Sabtu, 27 Juli 2019

#Jumat_Cerbung - Mutiara yang Tak Tersentuh Part 4 - Isdamaya Seka - Sastra Indonesia Org





Mutiara yang Tak Tersentuh Part 4
Karya: Isdamaya Seka

"Keelokan rupa adalah anugerah dari Sang Pencipta. Manusia tak dapat meminta ataupun menolak apa yang telah diciptakan untuknya. Selayaknya mereka bersyukur dengan anugerah yang Dia berikan, tanpa harus merendahkan sesama hamba yang diuji dengan kekurangan."

♥♥♥

Gadis salihah itu memeluk sang bibi, menumpahkan butiran-butiran bening yang memaksa keluar mengaliri pipinya. 
"Kami tidak mengerti jalan pikiranmu. Kenapa kamu tolak, Nak?" tanya Ustaz Hanafi.
Halimah bergeming, melepaskan pelukan Bu Piana.
"Ceritakan pada kami, Mah. Keburukan apa yang kamu lihat dari Imran?"
Ia menggeleng, masih dengan mulut terkunci.
"Kalau kamu tidak melihat keburukannya, kenapa menolaknya? Apa kamu lupa sabda Rasulullah, bahwa jika datang melamar kepadamu orang yang engkau ridho agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dengannya, jika kamu tidak menerimanya, niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang luas?" tanya ustaz Hanafi lagi.
"Halimah paham, Ustaz. Tapi Halimah juga berhak menentukan."
"Kamu memang berhak menentukan. Tapi apa yang menjadi alasanmu menolaknya?"
"Sudahlah, Bi. Biarkan Halimah tenang dulu." Bu Piana menengahi. "Mah, kamu istirahat saja dulu, tenangkan pikiranmu."
Gadis itu mengangguk. Menyeka air mata dengan ujung kerudung. Ia beranjak lesu menuju kamar. Menyembunyikan fakta yang ada, bahwa Imran-lah yang menolaknya.

♥♥♥

Mobil mewah hitam milik Pak Rudi telah terparkir rapi di garasi. Lelaki berusia lanjut itu memasuki rumah dengan wajah menegang, ingin segera mengelurkan amarahnya. Imran dan Bu Yani hanya terdiam mengikuti kepala keluarga mereka.
Pak Rudi duduk di sofa ruang tengah, diikuti Bu Yani dan Imran. Pemuda itu menunduk, pikirannya kalut. Rasa bersalah juga iba pada Halimah menyergapnya.
"Bi ...." Bu Yani membuka suara.
"Bukankah Umi bilang Halimah setuju? Kenapa tadi dia menolak? Itu sama saja mempermainkan kita. Di mana harga diri kita, Mi? Dipermalukan oleh gadis yang selalu ditolak seperti Halimah."
Bu Yani tak sanggup menanggapi ucapan suaminya. Ia juga masih tak percaya akan jawaban Halimah.
"Gadis itu memang tak pantas buat anak kita!"
"Cukup, Bi. Halimah gadis yang baik, wanita salihah. Umi sangat mengenalnya. Umi yakin dia punya alasan kuat menolak Imran. Dia juga punya hak untuk memilih, Bi."
"Umi terlalu berharap padanya. Kalau cuma baik dan salihah, banyak wanita baik di luar sana, cantik pula. Tak seperti ponakan Ustaz Hanafi itu!"
"Istighfar, Bi. Jangan terus merendahkan Halimah hanya karena ia tidak cantik. Semua Allah yang menciptakan. Apa Abi juga hendak menghina penciptanya?"
Pak Rudi tertunduk mendengar ucapan istrinya. Baru ia sadari, tak semestinya ia menghina fisik Halimah. Itu sama saja ia menghina Zat yang menciptakannya. 
"Sudahlah, Abi mau istirahat. Biarkan Imran mencari pasangannya sendiri. Abi tidak mau hal ini terulang lagi." Pak Rudi akhirnya mengalah. Ia beranjak menuju kamar sebelum anak lelaki satu-satunya itu membuka suara.
"Maafkan, Imran. Imran yang menyuruh Halimah menolak lamaran kita." Lelaki tampan itu akhirnya berhasil mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk mengakui kesalahan pada kedua orang tua. Ia tak kuat terus mendengar sang ayah menghina Halimah. Ada sakit yang menjalari hatinya. 
Pak Rudi dan Bu Yani menatapnya tak percaya.
"Apa kamu bilang, Imran?" tanya Pak Rudi demi menegaskan apa yang ia dengar.
"Imran yang menyuruh Halimah menolak lamaran. Imran yang salah. Maafkan Imran, Abi, Umi."
'Plak!'
Sebuah tamparan keras dari telapak tangan yang mulai keriput milik ayahnya berhasil mendarat tepat di pipi kiri Imran.
"Bi!" Bu Yani sontak menarik suaminya menjauh dari Imran.
"Bagaimana mungkin kamu bisa bertindak sebagai pengecut begitu, Imran?!" teriak Pak Rudi.


"Kamu keterlaluan, Nak!" Bu Yani menimpali. 
Dokter muda itu bergeming. Rasa bersalah yang begitu besar menyergap. Pengecut, sebuah kata yang memang pantas untuknya.

♥♥♥

Halimah duduk di tepi ranjang. Membuka laci nakas, mengambil selembar foto kedua orang tua. Melihat senyum ayah dan ibu yang tergambar di sana, Halimah kembali terisak. Betapa ia merindukan sosok mereka.
Ia teringat masa kecilnya, kala bermain bersama teman-teman. Ejekan tak pernah absen dari mulut-mulut kecil mereka. Halimah kecil selalu menjadi bulan-bulanan teman sekolah maupun tetangganya.
'Eh, si hitam pesek, ambilin bonekaku, donk.'
'Halimah, kamu gak boleh ikut main sama kami. Kamu itu jelek, sana pergi!'
'Kita main putri-putrian, yuk. Halimah jadi nenek sihirnya, kan mukanya mirip.'
'Ih, kamu anak siapa sih? Orang tuamu cantik dan ganteng, kok kamu jelek?'
Berbagai kalimat yang menusuk sanubarinya terlontar begitu saja dari mulut-mulut mereka yang punya hati. Bukan hanya anak-anak, bahkan orang dewasa pun kerap menghinanya. Andai tak ada kedua orang tua yang sangat menyayanginya, entah bagaimana kondisi kejiwaannya kini.

♥♥♥

"Halimah, kok murung, sih?" tanya Fatia di atas bangku taman, sambil memperhatikan murid-murid TK bermain.
"Gak apa, Fat."
"Ada apa? Bagaimana khitbahnya tadi malam?"
Halimah menggeleng. Fatia mampu menangkap apa yang terjadi dari sorot mata Halimah.
"Gagal lagi?" tanya Fatia memastikan. Halimah hanya mengangguk.
"Ya Rabb ... sungguh besar ujian untuk sahabatku." Mata Fatia berkaca-kaca. Ia genggang lembut tangan sahabatnya untuk menguatkan. 
"Jangan nangis, Fat. Nanti dilihat anak-anak."
"Gimana ceritanya, Mah? Bukannya kemarin ...."
"Nanti aku ceritakan," potong Halimah.
Selesai jam sekolah, Halimah dan Fatia duduk di taman tempat mereka tadi mengawasi anak-anak. Ia menceritakan perihal lamaran keluarga Imran, juga permintaan Imran padanya. Fatia-lah satu-satunya tempat ia menceritakan hal itu. Paman dan bibinya tak boleh tau, ia tak ingin menambah kesedihan mereka.
Suara deru mobil terdengar berhenti di depan sekolah. Tak lama, pria muda tampan berdiri di depan gerbang. Sejenak mencari sosok yang ingin ditemuinya. Kemudian sepasang manik cokelatnya beradu dengan sepasang manik hitam di taman sekolah.
"Lelaki pengecut itu, mau apa dia ke mari?" umpat Fatia.
"Fatia ...." Halimah menegur sahabatnya agar lebih sabar.
Gadis itu beranjak menghampiri Imran.
"Ada apa ya, Akhi? Apa yang kulakukan masih kurang?" tanya Halimah tanpa basa basi. Kemarahan tergambar jelas di wajahnya. Ya, ia berhak marah atas tindakan buruk orang kepadanya, namun masih dalam batas yang tak melanggar syariat.
Pertanyaan Halimah bagai belati tajam yang menusuk di dada. Entah kenapa Imran merasa bagai pecundang yang telah berbuat kejam. Lidahnya kelu, ia bingung harus memulainya dari mana. 
"Jika tidak ada hal yang penting, silakan pergi. Urusan kita sudah selesai."
Halimah berbalik menghampiri Fatia. Bergegas mengambil tas dan mengajak sahabatnya segera meninggalkan sekolah. Keduanya berjalan melewati Imran yang mematung di tepi gerbang.
"Ternyata begini akhlak dokter muda yang katanya alim itu?" sindir Fatia ketika berada tepat di depan Imran.
Halimah menarik lengan Fatia untuk segera menyeberang jalan meninggalkan Imran.
Imran bergeming, kemudian menyadari kedua gadis itu telah berada di seberang jalan. Ia berlari menyusul mereka sambil berteriak, "Halimah, aku minta maaf!"
'Brakk!' Sebuah sepeda motor dengan laju kencang menabrak pria yang berlari menyeberangi jalan.
Halimah menoleh. Kedua matanya membulat sempurna. Tubuhnya gemetar menyaksikan pemandangan di depan mata. Kalimat terakhir Imran beberapa detik lalu masih bisa terdengar olehnya.

Bersambung

Riau, 26 Juli 2019

Biodata:

Penulis adalah seorang ibu rumah tangga dengan dua orang putra. Ingin mengembangkan kemampuan dalam dunia literasi. Berharap dapat melahirkan banyak karya yang bermanfaat bagi orang banyak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.