Jumat, 26 Juli 2019

#Kamis_Cerpen - Cinta dalam Kain Misteri - Rainy Venesiia - Sastra Indonesia Org




Gambar dari Pixabay

Cinta dalam Kain Misteri
Oleh: Rainy Venesiia

Hutan pinus di lereng Gunung Guntur sudah akrab dengannya. Kicau burung, derak ranting patah, dan desis ular adalah kawan sejati yang tiap hari menemani. Profesinya sebagai tukang kayu bakar, tentu saja menjadikan aroma sunyi berbalut ngeri adalah hal biasa.
Namun, hari ini Yayan merasa tak biasa. Seolah ada yang menghantui tiap langkahnya. Angin yang mengelus tengkuk, kali ini membuat hatinya gusar, meskipun tak membuat bulu kuduk merinding.
Sesaat dia berhenti di ujung jalan setapak, persis di area masuk hutan. Wajahnya tengadah menatap pepohonan yang dirasa berubah jadi angkuh. Jantungnya berdetak lebih kencang, darah tersirap saat merasa seolah ada sepasang mata menatap sangat tajam.
Laki-laki setengah abad dengan postur tubuh yang masih kokoh, langsung membalikkan badan. Kata hatinya tak bisa diabaikan. Pengalaman bercengkrama dengan alam membuatnya peka terhadap isyarat. Namun, baru selangkah ke arah jalan pulang, dia kembali berhenti. Tertegun mengingat permintaan sang istri. 
Lama Yayan menimbang. Tak tega pulang dengan tangan kosong. Tak mungkin dia mengecewakan wanita yang telah setia mengarungi hidup puluhan tahun. Wanita sederhana yang tak pernah mengeluh dengan serba ketiadaan. Tiada harta pun anak. 
Saat vonis dokter bahwa kualitas spermanya sangat buruk, wanita itu hanya menanggapinya dengan tersenyum.
"Segala sesuatu atas izin Allah, Kang." Begitu ucapannya, membuat Yayan merasa nyaman.
Saat tangan kirinya harus hilang karena kecelakaan, istrinya tetap menyambut musibah dengan senyum.
"Hanya kehilangan sebelah tangan. Masih ada tiga tangan lagi," katanya tetap dengan wajah yang menenangkan baginya.
Bahkan ketika gas menggeser keberadaan tungku kayu, otomatis pendapatannya berkurang drastis. Hanya beberapa orang yang masih setia sebagai pelanggan. Biasanya perempuan sepuh yang masih ingin mengenang kebersamaan keluarga di depan tungku. Kehangatan yang terpendar dari api kemerahan, ditingkahi riuh suara cucu yang rebutan kayu. 
Siti, sang istri tak pernah mengeluh sekali pun. Setiap rupiah yang diberikan, disambutnya dengan suka cita dan senyum tulus. 
"Alhamdulillah ya, Kang. Kita masih diberi rezeki hari ini." Begitulah katanya selalu.
Yayan menghela napas. Langkahnya mantap menembus kengerian hutan yang membayangi hati. Tak akan dibiarkan wanitanya kecewa. Tak akan sanggup bila binar mata itu redup karena permintaan pertamanya tak terpenuhi. 
Sepasang kaki terbalut sepatu boot kini bergegas menyusuri jalan yang kian menanjak. Aroma pinus mulai menyergap. Bau lembap khas pepohonan berlumut makin tercium, masuk mengaliri rongga-rongga dada.
Tiba-tiba, tangannya terhenti di udara saat mengayunkan kapak besar, hendak membelah batang yang tergolek. Garis di kening semakin mengkerut memikirkan sesuatu. Hidungnya kembang kempis mencium sebuah aroma yang samar. Yayan menggeleng, segera ditepis prasangka yang membuat nyalinya sedikit ciut. 
Kapak diayunkannya kembali.
Traak! Kapak menancap di batang kayu. 
Yayan berdiri mematung. Hidungnya bergerak mempertajam penciuman. Aroma yang semula samar kini mulai jelas. Yayan bergerak ragu mendekati sumber bau. Sesaat berhenti di depan belukar. Bau amis kian menyengat. Tangannya menjulur hendak menyingkirkan semak-semak. 

"Maaf, Kang. Boleh saya minta tolong?" Sebuah suara membuat Yayan hampir melompat karena terkejut. Dibalikkannya badan sekaligus.
"Si ... siapa?" Yayan menatap sosok yang tiba-tiba berdiri di hadapannya.
"Saya tersesat, Kang. Boleh minta tolong anterin ke rumah?" Wajah asing di mata Yayan terlihat mengibai. Namun, sorot mata yang tajam, membuat jantung di balik dada bidang berdegup kencang tak karuan.
Lengkung senyum menghias paras cantik menawan dengan rambut cantik bergelung. Bunga kemboja terselip indah di pinggirnya. Kain batik Tiga Nagari dan kebaya merah sangat kontras dengan kulitnya yang langsat bercahaya. 
"Bagaimana, Kang?" Merdu suaranya membuat Yayan kembali terperanjat. Terdengar lengkingan burung hantu menjerit di kejauhan.
Yayan masih terpaku. Bibirnya terkatup rapat. Bukan karena terpukau kecantikan yang sedang tampak di hadapan. Namun karena teringat permintaan istrinya semalam.
"Kang, boleh aku minta sesuatu?" tanya istrinya yang berbaring di samping. 
"Boleh, memangnya kamu mau apa?" Yayan berbalik. Dalam hati langsung berjanji akan memenuhi keinginan Siti, istri yang dinikahinya 30 tahun lalu dengan mahar kain Tiga Nagari.
"Aku kepingin make kain Tiga Nagari dengan kebaya merah." Siti menyembunyikan kepalanya di bawah ketiak Yayan.
"Kamu yakin?" tanya Yayan sambil meyakinkan dirinya, mengingat kain batik jenis itu sangat langka sekarang. Kalau pun ada, pastilah harganya bukan ratusan ribu. Bahkan kabarnya harga kain batik tersebut bisa sampai puluhan juta. Uang sebanyak itu mungkin harus dikumpulkan dengan menebang ratusan pohon.


"Iya, Kang. Bukankah saat dijual Akang pernah janji akan menggantinya?" Siti berhenti sebentar. Ditatapnya wajah Yayan penuh harap. "Boleh kan aku nagih janjinya sekarang?" lanjut Siti membuat Yayan tersenyum walau pikirannya mendadak kalut.
"Iya. Insya Allah Akang akan memenuhi janji, tapi harus bersabar!" Sekarang Yayan yang menatap Siti penuh harap.
Siti mengangguk sambil tersenyum. 
"Kang!" 
Untuk ketiga kalinya Yayan terkejut karena wanita cantik itu. Wanita tak dikenal yang entah dari mana datangnya.
"Memangnya rumah Neng di mana?" tanya Yayan saat kesadaran belum sepenuhnya pulih. Pandangannya menelisik dari atas ke bawah.
Sebuah cerita yang pernah beredar kini memenuhi kepalanya. Hanya cerita lama, namun tak urung pikirannya mulai menerka. Kisah tentang seorang perempuan yang dikejar-kejar tentara Belanda. Kembang desa yang memilih lompat ke jurang di tengah hutan, daripada harus dijadikan simpanan seorang tuan. Kabarnya, mayat perempuan itu tak ditemukan. Kematiannya dipertanyakan.
"Nggak jauh kok, Kang. Mari ikut saya!" Suaranya yang mendayu membuat kaki Yayan seketika mengekor di belakang.
Tanpa sadar Yayan telah masuk jauh ke dalam hutan. Kapak yang tertancap di batang tak dihiraukan. Juga suara-suara alam sebagai isyarat kini tak terdengar di telinganya.
Siti terlihat mondar-mandir di beranda rumah kayu. Rumah sederhana yang dibangun Yayan dibantu beberapa kerabat dan tetangga
Cemas menyelimuti wajahnya yang berukir keriput. Tak biasanya sang suami terlambat pulang. Bahkan azan Isya sudah berlalu sejak satu jam yang lalu.
Sejak sebelum Magrib dia sudah mendatangi beberapa kawan Yayan. Termasuk mendatangi rumah pelanggan yang diketahui Siti. Namun, hasilnya nihil.
Tetangga juga banyak yang ikut membantu mencari, sampai saat ini hanya tiga orang yang belum kembali. 
"Sabar, Ceu!" Yani, tetangga yang rumahnya berdekatan menemani Siti. "Mungkin Kang Yayan mampir ke kota," ujarnya berusaha menenangkan.
Keduanya duduk berdampingan di bale-bale bambu.
Siti termenung. Hatinya was-was. Sedikit takut menyelinap. Mungkinkah permintaannya semalam membuat suaminya marah atau kesal?
Tiba-tiba dia merasa bersalah. Dirutuki dirinya yang telah membebani pikiran suami terkasih. Bagaimana bisa dia melakukan itu, padahal sudah tahu permintaannya pasti sangat berat? Bahkan bisa dikatakan mustahil bagi orang kecil seperti mereka.
Pikiran Siti mulai dihantui oleh prasangka. Mungkinkah suaminya nekat melakukan hal yang berbahaya? Atau bisa saja pergi meninggalkannya karena tak sudi punya istri dengan permintaan yang aneh-aneh.
Siti menarik napas dalam. Tangannya memintal ujung baju yang lusuh. Sungguh dia sangat menyesal. Andai kata-kata tadi malam bisa ditarik kembali, pasti akan dilakukannya sekarang. Dia hanya akan meminta dibawakan sekuntum bunga liar yang tumbuh di hutan, seperti biasanya. Dia akan merasa sangat bahagia, asalkan Yayan selalu bersamanya.
Siti dan Yani berdiri ketika dilihatnya tiga sosok pemuda berjalan mendekat dalam cahaya lampu yang tak begitu terang.
"Ceu!" Tiga pemuda datang terengah, lalu duduk melingkar di bale-bale.
Salah seorang dari mereka meletakkan kampak milik Yayan. Siti menatap satu persatu wajah ketiga keponakannya, minta penjelasan. Namun tangis wanita yang terlihat kuyu, kini pecah saat salah seorang menggeleng dalam diam. Yani meraih pundak Siti yang bergetar.
"Sabar, Ceu," katanya pelan.
Beranda rumah kini hening. Sedu sedan Siti tinggal jejak di matanya yang sembab. Setengah jam berlalu tanpa suara. Bahkan jangkrik pun enggan bernyanyi. Sesekali terdengar burung hantu di tepi hutan. Mungkin ia ingin menyampaikan kabar. Sayangnya, tak ada yang peduli.
"Sitii!" Sebuah panggilan membuat semua orang di beranda menoleh bersamaan. Lalu bangkit dengan perasaan lega, setelah tahu siapa yang datang.
"Abaah!" teriak ketiga pemuda kompak.
Yayan berdiri dengan senyum dikulum. Segera dipeluk Siti yang menghambur memburu dadanya. Dengan teratur, Yani diikuti tiga keponakan Siti pamit, meninggalkan sepasang paruh baya yang diliputi haru gembira.
Yayan menyerahkan bungkusan plastik hitam yang sejak tadi digenggamnya. Kini, keduanya duduk berhadapan di atas tikar pandan. Secangkir besar kopi pahit yang masih panas sudah tersaji. Di sampingnya sepiring singkong rebus masih mengepul, menemani.
"Apa, Kang?" tanya Siti heran. 
"Buka saja!" Yayan mulai menyulut rokok yang sejak tadi dilintingnya. Aroma tembakau menyeruak di antara pekat kopi yang khas.
Siti terbelalak kaget campur heran saat menatap kebaya merah lengkap dengan batik Tiga Nagari.
"Akaaang!" Siti menatap Yayan tak percaya. "Dari mana akang dapat ...."
"Bukankah kau pernah bilang rezeki sudah diatur. Tak perlu takut. Asal kita yakin, Allah tak akan kesulitan memberi kita kejutan." Yayan tersenyum.
Pikirannya melayang. Wanita cantik itu tahu kegelisahannya. Sebagai imbalan telah mengantarnya pulang, wanita itu memberi kebaya dan kain batik yang dikenakan. Dengan satu syarat, Yayan sendiri yang harus melepasnya.
Cinta yang begitu besar terhadap sang istri, membuat Yayan rela melakukannya. Kini dia tersenyum bahagia. Dua kebahagiaan yang diraih secara bersamaan. Bahagia telah membuat istrinya senang dan bahagia atas petualangannya yang penuh gairah.


Bandung, 28 Maret 2019

Biodata:

Penulis adalah seorang ibu rumah tangga yang tinggal di Bandung. Mencoba belajar menyampaikan ide dan pendapatnya melalui tulisan. Semoga ada nilai yang bisa dipetik dari setiap goresan penanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.