Gambar dari Pixabay
|
Cinta dalam Kain
Misteri
Oleh: Rainy
Venesiia
Hutan pinus di lereng Gunung Guntur
sudah akrab dengannya. Kicau burung, derak ranting patah, dan desis ular adalah
kawan sejati yang tiap hari menemani. Profesinya sebagai tukang kayu bakar,
tentu saja menjadikan aroma sunyi berbalut ngeri adalah hal biasa.
Namun, hari ini Yayan merasa tak
biasa. Seolah ada yang menghantui tiap langkahnya. Angin yang mengelus tengkuk,
kali ini membuat hatinya gusar, meskipun tak membuat bulu kuduk merinding.
Sesaat dia berhenti di ujung jalan
setapak, persis di area masuk hutan. Wajahnya tengadah menatap pepohonan yang
dirasa berubah jadi angkuh. Jantungnya berdetak lebih kencang, darah tersirap
saat merasa seolah ada sepasang mata menatap sangat tajam.
Laki-laki setengah abad dengan postur
tubuh yang masih kokoh, langsung membalikkan badan. Kata hatinya tak bisa
diabaikan. Pengalaman bercengkrama dengan alam membuatnya peka terhadap
isyarat. Namun, baru selangkah ke arah jalan pulang, dia kembali berhenti.
Tertegun mengingat permintaan sang istri.
Lama Yayan menimbang. Tak tega pulang
dengan tangan kosong. Tak mungkin dia mengecewakan wanita yang telah setia
mengarungi hidup puluhan tahun. Wanita sederhana yang tak pernah mengeluh
dengan serba ketiadaan. Tiada harta pun anak.
Saat vonis dokter bahwa kualitas
spermanya sangat buruk, wanita itu hanya menanggapinya dengan tersenyum.
"Segala sesuatu atas izin Allah,
Kang." Begitu ucapannya, membuat Yayan merasa nyaman.
Saat tangan kirinya harus hilang
karena kecelakaan, istrinya tetap menyambut musibah dengan senyum.
"Hanya kehilangan sebelah
tangan. Masih ada tiga tangan lagi," katanya tetap dengan wajah yang
menenangkan baginya.
Bahkan ketika gas menggeser
keberadaan tungku kayu, otomatis pendapatannya berkurang drastis. Hanya
beberapa orang yang masih setia sebagai pelanggan. Biasanya perempuan sepuh
yang masih ingin mengenang kebersamaan keluarga di depan tungku. Kehangatan
yang terpendar dari api kemerahan, ditingkahi riuh suara cucu yang rebutan
kayu.
Siti, sang istri tak pernah mengeluh
sekali pun. Setiap rupiah yang diberikan, disambutnya dengan suka cita dan
senyum tulus.
"Alhamdulillah ya, Kang. Kita
masih diberi rezeki hari ini." Begitulah katanya selalu.
Yayan menghela napas. Langkahnya
mantap menembus kengerian hutan yang membayangi hati. Tak akan dibiarkan
wanitanya kecewa. Tak akan sanggup bila binar mata itu redup karena permintaan
pertamanya tak terpenuhi.
Sepasang kaki terbalut sepatu boot
kini bergegas menyusuri jalan yang kian menanjak. Aroma pinus mulai menyergap.
Bau lembap khas pepohonan berlumut makin tercium, masuk mengaliri rongga-rongga
dada.
Tiba-tiba, tangannya terhenti di
udara saat mengayunkan kapak besar, hendak membelah batang yang tergolek. Garis
di kening semakin mengkerut memikirkan sesuatu. Hidungnya kembang kempis
mencium sebuah aroma yang samar. Yayan menggeleng, segera ditepis prasangka
yang membuat nyalinya sedikit ciut.
Kapak diayunkannya kembali.
Traak! Kapak menancap di batang
kayu.
Yayan berdiri mematung. Hidungnya
bergerak mempertajam penciuman. Aroma yang semula samar kini mulai jelas. Yayan
bergerak ragu mendekati sumber bau. Sesaat berhenti di depan belukar. Bau amis
kian menyengat. Tangannya menjulur hendak menyingkirkan semak-semak.
"Maaf, Kang. Boleh saya minta tolong?" Sebuah suara membuat Yayan hampir melompat karena terkejut. Dibalikkannya badan sekaligus.
"Maaf, Kang. Boleh saya minta tolong?" Sebuah suara membuat Yayan hampir melompat karena terkejut. Dibalikkannya badan sekaligus.
"Si ... siapa?" Yayan
menatap sosok yang tiba-tiba berdiri di hadapannya.
"Saya tersesat, Kang. Boleh
minta tolong anterin ke rumah?" Wajah asing di mata Yayan terlihat mengibai.
Namun, sorot mata yang tajam, membuat jantung di balik dada bidang berdegup
kencang tak karuan.
Lengkung senyum menghias paras cantik
menawan dengan rambut cantik bergelung. Bunga kemboja terselip indah di
pinggirnya. Kain batik Tiga Nagari dan kebaya merah sangat kontras dengan
kulitnya yang langsat bercahaya.
"Bagaimana, Kang?" Merdu
suaranya membuat Yayan kembali terperanjat. Terdengar lengkingan burung hantu
menjerit di kejauhan.
Yayan masih terpaku. Bibirnya
terkatup rapat. Bukan karena terpukau kecantikan yang sedang tampak di hadapan.
Namun karena teringat permintaan istrinya semalam.
"Kang, boleh aku minta
sesuatu?" tanya istrinya yang berbaring di samping.
"Boleh, memangnya kamu mau
apa?" Yayan berbalik. Dalam hati langsung berjanji akan memenuhi keinginan
Siti, istri yang dinikahinya 30 tahun lalu dengan mahar kain Tiga Nagari.
"Aku kepingin make kain Tiga
Nagari dengan kebaya merah." Siti menyembunyikan kepalanya di bawah ketiak
Yayan.
"Kamu yakin?" tanya Yayan
sambil meyakinkan dirinya, mengingat kain batik jenis itu sangat langka
sekarang. Kalau pun ada, pastilah harganya bukan ratusan ribu. Bahkan kabarnya
harga kain batik tersebut bisa sampai puluhan juta. Uang sebanyak itu mungkin harus
dikumpulkan dengan menebang ratusan pohon.
"Iya, Kang. Bukankah saat dijual
Akang pernah janji akan menggantinya?" Siti berhenti sebentar. Ditatapnya
wajah Yayan penuh harap. "Boleh kan aku nagih janjinya sekarang?"
lanjut Siti membuat Yayan tersenyum walau pikirannya mendadak kalut.
"Iya. Insya Allah Akang akan
memenuhi janji, tapi harus bersabar!" Sekarang Yayan yang menatap Siti
penuh harap.
Siti mengangguk sambil
tersenyum.
"Kang!"
Untuk ketiga kalinya Yayan terkejut
karena wanita cantik itu. Wanita tak dikenal yang entah dari mana datangnya.
"Memangnya rumah Neng di
mana?" tanya Yayan saat kesadaran belum sepenuhnya pulih. Pandangannya
menelisik dari atas ke bawah.
Sebuah cerita yang pernah beredar
kini memenuhi kepalanya. Hanya cerita lama, namun tak urung pikirannya mulai
menerka. Kisah tentang seorang perempuan yang dikejar-kejar tentara Belanda.
Kembang desa yang memilih lompat ke jurang di tengah hutan, daripada harus
dijadikan simpanan seorang tuan. Kabarnya, mayat perempuan itu tak ditemukan.
Kematiannya dipertanyakan.
"Nggak jauh kok, Kang. Mari ikut
saya!" Suaranya yang mendayu membuat kaki Yayan seketika mengekor di
belakang.
Tanpa sadar Yayan telah masuk jauh ke
dalam hutan. Kapak yang tertancap di batang tak dihiraukan. Juga suara-suara
alam sebagai isyarat kini tak terdengar di telinganya.
Siti terlihat mondar-mandir di
beranda rumah kayu. Rumah sederhana yang dibangun Yayan dibantu beberapa
kerabat dan tetangga
Cemas menyelimuti wajahnya yang
berukir keriput. Tak biasanya sang suami terlambat pulang. Bahkan azan Isya
sudah berlalu sejak satu jam yang lalu.
Sejak sebelum Magrib dia sudah
mendatangi beberapa kawan Yayan. Termasuk mendatangi rumah pelanggan yang
diketahui Siti. Namun, hasilnya nihil.
Tetangga juga banyak yang ikut membantu mencari, sampai saat ini hanya tiga orang yang belum kembali.
Tetangga juga banyak yang ikut membantu mencari, sampai saat ini hanya tiga orang yang belum kembali.
"Sabar, Ceu!" Yani,
tetangga yang rumahnya berdekatan menemani Siti. "Mungkin Kang Yayan
mampir ke kota," ujarnya berusaha menenangkan.
Keduanya duduk berdampingan di
bale-bale bambu.
Siti termenung. Hatinya was-was.
Sedikit takut menyelinap. Mungkinkah permintaannya semalam membuat suaminya
marah atau kesal?
Tiba-tiba dia merasa bersalah.
Dirutuki dirinya yang telah membebani pikiran suami terkasih. Bagaimana bisa
dia melakukan itu, padahal sudah tahu permintaannya pasti sangat berat? Bahkan
bisa dikatakan mustahil bagi orang kecil seperti mereka.
Pikiran Siti mulai dihantui oleh
prasangka. Mungkinkah suaminya nekat melakukan hal yang berbahaya? Atau bisa
saja pergi meninggalkannya karena tak sudi punya istri dengan permintaan yang
aneh-aneh.
Siti menarik napas dalam. Tangannya
memintal ujung baju yang lusuh. Sungguh dia sangat menyesal. Andai kata-kata
tadi malam bisa ditarik kembali, pasti akan dilakukannya sekarang. Dia hanya
akan meminta dibawakan sekuntum bunga liar yang tumbuh di hutan, seperti
biasanya. Dia akan merasa sangat bahagia, asalkan Yayan selalu bersamanya.
Siti dan Yani berdiri ketika
dilihatnya tiga sosok pemuda berjalan mendekat dalam cahaya lampu yang tak begitu
terang.
"Ceu!" Tiga pemuda datang
terengah, lalu duduk melingkar di bale-bale.
Salah seorang dari mereka meletakkan
kampak milik Yayan. Siti menatap satu persatu wajah
ketiga keponakannya, minta penjelasan. Namun tangis wanita yang terlihat kuyu, kini
pecah saat salah seorang menggeleng dalam diam. Yani meraih pundak Siti yang
bergetar.
"Sabar, Ceu," katanya
pelan.
Beranda rumah kini hening. Sedu sedan
Siti tinggal jejak di matanya yang sembab. Setengah jam berlalu tanpa suara.
Bahkan jangkrik pun enggan bernyanyi. Sesekali terdengar burung hantu di tepi
hutan. Mungkin ia ingin menyampaikan kabar. Sayangnya, tak ada yang peduli.
"Sitii!" Sebuah panggilan
membuat semua orang di beranda menoleh bersamaan. Lalu bangkit dengan perasaan
lega, setelah tahu siapa yang datang.
"Abaah!" teriak ketiga
pemuda kompak.
Yayan berdiri dengan senyum dikulum.
Segera dipeluk Siti yang menghambur memburu dadanya. Dengan teratur, Yani
diikuti tiga keponakan Siti pamit, meninggalkan sepasang paruh baya yang
diliputi haru gembira.
Yayan menyerahkan bungkusan plastik
hitam yang sejak tadi digenggamnya. Kini, keduanya duduk berhadapan di atas
tikar pandan. Secangkir besar kopi pahit yang masih panas sudah tersaji. Di
sampingnya sepiring singkong rebus masih mengepul, menemani.
"Apa, Kang?" tanya Siti
heran.
"Buka saja!" Yayan mulai
menyulut rokok yang sejak tadi dilintingnya. Aroma tembakau menyeruak di antara
pekat kopi yang khas.
Siti terbelalak kaget campur heran
saat menatap kebaya merah lengkap dengan batik Tiga Nagari.
"Akaaang!" Siti menatap
Yayan tak percaya. "Dari mana akang dapat ...."
"Bukankah kau pernah bilang
rezeki sudah diatur. Tak perlu takut. Asal kita yakin, Allah tak akan kesulitan
memberi kita kejutan." Yayan tersenyum.
Pikirannya melayang. Wanita cantik
itu tahu kegelisahannya. Sebagai imbalan telah mengantarnya pulang, wanita itu
memberi kebaya dan kain batik yang dikenakan. Dengan satu syarat, Yayan sendiri
yang harus melepasnya.
Cinta yang begitu besar terhadap sang
istri, membuat Yayan rela melakukannya. Kini dia tersenyum bahagia. Dua
kebahagiaan yang diraih secara bersamaan. Bahagia telah membuat istrinya senang
dan bahagia atas petualangannya yang penuh gairah.
Bandung, 28 Maret 2019
Biodata:
Penulis adalah seorang ibu rumah
tangga yang tinggal di Bandung. Mencoba belajar menyampaikan ide dan
pendapatnya melalui tulisan. Semoga ada nilai yang bisa dipetik dari setiap
goresan penanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.