Sebulan
berlalu, Ibu Arumi sudah pulih, tetapi masih dilarang untuk bekerja. Setelah
seminggu dirawat di rumah sakit, beliau sudah diperbolehkan pulang. Meski
begitu harus tetap melakukan kontrol setiap pekan.
Selama
itu pula, Valerie semakin dekat dengan Empat Sekawan. Tak jarang keempat lelaki
tampan itu berkunjung ke rumahnya. Entah untuk belajar bersama atau hanya
sekadar mengobrol. Seperti Sabtu sore ini, saat ia menyapu lantai teras. Empat
sahabat barunya itu sudah tiba di rumah.
“Anak
gadis rajin sekali.” Juno yang pertama kali menyapa.
Valerie
hanya tersenyum menanggapinya. “Ada apa?” tanyanya saat selesai menyapu.
“Mau malam mingguan,” sahut Ello.
“Masih
jam empat sore,” balas Valerie.
“Endra
kangen kamu, Rie. Makanya kita antar dia ke sini,” celetuk Garin yang langsung
kena pukul Endra. Valerie hanya tersenyum simpul menahan debar. Demi mengakhiri
salah tingkahnya, ia mengajak mereka berempat masuk rumah.
“Ibu
mana?” Endra bertanya tepat saat kakinya melewati pintu.
Sejak
sering bersama Valerie, baik Endra maupun Tiga Sekawan memanggil Ibu Arumi
dengan panggilan Ibu. Garin bilang dengan memanggil Ibu, maka mereka bisa
saling akrab.
“Lagi
mandi,” Valerie menjawab, “Mau minum apa?"
“Nggak
perlu, Rie. Kayak tamu saja harus dibuatkan minum,” sahut Garin.
Bertepatan
dengan itu, Bu Arumi keluar dari ruang tengah. Satu per satu dari Empat sekawan
menjabat dan mencium tangan wanita pertengahan empat puluhan itu.
“Berdiri
saja seperti upacara. Sini duduk!” ajak Endra dengan menepuk kursi di
sampingnya.
“Aku
belum mandi, masih bau.” Valerie memilih bersandar pada sandaran kursi ibunya.
“Kamu
mandi atau tidak masih kelihatan cantik kok, Rie.” Ello berkelakar hingga
membuat gadis mungil itu memutar bola matanya jengah.
“Mulai
lagi, deh, gombalnya.” Semua tersenyum tak terkecuali Bu Arumi.
Endra
mengalihkan manik cokelatnya ke arah Bu Arumi. “Apa boleh kami mengajak Valerie
pergi nonton konser, Bu?”
Ibu
Arumi mengangguk. “Boleh, asal jangan pulang terlalu malam.”
“Siap,
Ibu!” sahut Juno dengan bersemangat.
“Kenapa
kalian tidak bertanya pendapatku?” Ucapan Valerie membuat semua mata tertuju
padanya.
“Bukankah
restu ibu itu yang utama?” balas Endra sukses membuat gadis berkulit pucat tak
berkutik di tempat.
“Cie
... cie ... cie ... sudah berani bicara soal restu. Jadi, kapan resminya, nih?”
goda Ello.
Juno
dan Garin tertawa. Ibu Arumi tersenyum penuh arti. Endra terdiam menatap lekat
Valerie, sedangkan sang objek godaan sudah tersipu malu. Valerie dengan cepat
membalikkan tubuh menuju kamar mandi, menghindar dari Endra yang selalu
membuatnya salah tingkah.
∞∞∞
Setelah
pamit pada Ibu, Valerie dan Empat Sekawan berangkat menuju tempat konser
menggunakan mobil Juno. Suasana begitu ramai saat mereka sampai di lokasi
konser. Mungkin karena bertepatan dengan malam minggu, hingga studio itu penuh
sesak dengan penonton.
Sejujurnya
Valerie tidak begitu suka menonton konser. Alasannya klasik, tidak nyaman
berada di tengah kerumunan banyak orang. Khusus malam ini, ia rela berdesakkan
karena tak enak jika menolak ajakan Endra dan Tiga Sekawan yang sudah banyak
membantu selama sebulan terakhir.
Valerie
mulai pusing. Tubuh mungilnya terjepit di tengah kerumunan. Beruntung Empat
Sekawan sigap berdiri di sekitarnya. Dalam hati ia membatin jika Empat Sekawan
terlihat seperti bodyguard yang tengah menjaga putri raja. Namun, sayangnya ia
bukan tuan putri. Ia hanya kebetulan menjadi teman dari empat lelaki paling
keren di SMA Pelita Jaya.
Musik beraliran rock terus menghentak seisi studio selama lebih dari satu setengah jam. Saat pertunjukan usai, di situlah penderitaan Valerie berakhir. Cukup lama baginya bisa keluar dari tempat konser. Ia bernapas lega telah keluar dari kesesakan yang membuatnya pusing.
Musik beraliran rock terus menghentak seisi studio selama lebih dari satu setengah jam. Saat pertunjukan usai, di situlah penderitaan Valerie berakhir. Cukup lama baginya bisa keluar dari tempat konser. Ia bernapas lega telah keluar dari kesesakan yang membuatnya pusing.
“Kamu
tidak apa-apa, 'kan?” tanya Endra sesaat setelah keluar dari studio. Ia sedikit
cemas melihat wajah pucat teman istimewanya itu.
“Sedikit
pusing,” jawab Valerie sembari menyeka keringat di kening dan pelipis dengan
tisu. Ia menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. “Aku tak akan pergi nonton
konser lagi.” Empat Sekawan tertawa mendengar ucapannya yang tak berdaya.
“Untung
kamu nontonnya sama kita. Kalau nggak, mungkin kamu bisa hilang kebawa
penonton.” Juno menyahut di sela tawanya.
Valerie
mencebikkan bibir mungilnya. Endra yang gemas sontak mengusap lembut kepalanya.
Deg!
Perasaan
asing kembali mengobrak-abrik dadanya. Valerie harus berusaha meredam detak
jantungnya yang mengeras. Berada dekat Endra, selalu membuatnya kehilangan
pengendali kerja jantung.
“Cabut,
yuk! Lapar, nih.” Ello melangkah ke arah mobil Juno yang terparkir.
∞∞∞
“Makan
di mana?” Juno yang sedang menyetir sekilas menoleh ke belakang.
“Aku
ingin makan steak,” jawab Ello dengan mulut mengembuskan asap rokok. Kemudian
diamini oleh Garin yang duduk di jok belakang.
Endra
melirik Valerie yang duduk di antara dirinya dan Garin. Gadis itu diam dengan
pandangan sedikit melamun. Ia menyikut pelan lengan kecil di sampingnya, hingga
si Empunya menoleh. “Ingin makan apa?”
Valerie
sedikit gelagapan. “Ehm, nasi campur sepertinya enak,” jawabnya cepat.
“Kalau
begitu ke Bamboe Koening Resto saja, ada nasi campur.” Garin yang mendengar
ucapan Valerie langsung menyebutkan nama resto yang cukup terkenal menyajikan
menu masakan tradisional.
“Harus
banget ke resto?”
Pertanyaaan tiba-tiba
dari Valerie menarik perhatiaan Endra. Lelaki itu kembali menoleh. “Memangnya
kenapa, Rie?”
“Apa
kalian tidak bosan makan makanan resto? Apa tak ingin mencoba yang lain?”
Valerie menatap wajah Empat Sekawan bergantian.
“Di
mana?” Endra bertanya ingin tahu.
“Kaki
lima misalnya.”
“Aku
tidak pernah, Rie. Soalnya belum terjamin higienis-nya,” sahut Endra tanpa
mengalihkan pandangannya.
“Tidak
semua kaki lima itu jorok. Banyak pedagang pinggir jalan yang tempatnya bersih
dan higienis makanannya,” terang Valerie.
“Kita,
sih, lebih milih resto saja, sudah jelas bersih dan higienis.”
Valerie
menganggukkan kepala. Pertanda ia ingin mengakhiri debat. Sepasang manik
matanya melihat pemandangan di luar jendela mobil. “Aku berhenti di sini saja,
No,” ucapnya tiba-tiba.
“Kenapa
turun di sini? Kita kan mau makan bareng?” tanya Juno sambil menolehkan kepala.
“Aku
tidak ikut makan dengan kalian makan, jadi turun di sini saja,” jawab Valerie
saat Juno menepikan mobilnya.
“Kalau
tidak ikut makan. Kenapa turun di sini? Rumahmu masih dua blok lagi.” Endra
bersuara dengan mata mengamati objek di luar kaca mobil.
“Siapa
bilang aku mau pulang? Aku mau makan di warung depan.” Telunjuk lentik Valerie
menunjuk sebuah warung tenda tak jauh dari mobil Juno terparkir. Empat Sekawan
lantas menatapnya penuh tanya.
“Kenapa
makan di sana? Mendingan ikut kita saja!” ajak Garin.
“Terima
kasih, tapi aku maunya makan di warung Bu Surti. Tolong buka pintunya dong,
Ndra!” pinta Valerie dengan melempar senyum lebar.
“Apa
kamu nggak takut makan di sana, Rie?” Kini, giliran Ello yang bersuara.
Valerie
tergelak dengan pertanyaan Ello, hingga keempat temannya semakin terlihat
bingung. “Aku cuma mau pergi ke warung, bukan ke sarang teroris.” Ia masih
tertawa. “Kalau memang makanan pinggir jalan berbahaya seperti yang kalian
pikir selama ini. Aku mungkin sudah mati dari dulu kali, tapi lihat buktinya
aku sehat sampai sekarang. Permisi dulu, Ndra! Aku mau turun,” ucapnya masih
diiringi kekehan ringan.
Dengan
berat hati, Endra pun membuka pintu dan turun dari mobil. Sedikit bergeser guna
memberi akses Valerie lewat.
“Terima
kasih sudah mengajakku nonton konser, sampai jumpa hari Senin di sekolah.”
Sebelum pergi, Valerie sempat melambaikan tangan ke arah Endra dan Tiga
Sekawan. Ia mulai menyusuri trotoar menuju sebuah warung tenda langganannya.
Endra
yang masih bergeming di tempat, memandang temannya itu dengan nanar. Ada
perasaan tak tega melihat gadis beriris cokelat itu berjalan sendirian
menyusuri trotoar, apalagi dalam keadaan selarut ini.
“Valerie!”
Langkah
Valerie terhenti. Perlahan ia memutar badan ke sumber suara. Raut heran
terlihat jelas membingkai wajah jelitanya.
“Tunggu
sebentar! Aku mau ikut makan,” ucap Endra cepat, kemudian membungkukkan badan
untuk melihat Tiga Sekawan dalam mobil.
“Kalian
duluan saja. Aku mau makan dengan Valerie. Nanti aku bisa naik taksi.”
Ketika
Endra hendak menutup pintu mobil, Garin menahannya. “Nggak asyik jika pergi
tanpamu. Aku ikut, deh,” Garin berucap, lalu bergerak menuruni mobil. Juno diam
sesaat, kemudian ikut turun. Tak berapa lama, Ello pun menyusul.
Endra
tersenyum tipis, lalu berjalan mendekati Valerie. Tiga Sekawan mengikuti di
belakang. Sang objek tujuan justru hanya mematung dengan wajah penuh tanya.
“Beneran
mau ikut makan?” tanya gadis itu ragu. Lalu dijawab anggukan mantap dari Endra.
Tak
banyak yang mereka bicarakan saat berjalan menuju warung. Kelimanya bergerak
maju, diterpa gigil malam yang justru membuat suasana terasa syahdu.
“Aku
jamin selain makan makanan yang enak, kalian juga akan banyak belajar tentang
hidup.” Valerie tiba-tiba membuka suara. Menarik perhatian Empat Sekawan untuk
melihat ke arahnya.
“Pelajaran
hidup seperti apa?” tanya Endra penasaran.
Tanpa
aba-aba Valerie berhenti. Empat Sekawan mau tak mau menghentikan langkah.
“Lihat
di sana!” perintah Valerie sembari menunjuk dua anak laki-laki tak jauh dari
posisinya berdiri.
Endra
melihat ke arah yang ditunjuk. Di sana, terdapat dua anak laki-laki yang
usianya mungkin sekitar sepuluh tahun. Mereka memakai pakaian lusuh, satu anak
memegang ukelele usang, dan satu anak yang lain tampak menghitung uang receh,
mungkin hasil dari mengamen.
“Anak
yang bawa ukelele namanya Udin dan yang satu namanya Tegar. Mereka masih kelas
empat SD. Orang tua mereka jadi pemulung. Sepulang sekolah, mereka selalu
ngamen, bantu cari uang untuk makan. Nasibnya jauh tidak beruntung dari kalian.
Kalian bisa makan apa pun yang kalian mau, di restoran mahal. Namun, mereka
mengumpulkan recehan untuk bisa makan nasi, itu pun tidak selalu tiap hari
mereka dapat.” Selepas bercerita, Valerie menghampiri dua anak jalanan itu,
meninggalkan Empat Sekawan yang terdiam dengan ekspresi tak terbaca.
Endra
bisa melihat kedua anak lelaki itu bersorak senang saat bertemu Valerie. Seolah
telah bertemu seseorang yang begitu mereka puja. Tangan mungil gadis itu
menyentuh kepala sang bocah tanpa risih. Dari kejauhan, ia menangkap gerakan
Valerie mengambil uang dari dalam tas. Senyum anak jalanan langsung merekah.
Mungkin mereka bersyukur karena mendapat berkah lebih.
“Ayo
jalan!” ajak Valerie kala berjalan mendekati Empat Sekawan.
“Apa
sudah lama mengenal mereka?” tanya Endra.
Valerie
mengangguk. “Lumayan lama, saat itu mereka masih kelas satu SD. Pertama bertemu
mereka, aku menangis karena tak tega. Tapi, Ibu bilang, itulah hidup dan nasib
orang tidak ada yang sama. Masih banyak orang yang hidupnya kekurangan. Intinya
harus selalu bersyukur dengan apa yang kita punya.”
Ucapan
Valerie seakan mencubit hati Endra dan Tiga Sekawan. Lelaki berambut cokelat
itu merasa begitu kecil dan mungkin lebih kecil dari kedua anak jalanan tadi.
Valerie sudah menyadarkannya tentang arti syukur yang selama ini sudah ia
lupakan.
Akhirnya,
mereka sampai di warung tenda. Empat Sekawan berjalan mengikuti Valerie yang
masuk lebih dulu. Endra mulai mengamati tempat itu. Ia membenarkan perkataan
teman cantiknya, bahwa warung kaki lima tak semuanya jorok. Seperti tempat ini
misalnya. Walaupun hanya berupa warung tenda, tetapi cukup tertutup sehingga
kecil kemungkinan ada debu yang masuk. Ada tiga meja panjang berjejer rapi. Di
atasnya terdapat tempat sendok dan garpu, tempat tusuk gigi, tisu, dan keranjang
yang berisi kerupuk. Setiap meja diapit dua bangku panjang. Dua meja sudah
penuh dengan pengunjung yang menyantap makanan.
Endra
menghampiri Valerie yang sudah mengobrol dengan wanita paruh baya dengan
celemek yang terpasang di badan. Mungkin beliau yang bernama Bu Surti, pemilik
warung.
“Bagaimana
kabar ibumu? Sudah sehat?” tanya wanita itu yang sepertinya sudah begitu
mengenal Ibu dan Valerie.
“Alhamdulillah,
sudah sehat, Bu. Tapi, masih belum boleh kerja berat,” jawab Valerie sopan.
“Syukurlah.”
Bu Surti tersenyum lega, lalu mengamati wajah Empat Sekawan yang begitu asing.
“Mereka
siapa, Nak?” tanyanya seraya memandang empat wajah tampan bergantian.
“Teman sekolahku, Bu."
Valerie membalikkan badan.
“Kalian mau makan apa?”
“Ada
menu apa saja?” celetuk Ello.
“Banyak,
lihatlah!” jawab Valerie sembari menunjuk meja besar di depannya. Berbagai
olahan ikan, ayam, bebek, dan daging sapi berjajar dengan bumbu yang menggoda.
Ada berbagai macam sayur dan variasi sambal. Semua tertata rapi dan terlihat
menggugah selera.
Empat
Sekawan melihat semua menu dengan tatapan takjub. Mungkin ini pertama kalinya
melihat berbagai masakan siap makan dalam wadah besar terjejer rapi. Valerie
tersenyum geli, mengamati wajah empat temannya sekarang. Mereka seperti anak
kecil yang kagum dengan mainan baru. Ekspresi mereka benar-benar lucu.
Setelah
lama memilih menu dan harus bertanya pada Valerie maupun ibu pemilik warung,
akhirnya Empat Sekawan mendapat makanan yang mereka mau. Kelimanya mengambil
duduk di meja yang masih kosong. Endra duduk bersebelahan dengan Ello di sisi
kanan meja, sedangkan di sisi lain ada Garin, Juno, dan Valerie duduk berjajar.
Es jeruk menjadi pelengkap santap malam mereka kali ini.
“Ehmm
... enak banget.” Endra berucap setelah menikmati suapan pertama. Ada rendang
daging dan sayur daun singkong. Semakin lengkap dengan sambal balado super
pedas.
“Ternyata
sensasinya beda banget dengan makan di resto. Makanannya enak dan bisa milih
lauk sendiri.” Endra menambahkan pendapat di sela kunyahannya.
“Sudah
tidak takut lagi untuk makan di pinggir jalan, kan?” goda Valerie dengan
tersenyum lebar. Juno yang kebetulan duduk berdekatan segera menyikut lengan
kirinya. Tawanya semakin berderai. Puas sudah berhasil mengubah pola pikir
teman borju-nya yang sempit.
∞∞∞
Baru
saja Valerie keluar dari rumah. Mobil Garin memasuki halaman. Gadis itu pun
berdiri, bersandar di tiang teras rumah, dengan tangan kiri mendekap tiga buku
bekas. Terlihat Endra bersama Ello turun dari jok belakang mobil. Sementara,
Garin dan Juno masih bertahan di dalamnya.
“Mau
ke mana, Rie?” tanya Endra mendekati teras.
“Rumah
singgah.”
Valerie
menangkap kebingungan dua teman di depannya. “Rumah untuk para anak jalanan
belajar. Bukan rumah seperti pada umumnya, hanya pondok dengan papan seadanya.
Di sana para pengamen, pedagang asongan, anak pemulung berkumpul untuk belajar.
Mulai belajar membaca, menulis, berhitung, menggambar, sampai bermain alat
musik,” terangnya.
“Apa
kamu mau ke sana sekarang?” tanya Ello. Valerie mengangguk mantap.
“Boleh
ikut?” Lagi-lagi, Ello bertanya dengan nada antusias.
“Boleh
banget,” Valerie menyahut, “tapi harus jalan kaki untuk sampai ke sana. Mobil
tidak akan bisa masuk karena jalannya sempit.”
Garin
dan Juno yang kebetulan masih di dalam mobil segera turun. Tanpa membuang masa,
kelimanya mulai melangkah melewati gang sempit yang padat dengan rumah warga.
Sepanjang perjalanan, mereka diiringi pandangan kagum dari para warga. Terlebih
melihat paras dan penampilan Empat Sekawan yang menonjol. Berjalan dengan
mereka seakan sedang bersama model majalah ternama. Hal inilah yang kadang
membuat Valerie minder jika dekat dengan Empat Sekawan.
“Siapa
yang punya ide buat rumah singgah?” tanya Endra tiba-tiba.
“Relawan
yang simpati dan peduli dengan nasib anak jalanan. Mereka lalu mendirikan rumah
singgah. Awalnya, mereka membangun dengan uang sendiri, tapi sekarang sudah ada
yang membantu. Itu pun tidak banyak. Tapi, apa pun bentuk bantuan tetap sangat
berarti buat anak-anak itu.” Valerie tersenyum, lalu memalingkan wajahnya dari
Endra. Selalu saja merasa salah tingkah jika berkomunikasi dengan pangeran
sekolah itu.
Lima
belas menit bergulir cepat. Kelimanya tiba di rumah singgah dengan halaman
cukup luas. Berbagai macam bunga tumbuh dan tampak menghiasi pekarangan itu.
Rumah
singgah sendiri hanya terbuat dari papan kayu yang ditata rapi dan dicat warna
biru. Bangunan itu berukuran 5X6 meter, memiliki satu pintu dan dua jendela
besar untuk sirkulasi udara. Dalam ruangan terdapat papan tulis hitam dan rak
besar untuk menaruh buku cerita. Ada juga dua meja panjang untuk alas menulis
anak-anak, sedangkan untuk alas duduk terbentang karpet plastik dengan corak
warna kayu.
Valerie
melihat Mas Bayu sedang membaca buku di bangku panjang depan jendela. Dialah
orang yang menggagas rumah singgah. Lelaki baik itu berusia dua puluh lima
tahun dan bekerja sebagai karyawan di perusahaan multimedia. Karena kepedulian
dan rasa simpati besar pada anak jalanan, dia bersama dua teman yang lain,
yakni Mas Raka dan Mbak Gani, mendirikan tempat singgah anak jalanan untuk
belajar.
Menyadari
kehadiran Valerie. Lelaki itu mengangkat wajah, lalu melempar senyuman. Gadis
itu sontak terlibat obrolan ringan. Tak lupa ia mengenalkan Empat Sekawan.
Setelah
berbasa-basi dan saling melempar sapa. Valerie mengajak Empat Sekawan masuk ke
rumah singgah. Terlihat Mbak Gani tengah mengajar soal hitungan untuk
anak-anak.
Sama
seperti Bayu yang menyambut Valerie dengan gembira. Wanita berdarah timur
tengah itu langsung menghampiri dan memeluk tubuh mungil teman seperjuangannya.
“Aku
kangen denganmu, Rie.” Gani berkata saat keduanya melepas pelukan. Sejak sang
ibu sakit, Valerie memang tak datang lagi ke rumah singgah. Padahal biasanya ia
menghabiskan libur akhir pekan dengan ikut mengajar di sana.
“Aku
juga kangen Mbak Gani dan anak-anak.” Valerie tak kalah melempar senyum
manisnya, lalu menyapa semua anak dalam ruangan dengan lambaian tangan.
“Mereka
siapa, Rie?” tanya Gani saat tersadar Valerie tak datang sendiri.
Valerie
kembali memperkenalkan Empat Sekawan. Kekasih Bayu itu tampak bersemangat saat
menjabat tangan Endra, Juno, Ello, dan Garin bergantian.
“Dari
mereka berempat, pacar kamu yang mana, Rie?” Mulut comel Gani mulai bereaksi.
Bayu yang kebetulan baru masuk ruangan ikut melempar senyum jail.
Secara
tiba-tiba Ello, Juno, dan Garin serentak menunjuk ke arah Endra. Sengatan panas
menyebar di sekitaran telinga, leher, dan wajah Valerie. Sungguh, ia merasa malu
sekarang.
“Kak
Erie, ajari aku membaca.”
“Kak
Erie, ajari aku menulis.”
Teriakan
anak-anak menjadi penyelamat Valerie dari suasana canggung. Dengan cepat, ia
menghampiri anak didik di rumah singgah. Tentu saja untuk lari dari godaan maut
semua orang.
Empat
Sekawan ikut bergabung dengan anak-anak. Mereka bahkan tak canggung untuk ikut
mengajar CALISTUNG. Semua belajar dengan sesekali bercanda dan tertawa. Saling
berbaur dan melebur kesenjangan yang terbentang di antara mereka, hingga tak
terasa matahari mulai beranjak menuju peraduan. Semua membubarkan diri bersiap
pulang. Sementara, empat laki-laki tampan lebih memilih tetap singgah di rumah
Valerie.
“Kalian
makan malam di sini saja.” Arumi memberi titah pada Empat Sekawan.
“Terima
kasih tawarannya, Bu, tapi kami tidak ingin merepotkan,” balas Endra sopan.
Tentu ditambah dengan senyuman yang menawan.
“Tidak
repot, tadi Ibu sudah masak banyak. Tunggu sebentar lagi, ya! Kalau sudah
matang kita makan bersama.” Setelah itu, Arumi membalikkan badan menuju dapur.
“Ibu
cantik sekali, Rie,” ucap Juno saat ibu sahabatnya sudah menghilang di balik
dinding untuk berkutat kembali dengan masakan.
“Kamu
mirip sekali dengan Ibu.” Ello menimpali dengan menatap lekat gadis di depannya
itu.
“Kalau
ayahmu di mana, Rie?”
Pertanyaan
Garin sukses menjadikan tubuh Valerie menegang. Ia terlalu benci jika ditanya
tentang ayahnya. Menurutnya sang ayah adalah orang paling jahat dan tidak
bertanggung jawab. Pergi meninggalkannya dan sang ibu dalam kubangan derita.
Masih segar di ingatan, ketika dirinya masih kecil, sang ibu menangis sedih
karena sosok kejam itu.
“Kenapa
melamun?” Lamunan Valerie buyar akibat tepukan Endra di bahunya.
“Ayahku
sudah meninggal.” Suara Valerie bergetar menahan amarah yang masih saja
membuncah dalam dada.
“Maaf,
Rie. Aku nggak tahu dan tak bermaksud membuatmu sedih,” sahut Garin tanpa bisa
menyembunyikan keterkejutan.
“Tidak
apa-apa.” Valerie menyahut dengan tersenyum getir. Bertepatan dengan itu ibunya
keluar dari dapur, lalu mengajak semua makan bersama.
Tbc
Pati, 5 Juli 2019
Biodata:
Penulis
lahir di Malang, tapi sekarang tinggal bersama sang suami di Pati. Menyukai
dunia literasi dan berharap bisa segera melahirkan novel solo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.