Halimah yang malang, menangis dalam doa. Baru saja
bahagia itu hadir, membawanya terbang tinggi. Sesaat kemudian menghempaskannya
kuat hingga hancur berkeping-keping. Haruskah ia menuruti ego demi
menyempurnakan separuh agama? Ataukah ia akan menjadi wanita yang terus
menyendiri?
Selepas magrib ia terus bermunajat kepada-Nya.
Melantunkan ayat suci penyejuk hati. Hingga azan Isya berkumandang, ia
melanjutkan apa yang menjadi kewajiban setiap umat Islam.
'Tok tok.' Ketukan di pintu kamar Halimah.
"Assalamualaikum, Mah. Kalau sudah salat Isya,
temui Ammah ya di depan."
"Wa'alaikumussalam ... iya, Ammah." Ia
bergegas merapikan kembali peralatan salatnya. Menemui Bu Piana dan Ustaz
Hanafi yang baru kembali dari masjid.
"Halimah, semoga ini yang terbaik buat
kamu," ucap Ustaz Hanafi.
Gadis itu hanya menunduk. Hatinya resah, ia masih
bimbang atas keputusannya.
"Ada sesuatu yang kamu pikirkan?" tanya Bu
Piana.
"Tidak, Ammah." Ia berbohong agar kedua
orang yang menyayanginya itu tidak khawatir.
"Semua keputusan ada padamu. Ustaz dan Ammah
hanya bisa merestui."
"Terima kasih, Ustaz."
Tak lama terdengar deru mobil dari halaman rumah Ustaz
Hanafi.
"Nah, itu mereka sudah datang. Kamu jangan gugup,
santai saja," ucap Bu Piana, dijawab dengan anggukan oleh Halimah.
"Assalamualaikum ...." Imran dan kedua orang
tuanya datang dengan membawa satu keranjang parsel berisi aneka buah.
"Wa'alaikumussalam ... masyaa Allah, Pak Rudi, Bu
Yani, silakan masuk. Nak Imran ... lama tidak melihatmu. Bagaimana
kabarnya?" Ustaz Hanafi menyambut kedatangan mereka. Memeluk Pak Rudi dan
Imran bergantian.
"Alhamdulillah baik, Ustaz." Pemuda itu
melirik sekilas ke arah Halimah. Hatinya gusar menanti keputusan Halimah.
"Silakan duduk ...," sambut Bu Piana.
Berjabat tangan dan menepelkan pipi kanan dan kiri pada Bu Yani. Begitu juga
yang dilakukan Halimah. Tanda kasih sayang pada sesama umat ketika bertemu.
Sejenak Halimah menoleh pada Imran, membaca raut wajah
lelaki itu. Ada kecemasan di sana. Kecemasan akan nasib kehidupannya kelak.
Setelah sedikit beramah tamah, Pak Rudi pun akhirnya
menyampaikan tujuan mereka datang ke rumah Ustaz Hanafi.
"Seperti yang sudah Ustaz ketahui, bahwa
kedatangan kami ke sini selain silaturahim, juga untuk menyatukan ikatan
keluarga. Kami hendak melamarkan Halimah untuk Imran. Kami sangat berharap,
wanita salihah seperti Halimah bisa mendampingi anak bungsu kami yang juga anak
lelaki satu-satunya. Bagaimana Ustaz Hanafi?" Lelaki berusia lanjut itu
menuturkan niatnya.
"Saya sangat senang akan niat Pak Rudi sekeluarga.
Terima kasih sekali Bapak bersedia menjadikan Halimah sebagai menantu. Namun
untuk keputusannya, sepenuhnya saya serahkan kepada Halimah."
Semua mengangguk menanggapi kalimat Ustaz Hanafi,
kecuali pemuda tampan berkemeja biru muda yang terus menunduk. Ia tak berani
menatap wajah teduh gadis yang duduk di ujung sofa.
"Silakan, Halimah. Pak Rudi dan keluarga menunggu
keputusan kamu," ucap Ustaz Hanafi.
"Mungkin Nak Halimah butuh waktu untuk berpikir
dulu. Jika belum bisa menjawab sekarang, kami bisa menunggu. Seminggu cukup,
Nak?" tanya Bu Yani pada Halimah.
Gadis itu bergeming. Ia masih berusaha memantapkan
hati untuk memutuskan.
"Halimah ....." Bu Piana menggenggam sejenak
tangan berkulit hitam milik Halimah. Menegurnya untuk segera memberi tanggapan.
"Bismillah ... terima kasih atas niat baik Pak
Rudi dan keluarga. Saya sangat senang, pada akhirnya ada keluarga yang menyukai
saya tanpa memandang kekurangan dalam diri saya ...." Pelan dan terdengar
sedikit parau Halimah berkata-kata. Mengambil nafas panjang sejenak agar lebih
tenang, kemudian melanjutkan kalimatnya, "Namun saya juga tidak ingin
kekurangan saya ini menjadi beban bagi Akh Imran kelak."
Mereka semua saling melempar pandang. Bertanya-tanya
maksud dari kalimat yang terakhir diucapkan wanita berhati lembut itu.
"Saya ...." Halimah tak mampu meneruskan
kalimatnya. Matanya semakin panas. Bulir benang yang tertahan itu akhirnya
mengalir perlahan. Ia mengelus dadanya dari dalam jilbab besar berwarna hitam.
"Halimah ... kenapa?" Bu Piana memegang pundaknya.
Menguatkan keponakan tersayang yang sudah ia anggap sebagai anak sendiri.
"Maafkan saya ... saya tidak bisa menerima
lamaran Akh Imran." Sebuah keputusan telah keluar dari bibirnya.
Semua orang menatapnya tak percaya, tak terkecuali
Imran. Ia menyangka Halimah akan menolak permintaannya. Ternyata gadis itu tak
seegois yang ia pikirkan.
"Halimah, kamu menolak?" tanya Bu Piana. Ia
mengangguk.
"Maafkan saya, Ammah," ucapnya dengan menahan
rasa sakit di hati.
Semua orang terkejut mendengar keputusannya. Bu Yani
yang begitu menyukainya terlihat sangat kecewa dengan apa yang gadis itu
ucapkan.
Imran, lelaki yang sedari tadi hanya diam itu merasa
lega atas keputusan Halimah. Namun ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
Entah apa, dokter muda itu tak mau memikirkannya. Baginya, lepas dari
pernikahan dengan wanita yang akan membuatnya malu sebagai seorang dokter
adalah sebuah kebahagiaan.
"Apa kami tidak salah dengar? Kamu menolak
Imran?" Pak Rudi menegaskan kembali apa yang didengarnya. Seolah tak
percaya, sosok Halimah menolak anaknya yang nyaris sempurna.
"Maafkan saya, Pak, Bu, Imran terlalu sempurna
buat saya. Saya tidak pantas mendampinginya. Sekali lagi maafkan saya
...." Gadis itu tak kuasa lagi menahan tangis. Hatinya terlampau sakit.
Memberi harapan pada kedua orang tua Imran, kemudian mempermalukan mereka.
Bukan hanya mereka, tapi juga kedua paman dan bibinya.
"Halimah, keputusan kamu sudah bulat? Sudah
dipikirkan matang-matang?" tanya Bu Piana lagi. Anggukan Halimah
mempertegas jawabannya.
Ustaz Hanafi menghela nafas panjang. Tak menyangka
Halimah akan menolak kesempatan yang datang. Yang entah kapan lagi Allah akan
mengirimkan ikhwan untuk mengkhitbahnya.
"Maafkan saya, Pak Rudi, Bu Yani," ucap
Ustaz Hanafi.
Tampak amarah menyelimuti wajah Pak Rudi. Tangannya
terkepal erat di samping kemeja batik yang dikenakan. Dipermainkan oleh gadis
buruk rupa, itu yang ia rasakan.
Bu Yani tak kalah terkejut dengan keputusan Halimah.
Pertemuan kemarin dengannya menyiratkan penerimaan. Namun yang terjadi malam
ini sungguh di luar dugaan. Ia menggeleng kecewa.
"Saya tidak menyangka keluarga seorang ustaz bisa
mempermainkan orang lain. Harga diri kami sudah terinjak-injak di sini oleh
seorang gadis seperti itu!" Pak Rudi mengarahkan telunjuknya pada Halimah.
"Maaf, gadis seperti apa yang bapak maksud?"
Ustaz Hanafi seolah tak terima dengan sindiran halus Pak Rudi pada ponakannya.
"Gadis jelek seperti Halimah terlalu beruntung
dilamar anak saya!"
Ustaz Hanafi menahan emosinya. Ia istigfar
berkali-kali demi mencegah keributan di rumahnya.
Imran mematung. Mendadak ada perih di hati mendengar
hinaan ayahnya kepada Halimah.
"Bi, tidak baik bicara seperti itu. Halimah pasti
punya alasan," bela Bu Yani.
Gadis itu hanya menunduk, berusaha kuat mehanan
isakan.
"Imran, ayo kita pulang!" perintah Pak Rudi.
"Ustaz, Piana, maafkan sikap suami saya."
"Umi, ayo!" Pak Rudi menarik tangan Bu Yani
agar segera keluar dari rumah Ustaz Hanafi.
Imran menatap nanar pada Halimah. Haruskah ia mengaku
jika ia yang menyuruh wanita malang itu menolaknya? Rasa bersalah menyergap,
berat ia melangkah meninggalkan Halimah yang terluka. Sayang, ego dan gengsi
membuatnya pulang sebagai seorang pecundang, yang bersembunyi di balik air mata
wanita.
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.