Sabtu, 06 Juli 2019

#Jumat_Cerbung - Karena Kamu Pangeranku Part 3 - Titin Akhiroh - Sastra Indonesia Org




Sebulan berlalu, Ibu Arumi sudah pulih, tetapi masih dilarang untuk bekerja. Setelah seminggu dirawat di rumah sakit, beliau sudah diperbolehkan pulang. Meski begitu harus tetap melakukan kontrol setiap pekan.
Selama itu pula, Valerie semakin dekat dengan Empat Sekawan. Tak jarang keempat lelaki tampan itu berkunjung ke rumahnya. Entah untuk belajar bersama atau hanya sekadar mengobrol. Seperti Sabtu sore ini, saat ia menyapu lantai teras. Empat sahabat barunya itu sudah tiba di rumah.
“Anak gadis rajin sekali.” Juno yang pertama kali menyapa.
Valerie hanya tersenyum menanggapinya. “Ada apa?” tanyanya saat selesai menyapu.
“Mau malam mingguan,” sahut Ello.
“Masih jam empat sore,” balas Valerie.
“Endra kangen kamu, Rie. Makanya kita antar dia ke sini,” celetuk Garin yang langsung kena pukul Endra. Valerie hanya tersenyum simpul menahan debar. Demi mengakhiri salah tingkahnya, ia mengajak mereka berempat masuk rumah.
“Ibu mana?” Endra bertanya tepat saat kakinya melewati pintu.
Sejak sering bersama Valerie, baik Endra maupun Tiga Sekawan memanggil Ibu Arumi dengan panggilan Ibu. Garin bilang dengan memanggil Ibu, maka mereka bisa saling akrab.
“Lagi mandi,” Valerie menjawab, “Mau minum apa?"
“Nggak perlu, Rie. Kayak tamu saja harus dibuatkan minum,” sahut Garin.
Bertepatan dengan itu, Bu Arumi keluar dari ruang tengah. Satu per satu dari Empat sekawan menjabat dan mencium tangan wanita pertengahan empat puluhan itu.
“Berdiri saja seperti upacara. Sini duduk!” ajak Endra dengan menepuk kursi di sampingnya.
“Aku belum mandi, masih bau.” Valerie memilih bersandar pada sandaran kursi ibunya.
“Kamu mandi atau tidak masih kelihatan cantik kok, Rie.” Ello berkelakar hingga membuat gadis mungil itu memutar bola matanya jengah.
“Mulai lagi, deh, gombalnya.” Semua tersenyum tak terkecuali Bu Arumi.
Endra mengalihkan manik cokelatnya ke arah Bu Arumi. “Apa boleh kami mengajak Valerie pergi nonton konser, Bu?”
Ibu Arumi mengangguk. “Boleh, asal jangan pulang terlalu malam.”
“Siap, Ibu!” sahut Juno dengan bersemangat.
“Kenapa kalian tidak bertanya pendapatku?” Ucapan Valerie membuat semua mata tertuju padanya.
“Bukankah restu ibu itu yang utama?” balas Endra sukses membuat gadis berkulit pucat tak berkutik di tempat.
“Cie ... cie ... cie ... sudah berani bicara soal restu. Jadi, kapan resminya, nih?” goda Ello.
Juno dan Garin tertawa. Ibu Arumi tersenyum penuh arti. Endra terdiam menatap lekat Valerie, sedangkan sang objek godaan sudah tersipu malu. Valerie dengan cepat membalikkan tubuh menuju kamar mandi, menghindar dari Endra yang selalu membuatnya salah tingkah.

∞∞∞

Setelah pamit pada Ibu, Valerie dan Empat Sekawan berangkat menuju tempat konser menggunakan mobil Juno. Suasana begitu ramai saat mereka sampai di lokasi konser. Mungkin karena bertepatan dengan malam minggu, hingga studio itu penuh sesak dengan penonton.
Sejujurnya Valerie tidak begitu suka menonton konser. Alasannya klasik, tidak nyaman berada di tengah kerumunan banyak orang. Khusus malam ini, ia rela berdesakkan karena tak enak jika menolak ajakan Endra dan Tiga Sekawan yang sudah banyak membantu selama sebulan terakhir.
Valerie mulai pusing. Tubuh mungilnya terjepit di tengah kerumunan. Beruntung Empat Sekawan sigap berdiri di sekitarnya. Dalam hati ia membatin jika Empat Sekawan terlihat seperti bodyguard yang tengah menjaga putri raja. Namun, sayangnya ia bukan tuan putri. Ia hanya kebetulan menjadi teman dari empat lelaki paling keren di SMA Pelita Jaya.
Musik beraliran rock terus menghentak seisi studio selama lebih dari satu setengah jam. Saat pertunjukan usai, di situlah penderitaan Valerie berakhir. Cukup lama baginya bisa keluar dari tempat konser. Ia bernapas lega telah keluar dari kesesakan yang membuatnya pusing.
“Kamu tidak apa-apa, 'kan?” tanya Endra sesaat setelah keluar dari studio. Ia sedikit cemas melihat wajah pucat teman istimewanya itu.
“Sedikit pusing,” jawab Valerie sembari menyeka keringat di kening dan pelipis dengan tisu. Ia menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. “Aku tak akan pergi nonton konser lagi.”  Empat Sekawan tertawa mendengar ucapannya yang tak berdaya.
“Untung kamu nontonnya sama kita. Kalau nggak, mungkin kamu bisa hilang kebawa penonton.” Juno menyahut di sela tawanya.
Valerie mencebikkan bibir mungilnya. Endra yang gemas sontak mengusap lembut kepalanya.
Deg!
Perasaan asing kembali mengobrak-abrik dadanya. Valerie harus berusaha meredam detak jantungnya yang mengeras. Berada dekat Endra, selalu membuatnya kehilangan pengendali kerja jantung.
“Cabut, yuk! Lapar, nih.” Ello melangkah ke arah mobil Juno yang terparkir.

∞∞∞

“Makan di mana?” Juno yang sedang menyetir sekilas menoleh ke belakang.
“Aku ingin makan steak,” jawab Ello dengan mulut mengembuskan asap rokok. Kemudian diamini oleh Garin yang duduk di jok belakang.
Endra melirik Valerie yang duduk di antara dirinya dan Garin. Gadis itu diam dengan pandangan sedikit melamun. Ia menyikut pelan lengan kecil di sampingnya, hingga si Empunya menoleh. “Ingin makan apa?”
Valerie sedikit gelagapan. “Ehm, nasi campur sepertinya enak,” jawabnya cepat.
“Kalau begitu ke Bamboe Koening Resto saja, ada nasi campur.” Garin yang mendengar ucapan Valerie langsung menyebutkan nama resto yang cukup terkenal menyajikan menu masakan tradisional.
“Harus banget ke resto?”
Pertanyaaan tiba-tiba dari Valerie menarik perhatiaan Endra. Lelaki itu kembali menoleh. “Memangnya kenapa, Rie?”
“Apa kalian tidak bosan makan makanan resto? Apa tak ingin mencoba yang lain?” Valerie menatap wajah Empat Sekawan bergantian.
“Di mana?” Endra bertanya ingin tahu.
“Kaki lima misalnya.”
“Aku tidak pernah, Rie. Soalnya belum terjamin higienis-nya,” sahut Endra tanpa mengalihkan pandangannya.
“Tidak semua kaki lima itu jorok. Banyak pedagang pinggir jalan yang tempatnya bersih dan higienis makanannya,” terang Valerie.
“Kita, sih, lebih milih resto saja, sudah jelas bersih dan higienis.”
Valerie menganggukkan kepala. Pertanda ia ingin mengakhiri debat. Sepasang manik matanya melihat pemandangan di luar jendela mobil. “Aku berhenti di sini saja, No,” ucapnya tiba-tiba.
“Kenapa turun di sini? Kita kan mau makan bareng?” tanya Juno sambil menolehkan kepala.
“Aku tidak ikut makan dengan kalian makan, jadi turun di sini saja,” jawab Valerie saat Juno menepikan mobilnya.
“Kalau tidak ikut makan. Kenapa turun di sini? Rumahmu masih dua blok lagi.” Endra bersuara dengan mata mengamati objek di luar kaca mobil.
“Siapa bilang aku mau pulang? Aku mau makan di warung depan.” Telunjuk lentik Valerie menunjuk sebuah warung tenda tak jauh dari mobil Juno terparkir. Empat Sekawan lantas menatapnya penuh tanya.
“Kenapa makan di sana? Mendingan ikut kita saja!” ajak Garin.
“Terima kasih, tapi aku maunya makan di warung Bu Surti. Tolong buka pintunya dong, Ndra!” pinta Valerie dengan melempar senyum lebar.
“Apa kamu nggak takut makan di sana, Rie?” Kini, giliran Ello yang bersuara.
Valerie tergelak dengan pertanyaan Ello, hingga keempat temannya semakin terlihat bingung. “Aku cuma mau pergi ke warung, bukan ke sarang teroris.” Ia masih tertawa. “Kalau memang makanan pinggir jalan berbahaya seperti yang kalian pikir selama ini. Aku mungkin sudah mati dari dulu kali, tapi lihat buktinya aku sehat sampai sekarang. Permisi dulu, Ndra! Aku mau turun,” ucapnya masih diiringi kekehan ringan.
Dengan berat hati, Endra pun membuka pintu dan turun dari mobil. Sedikit bergeser guna memberi akses Valerie lewat.
“Terima kasih sudah mengajakku nonton konser, sampai jumpa hari Senin di sekolah.” Sebelum pergi, Valerie sempat melambaikan tangan ke arah Endra dan Tiga Sekawan. Ia mulai menyusuri trotoar menuju sebuah warung tenda langganannya.
Endra yang masih bergeming di tempat, memandang temannya itu dengan nanar. Ada perasaan tak tega melihat gadis beriris cokelat itu berjalan sendirian menyusuri trotoar, apalagi dalam keadaan selarut ini.
“Valerie!”
Langkah Valerie terhenti. Perlahan ia memutar badan ke sumber suara. Raut heran terlihat jelas membingkai wajah jelitanya.
“Tunggu sebentar! Aku mau ikut makan,” ucap Endra cepat, kemudian membungkukkan badan untuk melihat Tiga Sekawan dalam mobil.
“Kalian duluan saja. Aku mau makan dengan Valerie. Nanti aku bisa naik taksi.”
Ketika Endra hendak menutup pintu mobil, Garin menahannya. “Nggak asyik jika pergi tanpamu. Aku ikut, deh,” Garin berucap, lalu bergerak menuruni mobil. Juno diam sesaat, kemudian ikut turun. Tak berapa lama, Ello pun menyusul.
Endra tersenyum tipis, lalu berjalan mendekati Valerie. Tiga Sekawan mengikuti di belakang. Sang objek tujuan justru hanya mematung dengan wajah penuh tanya.
“Beneran mau ikut makan?” tanya gadis itu ragu. Lalu dijawab anggukan mantap dari Endra.
Tak banyak yang mereka bicarakan saat berjalan menuju warung. Kelimanya bergerak maju, diterpa gigil malam yang justru membuat suasana terasa syahdu.
“Aku jamin selain makan makanan yang enak, kalian juga akan banyak belajar tentang hidup.” Valerie tiba-tiba membuka suara. Menarik perhatian Empat Sekawan untuk melihat ke arahnya.


“Pelajaran hidup seperti apa?” tanya Endra penasaran.
Tanpa aba-aba Valerie berhenti. Empat Sekawan mau tak mau menghentikan langkah.
“Lihat di sana!” perintah Valerie sembari menunjuk dua anak laki-laki tak jauh dari posisinya berdiri.
Endra melihat ke arah yang ditunjuk. Di sana, terdapat dua anak laki-laki yang usianya mungkin sekitar sepuluh tahun. Mereka memakai pakaian lusuh, satu anak memegang ukelele usang, dan satu anak yang lain tampak menghitung uang receh, mungkin hasil dari mengamen.
“Anak yang bawa ukelele namanya Udin dan yang satu namanya Tegar. Mereka masih kelas empat SD. Orang tua mereka jadi pemulung. Sepulang sekolah, mereka selalu ngamen, bantu cari uang untuk makan. Nasibnya jauh tidak beruntung dari kalian. Kalian bisa makan apa pun yang kalian mau, di restoran mahal. Namun, mereka mengumpulkan recehan untuk bisa makan nasi, itu pun tidak selalu tiap hari mereka dapat.” Selepas bercerita, Valerie menghampiri dua anak jalanan itu, meninggalkan Empat Sekawan yang terdiam dengan ekspresi tak terbaca.
Endra bisa melihat kedua anak lelaki itu bersorak senang saat bertemu Valerie. Seolah telah bertemu seseorang yang begitu mereka puja. Tangan mungil gadis itu menyentuh kepala sang bocah tanpa risih. Dari kejauhan, ia menangkap gerakan Valerie mengambil uang dari dalam tas. Senyum anak jalanan langsung merekah. Mungkin mereka bersyukur karena mendapat berkah lebih.
“Ayo jalan!” ajak Valerie kala berjalan mendekati Empat Sekawan.
“Apa sudah lama mengenal mereka?” tanya Endra.
Valerie mengangguk. “Lumayan lama, saat itu mereka masih kelas satu SD. Pertama bertemu mereka, aku menangis karena tak tega. Tapi, Ibu bilang, itulah hidup dan nasib orang tidak ada yang sama. Masih banyak orang yang hidupnya kekurangan. Intinya harus selalu bersyukur dengan apa yang kita punya.”
Ucapan Valerie seakan mencubit hati Endra dan Tiga Sekawan. Lelaki berambut cokelat itu merasa begitu kecil dan mungkin lebih kecil dari kedua anak jalanan tadi. Valerie sudah menyadarkannya tentang arti syukur yang selama ini sudah ia lupakan.
Akhirnya, mereka sampai di warung tenda. Empat Sekawan berjalan mengikuti Valerie yang masuk lebih dulu. Endra mulai mengamati tempat itu. Ia membenarkan perkataan teman cantiknya, bahwa warung kaki lima tak semuanya jorok. Seperti tempat ini misalnya. Walaupun hanya berupa warung tenda, tetapi cukup tertutup sehingga kecil kemungkinan ada debu yang masuk. Ada tiga meja panjang berjejer rapi. Di atasnya terdapat tempat sendok dan garpu, tempat tusuk gigi, tisu, dan keranjang yang berisi kerupuk. Setiap meja diapit dua bangku panjang. Dua meja sudah penuh dengan pengunjung yang menyantap makanan.
Endra menghampiri Valerie yang sudah mengobrol dengan wanita paruh baya dengan celemek yang terpasang di badan. Mungkin beliau yang bernama Bu Surti, pemilik warung.
“Bagaimana kabar ibumu? Sudah sehat?” tanya wanita itu yang sepertinya sudah begitu mengenal Ibu dan Valerie.
“Alhamdulillah, sudah sehat, Bu. Tapi, masih belum boleh kerja berat,” jawab Valerie sopan.
“Syukurlah.” Bu Surti tersenyum lega, lalu mengamati wajah Empat Sekawan yang begitu asing.
“Mereka siapa, Nak?” tanyanya seraya memandang empat wajah tampan bergantian.
“Teman sekolahku, Bu." Valerie membalikkan badan.
“Kalian mau makan apa?”
“Ada menu apa saja?” celetuk Ello.
“Banyak, lihatlah!” jawab Valerie sembari menunjuk meja besar di depannya. Berbagai olahan ikan, ayam, bebek, dan daging sapi berjajar dengan bumbu yang menggoda. Ada berbagai macam sayur dan variasi sambal. Semua tertata rapi dan terlihat menggugah selera.
Empat Sekawan melihat semua menu dengan tatapan takjub. Mungkin ini pertama kalinya melihat berbagai masakan siap makan dalam wadah besar terjejer rapi. Valerie tersenyum geli, mengamati wajah empat temannya sekarang. Mereka seperti anak kecil yang kagum dengan mainan baru. Ekspresi mereka benar-benar lucu.
Setelah lama memilih menu dan harus bertanya pada Valerie maupun ibu pemilik warung, akhirnya Empat Sekawan mendapat makanan yang mereka mau. Kelimanya mengambil duduk di meja yang masih kosong. Endra duduk bersebelahan dengan Ello di sisi kanan meja, sedangkan di sisi lain ada Garin, Juno, dan Valerie duduk berjajar. Es jeruk menjadi pelengkap santap malam mereka kali ini.
“Ehmm ... enak banget.” Endra berucap setelah menikmati suapan pertama. Ada rendang daging dan sayur daun singkong. Semakin lengkap dengan sambal balado super pedas. 
“Ternyata sensasinya beda banget dengan makan di resto. Makanannya enak dan bisa milih lauk sendiri.” Endra menambahkan pendapat di sela kunyahannya.
“Sudah tidak takut lagi untuk makan di pinggir jalan, kan?” goda Valerie dengan tersenyum lebar. Juno yang kebetulan duduk berdekatan segera menyikut lengan kirinya. Tawanya semakin berderai. Puas sudah berhasil mengubah pola pikir teman borju-nya yang sempit.

∞∞∞

Baru saja Valerie keluar dari rumah. Mobil Garin memasuki halaman. Gadis itu pun berdiri, bersandar di tiang teras rumah, dengan tangan kiri mendekap tiga buku bekas. Terlihat Endra bersama Ello turun dari jok belakang mobil. Sementara, Garin dan Juno masih bertahan di dalamnya.
“Mau ke mana, Rie?” tanya Endra mendekati teras.
“Rumah singgah.”
Valerie menangkap kebingungan dua teman di depannya. “Rumah untuk para anak jalanan belajar. Bukan rumah seperti pada umumnya, hanya pondok dengan papan seadanya. Di sana para pengamen, pedagang asongan, anak pemulung berkumpul untuk belajar. Mulai belajar membaca, menulis, berhitung, menggambar, sampai bermain alat musik,” terangnya.
“Apa kamu mau ke sana sekarang?” tanya Ello. Valerie mengangguk mantap.
“Boleh ikut?” Lagi-lagi, Ello bertanya dengan nada antusias.
“Boleh banget,” Valerie menyahut, “tapi harus jalan kaki untuk sampai ke sana. Mobil tidak akan bisa masuk karena jalannya sempit.”
Garin dan Juno yang kebetulan masih di dalam mobil segera turun. Tanpa membuang masa, kelimanya mulai melangkah melewati gang sempit yang padat dengan rumah warga. Sepanjang perjalanan, mereka diiringi pandangan kagum dari para warga. Terlebih melihat paras dan penampilan Empat Sekawan yang menonjol. Berjalan dengan mereka seakan sedang bersama model majalah ternama. Hal inilah yang kadang membuat Valerie minder jika dekat dengan Empat Sekawan.
“Siapa yang punya ide buat rumah singgah?” tanya Endra tiba-tiba.
“Relawan yang simpati dan peduli dengan nasib anak jalanan. Mereka lalu mendirikan rumah singgah. Awalnya, mereka membangun dengan uang sendiri, tapi sekarang sudah ada yang membantu. Itu pun tidak banyak. Tapi, apa pun bentuk bantuan tetap sangat berarti buat anak-anak itu.” Valerie tersenyum, lalu memalingkan wajahnya dari Endra. Selalu saja merasa salah tingkah jika berkomunikasi dengan pangeran sekolah itu.
Lima belas menit bergulir cepat. Kelimanya tiba di rumah singgah dengan halaman cukup luas. Berbagai macam bunga tumbuh dan tampak menghiasi pekarangan itu.
Rumah singgah sendiri hanya terbuat dari papan kayu yang ditata rapi dan dicat warna biru. Bangunan itu berukuran 5X6 meter, memiliki satu pintu dan dua jendela besar untuk sirkulasi udara. Dalam ruangan terdapat papan tulis hitam dan rak besar untuk menaruh buku cerita. Ada juga dua meja panjang untuk alas menulis anak-anak, sedangkan untuk alas duduk terbentang karpet plastik dengan corak warna kayu.
Valerie melihat Mas Bayu sedang membaca buku di bangku panjang depan jendela. Dialah orang yang menggagas rumah singgah. Lelaki baik itu berusia dua puluh lima tahun dan bekerja sebagai karyawan di perusahaan multimedia. Karena kepedulian dan rasa simpati besar pada anak jalanan, dia bersama dua teman yang lain, yakni Mas Raka dan Mbak Gani, mendirikan tempat singgah anak jalanan untuk belajar.
Menyadari kehadiran Valerie. Lelaki itu mengangkat wajah, lalu melempar senyuman. Gadis itu sontak terlibat obrolan ringan. Tak lupa ia mengenalkan Empat Sekawan.
Setelah berbasa-basi dan saling melempar sapa. Valerie mengajak Empat Sekawan masuk ke rumah singgah. Terlihat Mbak Gani tengah mengajar soal hitungan untuk anak-anak.
Sama seperti Bayu yang menyambut Valerie dengan gembira. Wanita berdarah timur tengah itu langsung menghampiri dan memeluk tubuh mungil teman seperjuangannya.
“Aku kangen denganmu, Rie.” Gani berkata saat keduanya melepas pelukan. Sejak sang ibu sakit, Valerie memang tak datang lagi ke rumah singgah. Padahal biasanya ia menghabiskan libur akhir pekan dengan ikut mengajar di sana.
“Aku juga kangen Mbak Gani dan anak-anak.” Valerie tak kalah melempar senyum manisnya, lalu menyapa semua anak dalam ruangan dengan lambaian tangan.
“Mereka siapa, Rie?” tanya Gani saat tersadar Valerie tak datang sendiri.
Valerie kembali memperkenalkan Empat Sekawan. Kekasih Bayu itu tampak bersemangat saat menjabat tangan Endra, Juno, Ello, dan Garin bergantian.
“Dari mereka berempat, pacar kamu yang mana, Rie?” Mulut comel Gani mulai bereaksi. Bayu yang kebetulan baru masuk ruangan ikut melempar senyum jail.
Secara tiba-tiba Ello, Juno, dan Garin serentak menunjuk ke arah Endra. Sengatan panas menyebar di sekitaran telinga, leher, dan wajah Valerie. Sungguh, ia merasa malu sekarang.
“Kak Erie, ajari aku membaca.”
“Kak Erie, ajari aku menulis.”
Teriakan anak-anak menjadi penyelamat Valerie dari suasana canggung. Dengan cepat, ia menghampiri anak didik di rumah singgah. Tentu saja untuk lari dari godaan maut semua orang.
Empat Sekawan ikut bergabung dengan anak-anak. Mereka bahkan tak canggung untuk ikut mengajar CALISTUNG. Semua belajar dengan sesekali bercanda dan tertawa. Saling berbaur dan melebur kesenjangan yang terbentang di antara mereka, hingga tak terasa matahari mulai beranjak menuju peraduan. Semua membubarkan diri bersiap pulang. Sementara, empat laki-laki tampan lebih memilih tetap singgah di rumah Valerie.
“Kalian makan malam di sini saja.” Arumi memberi titah pada Empat Sekawan.
“Terima kasih tawarannya, Bu, tapi kami tidak ingin merepotkan,” balas Endra sopan. Tentu ditambah dengan senyuman yang menawan.
“Tidak repot, tadi Ibu sudah masak banyak. Tunggu sebentar lagi, ya! Kalau sudah matang kita makan bersama.” Setelah itu, Arumi membalikkan badan menuju dapur.
“Ibu cantik sekali, Rie,” ucap Juno saat ibu sahabatnya sudah menghilang di balik dinding untuk berkutat kembali dengan masakan.
“Kamu mirip sekali dengan Ibu.” Ello menimpali dengan menatap lekat gadis di depannya itu.
“Kalau ayahmu di mana, Rie?”
Pertanyaan Garin sukses menjadikan tubuh Valerie menegang. Ia terlalu benci jika ditanya tentang ayahnya. Menurutnya sang ayah adalah orang paling jahat dan tidak bertanggung jawab. Pergi meninggalkannya dan sang ibu dalam kubangan derita. Masih segar di ingatan, ketika dirinya masih kecil, sang ibu menangis sedih karena sosok kejam itu.
“Kenapa melamun?” Lamunan Valerie buyar akibat tepukan Endra di bahunya.
“Ayahku sudah meninggal.” Suara Valerie bergetar menahan amarah yang masih saja membuncah dalam dada.
“Maaf, Rie. Aku nggak tahu dan tak bermaksud membuatmu sedih,” sahut Garin tanpa bisa menyembunyikan keterkejutan.
“Tidak apa-apa.” Valerie menyahut dengan tersenyum getir. Bertepatan dengan itu ibunya keluar dari dapur, lalu mengajak semua makan bersama.
Tbc

Pati, 5 Juli 2019

Biodata:


Penulis lahir di Malang, tapi sekarang tinggal bersama sang suami di Pati. Menyukai dunia literasi dan berharap bisa segera melahirkan novel solo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.