Jumat, 19 Juli 2019

Cerpen - Wanita Penumpang Kereta - Constantijn A.A. Watupongoh - Sastra Indonesia Org




Wanita Penumpang Kereta

Karya: Constantijn A.A. Watupongoh


      Agus membuka matanya perlahan, dan mencoba melirik jarum jam dengan pandangan yang sedikit kabur. 10 menit lagi jam 5 pagi. Dengan mata yang masih mengantuk, dipaksakannya tubuhnya untuk bangun, mandi dan mulai berkemas.
      24 menit kemudian, Agus menyusuri jalan kecil, lorong dan trotoar jalan besar sambil memanggul tas ransel hitamnya. Tapi kali ini tidak seperti biasa, tasnya terisi penuh dengan baju dan segala perlengkapannya. Cukup untuk beberapa hari perjalananku, begitu ujarnya dalam hati.
      Lalu sampailah ia di stasiun kereta api. Agus memilih tempat duduk yang sedikit jauh dari keramaian. Dengan harapan sambil menunggu jam keberangkatan, ia bisa menikmati pemandangan dalam stasiun yang perlahan mulai ramai oleh para penumpang. Suara-suara mulai ramai terdengar, diiringi dengan adanya sedikit pertengkaran, suara bernada marah, suara penjual jajanan, dan suara langkah kaki seseorang yang seperti mendekatinya.
      Ternyata di samping kirinya masih ada tempat kosong. Dari tadi Agus tidak sadar kalau tempat sebelah kiri itu kosong terus tidak terisi, walaupun sebelah kanannya sudah terisi dan tempat duduk di sekitarnya pun sudah penuh. Dan perlahan dan dengan sopan sosok orang itu menyapa Agus.
      “Maaf mas. Tempat duduk ini kosong ?”
      Dengan sedikit mengernyitkan kening, walau belum sampai menatap wajah orang itu, Agus berkata dalam hati, “udah tau kosong, pake nanya lagi. Duduk aja kek nggak usah nanya.”
      Dengan cuek Agus menjawab sedikit ketus, “nggak!”
      Dan orang itupun menempati tempat kosong itu dan perlahan menoleh ke arah Agus yang juga perlahan mencoba memandang wajahnya.
      “Ouch!” Agus terkejut, ternyata seorang wanita cantik yang berpakaian casual. Kemeja kotak-kotak tangan panjang yang digulung sampai ke lengan. Kaos hitam di dalam kemeja kotak-kotak tersebut. Celana jeans biru muda dengan warna yang sedikit kusam. Memangku tas ransel sedang berwarna coklat. Rambut sedikit pirang. Wajah manis. Cantik. “Cantik banget, sih,” batin Agus. Wanita itu menatap Agus dengan ramah dan perlahan memberi senyuman. “Waduh ….” Agus bergumam.
      “Ke kampus ya, Mas?”
      “Nggak. Ke pasar.” Kelakar Agus dalam hati, sembari mencoba menenangkan jiwanya yang sedikit terguncang oleh karena hadirnya sang bidadari cantik.
      Agus hanya bisa mengangguk, yang dibalas dengan pertanyaan lainnya dari sang wanita itu.
      “Sendiri?”
      “Nggak.” Kali ini entah kenapa Agus berani menjawab singkat pertanyaan sang wanita itu. Namun jawaban itu diberikan sambil diselingi dengan senyum menggoda.
      “Bareng teman?”
      “Nggak juga.” Agus mulai semakin berani. Sambil kembali memberi senyum menggoda.
      “Bareng pacar?”
      “Nggaklah.” Agus tertawa kecil.
      “Terus bareng siapa?”
      “Tuh, bareng penumpang-penumpang lainnya.” Tawa Agus pun pecah.
      “Iya Mas, itu aku tau, aku juga begitu. Maksud aku, Mas pergi sendiri, nggak dengan siapa pun?”
      Tiba-tiba niat Agus untuk menggoda timbul.
      “Kenapa? Kamu mau temanin aku?”
      “Sepanjang perjalanan kereta ini sih iya boleh. Tapi kalau sepanjang perjalanan hidup Mas …. Aduh … saya pikir-pikir dulu ya.” Gantian sang wanita itu tersenyum menggoda.
      Kembali mereka berdua tertawa. Kali ini agak keras, seakan-akan tidak peduli dengan orang-orang di sekitar yang mulai menatapnya. Mungkin sedikit terganggu, atau mungkin ingin membuka mata lalu tertidur lagi. Namun Agus tak menghiraukan hal itu.
      Agus menyodorkan tangannya ingin bersalaman.
      “Apa ini, Mas? Ulang tahun saya masih lama, kok mau dikasih selamat? Untuk apa?”
      “Ya ampun ni orang ….” Jerit Agus dalam hati.
      Seolah tau batin Agus, sang wanita pun akhirnya membalas sodoran tangan Agus, dan mereka pun saling bersalaman.
      “Agus”
      “Sintia”
      “Wah nama yang cantik, secantik orangnya,” gumam Agus dalam hati.
      “Kenapa, Mas? Kok diam? Pernah kenal orang nama Sintia ya? Atau mantan pacar Mas namanya Sintia, ya? Atau mantan guru Mas bernama Sintia, ya?”
      “Waduh, Neng. Pertanyaannya satu-satu dong. Abang nggak bisa jawab semua pertanyaannya.”
Sang wanita pun tertawa lepas. Agus tertawa sinis.
      “Tapi … jangan panggil aku Neng, ya,” kata si wanita itu.
      “Kenapa?”
      “Aku udah janda dan mungkin aku lebih tua dari Mas Agus.”


      “Oh sorry. Ditinggal suami, ya?”
      “Iya, ditinggal mati.”
      “Ooopss, sorry.”
      “Nggak apa-apa.”
      “Maaf, boleh tanya. Mba umur berapa ya?”
      “Kalau Mas Agus?”
      “Aku 35 tahun.”
      “Aku 45 tahun.”
      “Umur segitu, wajahnya masih terlihat seperti masih umur awal 30-an?” Agus berkata dalam hatinya sambil mencoba menatap dalam wajah Sintia.
      “Kenapa, Mas? Kok menatapnya gitu ? Ngeri tau.”
      “Eh, maaf. Jujur aja aku nggak nyangka usia Mba udah 45 tahun.”
      Sintia mengulum senyum kecil.
      Tiba-tiba terdengar panggilan di pengeras suara. Para penumpang pun mulai bergegas memasuki gerbong.
      “Mba Sintia duduknya di mana?”
      Sintia menyodorkan tiketnya.
      “Lho kita berdua duduk bersebelahan. Asyik aku ada teman ngobrol nih,” kata Agus.
      Sintia pun mengangguk pelan.
      Agus mencoba menawarkan bantuan untuk membawa tas ransel Sintia dengan maksud untuk meringankan beban perjalanan Sintia. Namun ditolak halus dan pelan oleh Sintia.
      “Nggak apa-apa, Mas. Ini ringan kok.”
      Agus pun tidak mau memaksakan kehendak dan membiarkan Sintia memanggul sendiri tas ranselnya.
      Setelah masuk ke dalam gerbong Agus mempersilakan Sintia duduk di sebelah dalam dan Agus duduk di sebelah lorong. Para penumpang lain menatap Agus dengan bermacam roman muka. Agus tak menghiraukan hal itu.
      “Kuliah di mana ?” Agus memulai percakapan setelah kereta mulai berjalan.
      Sintia hanya terdiam menatap pemandangan di luar jendela.
      “Mbak Sintia capek ya? Ngantuk? Suntuk?”
      Dijawab singkat dengan anggukan kecil 2 kali.
      “Ya udah, Mbak istirahat aja. Kan masih ada waktu 1 jam setengah sebelum tiba di stasiun pertama”
      Kembali Sintia mengangguk pelan, tapi hanya sekali.
      Maka Agus pun memutuskan untuk memejamkan mata untuk mencoba beristirahat sedikit, karena memang ia masih mengantuk. Karena semalam tidur jam 3 pagi demi menyelesaikan tugas-tugasnya, dan harus bangun jam 5 pagi untuk bersiap-siap berangkat naik kereta api.
      Agus pun terlelap. Sintia masih menatap ke luar jendela. Ada satu tetes air keluar dari sudut matanya.
      Kereta pun melaju.
      Agus terbangun ketika kereta sudah 3 menit berhenti di stasiun pertama.
      “Ah, lumayan, satu setengah jam terlelap bisa sedikit mengembalikan energiku yang hilang semalam,” ujar Agus dalam hati.
      Ia menatap ke luar jendela, melihat beberapa penumpang yang turun dari kereta dan yang naik ke dalam kereta. “Banyak juga penumpang yang turun ya,” ujar Agus dalam hati.
      Sementara mentari pagi sudah mulai terik memancarkan cahayanya. “Ah, masih ada 2 stasiun lagi baru sampai ke stasiun kampus nih,” kata Agus dalam hati.
      Tiba-tiba ia tersentak kaget. “Oh iya ya, mana si Sintia? Jangan-jangan dia turun untuk beli makanan untuk sarapan. Bisa ketinggalan kereta dia kalau belum muncul 5 menit lagi.”
      Agus melongokan kepalanya keluar jendela mencari wajah Sintia di antara puluhan wajah yang berseliweran. Tidak ada.
      Sampai kereta bergerak perlahan, Sintia belum muncul.
      “Jangan-jangan memang Sintia turun di stasiun tadi ya?”
      Dengan kepala masih penuh tanda tanya, Agus menyandarkan kepalanya dan menatap bangku sebelah yang sudah kosong.
      “Ah, mungkin suatu saat nanti aku akan ketemu dia lagi,” ujar Agus dalam hati dengan sedikit cuek, karena menurut dia pertemuannya dengan Sintia memang kebetulan saja, dan tidak perlu diharapkan menjadi pertemuan yang berkelanjutan.
      Kereta pun perlahan meninggalkan stasiun.
      Dari balik jendela stasiun, sesosok wanita menatap sendu kereta yang pergi itu.


(Flashback peristiwa tadi pagi)

      Jam 5.46 pagi itu Agus tiba di stasiun kereta, mengambil tempat duduk yang masih kosong. Dan tempat duduk di samping kiri Agus itu tetap kosong sampai seluruh penumpang naik ke kereta. Ketika menuju gerbong kereta, di belakang Agus para penumpang saling berbisik dan menatap heran pada Agus.
      “Laki-laki itu tentu telah melihatnya.”
      “Kok ia nggak sadar kalau wanita itu ….”
      Begitu pula ketika hendak duduk di bangku dalam gerbong, para penumpang menatap heran pada Agus. Namun Agus tidak menghiraukan hal itu.
      Sampai kereta berangkat dari stasiun pertama, Agus pun tidak menghiraukan dan tidak sadar akan hal itu.


Biodata:

Constantijn A.A. Watupongoh suka menulis puisi dan cerpen, tetapi tidak sering. Ia lahir di Kaima, 7 Januari 1970. Mempunyai keinginan untuk menjadi penulis tetapi sering terkendala dengan waktu, karena ada pekerjaan tetap, dan juga terkendala dalam hal menemukan kata-kata pembuka dan meneruskan cerita walaupun ide cerita banyak bertengger di dalam kepala. Emainya: constantijn.watupongoh77@gmail.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.