Sabtu, 20 Juli 2019

#Jumat_Cerbung - Mutiara yang Tak Tersentuh - Isdamaya Seka Part 3 - Sastra Indonesia Org





Halimah yang malang, menangis dalam doa. Baru saja bahagia itu hadir, membawanya terbang tinggi. Sesaat kemudian menghempaskannya kuat hingga hancur berkeping-keping. Haruskah ia menuruti ego demi menyempurnakan separuh agama? Ataukah ia akan menjadi wanita yang terus menyendiri?
Selepas magrib ia terus bermunajat kepada-Nya. Melantunkan ayat suci penyejuk hati. Hingga azan Isya berkumandang, ia melanjutkan apa yang menjadi kewajiban setiap umat Islam.
'Tok tok.' Ketukan di pintu kamar Halimah.
"Assalamualaikum, Mah. Kalau sudah salat Isya, temui Ammah ya di depan."
"Wa'alaikumussalam ... iya, Ammah." Ia bergegas merapikan kembali peralatan salatnya. Menemui Bu Piana dan Ustaz Hanafi yang baru kembali dari masjid.
"Halimah, semoga ini yang terbaik buat kamu," ucap Ustaz Hanafi.
Gadis itu hanya menunduk. Hatinya resah, ia masih bimbang atas keputusannya.
"Ada sesuatu yang kamu pikirkan?" tanya Bu Piana.
"Tidak, Ammah." Ia berbohong agar kedua orang yang menyayanginya itu tidak khawatir.
"Semua keputusan ada padamu. Ustaz dan Ammah hanya bisa merestui."
"Terima kasih, Ustaz."
Tak lama terdengar deru mobil dari halaman rumah Ustaz Hanafi.
"Nah, itu mereka sudah datang. Kamu jangan gugup, santai saja," ucap Bu Piana, dijawab dengan anggukan oleh Halimah.
"Assalamualaikum ...." Imran dan kedua orang tuanya datang dengan membawa satu keranjang parsel berisi aneka buah.
"Wa'alaikumussalam ... masyaa Allah, Pak Rudi, Bu Yani, silakan masuk. Nak Imran ... lama tidak melihatmu. Bagaimana kabarnya?" Ustaz Hanafi menyambut kedatangan mereka. Memeluk Pak Rudi dan Imran bergantian.
"Alhamdulillah baik, Ustaz." Pemuda itu melirik sekilas ke arah Halimah. Hatinya gusar menanti keputusan Halimah.
"Silakan duduk ...," sambut Bu Piana. Berjabat tangan dan menepelkan pipi kanan dan kiri pada Bu Yani. Begitu juga yang dilakukan Halimah. Tanda kasih sayang pada sesama umat ketika bertemu.
Sejenak Halimah menoleh pada Imran, membaca raut wajah lelaki itu. Ada kecemasan di sana. Kecemasan akan nasib kehidupannya kelak.
Setelah sedikit beramah tamah, Pak Rudi pun akhirnya menyampaikan tujuan mereka datang ke rumah Ustaz Hanafi.
"Seperti yang sudah Ustaz ketahui, bahwa kedatangan kami ke sini selain silaturahim, juga untuk menyatukan ikatan keluarga. Kami hendak melamarkan Halimah untuk Imran. Kami sangat berharap, wanita salihah seperti Halimah bisa mendampingi anak bungsu kami yang juga anak lelaki satu-satunya. Bagaimana Ustaz Hanafi?" Lelaki berusia lanjut itu menuturkan niatnya.
"Saya sangat senang akan niat Pak Rudi sekeluarga. Terima kasih sekali Bapak bersedia menjadikan Halimah sebagai menantu. Namun untuk keputusannya, sepenuhnya saya serahkan kepada Halimah."
Semua mengangguk menanggapi kalimat Ustaz Hanafi, kecuali pemuda tampan berkemeja biru muda yang terus menunduk. Ia tak berani menatap wajah teduh gadis yang duduk di ujung sofa.
"Silakan, Halimah. Pak Rudi dan keluarga menunggu keputusan kamu," ucap Ustaz Hanafi.
"Mungkin Nak Halimah butuh waktu untuk berpikir dulu. Jika belum bisa menjawab sekarang, kami bisa menunggu. Seminggu cukup, Nak?" tanya Bu Yani pada Halimah.
Gadis itu bergeming. Ia masih berusaha memantapkan hati untuk memutuskan.
"Halimah ....." Bu Piana menggenggam sejenak tangan berkulit hitam milik Halimah. Menegurnya untuk segera memberi tanggapan.
"Bismillah ... terima kasih atas niat baik Pak Rudi dan keluarga. Saya sangat senang, pada akhirnya ada keluarga yang menyukai saya tanpa memandang kekurangan dalam diri saya ...." Pelan dan terdengar sedikit parau Halimah berkata-kata. Mengambil nafas panjang sejenak agar lebih tenang, kemudian melanjutkan kalimatnya, "Namun saya juga tidak ingin kekurangan saya ini menjadi beban bagi Akh Imran kelak."


Mereka semua saling melempar pandang. Bertanya-tanya maksud dari kalimat yang terakhir diucapkan wanita berhati lembut itu.
"Saya ...." Halimah tak mampu meneruskan kalimatnya. Matanya semakin panas. Bulir benang yang tertahan itu akhirnya mengalir perlahan. Ia mengelus dadanya dari dalam jilbab besar berwarna hitam.
"Halimah ... kenapa?" Bu Piana memegang pundaknya. Menguatkan keponakan tersayang yang sudah ia anggap sebagai anak sendiri.
"Maafkan saya ... saya tidak bisa menerima lamaran Akh Imran." Sebuah keputusan telah keluar dari bibirnya.
Semua orang menatapnya tak percaya, tak terkecuali Imran. Ia menyangka Halimah akan menolak permintaannya. Ternyata gadis itu tak seegois yang ia pikirkan.
"Halimah, kamu menolak?" tanya Bu Piana. Ia mengangguk.
"Maafkan saya, Ammah," ucapnya dengan menahan rasa sakit di hati.
Semua orang terkejut mendengar keputusannya. Bu Yani yang begitu menyukainya terlihat sangat kecewa dengan apa yang gadis itu ucapkan.
Imran, lelaki yang sedari tadi hanya diam itu merasa lega atas keputusan Halimah. Namun ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Entah apa, dokter muda itu tak mau memikirkannya. Baginya, lepas dari pernikahan dengan wanita yang akan membuatnya malu sebagai seorang dokter adalah sebuah kebahagiaan.
"Apa kami tidak salah dengar? Kamu menolak Imran?" Pak Rudi menegaskan kembali apa yang didengarnya. Seolah tak percaya, sosok Halimah menolak anaknya yang nyaris sempurna.
"Maafkan saya, Pak, Bu, Imran terlalu sempurna buat saya. Saya tidak pantas mendampinginya. Sekali lagi maafkan saya ...." Gadis itu tak kuasa lagi menahan tangis. Hatinya terlampau sakit. Memberi harapan pada kedua orang tua Imran, kemudian mempermalukan mereka. Bukan hanya mereka, tapi juga kedua paman dan bibinya.
"Halimah, keputusan kamu sudah bulat? Sudah dipikirkan matang-matang?" tanya Bu Piana lagi. Anggukan Halimah mempertegas jawabannya.
Ustaz Hanafi menghela nafas panjang. Tak menyangka Halimah akan menolak kesempatan yang datang. Yang entah kapan lagi Allah akan mengirimkan ikhwan untuk mengkhitbahnya.
"Maafkan saya, Pak Rudi, Bu Yani," ucap Ustaz Hanafi.
Tampak amarah menyelimuti wajah Pak Rudi. Tangannya terkepal erat di samping kemeja batik yang dikenakan. Dipermainkan oleh gadis buruk rupa, itu yang ia rasakan.
Bu Yani tak kalah terkejut dengan keputusan Halimah. Pertemuan kemarin dengannya menyiratkan penerimaan. Namun yang terjadi malam ini sungguh di luar dugaan. Ia menggeleng kecewa.
"Saya tidak menyangka keluarga seorang ustaz bisa mempermainkan orang lain. Harga diri kami sudah terinjak-injak di sini oleh seorang gadis seperti itu!" Pak Rudi mengarahkan telunjuknya pada Halimah.
"Maaf, gadis seperti apa yang bapak maksud?" Ustaz Hanafi seolah tak terima dengan sindiran halus Pak Rudi pada ponakannya.
"Gadis jelek seperti Halimah terlalu beruntung dilamar anak saya!"
Ustaz Hanafi menahan emosinya. Ia istigfar berkali-kali demi mencegah keributan di rumahnya.
Imran mematung. Mendadak ada perih di hati mendengar hinaan ayahnya kepada Halimah.
"Bi, tidak baik bicara seperti itu. Halimah pasti punya alasan," bela Bu Yani.
Gadis itu hanya menunduk, berusaha kuat mehanan isakan.
"Imran, ayo kita pulang!" perintah Pak Rudi.
"Ustaz, Piana, maafkan sikap suami saya."
"Umi, ayo!" Pak Rudi menarik tangan Bu Yani agar segera keluar dari rumah Ustaz Hanafi.
Imran menatap nanar pada Halimah. Haruskah ia mengaku jika ia yang menyuruh wanita malang itu menolaknya? Rasa bersalah menyergap, berat ia melangkah meninggalkan Halimah yang terluka. Sayang, ego dan gengsi membuatnya pulang sebagai seorang pecundang, yang bersembunyi di balik air mata wanita.

Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.