#Jumat_Cerbung - Mutiara yang Tak Tersentuh Bab 1 - Isdamaya Seka - Sastra Indonesia Org





“Sabar, ya, Halimah. Belum jodoh kamu. Insyaa Allah akan datang yang lebih baik.” Ustaz Hanafi, paman Halimah berusaha menguatkan hati ponakannya.
Gadis itu mengangguk pelan. Menunduk, nanar menatap lantai keramik berwarna putih. Dalam ia menarik nafas, seraya beristigfar kepada Sang Pemilik Jiwa
Lagi ... penolakan demi penolakan ia terima dari sekian banyak lelaki yang taaruf dengannya. Orang-orang pilihan Ustaz Hanafi, yang dianggap baik akhlak dan pemahaman agamanya. Sayang, mereka tetaplah seorang pria, yang memandang kaum hawa dari fisik belaka
“Halimah istirahat dulu, Ustaz, Ammah.” Wanita salihah itu beranjak, melangkah perlahan menuju kamarnya
“Halimah ...,” panggil Bu Piana. Gadis itu menoleh. Sang bibi mendekat dan memeluknya erat
“Iya, Ammah.
“Allah telah menyiapkan lelaki terbaik untuk gadis salihah sepertimu. Mutiara berharga tentu tak sembarang orang dapat memilikinya.” Wanita paruh baya yang membesarkannya sejak SMA itu selalu bisa memberi ketenangan di hatinya
“Terima kasih, Ammah. Halimah tidak apa-apa. Semua telah diatur oleh-Nya.” Senyum terkembang dari bibirnya. Tak pernah sekali pun keluhan keluar dari sana.

∞∞∞
Halimah Syafa namanya. Usianya 25 tahun. Wanita salihah yang menjaga diri dari segala yang diharamkan. Taat perintah-Nya, serta lembut bertutur kata. Tak banyak bicara, hanya senyuman yang sering ia tunjukkan.
Ia tak seberuntung gadis-gadis lain. Tubuhnya yang pendek, berkulit hitam, sepasang bibir tebal berwarna gelap, alis tipis, serta paras yang tak menawan sama sekali, membuat para lelaki yang bahkan alim sekali pun mundur setelah melihatnya. Ah, betapa munafiknya mereka, melalaikan ilmu dalam mencari istri. Tak mampu melihat mutiara yang tersimpan dalam diri bidadari surga tersebut.
Tidak ada yang ingin terlahir dengan fisik tak menarik, begitu pun Halimah. Ia tak bisa memilih terlahir dengan tubuh dan wajah cantik. Segala pemberian-Nya adalah rahmat. Jelek dan bagus harus disyukuri, agar tak menjadi hamba-Nya yang kufur.
Halimah duduk di tepi ranjang, mengambil mushaf dari atas nakas. Kedua bibirnya fasih melafalkan ayat-ayat cinta dari-Nya. Suara merdu dengan alunan tajwid mengalun indah dalam ruangan yang didominasi dengan warna biru muda. Begitulah cara ia mengadu Pada Tuhannya.
Tiga puluh menit Halimah membaca Alquran. Ketenangan itu menjalari seluruh ruang hatinya. Ia buka laci nakas, mengambil satu lembar kertas yang menampilkan foto sepasang suami istri.
“Abah, Umi, Halimah rindu ....” Bulir-bulir bening itu berdesakan di sudut mata, merembes keluar mengaliri pipi tirusnya. Saat hati mendung, foto kedua orang tua adalah obat kedua baginya setelah Alquran.
Melihat foto abah dan uminya, kembali mengingatkan kejadian sembilan tahun silam.
Halimah remaja, duduk di atas sajadah dengan mukenah putih. Melantunkan ayat suci selepas salat Isya. Anak tunggal tersebut sedang berada di rumah Ustaz Hanafi. Kedua orang tuanya menghadiri acara pernikahan anak rekan bisnis di luar kota.
Dering telepon rumah Ustaz Hanafi terdengar nyaring dari kamar yang ditempati Halimah.
"Assalaamu’alaikum ... iya, benar. Apa? Innalillahi wainnailaihi rojuuun . Iya, kami segera ke sana." Suara Bu Piana terdengar syok di telinga Halimah. Ia bergegas merapikan perlengkapan salat.
"Halimah ...." Bu Piana menghambur ke arahnya sebelum ia sempat keluar dari kamar.
"Ammah, ada apa?" tanya gadis itu panik.
"Kamu yang kuat ya, Sayang. Semua yang terjadi sudah tertulis di lauhul mahfuz," ucap Bu Piana parau. Menahan sesak dan bulir bening di sudut mata.
Halimah melepaskan pelukan bibinya.
"Ammah, tolong katakan ada apa?"
"Abah dan umimu mengalami kecelakaan."
"Innalillah ...." Halimah syok. Kedua kaki tak mampu menopang berat tubuh mungil itu. Tubuhnya bergetar hebat. Bu Piana segera memeluknya, mengucapkan istighfar berulang kali di telinga gadis remaja tersebut.
Kilas balik peristiwa nahas itu berputar di kepalanya. Ia seka air mata dengan punggung tangan. Meletakkan kembali foto kedua orang tua dalam nakas. Merebahkan tubuh mungilnya di kasur. Segala penat dan lelah yang ia rasakan seolah keluar dari setiap pori kulit.
“Ya Rahman, aku percaya Engkau telah menyiapkan yang terbaik untukku. Beri aku kesabaran yang lebih besar menghadapi semuanya Wahai Rabb-ku ....”
Halimah menutup hari dengan doa. Menjemput mimpi yang teramat indah dibanding kehidupan sebenarnya.

∞∞∞



“Halimah, gimana taarufnya semalam?” tanya Fatia, sahabat sekaligus rekan mengajar anak-anak di TK An Nur.
“Seperti biasa, Fat,” jawab Halimah sembari menyusun buku tugas para murid.
“Sabar, ya, Mah. Mungkin tidak jodoh.”
Halimah mengembuskan napas berat dan berkata, “Semuanya sama saja, Fat. Bagi kaum adam, fisik wanita itu penting dan hal utama dalam mencari istri.”
“Tak semuanya seperti itu, Mah.”
“Tapi faktanya begitu, Fatia. Berapa ikhwan yang dibawa Ustaz Hanafi, semuanya membatalkan taaruf setelah melihatku,” keluh Halimah dengan suara parau.
“Yakinlah bahwa Allah masih menyimpan yang terbaik buatmu, Mah ....” Fatia menepuk pelan pundak sahabatnya.
“Sudahlah, Fat. Aku tidak ingin membahasnya. Oh ya, bagaimana persiapan pernikahanmu?”
“Alhamdulillah sudah beres, Mah. Tinggal menunggu hari H saja. Kamu harus nemenin aku ya malam sebelum akad nikah.”
“Insyaa Allah. Barakallah ya, Fat. Semoga dimudahkan segalanya ....”
“Aamiin ... semoga dimudahkan juga jalan jodohmu, ya, sahabatku.” Dua sahabat baik itu saling melempar senyum. Sesungguhnya, sahabat yang baik adalah yang selalu mendoakan kebaikan bagi sahabatnya.
‘Aku tidak seberuntung kamu yang memiliki fisik indah, Fat. Entah kapan aku akan merasakan nikmatnya menyempurnakan separuh agama.’ Halimah membatin sebelum ia menyadari kesalahannya.
“Astaghfirullah ... aku tidak bersyukur,” gumamnya.

∞∞∞

"Halimah, antar ammah ke rumah Bu Yani, ya."
"Iya, Ammah. Ini kue pesanan Bu Yani semua, Amm?"
"Hu'uh. Imran, anak Bu Yani yang kuliah di Jakarta sudah lulus dan menjadi dokter. Jadi mereka mau buat syukuran keluarga."
"Oh ...."
"Sekalian ngenalin kamu ke dia. Ammah dan Bu Yani sudah membicarakannya. Siapa tau jodoh."
"Tapi Ammah ...."
"Kenapa?"
"Seperti biasa, Ammah. Setiap lelaki yang datang selalu mundur. Halimah takut kali ini tidak kuat menerima kenyataan yang sama."
"Berpikir positif, Sayang. Allah sebagaimana prasangka hamba-Nya," ucap Bu Piana.
"Tapi ...."
"Bismillah ... kita mohon yang terbaik pada-Nya."

Tbc

Riau, 05 Juli 2019

Biodata:

Penulis adalah seorang ibu rumah tangga berusia 28 tahun. Baru belajar dunia literasi sejak bergabung di salah satu grup literasi di Facebook. Memiliki karya berupa novel solo adalah harapannya saat ini.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "#Jumat_Cerbung - Mutiara yang Tak Tersentuh Bab 1 - Isdamaya Seka - Sastra Indonesia Org"

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.