Sabtu, 13 Juli 2019

#Jumat_Cerbung - Mutiara yang Tak Tersentuh 2 - Isdamaya Seka - Sastra Indonesia Org





Harapan Palsu

∞∞∞

"Assalamualaikum ...." Halimah dan Bu Piana tiba di sebuah rumah mewah yang terletak di tengah kota.
Rumah indah dengan arsitektur klasik. Beberapa pilar besar terlihat menopang bagian luar. Kubah kecil di atap depan semakin mempercantik gaya klasik rumah tersebut.
"Wa'alaikumusallam ... Piana, Halimah, silakan masuk." Seorang wanita berusia di atas enam puluh tahun menyambut kedatangan mereka. Orang tua yang masih terlihat cantik itu mengajak masuk ke dalam rumah dengan langit-langit setinggi empat meter. Kemegahan semakin terlihat dengan ruangan yang didominasi dengan warna kuning keemasan.
"Bi Minah, tolong ini bawa ke dapur ya, sekalian bikinkan minum," pinta Bu Yani pada asisten rumah tangganya.
"Baik, Bu," jawab Bi Minah seraya membawa beberapa kotak kue ke dapur.
"Silakan duduk, Piana, Nak Halimah." 
"Terima kasih, Bu Yani."
"Halimah, bagaimana kabarmu, Nak?" tanya wanita yang tampak bahagia melihat gadis di hadapannya.
"Alhamdulillah baik, Bu."
"Alhamdulillah ... setiap kali ibu melihatmu, rasanya teduh sekali," puji Bu Yani.
"Masyaa Allah ...," gumam Halimah.
"Na, kamu sudah bicarakan pada Halimah?"
"Sudah, Bu Yani. Silakan Ibu sampaikan kepada anaknya langsung."
"Nak Halimah, ibu bermaksud menjodohkan kamu dengan Imran. Semua tentang kamu sudah ibu ceritakan padanya," tutur Bu Yani menyampaikan maksud.
"Masyaa Allah ... terima kasih Ibu telah memilih saya. Tapi apakah Mas Imran sendiri tidak keberatan, Bu dengan perjodohan ini?"
"Insyaa Allah tidak. Setelah mendengar cerita ibu tentang kamu, Imran bersedia untuk taaruf."
"Tapi ...." Kalimat Halimah terhenti.
"Kenapa, Nak?" tanya Bu Yani. Halimah menoleh pada Bu Piana, berharap bibinya yang menjelaskan.
"Begini, Bu Yani," Bu Piana angkat suara, paham isyarat ponakannya, "Ibu kan tau kalau Halimah ini sudah berkali-kali taaruf, namun sebanyak itu pula ikhwannya mundur. Halimah takut kalau itu terjadi lagi dengan Imran."
"Belum jodoh, Na. Siapa tau jodohnya Halimah memang Imran. Ya kan, Nak Halimah?"
"Saya pasrahkan jodoh saya pada Allah, Bu."
"Kalau begitu, saya kenalkan dulu ya pada anak saya. Biar saya panggilkan orangnya." Bu Yani beranjak.
Halimah deg-degan, pria seperti apa yang mau dijodohkan dengan wanita buruk rupa seperti dirinya.
Bu Yani menghampiri mereka bersama seorang pemuda. Pria bertubuh tinggi, hidung mancung, kulit putih terawat, dan wajah yang tak kalah tampan dengan artis papan atas. Kacamata minus membuat penampilannya terlihat semakin berkelas. Berbeda jauh dengan sosok Halimah.
Gadis itu memandang sekilas, kemudian menunduk. Ia selalu menjaga pandangan dari lawan jenis dan hal-hal yang diharamkan agamanya.
'Ya Allah, lelaki seperti dia terlalu sempurna untukku,' batin Halimah. Jantung mendadak berpacu lebih kencang. Ia merasakan jemari yang mulai dingin. Belum pernah ia segugup ini ketika para ikhwan taaruf dengannya. Ada sesuatu yang berbeda di hatinya.
"Halimah, ini anak saya, Imran. Imran, ini Halimah yang ibu ceritakan."
Halimah menyatukan kedua telapak tangan di depan dada, begitupun yang dilakukan Imran. Lelaki itu memandang sekilas ke arahnya, kemudian menunduk.
"Jika ada yang ingin kalian tanyakan satu sama lain, silakan, Imran, Halimah," ucap Bu Yani. Kedua insan tersebut masih saling diam. Imran terlihat lebih santai dibanding Halimah. Tak ada ekspresi berarti yang ditunjukkan oleh dokter muda tersebut.
"Halimah ...." Bu Piana menyenggol pelan lengannya.
"Afwan Akh Imran, bagaimana pendapat antum tentang pernikahan?" Lugas Halimah bertanya.
"Pernikahan ... bagi saya dalam hubungan suami istri tidak hanya dibutuhkan ilmu, tetapi juga cinta. Saya belajar bagaimana kisah rumah tangga Zainab dan Zaid yang berakhir karena tidak ada cinta dari salah satu pihak." Jawaban Imran sedikit menyentil hati Halimah.
Gadis itu berpikir kalau Imran mungkin menikah karena didorong ketakwaan. Taat pada perintah Allah untuk menyempurnakan separuh agama, juga pada permintaan orang tuanya. Meskipun tak ada cinta untuknya kelak.
"Lantas, bagaimanakah seorang wanita dipilih untuk dijadikan istri?"
"Rasulullah bersabda, wanita dinikahi karena empat hal; karena hartanya, kedudukannya, parasnya, dan agamanya. Maka hendaklah memilih karena agamanya agar kamu selamat." Imran mengutip hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
"Bagaimana dengan cinta seperti yang Akhi ucapkan tadi?"
"Orang bilang cinta akan tumbuh dengan sendirinya dalam kebersamaan."
Halimah mengangguk mendengar jawaban Imran. Meskipun hatinya ragu, akankah cinta itu tumbuh seiring berjalannya waktu? Bukankah cinta Zainab tidak juga tumbuh untuk Zaid, hingga akhirnya mereka bercerai dan beliau dinikahi Rasulullah? Batin Halimah terus berkecamuk.
"Ada lagi, Ukhti?" tanya Imran melihat Halimah yang hanya diam seperti memikirkan sesuatu.
Halimah hanya menggeleng pelan dengan tetap menundukkan pandangan.
"Imran, ada yang ingin kamu tanyakan langsung pada Halimah?" tanya Bu Piana.
"Tidak, Tante. Umi sudah menceritakan banyak hal tentang Halimah. Saya rasa itu cukup."
"Kalau begitu, besok malam kami akan datang beserta ayahnya Imran untuk mengkhitbah Nak Halimah."
Deg! Halimah merasakan detak jantungnya lebih kencang. 'Benarkah semua yang kudengar ini?' Batinnya bertanya-tanya. Belum pernah ada ikhwan yang melanjutkan taaruf hingga jenjang khitbah. Mereka selalu mundur setelahnya.
"Dengan senang hati kami menyambut niat baik Bu Yani dan keluarga. Kalau begitu kami permisi dulu, Bu."
"Silakan, Na, Halimah."
"Assalaamu’alaikum ...."
"Wa'alaikumusallam ...."

∞∞∞



Halimah dilanda kebimbangan. Sulit baginya memejamkan mata. Ada sesuatu yang mengganjal hatinya, yang ia sendiri tak tahu itu apa.
Gadis bertubuh kecil itu mengambil mushaf. Melantunkan ayat demi ayat dengan suaranya yang indah. Mendengar suaranya, orang tak percaya bagaimana rupa sang pemilik.
Halimah terus membaca Alquran hingga matanya mulai lelah. Ia tertidur beberapa jam dan terbangun untuk bermunajat kepada-Nya di sepertiga akhir malam. Waktu-waktu mustajab untuk memohon ampunan dan rahmat-Nya yang tak pernah ia tinggalkan. Memohon petunjuk atas keresahan di hatinya, memohon ketenangan, serta pilihan yang terbaik untuk hidup dan agamanya.

∞∞∞

"Kayaknya ada yang lagi bahagia nih," goda Fatia di dalam kelas Halimah, seusai jam sekolah berakhir.
"Siapa?" tanya Halimah malu-malu.
"Ya siapa lagi, masa aku ngomong sama kursi," canda Fatia.
"Setiap hari juga bahagia, Fat."
"Tapi ada yang beda di senyummu, sorot matamu menunjukkan sesuatu. Beneran gak mau berbagi kebahagiaan, nih?"
Halimah tersenyum dan menceritakan hal yang membuatnya terlihat berbeda, sembari mereka berjalan menuju gerbang TK.
"Kemarin Ammah mengenalkanku pada anak temannya. Namanya Imran. Kami taaruf di rumahnya. Nanti malam dia datang mengkhitbahku, Fat."
"Alhamdulillah ... barakallah, ya sahabatku." Fatia memeluk sahabatnya erat, kebahagian juga turut ia rasakan.
"Aku yakin, dialah pria terbaik yang mampu melihat keindahan dalam dirimu, Mah."
"Semoga, Fat."
"Assalamualaikum ...." Sosok pria tampan berpenampilan rapi menghampiri mereka di depan gerbang.
"Wa'alaikumusallam ... Akh Imran?"
"Halimah, bisa bicara sebentar?"
"Aku duluan, ya, Mah. Assalamualaikum." Fatia yang tanggap segera meninggalkan mereka.
"Wa'alaikumussalam ...."
"Afwan Akh, ada apa?"
"Sebaiknya kita bicara di situ." Imran menunjuk sebuah kursi kayu yang terletak di samping sekolah.
Halimah mengikutinya. Dari sana tampak kendaraan lalu lalang. Para pejalan kaki, hingga pedagang kaki lima. Ia dan Imran duduk di kursi kayu dengan jarak yang tak dekat, namun cukup untuk mendengar ucapan satu sama lain.
"Ada apa, ya Akhi sampai menemui saya di sini?" Halimah merasa tak enak. Prasangka buruk mulai muncul dalam benaknya.
"Maaf sebelumnya jika kedatangan saya mengejutkanmu. Tapi saya harus menyampaikannya saat ini juga sebelum semuanya terlambat."
Detak jantung Halimah mulai tak menentu. Dugaan itu semakin kuat.
"Bicara saja terus terang, Akhi."
"Umi sangat menyukaimu, kamu wanita yang salihah. Aku tak ingin mengecewakan Umi, tapi juga tak ingin mengekang diri dalam pernikahan yang tak kuinginkan."
Jemari Halimah saling bertaut menahan gelisah. Ia tahu ke mana arah pembicaraan Imran.
"Lalu ...?" Bibir Halimah bergetar demi mengucapkan satu kata.
"Tolong tolak lamaran kedua orang tuaku nanti malam."
Deg! Serasa batu besar menghantam dada Halimah. Sakit ....
"Aku tidak bisa menikahimu."
Lagi, kalimat Imran bagai belati yang menghujam tepat di hatinya. Ia mendongak, menahan air mata yang sudah menggenangi kelopak.
"Kenapa harus aku yang melakukannya?"
"Aku tidak bisa menolak permintaan orang tuaku. Kumohon, Halimah ...."
"Bagaimana jika aku tidak bisa menolak permohonanmu?" Gadis itu berusaha tegar. Menarik nafas dalam seraya beristighfar untuk menguatkan hatinya.
"Aku tidak jamin kamu akan bahagia denganku. Suami yang tidak punya cinta untuk istrinya."
"Bukankah cinta akan tumbuh kemudian? Lelaki beriman tak akan pernah menyakiti istri meskipun tidak mencintainya."
"Kumohon, Halimah ... cinta tidak bisa dipaksakan."
"Antum malu jika memiliki istri buruk rupa sepertiku?"
Imran hanya diam dan terus menunduk. Ia tidak mengiyakan namun juga tidak menyangkal ucapan Halimah.
"Aku tidak akan menolaknya," lanjut Halimah.
Imran mendongak. Terkejut akan ucapan Halimah yang jauh dari apa yang ia harapkan.
"Wanita yang baik tidak akan memaksakan kehendak demi dirinya sendiri."
Kalimat itu membuat Halimah menoleh dan menatap tajam padanya. Sejenak kemudian melemparkan pandangan pada daun yang tengah menari di ujung ranting. Dadanya naik turun menahan sesak.
"Mungkin keegoisan akan merubah hidupku." Halimah beranjak meninggalkan Imran yang tampak frustasi. Lelaki itu mengusap kasar wajahnya.
Halimah berlari, menepi pada sebuah lorong kecil yang sepi. Ia bersandar, menumpahkan bendungan airmata yang sedari tadi tertahan.
"Ya Allah ... seburuk itukah diriku?" gumamnya di tengah isak tangis. Ia beristigfar untuk menenangkan hati. Mulai melangkah ketika tangisnya reda.
Hatinya benar-benar sakit. Penolakan paling menyakitkan baginya dari semua ikhwan yang mundur setelah taaruf.

Bersambung ....

Riau, 12 July 2019

Tentang Penulis:

Penulis adalah seorang ibu rumah tangga berusia 28 tahun. Baru belajar dunia literasi sejak bergabung di salah satu grup literasi di Facebook. Memiliki karya berupa novel solo adalah harapannya saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.