Putra
terperanjat ketika melihat harimau benggala mengaum di depan mata. Hewan buas
itu tampak gagah. Keempat kakinya melangkah tegas. Kuku-kuku tajam yang siap
mengoyak raga. Belum lagi taring-taring berkilat yang dengan senang hati ingin
menembus kulit, daging, dan mematahkan tulang-belulang lelaki itu.
Dia
menelan saliva. Peluh berlomba terbit di kepala. Ketakutan yang dia pikirkan,
nyata sudah. Jika dia berlari, harimau itu jelas akan semakin beringas. Namun,
diam juga bukan pilihan yang benar. Setidaknya, ada perjuangan sebelum napas
terhenti.
Putra
berjalan mundur sebelum mengambil langkah seribu, menembus semak belukar dan
berbagai flora Alas Purwo. Pria itu mulai ragu akan jalan keluar. Tak ada
secercah asa yang tampak. Tanpa sadar, dia semakin terjerumus lebih dalam ke
tengah rimba. Berlari tak tentu arah hingga terjerembap akibat akar pohon yang
membentang.
"Aaak!"
Napasnya
terengah, peluh bercucuran membasahi sekujur tubuh. Kain yang dia kenakan, tak
lagi suci. "Ya Allah, bantu aku."
Geraman
harimau kembali terdengar. Sedikit lebih pelan daripada sebelumnya. Mungkinkah
hewan buas itu berangsur tenang dan mengabaikan, atau malah hendak mengambil
ancang-ancang sebelum menerkam?
Teringat
akan tayangan Wild Animals, Putra putus asa. Tubuh harimau itu lebih besar
darinya. Bila benar dia sedang mengambil posisi, maka habislah sudah. Harimau
itu akan menindih, lalu mengunyah satu per satu dagingnya, seperti rusa yang
tercabik berlinang air mata.
Putra
menoleh ke belakang. Masih di sana. Semakin dekat. Sang harimau mengaum begitu
keras seolah berkata, "Dia milikku!"
Ketika
Putra memejamkan mata, mendadak tubuhnya tertarik ke belakang hingga menghantam
pohon jati. Dia meringkuk dan mengabaikan nyeri di punggung. Tak lagi peduli
apa dan siapa penyebabnya. Satu yang dia mau, keluar dari sandiwara belantara.
Penyesalan
beruntung datang menghantui. Andai dia menuruti ucapan sang bunda, andai dia
membatalkan niat sesuai permintaan Wandra, andai petuah Pak Sajiman didengar
... sayang, sesuatu yang telah terjadi tak mungkin kembali.
"Kamu
baik-baik saja?"
Putra
berjingkat. Suara wanita, nyatakah dia?
Perlahan,
Putra membuka mata. Paras ayu yang terlihat, menambah keterkejutannya. Putra berteriak
lantang, bola matanya membulat, bibir kelu tak bisa berucap. Tanpa kedip, dia
memandang kalut.
"Aku
tidak akan menyakitimu. Namaku Kusuma. Kamu?" Gadis itu menjulurkan
tangan. Sementara Putra hanya bisa menonton gerak jemari lentik yang bercahaya.
Dia bertanya kepada hati, Siapa wanita itu?
Putra
kembali mengingat akan sederet makhluk gaib yang mampu berubah wujud.
Membayangkan jika ternyata gadis cantik di depannya adalah sosok buruk rupa,
dia lantas menutup mata rapat-rapat.
"Pergi!
Pergi!"
Kusuma
mendesah, lalu jongkok di samping pria itu. Dilihatnya sorot mata yang
meneriakkan penolakan, juga ketakutan. "Setidaknya, ada ucapan 'terima
kasih' sebelum kamu menyuruhku pergi." Dia berdiri, berlagak acuh tak
acuh, "baiklah, aku akan pergi. Semoga kamu bisa keluar dari hutan ini
tanpa luka."
Kusuma
menjauh meski hati menentang itu. Di setiap langkahnya, ada permintaan yang
terucap: hentikan aku!
Namun,
hingga langkah kelima, pria itu masih bergeming. Tak sabar, Kusuma berbalik dan
....
"Apa
kau tahu jalan keluarnya?"
Pria
itu berdiri tepat di belakang. Pasrah.
Sudut
bibir Kusuma terangkat. Sambil melipat kedua tangan di depan dada, dia berkata,
"Aku mengenal betul rimba ini. Jika kamu ragu, lebih baik lupakan."
"Tunggu,
Nyai!"
"Kusuma.
Cukup panggil namaku saja. Bisakah?"
Senyum
manis gadis itu, mengawali kebersamaan mereka. Jejak-jejak yang tersamar
dedaunan kering, tampak sejajar dan seirama. Putra sengaja mengimbangi langkah
gadis itu. Dia tak ingin kehilangan peta.
Gelap.
Senyap. Burung gagak dan burung hantu saling merayu di antara dahan. Derik
serangga menjadi nyanyian yang tak terkalahkan. Semak belukar, mendayu bersama
angin malam. Nuansa mencekam yang tak pernah terbayang Putra.
Kampung
tempat tinggalnya sunyi di kala malam menjelang. Namun, masih terlihat cahaya
benderang dari lampu jalan dan teras rumah penduduk. Kadang kala, terlihat
beberapa orang mengobrol di warung kopi, dekat masjid. Ada pula yang sekadar
berkeliling, ronda.
Kini,
dia berjalan layaknya orang buta yang membutuhkan teman. Mata untuk matanya.
"Apa
yang membuatmu datang ke sini? Kamu bukan pertapa."
"Aku
hendak mengembalikan mustika ayahku." Alibi palsu yang sekali lagi
diutarakan. Putra telah melihat langsung sosok yang lain dari manusia. Cukuplah
sudah bukti yang dia punya.
"Mustika?"
"Eeem,
entahlah. Hanya sebuah kalung berliontin batu akik berwarna toska."
Kusuma
berhenti. Ada sesuatu yang dia raba dalam ingatan. "Bolehkah aku
melihatnya?"
Mereka
saling pandang dalam sekian detik perjalanan waktu. Dalam diamnya, mereka
meneliti. Kejujuran dan kebohongan kadang bisa terlihat dengan mudah lewat
sorot mata. Namun, ada kalanya pula kedua sifat itu tertutup sempurna.
"Hilang."
Putra mendekat, "ada yang harus kau tahu. Aku tersesat bukan karena
langkahku. Temanmu, atau apalah itu ... mereka yang membawaku ke sini. Aku
tidak tahu pasti. Ketika aku sadar, pohon tua berukuran besar yang pertama kali
terlihat olehku."
Putra
berkacak pinggang. Kala teringat akan peristiwa yang hampir merenggut nyawa,
dia menggeleng.
"Apa
itu berarti aku tidak akan mendapat ucapan 'terima kasih'?" Kusuma kembali
melangkah setelah bertanya. Dia tersenyum. Sikap lelaki itu terasa unik
baginya.
Sering
kali, kemolekannya berhasil memikat kaum pria. Tak sedikit yang terlena dan
berusaha mendekat dengan nafsu bejat. Jauh berbeda dengan pria itu, yang lebih
memikirkan jalan keluar daripada bercinta di tengah keleluasaan.
"Baiklah,
terima kasih," celetuk Putra. Nada keterpaksaan terasa kental mengalun
bersama kata.
♦♦♦
Sementara
itu, jauh melewati barisan pohon dan perbukitan Taman Nasional Alas Purwo, dua
perempuan sedang asyik menatap indahnya liontin bermata biru kehijau-hijauan.
Benda yang mereka rampas dari seorang pemuda tampan-manusia yang berniat
menentang alam jin.
Sekar
semeringah. Dengan bantuan Lastri, liontin itu terpasang di lehernya. Mereka
telah sepakat untuk mengenakan benda itu bergantian. Sesuai jadwal, tiga hari
sekali kalung berpindah tangan.
"Kok
ada yang aneh, ya." Sekar meraba leher.
"Apanya?
Bagus kok," ucap Lastri seraya menatap liontin indah itu. "Ah,
sudahlah. Ayo kita ke gua istana. Bukankah ada kunjungan Kajeng Ratu Kidul
malam ini."
"Wah,
gawat. Nyi Roro Kidul akan menghukum kita kalau sampai terlambat. Ayo!"
Kedua
makhluk itu mengurai, lenyap terbawa angin hingga hadir kembali di depan gua
istana. Ribuan jin dari penjuru tanah Jawa telah berkumpul. Kerumunan itu
didominasi sosok bertubuh besar, hitam, dengan rambut awut-awutan. Manusia
menyebutnya genderuwo. Ada pula sosok hasil perkawinan jin dan manusia, Garini.
Tak
hanya mereka, banyak kaum Adam dan Hawa yang bersila di sekitar mulut gua. Di
depan mereka, telah tersaji menu makan malam para lelembut. Kembang, dupa, dan
buah-buahan tertata di tampah. Mulut mereka komat-kamit. Doa, permintaan, dan
harapan diutarakan. Keyakinan yang membuat mereka lupa akan kuasa Tuhan.
Buruknya
manusia akan terlihat bilamana dia gila terhadap harta. Tak jarang, mereka lupa
mana teman dan saudara. Demi kekayaan fana, mereka rela mengorbankan sesama.
Sering kali mereka berdalih, menganggap hinaan manusia atas ketidaksetaraan
adalah alasan terbaik. Kaum jin tertawa. Kurangnya rasa bersyukur tak ubahnya
ladang mencari bala.
"Lihatlah!
Banyak makanan lezat," ucap Lastri. Dia menoleh ke kanan dan kiri, menatap
haus sesaji. Begitu pula Sekar, gadis itu menghirup aroma dupa-makanan
kesukaannya.
"Dari
mana saja kalian?" Tetiba sesosok wanita hadir di belakang mereka.
Safitri. Dia bersedekap, menatap tegas kedua makhluk di depan. Karena tak
mendapat jawaban, dia kembali bertanya, "menyesatkan manusia?"
Keduanya
tertunduk, saling membisikkan kekhawatiran. Safitri tidak menyukai sikap
mereka. Sekar dan Lastri disebut-sebut sebagai Ratu Perusuh. Mereka menggoda
siapa saja yang diinginkan tanpa mengindahkan aturan.
"Dia
... dia memiliki tujuan buruk, Safitri. Dia ingin mencari tahu keberadaan kaum
kita," cetus Sekar. Wanita itu berbalik, meraih tangan Safitri.
"Sungguh. Percayalah padaku! Kami tidak melakukan kesalahan lagi."
Wanita
berkemban hijau itu meneliti tindak-tanduk mereka, mencari kejujuran lewat
sorot mata. Sesaat, pandangannya jatuh ke liontin yang dikenakan Sekar. Gelap,
suram, kalung yang tak berharga. Dia membuang pandang ke jalur utama. Pendar
cahaya terang terlihat di sana. Menyadari itu, ketiganya menghentikan obrolan
dan menyambut kedatangan penguasa Samudra Hindia.
Safitri
mengerutkan kening. Ada yang berbeda dari paras patih kerajaan Pantai
Selatan-Nyi Roro Kidul. "Kenapa dia tampak pucat?" gumam Safitri. Dia
tak bisa menegur di tengah upacara. Terlebih, ada Kanjeng Ratu di samping sosok
itu.
Malam
ini, ada senapati baru yang dinobatkan. Narendra, seorang petapa yang telah
mencapai moksa. Dia ditugaskan untuk membantu Nyi Roro Kidul menjaga laut
selatan, terutama kawasan Alas Purwo.
Parasnya
yang tampan, sontak menjadi rebutan para dayang yang hadir dalam ritual
tersebut, tak terkecuali Sekar dan Lastri.
Acara
berlangsung tanpa hambatan. Kanjeng Ratu Kidul pun telah kembali ke perawangan.
Tinggallah Nyi Roro Kidul di sana, duduk di samping singgasana.
"Nyi,
ada apakah gerangan?" tanya Safitri.
Wanita
itu bergeming. Sementara, Sekar dan Lastri mendekati mereka. Setelah memberi
salam hormat, Lastri berkata, "Ampun Nyi Roro. Hamba tadi melihat Putri
Kusuma bersama seorang manusia di tengah rimba."
Biodata:
Indah
Kusuma, penulis yang kembali bergelut dengan aksara sejak tahun 2018. Di akun
wattpad-nya: imajindah, telah ada tujuh karya yang di-publish. Dua di antaranya
telah diterbitkan: Almost Kiss, dan The Sunrise of Love. Satu judul yang kini
masuk proses terbit, yakni: Soul Hunter. Kamu juga bisa menjumpai penggemar
film action ini di akun instagramnya @indahkusuma.id. Temui juga karyanya di
akun wattpad: imajindah.
0 Response to "#Jumat_Cerbung - Mustika Bab 3 - Indah Kusuma - Sastra Indonesia Org"
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.