Senin, 22 Juli 2019

Cerpen - Penyesalan Abadi - Sonang Ambarita - Sastra Indonesia Org





Penyesalan Abadi
Oleh: Sonang Ambarita

"Huuuff, entah kapan hujannya berhenti. Dari pagi sampai sore gak berhenti," cetus Dhea.
Hari ini aku ada rencana meet up dengan teman-teman. Tapi karena hujan yang tak kunjung berhenti, sepertinya aku tak bisa ikut.
Duduk sendiri di teras rumah menyaksikan hujan turun mengingatkan aku pada seseorang di masa lalu. Sebuah kejadian yang tak pernah kuharapkan yang pada akhirnya meninggalkan bekas yang membuatku menyesali semua itu hingga kini.
Masih sangat jelas diingatan saat aku demam tinggi. Karena panic, orang tuaku membawaku ke rumah sakit. Saat itu hujan deras, tapi karena komdisiku yang semakin parah, Ayah memutuskan untuk memesan taxi.
Tiba di rumah sakit, aku langsung ditangani oleh dokter. Berselang beberapa jam kemudian, aku merasa lebih baik. Diriku mengambil handphone dan melihat chat dari pacarku Steven. Dia menanyakan keberadaanku. Awalnya diriku tak ingin memberitahunya kalau daku sedang sakit, tapi daku juga takut berbohong padanya. Aku memutuskan untuk meneleponnya.
"Halo, Stev. Aku lagi di rumah sakit," ucapku lemas.
"Hah? Ngapain kamu di rumah sakit? Siapa yang sakit Dhea?" tanya Steven yang mulai panik.
"Aku, Stev. Tadi tiba-tiba aku demam. Jadi Ayah membawaku kemari," jawabku
"Kamu sakit? Aku ke sana ya," ucap Steven yang semakin panik setelah tahu aku sedang sakit.
"Gak usah. Aku udah mendingan kok. Kata dokter hari ini aku pulang kok. Kamu gak perlu khawatir. Lagian kan hujan deras, aku gak mau kamu kenapa-napa," ucapku.
"Aku gak mau tahu. Pokoknya aku harus ke sana." Ucapnya.
Belum sempat aku menjawab, dia langsung menutup teleponnya. Aku menjadi khawatir, di luar hujan deras. Aku takut dia kehujananan atau hal buruk terjadi padanya.



1 jam berlalu, tetapi Steven belum juga tiba. Aku semakin khawatir, pikiranku kacau.
"Kamu kenapa, Nak? Kok kebingungan gitu?" tanya Ayahku.
"Tadi katanya Steven mau ke sini, Yah. Tapi sampai sekarang kok belum nyampe ya?" ucapku sembari berusaha menghubungi Steven.


"Coba telepon aja dulu," ujar Ayahku.
"Nomornya gak aktif, Yah." Jawabku.



2 jam berlalu tetapi Steven tak kunjung tiba. Hujan pun mulai mereda dan dokter memperbolehkan aku pulang ke rumah.
Di perjalanan, aku melihat ada keramaian di tepi jalan raya yang kami lalui. Sepertinya ada kecelakaan di sana.
Setibanya di rumah, aku langsung beristirahat. Aku silent hp-ku agar tidak ada yang mengganggu istirahatku.
Aku terbangun dan melihat sudah pukul 05.30. Aku mengambil ponsel dan melihat ada 5 panggilan tak terjawab dari Anisa adiknya Steven.
"Waduh, ada apa ya Anisa nelepon aku tadi malam?" gumamku.
Karena penasaran, aku langsung menelepon Anisa untuk memastikan tidak terjadi sesuatu.
"Halo, Anisa. Ada apa ya, Dik?" ucapku.
Terdengar suara tangisan di seberang telepon.
"Kamu kok nangis, Dik? Ada apa?" tanyaku
"Bang Steven, Kak."
Belum selesai dia bicara, aku langsung mematikan ponsel dan berlari ke luar rumah. Mengendarai motor lalu pergi ke rumah Steven. Aku tak tahu pasti apa yang akan dikatakan Anisa, tapi melihat kecelakaan kemarin pikiranku langsung mengarah ke Steven.
Tiba di rumah Steven, aku melihat orang ramai memenuhi rumah itu. Tubuhku langsung lemas, napasku pun mulai tersengal. Aku berjalan perlahan masuk dan benar saja aku melihat sosok orang yang aku cintai sudah meninggal.
"Steveeeennn!" Aku berteriak memanggil namanya. Aku menangis sejadi-jadinya dan tak bisa berkata apa-apa lagi. Aku hanya bisa menangis dan menangis.
Setelah beberapa saat, aku menenangkan diri. Aku menanyakan apa yang terjadi pada Steven.
"Dik, Steven kenapa? Kok bisa seperti ini? tanyaku.
"Kemarin Bang Steven pergi ke rumah sakit. Katanya nemuin kakak. Tapi di perjalanan Bang Steven terjatuh karena jalan licin akibat hujan."
Hatiku semakin hancur. Mengapa aku sebodoh ini. Andai saja kemarin aku tidak memberitahukan padanya, pasti Steven masih hidup.
Namun semua sudah terjadi. Aku hanya bisa mengenang semua yang kami lalui. Dan hingga kini aku hanya bisa menyesali kebodohanku kala itu.
Aku selalu berdoa agar Tuhan memaafkanku atas kekonyolanku yang mengakibatkan Steven meninggal.
Entah kapan penyesalan ini berkahir, sampai besok atau sampai selamanya.


Biodata:

Sonang Martua Ambarita seorang pemuda yang lahir di Medan, 19 November 1998. Tinggal di kota Batam, memiliki hobi membaca dan menulis puisi, cerpen, juga novel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.