Swastamita
Oleh:
SheifyFathimah
“Sabrina! Sab!” Teriakan wanita paruh
baya dengan suaranya yang parau tapi kencang. Menyebabkan gadis berusia 16
tahun yang sedang berada di ruang tamu mendengar.
Merasa namanya
dipanggil berulang kali bahkan dengan nada terkesan tidak sabar, emosi tersulut
begitu saja, membakar habis kesabarannya. Walau begitu, ia tetap bergeming
menonton televisi yang menampilkan acara favoritnya, The Secrets of Musics, di
salah satu stasiun televisi terkenal.
“Sabrina! Ya Allah,
kamu di mana, Nak? Sab!” Belum sepuluh detik ia tenang dan kembali menikmati
waktu luangnya. Teriakan yang menurut gadis berambut panjang begitu menyebalkan
kembali terdengar dari salah satu kamar tidur. Kali ini lebih keras.
“Sabrina Putri Wasesa!
Allahuakbar!” Sabrina mendesis, menutup kedua telinganya dengan bantal sofa,
menulikan indra pendengarannya saat lonceng kembali berbunyi, nyaring
memekakkan telinga. Lonceng kecil berwarna abu-abu yang biasa digunakan sebagai
alat bantu meminta pertolongan.
Benar saja, ia gadis
berhati batu. Sebab sampai saat ini, walau namanya dipanggil berulang kali
hingga si pemilik suara mungkin sudah terengah di dalam sana, Sabrina masih
memakukan kakinya yang duduk bersila di atas sofa berwarna cokelat tua.
“Sab ... dipanggil
Eyang Putri, kok diam saja?” Hingga suara lembut itu terdengar, suara ibunya
yang baru saja keluar dari dapur. Kendati demikian, hal tersebut malah semakin
membuatnya geram.
“Sabrina lagi nonton TV, Bu. Lagian kan juga ada Mbok Parmi,
kenapa sih yang dipanggil Sabri terus. Dikit-dikit Sabri, dikit-dikit Sabri,
capek, Bu!” Ia memang gadis kurang ajar, sang ibu yang berusia 43 tiga tahun
tersebut tidak marah. Ia bahkan tersenyum semakin lebar. Menyusul putrinya
untuk duduk di bagian sisi sofa lainnya.
“Beliau sudah sepuh,
sakit-sakitan. Dari kamu lahir, kan juga Eyang yang turut ngerawat saat Ibu
lagi sibuk.”
Helaan napas berat dari
Sabrina terdengar begitu kuat di telinga sang ibu. Beliau paham, di usianya
yang masih remaja ini, emosi Sabrina sering tak terkendali, labil, serta lebih
sentimental, dan ia memaklumi sifat putri sulungnya. Hei! Ia pun juga pernah
muda. Ajaibnya, setelah sedikit banyak menggerutu sendiri, Sabrina akhirnya
bangkit dari duduknya, menuju kamar tidur nenek yang usianya sudah setua negara
ini.
♦♦♦
“Anakmu selalu saja cemberut
saat dipanggil neneknya untuk dimintai tolong.” Ujar Ibu pada suaminya—bapak
Sabrina—yang baru saja memasuki ruang makan, guna makan malam bersama. Pria itupun
lantas menarik kursi makan dan duduk tenang di sana.
“Di mana dia?”
“Masih di kamarnya Ibu,
baru aja masuk. Wajah Sabrina merah mirip banteng mengamuk. Tolong, kamu kan
bapaknya, mungkin dia akan mengerti kalau kamu yang bicara.”
“Huh!” Belum sempat si
bapak merespons, suara pintu dibanting keras terdengar. Diikuti langkah kaki
yang dihentak-hentakkan menuju dapur—yang menyatu dengan ruang makan, tempat di
mana sepasang suami istri itu sedang berbincang. Sabrina datang, wajahnya masam
dengan bibir mengerucut tajam.
“Anak Bapak kenapa
begitu? Ada masalah?”
“Eyang Putri itu lho
teriak-teriak nggak sabaran, ternyata Sabri cuma disuruh ngisi botol
tupperwarenya yang kosong.” Gadis itu berdecak, merasa sebal.
♦♦♦
“Bersabarlah, Nak. Jika
eyangmu yang sepuh bahkan sakit stroke
tersebut menyuruhmu ini itu tanpa rasa sabar atau terburu-buru bahkan walau
hanya untuk hal sepele. Perlu kamu ingat, bahwa ini kodrat dari Tuhan. Tuhan
tidak akan memberimu cobaan atau masalah pelik jika kamu tak sanggup
memikulnya. Percayalah, itu tandanya Tuhan menyayangimu sebagai hamba-Nya. Itu
ayat tersirat Tuhan, Nak. Tidak ada pengembala yang berada di depan bukan? Maka
dengan begitu, berarti Tuhan percaya bahwa anak Bapak ini sanggup bersabar dan
melalui segala ujian dari-Nya.”
♦♦♦
“Kemari Sab, Bapak
ingin bicara. Mau ngasih sesuatu buat Sabrina.” Sabrina yang sedang menyapu
teras rumah pun langsung saja menoleh cepat. Memandang bapaknya dengan mata
berbinar.
“Ini, ambillah.” Pria
berusia senja itu mengulurkan secarik kertas yang sudah dilipat menjadi
beberapa kali lipatan pada Sabrina yang langsung menerima untuk kemudian
membukanya antusias karena penasaran.
“Love?” Ia mengernyit,
karena yang didapatkannya hanyalah gambar hati pada kertas itu. Namun di
atasnya, terdapat tulisan latin ‘Allah’.
“Apa ini, Pak? Sabrina
nggak paham.” Bapak tersenyum, ia mengelus puncak kepala putrinya yang sudah
duduk di sampingnya, sama-sama sedang menikmati angin sore.
“Hiduplah dengan cinta
kasih, Anakku. Maka, kehidupan damai bersama dengan Tuhan akan menantimu.”
Tangan yang menampakkan keriput itu kembali mengelus puncak kepala Sabrina,
sambil sesekali menepuk kecil. Beliau tersenyum hingga kedua sudut matanya
menciptakan kerutan halus. Manik itu menatap Sabrina lembut, redup, tapi tak
pernah padam.
♦♦♦
Sabrina Putri Wasesa yang
kini berusia 27 tahun itu menggeleng, menghapus jejak air matanya ketika kilas
kenangan yang pernah ia lewati kembali menghantam baku hatinya. Sembari menatap
sebuah foto usang yang menampilkan kedua orang tuanya, Sabrina tersenyum.
Sabrina menyesal, pernah begitu jengkel karena sang nenek. Sabrina juga
menyesal, pernah tidak mengacuhkan ucapan bapak. Sabrina sempat begitu kecewa
jikalau ia pernah merasa bahwa hidupnya begitu menyedihkan. Kini, ketika
kalimat demi kalimat dari bapak terus menusuk ulu hatinya hingga sekarang.
Sabrina akan terus membenahi diri. Meskipun kini, swastamita telah hadir,
membawa luka dalam diri.
Orang-orang yang ia
sayang sekaligus ia kecewakan telah pergi, bapak, ibu, dan eyang putri. Untuk
kedua kalinya, wanita berkerudung itu tersenyum manis hingga kedua matanya
menyipit dan bibirnya menciptakan lengkungan bulan sabit. Hatinya bergetar,
kembali ia elus foto lampau tersebut.
Ia pun berbisik dengan
suara lirih dan bergetar, menahan tangis.
“Bapak, Ibu, andai
kalian masih di sini. Sabrina akan memohon maaf setiap hari. Menjaga Bapak Ibu
sepenuh hati. Maafin Sabrina, Pak, Bu. Tolong beri rida kalian, karena besok
Sabrina akan dipersunting oleh lelaki pilihan Sabrina.”
Baik manis ataupun
pahitnya suatu kenangan bagi Sabrina, semua tetap bagian dari kehidupan.
Termasuk sifat buruknya 11 tahun yang lalu. Kini, ketika Tuhan memberinya
kesempatan satu kali lagi, ia akan menjaga orang yang ia cintai. Seperti kata
bapak, “Sabrina boleh mencintai siapa saja. Tidak ada batasan. Tapi yang perlu
Sabrina ingat, bahwa hidup Sabrina bahkan cinta Sabrina itu hakikatnya milik
Tuhan.”
Kendal,
15 Maret 2019
Biodata:
SheifyFathimah, lahir
17 tahun yang lalu dengan nama lengkap Sheify Ayu Fathimah. Sekarang sedang mengenyam
pendidikan SMA. Sheify, panggilan akrabnya. Sudah mencintai dunia tulis menulis
sejak di bangku sekolah dasar. Dapat dihubungi lewat Instagram @sheifyaf27.
0 Response to "Cerpen - Swastamita - SheifyFathimah - Sastra Indonesia Org"
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.