Penyesalan Abadi
Oleh: Sonang Ambarita
"Huuuff,
entah kapan hujannya berhenti. Dari pagi sampai sore gak berhenti," cetus
Dhea.
Hari
ini aku ada rencana meet up dengan
teman-teman. Tapi karena hujan yang tak kunjung berhenti, sepertinya aku tak bisa
ikut.
Duduk
sendiri di teras rumah menyaksikan hujan turun mengingatkan aku pada seseorang
di masa lalu. Sebuah kejadian yang tak pernah kuharapkan yang pada akhirnya meninggalkan
bekas yang membuatku menyesali semua itu hingga kini.
Masih
sangat jelas diingatan saat aku demam tinggi. Karena panic, orang tuaku
membawaku ke rumah sakit. Saat itu hujan deras, tapi karena komdisiku yang
semakin parah, Ayah memutuskan untuk memesan taxi.
Tiba
di rumah sakit, aku langsung ditangani oleh dokter. Berselang beberapa jam
kemudian, aku merasa lebih baik. Diriku mengambil handphone dan melihat chat
dari pacarku Steven. Dia menanyakan keberadaanku. Awalnya diriku tak ingin
memberitahunya kalau daku sedang sakit, tapi daku juga takut berbohong padanya.
Aku memutuskan untuk meneleponnya.
"Halo,
Stev. Aku lagi di rumah sakit," ucapku lemas.
"Hah?
Ngapain kamu di rumah sakit? Siapa yang sakit Dhea?" tanya Steven yang
mulai panik.
"Aku,
Stev. Tadi tiba-tiba aku demam. Jadi Ayah membawaku kemari," jawabku
"Kamu
sakit? Aku ke sana ya," ucap Steven yang semakin panik setelah tahu aku
sedang sakit.
"Gak
usah. Aku udah mendingan kok. Kata dokter hari ini aku pulang kok. Kamu gak
perlu khawatir. Lagian kan hujan deras, aku gak mau kamu kenapa-napa,"
ucapku.
"Aku
gak mau tahu. Pokoknya aku harus ke sana." Ucapnya.
Belum
sempat aku menjawab, dia langsung menutup teleponnya. Aku menjadi khawatir, di
luar hujan deras. Aku takut dia kehujananan atau hal buruk terjadi padanya.
1
jam berlalu, tetapi Steven belum juga tiba. Aku semakin khawatir, pikiranku
kacau.
"Kamu
kenapa, Nak? Kok kebingungan gitu?" tanya Ayahku.
"Tadi
katanya Steven mau ke sini, Yah. Tapi sampai sekarang kok belum nyampe
ya?" ucapku sembari berusaha menghubungi Steven.
"Coba
telepon aja dulu," ujar Ayahku.
"Nomornya
gak aktif, Yah." Jawabku.
2
jam berlalu tetapi Steven tak kunjung tiba. Hujan pun mulai mereda dan dokter
memperbolehkan aku pulang ke rumah.
Di
perjalanan, aku melihat ada keramaian di tepi jalan raya yang kami lalui.
Sepertinya ada kecelakaan di sana.
Setibanya
di rumah, aku langsung beristirahat. Aku silent
hp-ku agar tidak ada yang mengganggu
istirahatku.
Aku
terbangun dan melihat sudah pukul 05.30. Aku mengambil ponsel dan melihat ada 5
panggilan tak terjawab dari Anisa adiknya Steven.
"Waduh,
ada apa ya Anisa nelepon aku tadi malam?" gumamku.
Karena
penasaran, aku langsung menelepon Anisa untuk memastikan tidak terjadi sesuatu.
"Halo,
Anisa. Ada apa ya, Dik?" ucapku.
Terdengar
suara tangisan di seberang telepon.
"Kamu
kok nangis, Dik? Ada apa?" tanyaku
"Bang
Steven, Kak."
Belum
selesai dia bicara, aku langsung mematikan ponsel dan berlari ke luar rumah. Mengendarai
motor lalu pergi ke rumah Steven. Aku tak tahu pasti apa yang akan dikatakan
Anisa, tapi melihat kecelakaan kemarin pikiranku langsung mengarah ke Steven.
Tiba
di rumah Steven, aku melihat orang ramai memenuhi rumah itu. Tubuhku langsung
lemas, napasku pun mulai tersengal. Aku berjalan perlahan masuk dan benar saja
aku melihat sosok orang yang aku cintai sudah meninggal.
"Steveeeennn!"
Aku berteriak memanggil namanya. Aku menangis sejadi-jadinya dan tak bisa
berkata apa-apa lagi. Aku hanya bisa menangis dan menangis.
Setelah
beberapa saat, aku menenangkan diri. Aku menanyakan apa yang terjadi pada
Steven.
"Dik,
Steven kenapa? Kok bisa seperti ini? tanyaku.
"Kemarin
Bang Steven pergi ke rumah sakit. Katanya nemuin kakak. Tapi di perjalanan Bang
Steven terjatuh karena jalan licin akibat hujan."
Hatiku
semakin hancur. Mengapa aku sebodoh ini. Andai saja kemarin aku tidak
memberitahukan padanya, pasti Steven masih hidup.
Namun
semua sudah terjadi. Aku hanya bisa mengenang semua yang kami lalui. Dan hingga
kini aku hanya bisa menyesali kebodohanku kala itu.
Aku
selalu berdoa agar Tuhan memaafkanku atas kekonyolanku yang mengakibatkan
Steven meninggal.
Entah
kapan penyesalan ini berkahir, sampai besok atau sampai selamanya.
Biodata:
Sonang
Martua Ambarita seorang pemuda yang lahir di Medan, 19 November 1998. Tinggal
di kota Batam, memiliki hobi membaca dan menulis puisi, cerpen, juga novel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.