Gagak
hitam, teman perjalanan hidupnya. Hewan yang setia dan cerdas. Dia juga
pendengar dan penyusup yang baik. Kusuma mengelus pucuk kepala hingga punggung
hewan pemakan bangkai itu. Ah, tidak. Nawala berbeda dari yang lain. Dia lebih
menyukai ayam panggang ketimbang makhluk busuk.
Ketika
teman baru Kusuma terlelap, burung itu menjauh. Tepat di bawah pohon pinus,
tubuhnya menyala. Cahaya putih dan biru terpancar, meliuk dan berputar bak
tarian dansa. Sesaat kemudian, sosok pria muncul di balik sinar yang kian
meredup. Rambut panjang tergerai. Ada segaris warna biru di sisi kiri kepala
lelaki itu, juga sehelai kain berwarna cokelat susu yang membujur dan terikat
di belakang kepala. Kain hitam yang mengalung di lehernya, berkibar. Pun jubah
yang dikenakan. Ada sabuk perak di perutnya, ukiran kepala gagak bermata
berlian biru.
Boot
hitamnya berayun, mendekati Kusuma. Dua langkah, lalu dia berlutut hormat di
hadapan tuannya. "Salam untukmu, Yang Mulia."
"Salam
juga untukmu, Nawala. Adakah kabar yang engkau bawa?"
Pria
beriris hitam itu mendongak, bangkit kemudian. Narendra terpilih menjadi
senapati.
Kusuma
mengerutkan kening. "Bagaimana bisa Narendra yang terpilih? Inikah alasan
kenapa aku dilarang hadir?"
"Hamba
belum bisa menerka. Ada kemungkinan seperti apa yang dikatakan Yang Mulia. Dan
... saya melihat ada yang lain dalam diri Nyi Roro Kidul. Beliau tampak pucat.
Padahal, sebelum tiba di Alas Purwo, wajahnya masih semringah," ucap
Nawala sembari berjalan mengikuti arah Kusuma melangkah.
"Nyi
Roro pucat? Apa Kanjeng Ratu menyadarinya?" Anting Kusuma gemerincing kala
menoleh Nawala. Untaian perak berbentuk tetesan embun itu saling membentur,
mengikuti gerak cepat pemilik telinga.
Nawala
menggeleng pelan. Dalam diam dia kembali menelusur lembar-lembar memori.
"Yang Mulia, saya melihat keanehan di tombak Cakra Langit. Berlian
merahnya meredup."
"Cakra
Langit ... meredup?"
Nawala
menunduk, meyakinkan apa yang telah dilihatnya dalam upacara penobatan.
Kemudian, pandangannya tertuju pada manusia yang terlelap di teras. Dia
mengernyit. Sejurus kemudian, pertanyaan berdebum di kepala. Keinginan hati,
ingin bertanya. Namun, rasa hormat mengurungkan niat itu. Dan syukurlah, Kusuma
menangkap apa yang ada dalam benaknya.
"Dia
manusia yang tersesat di tengah rimba. Aku menemukannya saat dia sedang beradu
dengan Maung. Dia bilang, dia ingin mengembalikan mustika milik ayahnya."
"Mustika?"
"Aku
belum tahu mustika macam apa yang dia miliki. Sebelum aku datang, entah siapa
yang telah merebutnya," terang Kusuma setelah mereka duduk di teras.
"Haruskah
hamba mencari tahu tentang itu?"
"Sudahlah.
Mungkin hanya mustika biasa. Toh dia ingin benda itu kembali ke hutan ini,
bukan?" Kusuma menghela napas. "Beribu orang datang untuk mencari
mustika, tapi dia malah hendak mengembalikannya. Dia juga ... tidak takut saat
melihat wujud asliku."
Nawala
terkejut. Bola matanya membulat. Silih berganti dia memandang kedua sosok di
hadapannya. "Ya-yang Mulia, bagaimana bisa Yang Mulia menampakkan diri di
depan manusia?"
"Semua
terjadi begitu saja. Dengan gerbang waktu, aku akan menghapus ingatannya nanti.
Saat ini, aku masih penasaran. Dia tidak takut padaku dan juga tidak
menginginkan tubuhku. Dan mungkin ... ada hal lain yang menarik
darinya."
"Tap-tapi
...."
"Nawala,
bisakah kau membantuku? Keberadaannya bersamaku mungkin akan jadi masalah.
Jadi, bisakah kau menyamarkan aroma tubuhnya?"
Nawala
mengamati pria itu, dari ujung ke ujung. Sejatinya, dia tidak yakin. Manusia
bisa saja berpura-pura baik. Tipu muslihat mereka adakalanya melebihi kaum jin.
Mahir bersilat lidah dan berlagak bersih ketika fakta terkuak.
Kusuma
masih terlalu polos akan hal itu. Nawala yakin, sang Putri hanya menuruti kata
hati tanpa menilik lebih dalam sosok yang sedang bersamanya. Hati Kusuma yang
lembut berperan dalam hal ini. Meskipun telah berulang kali terjebak, dia
tetaplah sama. Jiwa seputih milik sembahannya, Kanjeng Ratu Kidul.
"Yang
Mulia, sungguh yakinkah atas keinginan itu?"
Kusuma
melirik lelaki di sampingnya. Netra yang serupa permukaan air di tengah danau
nan luas. Tenang dan menghanyutkan siapa pun yang terjerumus ke dalamnya.
Seringai tipis terlukis indah. Namun, di balik semua sikap manis itu, Kusuma memaksa.
"Baik,
Yang Mulia. Namun, Yang Mulia harus berjanji, akan mengembalikannya ke dunia
manusia setelah mendapati yang diinginkan."
"Tentu
Nawala. Aku sendiri yang akan mengantarnya."
Keduanya
berdiri, menghadap satu-satunya manusia di sana. Nawala memejamkan mata,
merentangkan sebelah tangan ke udara. Sesaat kemudian, cahaya biru dipadu
putih, berkumpul dalam genggamnya. Energi positif-warisan leluhur
Nawala-terpancar seketika, menghantam tubuh lelaki itu, lalu menyelimutinya
serupa ular yang membelit mangsa.
Tak
butuh waktu banyak, sinar biru terang itu meredup seakan terisap pori-pori dan
lenyap dua menit kemudian. Keduanya saling pandang. Keraguan yang tak bisa
dijabarkan. Akan tetapi, hela napas Kusuma, mengubah asumsi itu. Dia yakin
dengan keputusannya.
"Terima
kasih, Nawala. Kau bisa pergi."
Kusuma
berjalan menuju sumber mata air, menapaki bebatuan dan tanah kering. Langkahnya
yang ringan seakan mengajak bunga-bunga mungil di sampingnya ikut serta.
Anyelir, clover bahkan daisy yang hanya mekar ketika mentari menyapa pun tampak
riang menyambutnya. Mereka tidak salah dan tidak menampik aura yang terpancar
jua. Nyatanya, senyum mereka laksana rasa yang tersimpan dalam dada
Kusuma.
Dari
sudut mata, dia melihat Nawala mengurai. Kepulan asap putih dan biru kembali
terlihat. Sesaat kemudian, angin membawanya hingga tak berjejak. Terdiam
sembari menatap jauh ke angkasa, dia tak bisa menyangkal bahwa terpilihnya
Narendra, cukup mengusik pikiran. Namun, dia juga tidak bisa meninggalkan
lelaki itu hanya demi menentang keputusan yang telah terlaksana. Mengabaikannya
untuk sesaat, mungkin tak mengapa.
Kusuma
membasuh muka, menyapu rambut panjangnya tanpa melepas tiara. Setelah puas
merengkuh kesegaran, dia kembali ke gubuk yang tak lain adalah istananya-bangunan
megah yang diperuntukkan khusus sebagai tempat tinggal Kusuma.
Gadis
itu mengangkat tangan kanan hingga sejajar bahu. Mantra dia lantunkan hingga
bola cahaya berwarna putih susu terbit di atas telapak tangannya. Ketika mata
terbuka, segumpal cahaya itu terbang dan meledak di angkasa. Kerlip serpihan
yang serupa bintang di atap bumi, menyebar ke segala penjuru. Satu per satu
menyentuh wujud sebenarnya bangunan itu.
Pilar-pilar
besar yang menjulang, dinding putih, dan pancuran bambu yang sebelumnya
terlihat, telah menjelma menjadi air mancur yang indah. Batu hampar tertata
berundak, air jernih mengalir dan menggenang di telaga. Di sekitarnya, tak ada
lagi tanah kering, batu pualam dan taman indah terhampar hingga undakan teras
istana.
Sosok-sosok
dayang berjejer menyambut kedatangannya. Salam terucap bersama kedua tangan
yang menyatu di depan dada mereka. Kusuma tersenyum santun, lalu melewati para
dayang juga pintu ganda yang terhias ukiran naga.
Jejak
kakinya berlanjut ke sebuah bilik berpintu perak. Pria yang sebelumnya
meringkuk di teras gubuk renta, kini terlelap di ranjang empuk berselimut kain
tebal. Dia tampak tenang dan hangat. Pria itu seakan-akan tak ingin bangun
sebelum lelahnya lenyap.
"Hei,
Pria Tanpa Nama. Bagaimana duniamu? Dulu, aku pernah bertemu dengan seorang
pria yang teraniaya. Dia menangis di tepi Pantai Trianggulasi tengah malam. Dia
sama sepertimu, hampir diterkam Maung. Dia bercerita padaku tentang kehidupan
yang teramat buruk. Hinaan dan caci maki menderanya hampir setiap waktu sebab
dia manusia yang kurang beruntung. Miskin dan tak berdaya. Kakinya pincang. Dia
memohon padaku agar bisa dipertemukan dengan Nyi Roro Kidul. Syukurlah, beliau
bermurah hati dan menerima permohonan itu. Seusai bertemu dengan Nyi Roro Kidul,
lelaki itu berjanji akan kembali, tapi ... entah. Tahun terus berganti, mungkin
dia terlupa. Atau memang begitukah manusia?"
Kusuma
memandang paras lelaki itu lekat-lekat. Ingin sekali dia memindai isi kepalanya
seperti energi yang dimiliki Kanjeng Ratu. Seutas senyum menghiasi wajah gadis
itu kala angannya mati. Kusuma sadar, energi yang dia miliki tidaklah sekuat
Nyi Roro Kidul apalagi Penguasa Laut Selatan. Jadi, itu sama sekali tidak
mungkin bisa dia lakukan.
"Siapa
pun namamu, sampai jumpa esok hari."
"Jadi,
inikah rupa kerajaan jin?
Surabaya,
19 Juli 2019
Biodata:
Penulis kini sedang
gencar mempromosikan novel keduanya berjudul 'Soul Hunter'. Dan 'Mustika' ini
adalah karya bergenre fantasy pertama untuknya. Temui dia di akun instagram
@indahkusuma.id dan akun wattpad: imajindah.
0 Response to "#Jumat_Cerbung - Mustika - Bab 5 Nawala - Indah Kusuma - Sastra Indonesia Org"
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.