Wanita Penumpang Kereta
Karya: Constantijn A.A. Watupongoh
Agus membuka matanya perlahan, dan mencoba
melirik jarum jam dengan pandangan yang sedikit kabur. 10 menit lagi jam 5
pagi. Dengan mata yang masih mengantuk, dipaksakannya tubuhnya untuk bangun,
mandi dan mulai berkemas.
24 menit kemudian, Agus menyusuri jalan
kecil, lorong dan trotoar jalan besar sambil memanggul tas ransel hitamnya.
Tapi kali ini tidak seperti biasa, tasnya terisi penuh dengan baju dan segala
perlengkapannya. Cukup untuk beberapa hari perjalananku, begitu ujarnya dalam
hati.
Lalu sampailah ia di stasiun kereta api.
Agus memilih tempat duduk yang sedikit jauh dari keramaian. Dengan harapan sambil
menunggu jam keberangkatan, ia bisa menikmati pemandangan dalam stasiun yang
perlahan mulai ramai oleh para penumpang. Suara-suara mulai ramai terdengar,
diiringi dengan adanya sedikit pertengkaran, suara bernada marah, suara penjual
jajanan, dan suara langkah kaki seseorang yang seperti mendekatinya.
Ternyata di samping kirinya masih ada
tempat kosong. Dari tadi Agus tidak sadar kalau tempat sebelah kiri itu kosong
terus tidak terisi, walaupun sebelah kanannya sudah terisi dan tempat duduk di
sekitarnya pun sudah penuh. Dan perlahan dan dengan sopan sosok orang itu
menyapa Agus.
“Maaf mas. Tempat duduk ini kosong ?”
Dengan sedikit mengernyitkan kening, walau
belum sampai menatap wajah orang itu, Agus berkata dalam hati, “udah tau
kosong, pake nanya lagi. Duduk aja kek nggak usah nanya.”
Dengan cuek Agus menjawab sedikit ketus,
“nggak!”
Dan orang itupun menempati tempat kosong
itu dan perlahan menoleh ke arah Agus yang juga perlahan mencoba memandang
wajahnya.
“Ouch!” Agus terkejut, ternyata seorang
wanita cantik yang berpakaian casual. Kemeja kotak-kotak tangan panjang yang
digulung sampai ke lengan. Kaos hitam di dalam kemeja kotak-kotak tersebut.
Celana jeans biru muda dengan warna yang sedikit kusam. Memangku tas ransel
sedang berwarna coklat. Rambut sedikit pirang. Wajah manis. Cantik. “Cantik banget,
sih,” batin Agus. Wanita itu menatap Agus dengan ramah dan perlahan memberi
senyuman. “Waduh ….” Agus bergumam.
“Ke kampus ya, Mas?”
“Nggak. Ke pasar.” Kelakar Agus dalam
hati, sembari mencoba menenangkan jiwanya yang sedikit terguncang oleh karena
hadirnya sang bidadari cantik.
Agus hanya bisa mengangguk, yang dibalas
dengan pertanyaan lainnya dari sang wanita itu.
“Sendiri?”
“Nggak.” Kali ini entah kenapa Agus berani
menjawab singkat pertanyaan sang wanita itu. Namun jawaban itu diberikan sambil
diselingi dengan senyum menggoda.
“Bareng teman?”
“Nggak juga.” Agus mulai semakin berani.
Sambil kembali memberi senyum menggoda.
“Bareng pacar?”
“Nggaklah.” Agus tertawa kecil.
“Terus bareng siapa?”
“Tuh, bareng penumpang-penumpang lainnya.”
Tawa Agus pun pecah.
“Iya Mas, itu aku tau, aku juga begitu.
Maksud aku, Mas pergi sendiri, nggak dengan siapa pun?”
Tiba-tiba niat Agus untuk menggoda timbul.
“Kenapa? Kamu mau temanin aku?”
“Sepanjang perjalanan kereta ini sih iya
boleh. Tapi kalau sepanjang perjalanan hidup Mas …. Aduh … saya pikir-pikir
dulu ya.” Gantian sang wanita itu tersenyum menggoda.
Kembali mereka berdua tertawa. Kali ini
agak keras, seakan-akan tidak peduli dengan orang-orang di sekitar yang mulai
menatapnya. Mungkin sedikit terganggu, atau mungkin ingin membuka mata lalu
tertidur lagi. Namun Agus tak menghiraukan hal itu.
Agus menyodorkan tangannya ingin
bersalaman.
“Apa ini, Mas? Ulang tahun saya masih
lama, kok mau dikasih selamat? Untuk apa?”
“Ya ampun ni orang ….” Jerit Agus dalam
hati.
Seolah tau batin Agus, sang wanita pun
akhirnya membalas sodoran tangan Agus, dan mereka pun saling bersalaman.
“Agus”
“Sintia”
“Wah nama yang cantik, secantik orangnya,”
gumam Agus dalam hati.
“Kenapa, Mas? Kok diam? Pernah kenal orang
nama Sintia ya? Atau mantan pacar Mas namanya Sintia, ya? Atau mantan guru Mas bernama
Sintia, ya?”
“Waduh, Neng. Pertanyaannya satu-satu dong.
Abang nggak bisa jawab semua pertanyaannya.”
Sang
wanita pun tertawa lepas. Agus tertawa sinis.
“Tapi … jangan panggil aku Neng, ya,” kata
si wanita itu.
“Kenapa?”
“Aku udah janda dan mungkin aku lebih tua
dari Mas Agus.”
“Oh sorry.
Ditinggal suami, ya?”
“Iya, ditinggal mati.”
“Ooopss, sorry.”
“Nggak apa-apa.”
“Maaf, boleh tanya. Mba umur berapa ya?”
“Kalau Mas Agus?”
“Aku 35 tahun.”
“Aku 45 tahun.”
“Umur segitu, wajahnya masih terlihat
seperti masih umur awal 30-an?” Agus berkata dalam hatinya sambil mencoba
menatap dalam wajah Sintia.
“Kenapa, Mas? Kok menatapnya gitu ? Ngeri
tau.”
“Eh, maaf. Jujur aja aku nggak nyangka
usia Mba udah 45 tahun.”
Sintia mengulum senyum kecil.
Tiba-tiba terdengar panggilan di pengeras
suara. Para penumpang pun mulai bergegas memasuki gerbong.
“Mba Sintia duduknya di mana?”
Sintia menyodorkan tiketnya.
“Lho kita berdua duduk bersebelahan. Asyik
aku ada teman ngobrol nih,” kata Agus.
Sintia pun mengangguk pelan.
Agus mencoba menawarkan bantuan untuk
membawa tas ransel Sintia dengan maksud untuk meringankan beban perjalanan
Sintia. Namun ditolak halus dan pelan oleh Sintia.
“Nggak apa-apa, Mas. Ini ringan kok.”
Agus pun tidak mau memaksakan kehendak dan
membiarkan Sintia memanggul sendiri tas ranselnya.
Setelah masuk ke dalam gerbong Agus
mempersilakan Sintia duduk di sebelah dalam dan Agus duduk di sebelah lorong.
Para penumpang lain menatap Agus dengan bermacam roman muka. Agus tak
menghiraukan hal itu.
“Kuliah di mana ?” Agus memulai percakapan
setelah kereta mulai berjalan.
Sintia hanya terdiam menatap pemandangan
di luar jendela.
“Mbak Sintia capek ya? Ngantuk? Suntuk?”
Dijawab singkat dengan anggukan kecil 2
kali.
“Ya udah, Mbak istirahat aja. Kan masih
ada waktu 1 jam setengah sebelum tiba di stasiun pertama”
Kembali Sintia mengangguk pelan, tapi
hanya sekali.
Maka Agus pun memutuskan untuk memejamkan
mata untuk mencoba beristirahat sedikit, karena memang ia masih mengantuk. Karena
semalam tidur jam 3 pagi demi menyelesaikan tugas-tugasnya, dan harus bangun
jam 5 pagi untuk bersiap-siap berangkat naik kereta api.
Agus pun terlelap. Sintia masih menatap ke
luar jendela. Ada satu tetes air keluar dari sudut matanya.
Kereta pun melaju.
Agus terbangun ketika kereta sudah 3 menit
berhenti di stasiun pertama.
“Ah, lumayan, satu setengah jam terlelap
bisa sedikit mengembalikan energiku yang hilang semalam,” ujar Agus dalam hati.
Ia menatap ke luar jendela, melihat
beberapa penumpang yang turun dari kereta dan yang naik ke dalam kereta.
“Banyak juga penumpang yang turun ya,” ujar Agus dalam hati.
Sementara mentari pagi sudah mulai terik
memancarkan cahayanya. “Ah, masih ada 2 stasiun lagi baru sampai ke stasiun
kampus nih,” kata Agus dalam hati.
Tiba-tiba ia tersentak kaget. “Oh iya ya,
mana si Sintia? Jangan-jangan dia turun untuk beli makanan untuk sarapan. Bisa
ketinggalan kereta dia kalau belum muncul 5 menit lagi.”
Agus melongokan kepalanya keluar jendela
mencari wajah Sintia di antara puluhan wajah yang berseliweran. Tidak ada.
Sampai kereta bergerak perlahan, Sintia
belum muncul.
“Jangan-jangan memang Sintia turun di
stasiun tadi ya?”
Dengan kepala masih penuh tanda tanya,
Agus menyandarkan kepalanya dan menatap bangku sebelah yang sudah kosong.
“Ah, mungkin suatu saat nanti aku akan
ketemu dia lagi,” ujar Agus dalam hati dengan sedikit cuek, karena menurut dia
pertemuannya dengan Sintia memang kebetulan saja, dan tidak perlu diharapkan
menjadi pertemuan yang berkelanjutan.
Kereta pun perlahan meninggalkan stasiun.
Dari balik jendela stasiun, sesosok wanita
menatap sendu kereta yang pergi itu.
(Flashback peristiwa tadi pagi)
Jam 5.46 pagi itu Agus tiba di stasiun
kereta, mengambil tempat duduk yang masih kosong. Dan tempat duduk di samping
kiri Agus itu tetap kosong sampai seluruh penumpang naik ke kereta. Ketika
menuju gerbong kereta, di belakang Agus para penumpang saling berbisik dan
menatap heran pada Agus.
“Laki-laki itu tentu telah melihatnya.”
“Kok ia nggak sadar kalau wanita itu ….”
Begitu pula ketika hendak duduk di bangku
dalam gerbong, para penumpang menatap heran pada Agus. Namun Agus tidak
menghiraukan hal itu.
Sampai kereta berangkat dari stasiun
pertama, Agus pun tidak menghiraukan dan tidak sadar akan hal itu.
Biodata:
Constantijn
A.A. Watupongoh suka menulis puisi dan cerpen, tetapi tidak sering. Ia lahir di
Kaima, 7 Januari 1970. Mempunyai keinginan untuk menjadi penulis tetapi sering
terkendala dengan waktu, karena ada pekerjaan tetap, dan juga terkendala dalam
hal menemukan kata-kata pembuka dan meneruskan cerita walaupun ide cerita
banyak bertengger di dalam kepala. Emainya: constantijn.watupongoh77@gmail.com.
0 Response to "Cerpen - Wanita Penumpang Kereta - Constantijn A.A. Watupongoh - Sastra Indonesia Org"
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.