Malaikat Kecil di Kota Metropolitan
Karya: AtikaFee
Aku duduk termenung menatap lalu lalang ibukota yang tidak
pernah sepi. Manik mataku sibuk meneliti tiap sudut ibukota. Bus yang aku
tumpangi berjalan normal di jalurnya, membawaku seolah agar aku tahu apa saja
yang ada di ibukota. Tentu saja yang menarik di sini adalah gedung-gedung yang
menjulang tinggi. Bangunan pencakar langit itu berdiri tegak seakan menunjukkan
kebanggan tersendiri bagi pemiliknya. Saat bus yang aku tumpangi berhenti di
sebuah halte, beberapa orang di dalam bus keluar dengan hati-hati. Aku diam
sembari duduk, menatap santai mereka yang berjalan keluar. Dapat kulihat
beberapa orang yang akan masuk menunggu penunmpang bus yang akan keluar. Namun
fokusku kini teralihkan pada seorang anak kecil. Bocah lelaki itu berlari
kecil, memaksa masuk bus lalu duduk di sampingku. Anak kecil itu tampak
sendirian, tak ada seorang pun yang menemaninya. Jujur saja aku cukup terkejut
melihatnya. Mungkin karena aku termasuk orang yang berstatus baru di kota ini.
Namun, apakah wajar jika ada anak kecil yang berusia kurang lebih lima tahun itu
naik bus tanpa didampingi seorang pun. Di mana orang tuanya? Apakah mereka
terlalu sibuk sampai mengabaikan anak sekecil ini berkeliaran sendiri? Sebegitu
pentingkah urusan mereka sampai mengabaikan bocah lelaki ini?
Tanpa sadar aku menggelengkan kepala pelan. Kuhapus pikiran
liar yang bersemayam di benakku. Bagaimana aku bisa memikirkan hal itu. Mungkin
saja ada hal lain sehingga orang tua anak itu tidak menamaninya. Aku menoleh,
menatap bocah itu lekat-lekat. Dia sangat terlihat manis. Pipinya yang tembam
sedikit kemerahan, mugkin karena efek panas sinar matahari yang tadi
menerpanya.
Aku menurunkan kepala, agar sejajar dengannya. “Hai,
Adek manis. Kakak boleh berkenalan denganmu?” tanyaku mencoba mengajaknya berbicara.
Dapat kulihat bocah itu menatapku dengan raut wajahnya yang sedikit takut. Oh,
apakah wajahku semenyeramkan itu sampai bocah itu merasa ketakutan melihatku? “Jangan
takut, kakak nggak akan memakanmu kok,” selorohku sedikit. Bocah itu tersenyum
memperlihatkan giginya yang masih sedikit. Mungkin saja bocah itu merasa geli dengan
ucapanku. “Siapa namamu, Adek manis?”
tanyaku lagi.
Bocah lelaki itu masih diam. Ia menatapku dengan mata
kecilnya yang bulat. Sungguh sangat menggemaskan bocah lelaki ini. “Nama
kakak, Dimas. Kamu bisa memanggilku Kak Dim. Siapa nama Adek?”
Aku mengulurkan tanganku bermaksud memperkenalkan diri. Bocah itu menatap
bingung tanganku yang masih berada di depannya. Aku tahu pasti bocah itu merasa
bingung melihatku yang tiba-tiba mengajaknya berkenalan. Tanpa pikir panjang
aku mengambil sesuatu dalam tas gendongku. “Mau permen?”
tawarku setelah mengambilnya dari dalam tas. Bocah itu menatap ragu tanganku
yang memberinya beberapa permen. Aku memang sengaja membelinya untuk perjalanan
di bus. “Terimalah,” ujarku seolah memaksanya.
Melihat tak ada respon sedikit pun darinya, dengan pelan aku
mengambil tangan mungilnya. Bocah itu tampak terkejut tetapi ia membiarkan saja
aksiku. Kuberi ia beberapa permen itu dengan meletakkan di genggaman tangan
mungilnya. Ia menatapku dan permen itu secara bergantian. Wajahnya sangat
menunjukkan jika ia merasa ragu-ragu menerimanya. Aku menyakinkannya dengan
anggukan kepala seraya tersenyum kepadanya
“Terimakasih,”
ujarnya dengan suara kecil yang menggemaskan. Akhirnya bocah itu menerima
pemberianku.
“Bisa membukanya?”
tanyaku kemudian. Bocah lelaki itu dengan polosnya menggeleng pelan. Sangat
menggelikan. Aku pun mengambil salah satu permen yang ada di genggamannya
“Biar aku bantu,”
ucapku lalu membuka bungkus permen itu. Saat sudah terbuka aku memberikan
permen itu padanya. Tanpa ragu bocah itu mengambilnya dariku lalu memasukkan
pada mulutnya yang kecil. “Enak? Manis?”
tanyaku yang diangguki olehnya secara spontan. Aku terkekeh geli melihat
tingkahnya. Kuacak pelan rambut hitamnya. “Siapa namamu?”
tanyaku seolah semakin gencar menanyakan siapa namanya.
“Sean,” jawabnya ringan tanpa ragu. Aku
tertawa mendengarnya
“Wah bagus sekali namanya, seperti
orangnya,” jawabku lalu kembali mengacak-acak
rambutnya.
“Makasih, Kak Dim,”
ucap bocah itu tanpa kusangka. Ia tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang
belum penuh
“Sama-sama,”
balasku kemudian. “Kalo boleh Kak Dim tahu, Sean mau ke mana?”
tanyaku penasaran.
“Sean mau ke sekolahnya Kak Gita,”
jawabnya antusias sekali. Sangat menggemaskan!
“Kak Gita itu kakaknya Sean?”
tanyaku lagi. Bocah itu mengangguk sebagai jawaban. Aku mengeryit, “kenapa
ke sana sendirian? Ayah dan Ibu Sean kerja ya?” tanyaku sekali lagi
“Kata Kak Gita, Ayah sama Ibu udah jadi
bintang di langit. Mereka selalu di atas lihat Sean dan Kak Gita. Mereka juga
selalu ada di hati Sean sama Kak Gita,” jawabnya terlanjur polos. Namun
jawaban Sean seketika membuatku bungkam. Malang sekali nasib bocah lelaki ini.
Di usianya yang masih membutuhkan kasih sayang orang tuanya, ternyata seorang
yatim piatu
Aku tersenyum miris melihatnya. “Sean
tahu sekolah Kak Gita di mana?” tanyaku mengalihkan.
“Di sana!” tangan mungilnya menunjuk ke arah
depan. “Sean nggak tahu namanya, tapi Sean tahu kok jalannya,”
ujar bocah lelaki itu dengan antusias.
Aku mengerutkan kening. “Memangnya jalannya ke mana?”
tanyaku penasaran.
Tiba-tiba Sean berdiri, lalu berkata, “nanti
ikuti bus ini lalu berhenti di halte yang depannya ada sekolahnya Kak Gita.”
Tangan kecilnya menunjuk ke arah depan seolah berusaha memberitahuku. Dalam
benakku, tentu saja ada rasa terkejut sekaligus khawatir melihatnya. Sean tidak
tahu nama sekolah kakaknya tetapi nekat datang sendirian. Mengapa bocah ini
berani sekali?
“Nanti turunnya bareng Kak Dim ya?”
tawarku padanya.
“Kak Dim nanti turunnya di halte yang
sama kayak Sean ya?” tanyanya sangat antusias. Bibir
kecilnya yang berwarna merah muda menyunggingkan senyum manisnya.
“Iya,” kilahku dengan terpaksa. Karena aku
pun tidak tahu mau ke mana. Yang jelas tujuanku sekarang yaitu mencari
kos-kosan kecil untukku berlindung dari panas dan hujan.
Setelah menunggu beberapa menit bus ini berhenti di sebuah
halte. Baru saja aku akan melihat halte itu, tarikan kecil tangan Sean
membuatku terlonjak kaget.
“Ayo Kak Dim, kita sudah sampai,”
Dengan hati-hati kami turun dari bus ini. “Kak Dim itu sekolah Kak Gita, bagus
kan? Gede banget sekolahnya kan?” tanya Sean begitu antusias memperkenalkanku
dengan sekolah kakaknya.
Aku mengangguk menanggapinya. Memang benar kampus kata Sean,
kampus itu begitu besar dan bagus. Pasti orang-orang yang berkuliah di sini
adalah orang-orang yang berkecukupan. Karena sejauh yang aku lihat, dari luar
saja kampus ini memberikan fasilitas yang begitu baik untuk mahasiswanya.
Aku menoleh menatap Sean. “Kakak Sean di mana?”
tanyaku padanya. Sean tak langsung menjawabnya. Pandangannya sibuk menelusuri
setiap sudut luar kampus itu.
“Sean!” Di depan pohon beringin yang berada di
sebelah barat kampus, tiba-tiba ada seorang gadis yang memanggil nama bocah
lelaki ini. Gadis itu berlari menghampiri kami. “Ya Allah ... Sean kamu bandel ya, Kak
Gita kan sudah bilang, jangan ke kampus Kak Gita sendirian. Kak Gita khawatir
Sean. Nanti kalo ada yang jahatin Sean gimana?” Gadis yang kuketahui adalah Gita,
terus saja memarahi Sean. Dapat aku lihat raut wajahnya yang begitu khawatir
saat melihat Sean di sini.
“Maaf kak, Sean kangen sama Kakak. Jadi
Sean ke sini,” ujaranya dengan polos. Bocah lelaki
itu menunduk, mungkin merasa takut saat melihat kakaknya yang sedang marah. Aku
yang melihatnya pun merasa iba.
Gadis itu mendesah keras. Tangannya mengelus rambut Sean
dengan sayang. “Ya sudah, Kak Gita maafin. Tapi lain
kali jangan begitu ya? Kak Gita khawartir.” Sean mengangkat kepalanya hati-hati,
sebelum akhirnya mengangguk pelan.
“Janji?” Gadis itu mengulurkan jari
kelingkingnya.
“Janji.” Sean pun mengaitkan jari kelingkingnya
yang mungil itu. Tanpa sadar aku tersenyum melihat interaksi mereka. “Oh
iya, Kak. Tadi Sean ketemu teman baru namanya Kak Dim,”
ujar Sean tiba-tiba menarikku untuk mendekat.
Saat di depan gadis itu aku hanya bisa tersenyum kikuk lalu
mengulurkan tanganku berniat untuk berkenalan dengannya. “Dimas,”
ujarku memperkenalkan diri.
“Gita,” ujar gadis itu sembari tersenyum saat
memperkenalkan dirinya padaku. “Terima kasih sudah menemani adikku,”
ujarnya dengan tulus.
Aku mengangguk. “Memang sudah seharusnya aku berada di dekat
adikmu. Bagiku Sean begitu menggemaskan. Aku tidak tega membiarkannya
sendirian.” Entah mengapa aku mengatakan hal itu.
Tetapi perkataan itu spontan aku katakan. Sejujurnya memang aku tak tega
melihat seorang bocah yang berusia sekitar lima tahun itu naik bus sendirian.
Ada sesuatu yang menarikku agar terus mendampingi Sean sampai tujuan.
“Dan bagiku Sean sangat berarti untukku,”
ujar Gita secara tiba-tiba. Kami pun saling berpandangan, sampai tak sadar jika
bocah lelaki itu merasa terabaikan oleh kami. Ia merengek karena kakaknya yang
sibuk mengobrol denganku. Kemudian kami pun sama-sama tertawa mendengar
rengekannya. Menggemaskan!
Aku tak menyangka, di kota metropolitan ini bisa mengenal
sepasang kakak beradik ini. Kami pun akhirnya bisa saling mengenal. Banyak
keuntungan yang aku dapatkan setelah mengenal mereka. Berkat merekalah aku
menemukan kos-kosan kecil yang akan menjadi tempatku berteduh. Bukan hanya itu
saja, aku pun merasa seperti ada keluargaku yang tinggal di sini. Inilah awal
kisahku saat mengenal mereka. Sepenggal pengalaman kecil yang membawaku pada
satu kenyataan bahwa ikatan persaudaraan yang erat itu tumbuh karena rasa
sayang di hati mereka. Aku pun menjadi tahu akan eratnya hubungan persaudaraan.
Apalagi yang kita butuhkan selain saudara kita saat di mana kedua orang tua
yang sudah tidak ada? Bagi Gita, Sean adalah malaikat kecilnya. Malaikat kecil
yang selalu ada di hatinya. Bagiku, Sean adalah malaikat kecil di dalam kota
metropolitan. Di tengah kota metripolitan ini, bocah kecil itu selalu
menampakkan senyumnya yang membuat semua orang menatapnya gemas. Seolah ia
selalu menghibur orang-orang di sekitarnya.
Biodata:
AtikaFee adalah nama pena dari Atika Febria Nur 'Aini. Ia
lahir pada tanggal 27 Februari 2002 dan kini sedang menempuh sekolah menengah
atas di Kota Kebumen, Jawa Tengah. Gadis pecinta hujan dan aroma pertichor ini, mulai menulis sejak
sekolah dasar. Dari puisi-puisi sampai cerita pendek. Kalian bisa melihat salah
satu karyanya di akun watrpad @AtikaFee. Jika ingin mengenal lebih jauh,
silakan berkunjung ke akun instagramnya @28.atikafee_.
0 Response to "Cerpen - Malaikat Kecil di Kota Metropolitan - AtikaFee - Sastra Indonesia Org"
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.