatif, malah lebih memiliki empati dari orang yang selalu dianggap baik. Sejak saat itu, kami berteman. Namun, sikapnya tak berubah, masih sama seperti dulu. Ibarat mengerjakan soal, Saga selalu remidi.

Yogyakarta, 18 Juli 2019

Biodata:

Seorang ibu rumah tangga biasa yang menyukai literasi. Menulis menjadi hobinya kini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.