Mutiara yang Tak
Tersentuh Part 4
Karya: Isdamaya
Seka
"Keelokan
rupa adalah anugerah dari Sang Pencipta. Manusia tak dapat meminta ataupun
menolak apa yang telah diciptakan untuknya. Selayaknya mereka bersyukur dengan
anugerah yang Dia berikan, tanpa harus merendahkan sesama hamba yang diuji
dengan kekurangan."
♥♥♥
Gadis salihah
itu memeluk sang bibi, menumpahkan butiran-butiran bening yang memaksa keluar
mengaliri pipinya.
"Kami tidak
mengerti jalan pikiranmu. Kenapa kamu tolak, Nak?" tanya Ustaz Hanafi.
Halimah
bergeming, melepaskan pelukan Bu Piana.
"Ceritakan
pada kami, Mah. Keburukan apa yang kamu lihat dari Imran?"
Ia menggeleng,
masih dengan mulut terkunci.
"Kalau kamu
tidak melihat keburukannya, kenapa menolaknya? Apa kamu lupa sabda Rasulullah,
bahwa jika datang melamar kepadamu orang yang engkau ridho agama dan akhlaknya,
maka nikahkanlah dengannya, jika kamu tidak menerimanya, niscaya akan terjadi
fitnah di bumi dan kerusakan yang luas?" tanya ustaz Hanafi lagi.
"Halimah
paham, Ustaz. Tapi Halimah juga berhak menentukan."
"Kamu
memang berhak menentukan. Tapi apa yang menjadi alasanmu menolaknya?"
"Sudahlah,
Bi. Biarkan Halimah tenang dulu." Bu Piana menengahi. "Mah, kamu
istirahat saja dulu, tenangkan pikiranmu."
Gadis itu
mengangguk. Menyeka air mata dengan ujung kerudung. Ia beranjak lesu menuju
kamar. Menyembunyikan fakta yang ada, bahwa Imran-lah yang menolaknya.
♥♥♥
Mobil mewah
hitam milik Pak Rudi telah terparkir rapi di garasi. Lelaki berusia lanjut itu
memasuki rumah dengan wajah menegang, ingin segera mengelurkan amarahnya. Imran
dan Bu Yani hanya terdiam mengikuti kepala keluarga mereka.
Pak Rudi duduk
di sofa ruang tengah, diikuti Bu Yani dan Imran. Pemuda itu menunduk,
pikirannya kalut. Rasa bersalah juga iba pada Halimah menyergapnya.
"Bi
...." Bu Yani membuka suara.
"Bukankah
Umi bilang Halimah setuju? Kenapa tadi dia menolak? Itu sama saja mempermainkan
kita. Di mana harga diri kita, Mi? Dipermalukan oleh gadis yang selalu ditolak
seperti Halimah."
Bu Yani tak
sanggup menanggapi ucapan suaminya. Ia juga masih tak percaya akan jawaban
Halimah.
"Gadis itu
memang tak pantas buat anak kita!"
"Cukup, Bi.
Halimah gadis yang baik, wanita salihah. Umi sangat mengenalnya. Umi yakin dia
punya alasan kuat menolak Imran. Dia juga punya hak untuk memilih, Bi."
"Umi
terlalu berharap padanya. Kalau cuma baik dan salihah, banyak wanita baik di
luar sana, cantik pula. Tak seperti ponakan Ustaz Hanafi itu!"
"Istighfar,
Bi. Jangan terus merendahkan Halimah hanya karena ia tidak cantik. Semua Allah
yang menciptakan. Apa Abi juga hendak menghina penciptanya?"
Pak Rudi
tertunduk mendengar ucapan istrinya. Baru ia sadari, tak semestinya ia menghina
fisik Halimah. Itu sama saja ia menghina Zat yang menciptakannya.
"Sudahlah,
Abi mau istirahat. Biarkan Imran mencari pasangannya sendiri. Abi tidak mau hal
ini terulang lagi." Pak Rudi akhirnya mengalah. Ia beranjak menuju kamar
sebelum anak lelaki satu-satunya itu membuka suara.
"Maafkan,
Imran. Imran yang menyuruh Halimah menolak lamaran kita." Lelaki tampan
itu akhirnya berhasil mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk mengakui
kesalahan pada kedua orang tua. Ia tak kuat terus mendengar sang ayah menghina
Halimah. Ada sakit yang menjalari hatinya.
Pak Rudi dan Bu
Yani menatapnya tak percaya.
"Apa kamu
bilang, Imran?" tanya Pak Rudi demi menegaskan apa yang ia dengar.
"Imran yang
menyuruh Halimah menolak lamaran. Imran yang salah. Maafkan Imran, Abi,
Umi."
'Plak!'
Sebuah tamparan
keras dari telapak tangan yang mulai keriput milik ayahnya berhasil mendarat
tepat di pipi kiri Imran.
"Bi!"
Bu Yani sontak menarik suaminya menjauh dari Imran.
"Bagaimana
mungkin kamu bisa bertindak sebagai pengecut begitu, Imran?!" teriak Pak
Rudi.
"Kamu
keterlaluan, Nak!" Bu Yani menimpali.
Dokter muda itu
bergeming. Rasa bersalah yang begitu besar menyergap. Pengecut, sebuah kata
yang memang pantas untuknya.
♥♥♥
Halimah duduk di
tepi ranjang. Membuka laci nakas, mengambil selembar foto kedua orang tua.
Melihat senyum ayah dan ibu yang tergambar di sana, Halimah kembali terisak.
Betapa ia merindukan sosok mereka.
Ia teringat masa
kecilnya, kala bermain bersama teman-teman. Ejekan tak pernah absen dari
mulut-mulut kecil mereka. Halimah kecil selalu menjadi bulan-bulanan teman
sekolah maupun tetangganya.
'Eh, si hitam
pesek, ambilin bonekaku, donk.'
'Halimah, kamu
gak boleh ikut main sama kami. Kamu itu jelek, sana pergi!'
'Kita main
putri-putrian, yuk. Halimah jadi nenek sihirnya, kan mukanya mirip.'
'Ih, kamu anak
siapa sih? Orang tuamu cantik dan ganteng, kok kamu jelek?'
Berbagai kalimat
yang menusuk sanubarinya terlontar begitu saja dari mulut-mulut mereka yang
punya hati. Bukan hanya anak-anak, bahkan orang dewasa pun kerap menghinanya.
Andai tak ada kedua orang tua yang sangat menyayanginya, entah bagaimana
kondisi kejiwaannya kini.
♥♥♥
"Halimah,
kok murung, sih?" tanya Fatia di atas bangku taman, sambil memperhatikan
murid-murid TK bermain.
"Gak apa,
Fat."
"Ada apa?
Bagaimana khitbahnya tadi malam?"
Halimah
menggeleng. Fatia mampu menangkap apa yang terjadi dari sorot mata Halimah.
"Gagal
lagi?" tanya Fatia memastikan. Halimah hanya mengangguk.
"Ya Rabb
... sungguh besar ujian untuk sahabatku." Mata Fatia berkaca-kaca. Ia
genggang lembut tangan sahabatnya untuk menguatkan.
"Jangan
nangis, Fat. Nanti dilihat anak-anak."
"Gimana
ceritanya, Mah? Bukannya kemarin ...."
"Nanti aku
ceritakan," potong Halimah.
Selesai jam
sekolah, Halimah dan Fatia duduk di taman tempat mereka tadi mengawasi
anak-anak. Ia menceritakan perihal lamaran keluarga Imran, juga permintaan
Imran padanya. Fatia-lah satu-satunya tempat ia menceritakan hal itu. Paman dan
bibinya tak boleh tau, ia tak ingin menambah kesedihan mereka.
Suara deru mobil
terdengar berhenti di depan sekolah. Tak lama, pria muda tampan berdiri di
depan gerbang. Sejenak mencari sosok yang ingin ditemuinya. Kemudian sepasang
manik cokelatnya beradu dengan sepasang manik hitam di taman sekolah.
"Lelaki
pengecut itu, mau apa dia ke mari?" umpat Fatia.
"Fatia
...." Halimah menegur sahabatnya agar lebih sabar.
Gadis itu
beranjak menghampiri Imran.
"Ada apa
ya, Akhi? Apa yang kulakukan masih kurang?" tanya Halimah tanpa basa basi.
Kemarahan tergambar jelas di wajahnya. Ya, ia berhak marah atas tindakan buruk
orang kepadanya, namun masih dalam batas yang tak melanggar syariat.
Pertanyaan
Halimah bagai belati tajam yang menusuk di dada. Entah kenapa Imran merasa
bagai pecundang yang telah berbuat kejam. Lidahnya kelu, ia bingung harus
memulainya dari mana.
"Jika tidak
ada hal yang penting, silakan pergi. Urusan kita sudah selesai."
Halimah berbalik
menghampiri Fatia. Bergegas mengambil tas dan mengajak sahabatnya segera
meninggalkan sekolah. Keduanya berjalan melewati Imran yang mematung di tepi
gerbang.
"Ternyata
begini akhlak dokter muda yang katanya alim itu?" sindir Fatia ketika
berada tepat di depan Imran.
Halimah menarik
lengan Fatia untuk segera menyeberang jalan meninggalkan Imran.
Imran bergeming,
kemudian menyadari kedua gadis itu telah berada di seberang jalan. Ia berlari
menyusul mereka sambil berteriak, "Halimah, aku minta maaf!"
'Brakk!' Sebuah
sepeda motor dengan laju kencang menabrak pria yang berlari menyeberangi jalan.
Halimah menoleh.
Kedua matanya membulat sempurna. Tubuhnya gemetar menyaksikan pemandangan di
depan mata. Kalimat terakhir Imran beberapa detik lalu masih bisa terdengar
olehnya.
Bersambung
Riau, 26 Juli 2019
Riau, 26 Juli 2019
Biodata:
Penulis adalah
seorang ibu rumah tangga dengan dua orang putra. Ingin mengembangkan kemampuan
dalam dunia literasi. Berharap dapat melahirkan banyak karya yang bermanfaat
bagi orang banyak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.