Sabtu, 13 Juli 2019

#Jumat_Cerbung - Mustika Bab 4 - Indah Kusuma - Sastra Indonesia Org





Kusuma membawa pria asing itu ke salah satu sumber mata air. Ada gubuk kecil di sana, diterangi obor dan lampu minyak. Tak jauh darinya, aliran air jernih keluar dari sebilah bambu berukuran besar, membasahi bebatuan legam yang tertata apik di sekitarnya. 
Gemercik air bagai penghilang dahaga yang sedari tadi menggeliat di tenggorokan. Haus. Putra butuh banyak air untuk membersihkan diri dan mengisi kembali cairan tubuh yang hampir kosong. Tanpa basa-basi, pria itu menuju pancuran. Ditelannya kumpulan air yang terkurung kedua tangan. Muka yang berlumur tanah, dibasuhnya berulang kali. Dia bahkan tak memedulikan seberapa dingin air itu. 
Sementara dia menghabiskan banyak waktu di sana, Kusuma duduk di batu besar yang berada di sisi lain gubuk. Di hadapannya, sabana membentang-lahan berumput serupa lautan yang memisahkan bukit satu dan bukit lainnya. Di sana, dia menikmati keindahan malam dari sisi berbeda. Bukan pesta pora layaknya acara penobatan senapati, tapi keindahan alam yang sesungguhnya. 
Ribuan bintang yang berkedip seakan berkata: lihatlah aku dan nikmati malam ini. Kusuma menghela napas panjang, melepas sedikit beban di pundak yang tak tahu kapan kan hilang. 
"Kamu tidak haus?" Putra duduk di sampingnya dengan acuh. 
Kusuma menoleh, meneliti wajah dan pakaian basah lelaki itu. Kemudian, dia tertawa kecil. "Apa manusia mandi tanpa melepas pakaian?" 
Pandang Putra liar menelusuri tubuh sendiri. "Apa kamu mau melihat tubuhku?"
Mendengar celetukan itu, Kusuma bergegas membuang muka. Dilihatnya barisan pohon dan semak belukar di sisi kiri. Dia mencari sesuatu yang bisa mengalihkan perhatian. Kunang-kunang atau apalah yang bisa menjadi tema pengganti obrolan mereka. 
Sayang, tak ada apa-apa di sana. Alhasil, dia hanya bisa berkata, "Tidak! Perlu kamu tahu, udara di sini cukup dingin. Kamu bisa sakit jika mengenakan pakaian basah itu." 
"Apa ini tempat tinggalmu? Sendiri di tengah hutan, kamu tidak kesepian?" 
"Hutan ini tidak sepi." 
Putra menatap Kusuma ragu. Lantas, dia memutar pandang, lalu menggaruk kepala kasar. Rambunya yang basah melontarkan titik-titik air ke paras ayu. Namun, gadis itu seakan tak peduli. Sepasang mata indahnya kembali menjelajah angkasa, melewati barisan kejora yang mulai bermunculan, tanda hari telah melewati tengah malam. 
Selang beberapa saat, seekor gagak hitam mendekat dan bertengger di dahan. Kusuma beranjak dari tempatnya. Langkah demi langkah yang dia jejakkan begitu ringan, layaknya seorang putri yang menghampiri sang kekasih. 
Tepat di bawah pohon mahoni, dia berhenti, lalu mengacungkan tangan kanan sembari mendongak. Petikan jari membawa burung itu hinggap di lengannya. 
Putra takjub menyaksikan pertunjukan itu. Aksi yang pernah dilihatnya dalam pertunjukan sirkus dan panggung taman safari. Dia pun mulai berpikir, apakah Kusuma memiliki keahlian seperti Nabi Sulaiman? 
Tidak mungkin! Dia bahkan bukan manusia, batinnya.
Gadis itu bergeming, memejamkan mata. Sesaat, atmosfer aneh menyelinap. Putra bisa merasakan ada desir angin yang melintas. Entah dari mana, tapi itu cukup membuat bulu kuduknya meremang. Hawa dingin menyergap Putra kemudian. Dia menggigil sembari memeluk raga. Tak lagi memperhatikan apa yang dilakukan Kusuma. Dia berpindah ke gubuk bambu, duduk mendekap kaki yang tertekuk di teras. 
Di lain tempat, Kusuma mengerutkan kening setelah mendengar kabar dari sang gagak. "Bagaimana bisa Narendra yang terpilih? Inikah alasan kenapa aku dilarang hadir?"



∞∞∞

Safitri mencengkeram Pundak Sekar, melempar kebencian lewat sorot mata. Kini dia yakin, dua sosok itu masihlah pantas menyandang gelar Ratu Rusuh di dunia dedemit. 
Tidakkah mereka melihat bagaimana kondisi Nyi Roro? Safitri menyengih lalu memberi isyarat agar mereka enyah dari hadapan. 
"Safitri, benarkah itu?" Nyi Roro Kidul menegakkan punggung. Setelah menghirup napas panjang, dia memejamkan mata, menyatukan kedua telapak tangan di depan dada. Sesaat kemudian, auranya menyala. Alam bawah sadar menenggelamkan dia dalam pencarian. Gelap, barisan pohon, dan ... tetiba, Sekar berteriak sebab merasakan panas luar biasa di leher. Tubuhnya terpental di dinding gua. Safitri terkejut melihatnya, pun Lastri. Mereka lantas bertanya-tanya ada apa gerangan? 
Konsentrasi Nyi Roro Kidul buyar sebelum mendapat apa yang diinginkan. Hampir ... hampir saja dia merengkuh bayang Kusuma. Akan tetapi, kelancangan dayang menghamburkan semua itu. 
"Bawa dia pergi," ucap Safitri. 
Lastri menanggapinya dengan anggukan kepala. Kemudian, kedua sosok itu lenyap dari pandangan. 
Hela napas kuat terdengar dari wanita berselendang hijau. Dia membuka mata perlahan, lalu meletakkan kedua tangan di sisi raga. Sekilas, dia melirik Safitri. Wanita yang hendak membuka mulut itu, dia hentikan dengan isyarat. Ketika sebelah tangannya sejajar bahu, Narendra datang menghadap. 
Tubuh kekarnya menebar pesona yang tak terelakkan. Anatomi yang entah bagaimana bisa menampakkan kurva-kurva indah itu. Bahkan selembar kain batik yang membujur dari sebelah pundak, tak mengurangi daya pikat. Pantas jika kaum wanita mengaguminya. Nyi Roro Kidul pun tak enggan mengumbar senyum kepada Narendra. 
"Selamat atas penobatanmu," ucapnya lalu meraih tongkat di sisi kursi sebelum berdiri. 
Narendra memulas seutas senyum dan menunduk barang sesaat. "Terima kasih, Nyi." 
"Tak sia-sia pertapaanmu selama ini. Cukup lama aku mengintaimu. Tak kusangka, sudah cukup banyak ilmu yang kamu miliki." 
"Ini semua atas kemurahan Nyi Roro." 
Nyi Roro Kidul bungah hati. Matanya berbinar indah mendengar kesantunan Narendra. Tampan, berwibawa, dan sakti. Namun kepantasannya masihlah tetap harus diuji. "Tugas pertamamu, temukan Kusuma untukku." 
Narendra mendongak. Dia menatap wanita yang mendekat-dua detik, tak lebih-sebab pancaran aura yang membuatnya menggila. Binar putih susu tipis yang menyelimuti wanita itu, kian lama kian terasa kehangatannya. 
"Bawa dia padaku dengan lembut. Dan kelembutan pula yang akan menjadi hadiahnya," bisik Nyi Roro Kidul. 
Desis nada indah itu, siapa yang tak akan bergetar setelah mendengarnya. Lelaki dalam diri Narendra bangkit dalam sekejap. Namun, meredup di menit berikutnya setelah dia teringat tugas pertama. 
Kusuma, nama yang tak akan pernah terlupa di setiap embusan napas. Sebelum mata tertutup hingga berdiri di sana sebagai seorang senapati, nama itu masih terpatri.

To be continue

Biodata:

Indah Kusuma, penulis yang kembali bergelut dengan aksara sejak tahun 2018. Di akun wattpad-nya: imajindah, telah ada tujuh karya yang di-publish. Dua di antaranya telah diterbitkan: Almost Kiss, dan The Sunrise of Love. Satu judul yang kini masuk proses terbit, yakni: Soul Hunter. Kamu juga bisa menjumpai penggemar film action ini di akun instagramnya @indahkusuma.id. Temui juga karyanya di akun wattpad: imajindah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.