Selasa, 30 Juli 2019

Cerpen - Swastamita - SheifyFathimah - Sastra Indonesia Org




Swastamita
Oleh: SheifyFathimah

            “Sabrina! Sab!” Teriakan wanita paruh baya dengan suaranya yang parau tapi kencang. Menyebabkan gadis berusia 16 tahun yang sedang berada di ruang tamu mendengar.
Merasa namanya dipanggil berulang kali bahkan dengan nada terkesan tidak sabar, emosi tersulut begitu saja, membakar habis kesabarannya. Walau begitu, ia tetap bergeming menonton televisi yang menampilkan acara favoritnya, The Secrets of Musics, di salah satu stasiun televisi terkenal.
“Sabrina! Ya Allah, kamu di mana, Nak? Sab!” Belum sepuluh detik ia tenang dan kembali menikmati waktu luangnya. Teriakan yang menurut gadis berambut panjang begitu menyebalkan kembali terdengar dari salah satu kamar tidur. Kali ini lebih keras.
“Sabrina Putri Wasesa! Allahuakbar!” Sabrina mendesis, menutup kedua telinganya dengan bantal sofa, menulikan indra pendengarannya saat lonceng kembali berbunyi, nyaring memekakkan telinga. Lonceng kecil berwarna abu-abu yang biasa digunakan sebagai alat bantu meminta pertolongan.
Benar saja, ia gadis berhati batu. Sebab sampai saat ini, walau namanya dipanggil berulang kali hingga si pemilik suara mungkin sudah terengah di dalam sana, Sabrina masih memakukan kakinya yang duduk bersila di atas sofa berwarna cokelat tua.
“Sab ... dipanggil Eyang Putri, kok diam saja?” Hingga suara lembut itu terdengar, suara ibunya yang baru saja keluar dari dapur. Kendati demikian, hal tersebut malah semakin membuatnya geram.
“Sabrina lagi nonton TV, Bu. Lagian kan juga ada Mbok Parmi, kenapa sih yang dipanggil Sabri terus. Dikit-dikit Sabri, dikit-dikit Sabri, capek, Bu!” Ia memang gadis kurang ajar, sang ibu yang berusia 43 tiga tahun tersebut tidak marah. Ia bahkan tersenyum semakin lebar. Menyusul putrinya untuk duduk di bagian sisi sofa lainnya.
“Beliau sudah sepuh, sakit-sakitan. Dari kamu lahir, kan juga Eyang yang turut ngerawat saat Ibu lagi sibuk.”
Helaan napas berat dari Sabrina terdengar begitu kuat di telinga sang ibu. Beliau paham, di usianya yang masih remaja ini, emosi Sabrina sering tak terkendali, labil, serta lebih sentimental, dan ia memaklumi sifat putri sulungnya. Hei! Ia pun juga pernah muda. Ajaibnya, setelah sedikit banyak menggerutu sendiri, Sabrina akhirnya bangkit dari duduknya, menuju kamar tidur nenek yang usianya sudah setua negara ini.

♦♦♦

“Anakmu selalu saja cemberut saat dipanggil neneknya untuk dimintai tolong.” Ujar Ibu pada suaminya—bapak Sabrina—yang baru saja memasuki ruang makan, guna makan malam bersama. Pria itupun lantas menarik kursi makan dan duduk tenang di sana.
“Di mana dia?”
“Masih di kamarnya Ibu, baru aja masuk. Wajah Sabrina merah mirip banteng mengamuk. Tolong, kamu kan bapaknya, mungkin dia akan mengerti kalau kamu yang bicara.”
“Huh!” Belum sempat si bapak merespons, suara pintu dibanting keras terdengar. Diikuti langkah kaki yang dihentak-hentakkan menuju dapur—yang menyatu dengan ruang makan, tempat di mana sepasang suami istri itu sedang berbincang. Sabrina datang, wajahnya masam dengan bibir mengerucut tajam.
“Anak Bapak kenapa begitu? Ada masalah?”
“Eyang Putri itu lho teriak-teriak nggak sabaran, ternyata Sabri cuma disuruh ngisi botol tupperwarenya yang kosong.” Gadis itu berdecak, merasa sebal.

♦♦♦



“Bersabarlah, Nak. Jika eyangmu yang sepuh bahkan sakit stroke tersebut menyuruhmu ini itu tanpa rasa sabar atau terburu-buru bahkan walau hanya untuk hal sepele. Perlu kamu ingat, bahwa ini kodrat dari Tuhan. Tuhan tidak akan memberimu cobaan atau masalah pelik jika kamu tak sanggup memikulnya. Percayalah, itu tandanya Tuhan menyayangimu sebagai hamba-Nya. Itu ayat tersirat Tuhan, Nak. Tidak ada pengembala yang berada di depan bukan? Maka dengan begitu, berarti Tuhan percaya bahwa anak Bapak ini sanggup bersabar dan melalui segala ujian dari-Nya.”

♦♦♦

“Kemari Sab, Bapak ingin bicara. Mau ngasih sesuatu buat Sabrina.” Sabrina yang sedang menyapu teras rumah pun langsung saja menoleh cepat. Memandang bapaknya dengan mata berbinar.
“Ini, ambillah.” Pria berusia senja itu mengulurkan secarik kertas yang sudah dilipat menjadi beberapa kali lipatan pada Sabrina yang langsung menerima untuk kemudian membukanya antusias karena penasaran.
“Love?” Ia mengernyit, karena yang didapatkannya hanyalah gambar hati pada kertas itu. Namun di atasnya, terdapat tulisan latin ‘Allah’.
“Apa ini, Pak? Sabrina nggak paham.” Bapak tersenyum, ia mengelus puncak kepala putrinya yang sudah duduk di sampingnya, sama-sama sedang menikmati angin sore.
“Hiduplah dengan cinta kasih, Anakku. Maka, kehidupan damai bersama dengan Tuhan akan menantimu.” Tangan yang menampakkan keriput itu kembali mengelus puncak kepala Sabrina, sambil sesekali menepuk kecil. Beliau tersenyum hingga kedua sudut matanya menciptakan kerutan halus. Manik itu menatap Sabrina lembut, redup, tapi tak pernah padam.

♦♦♦

Sabrina Putri Wasesa yang kini berusia 27 tahun itu menggeleng, menghapus jejak air matanya ketika kilas kenangan yang pernah ia lewati kembali menghantam baku hatinya. Sembari menatap sebuah foto usang yang menampilkan kedua orang tuanya, Sabrina tersenyum. Sabrina menyesal, pernah begitu jengkel karena sang nenek. Sabrina juga menyesal, pernah tidak mengacuhkan ucapan bapak. Sabrina sempat begitu kecewa jikalau ia pernah merasa bahwa hidupnya begitu menyedihkan. Kini, ketika kalimat demi kalimat dari bapak terus menusuk ulu hatinya hingga sekarang. Sabrina akan terus membenahi diri. Meskipun kini, swastamita telah hadir, membawa luka dalam diri.
Orang-orang yang ia sayang sekaligus ia kecewakan telah pergi, bapak, ibu, dan eyang putri. Untuk kedua kalinya, wanita berkerudung itu tersenyum manis hingga kedua matanya menyipit dan bibirnya menciptakan lengkungan bulan sabit. Hatinya bergetar, kembali ia elus foto lampau tersebut.
Ia pun berbisik dengan suara lirih dan bergetar, menahan tangis.
“Bapak, Ibu, andai kalian masih di sini. Sabrina akan memohon maaf setiap hari. Menjaga Bapak Ibu sepenuh hati. Maafin Sabrina, Pak, Bu. Tolong beri rida kalian, karena besok Sabrina akan dipersunting oleh lelaki pilihan Sabrina.”
Baik manis ataupun pahitnya suatu kenangan bagi Sabrina, semua tetap bagian dari kehidupan. Termasuk sifat buruknya 11 tahun yang lalu. Kini, ketika Tuhan memberinya kesempatan satu kali lagi, ia akan menjaga orang yang ia cintai. Seperti kata bapak, “Sabrina boleh mencintai siapa saja. Tidak ada batasan. Tapi yang perlu Sabrina ingat, bahwa hidup Sabrina bahkan cinta Sabrina itu hakikatnya milik Tuhan.”

Kendal, 15 Maret 2019



Biodata:

SheifyFathimah, lahir 17 tahun yang lalu dengan nama lengkap Sheify Ayu Fathimah. Sekarang sedang mengenyam pendidikan SMA. Sheify, panggilan akrabnya. Sudah mencintai dunia tulis menulis sejak di bangku sekolah dasar. Dapat dihubungi lewat Instagram @sheifyaf27.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.