“Sabar,
ya, Halimah. Belum jodoh kamu. Insyaa Allah akan datang yang lebih baik.” Ustaz
Hanafi, paman Halimah berusaha menguatkan hati ponakannya.
Gadis
itu mengangguk pelan. Menunduk, nanar menatap lantai keramik berwarna putih.
Dalam ia menarik nafas, seraya beristigfar kepada Sang Pemilik Jiwa
Lagi
... penolakan demi penolakan ia terima dari sekian banyak lelaki yang taaruf
dengannya. Orang-orang pilihan Ustaz Hanafi, yang dianggap baik akhlak dan
pemahaman agamanya. Sayang, mereka tetaplah seorang pria, yang memandang kaum
hawa dari fisik belaka
“Halimah
istirahat dulu, Ustaz, Ammah.” Wanita salihah itu beranjak, melangkah perlahan
menuju kamarnya
“Halimah
...,” panggil Bu Piana. Gadis itu menoleh. Sang bibi mendekat dan memeluknya
erat
“Iya,
Ammah.
“Allah
telah menyiapkan lelaki terbaik untuk gadis salihah sepertimu. Mutiara berharga
tentu tak sembarang orang dapat memilikinya.” Wanita paruh baya yang
membesarkannya sejak SMA itu selalu bisa memberi ketenangan di hatinya
“Terima
kasih, Ammah. Halimah tidak apa-apa. Semua telah diatur oleh-Nya.” Senyum
terkembang dari bibirnya. Tak pernah sekali pun keluhan keluar dari sana.
∞∞∞
Halimah
Syafa namanya. Usianya 25 tahun. Wanita salihah yang menjaga diri dari segala
yang diharamkan. Taat perintah-Nya, serta lembut bertutur kata. Tak banyak
bicara, hanya senyuman yang sering ia tunjukkan.
Ia
tak seberuntung gadis-gadis lain. Tubuhnya yang pendek, berkulit hitam,
sepasang bibir tebal berwarna gelap, alis tipis, serta paras yang tak menawan
sama sekali, membuat para lelaki yang bahkan alim sekali pun mundur setelah
melihatnya. Ah, betapa munafiknya mereka, melalaikan ilmu dalam mencari istri.
Tak mampu melihat mutiara yang tersimpan dalam diri bidadari surga tersebut.
Tidak
ada yang ingin terlahir dengan fisik tak menarik, begitu pun Halimah. Ia tak
bisa memilih terlahir dengan tubuh dan wajah cantik. Segala pemberian-Nya
adalah rahmat. Jelek dan bagus harus disyukuri, agar tak menjadi hamba-Nya yang
kufur.
Halimah
duduk di tepi ranjang, mengambil mushaf dari atas nakas. Kedua bibirnya fasih
melafalkan ayat-ayat cinta dari-Nya. Suara merdu dengan alunan tajwid mengalun
indah dalam ruangan yang didominasi dengan warna biru muda. Begitulah cara ia
mengadu Pada Tuhannya.
Tiga
puluh menit Halimah membaca Alquran. Ketenangan itu menjalari seluruh ruang
hatinya. Ia buka laci nakas, mengambil satu lembar kertas yang menampilkan foto
sepasang suami istri.
“Abah,
Umi, Halimah rindu ....” Bulir-bulir bening itu berdesakan di sudut mata,
merembes keluar mengaliri pipi tirusnya. Saat hati mendung, foto kedua orang
tua adalah obat kedua baginya setelah Alquran.
Melihat
foto abah dan uminya, kembali mengingatkan kejadian sembilan tahun silam.
Halimah
remaja, duduk di atas sajadah dengan mukenah putih. Melantunkan ayat suci
selepas salat Isya. Anak tunggal tersebut sedang berada di rumah Ustaz Hanafi.
Kedua orang tuanya menghadiri acara pernikahan anak rekan bisnis di luar kota.
Dering
telepon rumah Ustaz Hanafi terdengar nyaring dari kamar yang ditempati Halimah.
"Assalaamu’alaikum
... iya, benar. Apa? Innalillahi wainnailaihi rojuuun . Iya, kami segera ke
sana." Suara Bu Piana terdengar syok di telinga Halimah. Ia bergegas
merapikan perlengkapan salat.
"Halimah
...." Bu Piana menghambur ke arahnya sebelum ia sempat keluar dari kamar.
"Ammah,
ada apa?" tanya gadis itu panik.
"Kamu
yang kuat ya, Sayang. Semua yang terjadi sudah tertulis di lauhul mahfuz,"
ucap Bu Piana parau. Menahan sesak dan bulir bening di sudut mata.
Halimah
melepaskan pelukan bibinya.
"Ammah,
tolong katakan ada apa?"
"Abah
dan umimu mengalami kecelakaan."
"Innalillah
...." Halimah syok. Kedua kaki tak mampu menopang berat tubuh mungil itu.
Tubuhnya bergetar hebat. Bu Piana segera memeluknya, mengucapkan istighfar
berulang kali di telinga gadis remaja tersebut.
Kilas
balik peristiwa nahas itu berputar di kepalanya. Ia seka air mata dengan
punggung tangan. Meletakkan kembali foto kedua orang tua dalam nakas.
Merebahkan tubuh mungilnya di kasur. Segala penat dan lelah yang ia rasakan
seolah keluar dari setiap pori kulit.
“Ya
Rahman, aku percaya Engkau telah menyiapkan yang terbaik untukku. Beri aku
kesabaran yang lebih besar menghadapi semuanya Wahai Rabb-ku ....”
Halimah
menutup hari dengan doa. Menjemput mimpi yang teramat indah dibanding kehidupan
sebenarnya.
∞∞∞
“Halimah,
gimana taarufnya semalam?” tanya Fatia, sahabat sekaligus rekan mengajar
anak-anak di TK An Nur.
“Seperti
biasa, Fat,” jawab Halimah sembari menyusun buku tugas para murid.
“Sabar,
ya, Mah. Mungkin tidak jodoh.”
Halimah
mengembuskan napas berat dan berkata, “Semuanya sama saja, Fat. Bagi kaum adam,
fisik wanita itu penting dan hal utama dalam mencari istri.”
“Tak
semuanya seperti itu, Mah.”
“Tapi
faktanya begitu, Fatia. Berapa ikhwan yang dibawa Ustaz Hanafi, semuanya
membatalkan taaruf setelah melihatku,” keluh Halimah dengan suara parau.
“Yakinlah
bahwa Allah masih menyimpan yang terbaik buatmu, Mah ....” Fatia menepuk pelan
pundak sahabatnya.
“Sudahlah,
Fat. Aku tidak ingin membahasnya. Oh ya, bagaimana persiapan pernikahanmu?”
“Alhamdulillah
sudah beres, Mah. Tinggal menunggu hari H saja. Kamu harus nemenin aku ya malam
sebelum akad nikah.”
“Insyaa
Allah. Barakallah ya, Fat. Semoga dimudahkan segalanya ....”
“Aamiin
... semoga dimudahkan juga jalan jodohmu, ya, sahabatku.” Dua sahabat baik itu
saling melempar senyum. Sesungguhnya, sahabat yang baik adalah yang selalu
mendoakan kebaikan bagi sahabatnya.
‘Aku
tidak seberuntung kamu yang memiliki fisik indah, Fat. Entah kapan aku akan
merasakan nikmatnya menyempurnakan separuh agama.’ Halimah membatin sebelum ia
menyadari kesalahannya.
“Astaghfirullah
... aku tidak bersyukur,” gumamnya.
∞∞∞
"Halimah, antar ammah ke rumah Bu Yani, ya."
"Iya,
Ammah. Ini kue pesanan Bu Yani semua, Amm?"
"Hu'uh.
Imran, anak Bu Yani yang kuliah di Jakarta sudah lulus dan menjadi dokter. Jadi
mereka mau buat syukuran keluarga."
"Oh
...."
"Sekalian
ngenalin kamu ke dia. Ammah dan Bu Yani sudah membicarakannya. Siapa tau
jodoh."
"Tapi
Ammah ...."
"Kenapa?"
"Seperti
biasa, Ammah. Setiap lelaki yang datang selalu mundur. Halimah takut kali ini
tidak kuat menerima kenyataan yang sama."
"Berpikir
positif, Sayang. Allah sebagaimana prasangka hamba-Nya," ucap Bu Piana.
"Tapi
...."
"Bismillah
... kita mohon yang terbaik pada-Nya."
Tbc
Riau, 05 Juli 2019
Biodata:
Penulis
adalah seorang ibu rumah tangga berusia 28 tahun. Baru belajar dunia literasi
sejak bergabung di salah satu grup literasi di Facebook. Memiliki karya berupa
novel solo adalah harapannya saat ini.
0 Response to "#Jumat_Cerbung - Mutiara yang Tak Tersentuh Bab 1 - Isdamaya Seka - Sastra Indonesia Org"
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.