Jumat, 26 Juli 2019

Cerpen - Beri Aku Sayap Agar Bisa Terbang - Arienha Albana - Sastra Indonesia Org




Beri Aku Sayap Agar Bisa Terbang
Oleh: Arienha Albana


NOMINASI PENYANYI SOLO TERBAIK 2017
PENGHARGAAN PALING BERGENGSI TELAH DISEMATKAN PADA ARTIS PALING BERBAKAT 2017
2018, SEDERETAN ARTIS YANG BERHASIL GO INTERNATIONAL
ARTIS IDOLA DITEMUKAN TAK SADARKAN DIRI BERSAMA SEJUMLAH BOTOL MINUMAN KERAS
TERTANGKAP KAMERA PENONTON, ARTIS MABUK SAAT MANGGUNG?
NARKOTIKA DALAM BENTUK ROKOK BERADA DI DASHBOARD MOBIL ARTIS AA?
KONSER AKBAR AA 2019 RICUH

Brak
"Media sialan!”
Sebuah ruangan persegi dengan pencahayaan remang. Meja bulat di tengah-tengah dengan 4 jumlah kursi yang mengelilingi. Lemari di sudut tembok sebelah kanan pintu. Lampu klasik bersinar kuning di langit-langit ruangan, tapi mati pada lampu utamanya.
Berbagai macam botol kaca dengan likuid berbeda warna di dalamnya, berdiri tegak di atas meja. Sedang yang kosong, tergeletak begitu saja di bawah kursi. Gelas berukuran sedang hanya ada satu dan dipegang oleh salah satu penghuni ruangan berambut cepak.
Salah satu botol kosong diraih dengan tangan lainnya. Diperhatikan lebih dekat. Matanya jelalatan berusaha menemukan tetesan terakhir dari likuid keemasan yang sebelumnya memenuhi botol itu.

♦♦♦

“Ma­­–Ma– tak usah kau pikirkan,” Botol diletakkan kembali. “Kemarilah. Duduk. Dan temani aku minum.”
Likuid di dalam gelas diteguk hingga tandas.

♦♦♦

Pemuda bersetelan jas formal yang sejak tadi berdiri, belum berniat mengiyakan ajakan itu. Jempol kanannya ia gigit dengan cemas.
Raut wajahnya tak bisa lagi dibilang baik-baik saja.
Ia pandang teman semasa kecilnya yang kini menuangkan likuid baru ke dalam gelas dengan pandangan khawatir.
“Semua sudah terjadi. Nikmati. Ini berkah Tuhan!” Kedua tangan yang masing-masing memegang gelas dan botol dibentangkan dengan kasar. Likuid dari gelas terguncang dan membuat cipratan ke banyak arah.


“Sen ....” Pemuda berjas melirih. Sekali lagi ia menatap pada deretan tabloid dan majalah yang baru saja ia hempaskan ke lantai. Kakinya geram ingin menginjak benda-benda itu, tapi urung.
Likuid diteguk lagi. Eksistensi gelas dan botol masih di tangan, “Kenta ... kau terlalu keras memikirkan. Semua baik-baik saja.”
Seringai itu ... Kenta pernah berpikir untuk tidak lagi melihat senyuman semacam itu di wajah temannya. Ketakutan dalam dirinya memenuhi. Kalau sudah begini, Kenta khawatir tak mampu mengembalikan kendali diri Arsen pada tubuhnya sendiri.
Segera ia ambil langkah mendekat. Ia pindahkan banyak botol berlikuid sejauh mungkin dari meja, kemudian ia tutup dengan sebuah kain panjang agar tak terlihat oleh Arsen. Meski hanya formalitas.
“Keterampilan kupunya. Ketenaran kudapat. Kesuksesan kuraih. Uang dan cek bahkan sudah ada sebelum aku mengeluarkan tenaga. Apalagi yang harus kau cemaskan?”
Kenta tak menjawab. Pandangannya beralih ke lantai, menghindari tatapan Arsen.
“Berita itu?” Likuid dalam gelas diteguk hingga tandas, “... anggap selingan. Semua orang bisa mempermainkan kata-kata.” Gelas diletakkan di atas meja. Botol di tangan kiri dipindahkan ke tangan kanan. Kali ini Arsen meneguk langsung dari botolnya.
Suara cegukan menghiasi ruangan. Meski tak sepenuhnya mabuk, Arsen terlihat sedikit keliyengan. Berkali-kali ucapannya ngelantur ke mana-mana. Kebebasan. Kesuksesan. Kebebasan lagi. Kehidupan. Takdir. Kesuksesan lagi.
Kenta tetap tak menjawab. Bukan karena takut. Dia hanya khawatir Arsen semakin kehilangan kendali kalau dia sampai menimpali setiap ocehan Arsen. Meski begitu, mata ambernya lekat memandangi raut Arsen kala berbicara.
“Hm?!” Arsen berhenti berbicara. Botol terakhir yang baru saja kosong sudah bertemu kawan-kawannya di bawah meja. “Lihat apa kau?”
Kenta tersentak, tapi masih diam.
“Kutanya kau sedang lihat apa?” Arsen beranjak dari kursi. Mendekat pada Kenta dan berhenti di hadapan. Tepat sejarak satu langkah.
Arsen dekatkan wajahnya pada telinga kiri Kenta seraya menggerakkan tangan kiri untuk merangkul pundak kanan Kenta.
“Kau tahu aku bagaimana. Berkali-kali kubilang, aku paling tak suka saat dipandang dengan tatapan kasihan oleh orang lain,” Arsen menjauhkan wajahnya, “termasuk olehmu, kawan.”
Arsen sempurna menjauh. Sebelum melewati Kenta, ia tepuk pundak itu sekali kemudian berjalan menuju pintu.
Kenta terpaku. Kata-kata itu baru kali ini ia dengar sebenarnya. Tapi efeknya seakan ia mendengar kalimat yang sama ribuan kali. Perasaan bersalah dan perasaan yang lainnya memenuhi hatinya sendiri.
‘Maafkan aku, Arsen ....’
Kenta tinggalkan ruangan. Saat melangkah, tak sengaja kakinya menyeret sebuah tabloid dengan judul begitu kentara.

ARTIS AA MENGHILANG. MASYARAKAT MENGAKU TAK PERNAH KENAL SEBELUMNYA.

2019


Biodata:

Salah satu mahasiswa di sebuah universitas swasta di Jawa Timur dengan inisial A.Z. Menggunakan nama pena Arienha Albana sejak mulai menggeluti dunia puisi. Suka membaca tulisan ber-genre sci-fi, mistery, dan suspense. Namun untuk menulis justru lebih suka genre romance dan hurt/ comfort.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.