Rabu, 31 Juli 2019

Puisi - Meniti Rindu - Karya Alifah - Sastra Indonesia Org




Meniti Rindu
Karya: Alifah

Kita selalu terjebak pada hal semu bernamakan rindu
Tapi ada apa ini?
Kenapa aku selalu menyukai rasa itu?
Rasa yang membuat pipi bersemu
Rasa yang membuat jantung berdenyut ketika membayangkan hadirmu

Tuhan, ada apa sebenarnya dengan diriku?
Mengapa dia hadir bahkan saat netra ini terpejam,


dan pergi saat telah terbuka?
Mengapa hadirnya membuatku juga menghadirkan rasa benci dan senang secara bersamaan?


Biodata:
Alifah lahir di Setiarejo, 12 Oktober 2002. Ia adalah seorang pelajar yang bersekolah di salah satu sekolah negeri provinsi Sulawesi Selatan. Hobinya membaca buku fiksi, menulis novel, dan sesekali menulis puisi. E-mail: Alifahifah012@gmail.com.

Selasa, 30 Juli 2019

Cerpen - Swastamita - SheifyFathimah - Sastra Indonesia Org




Swastamita
Oleh: SheifyFathimah

            “Sabrina! Sab!” Teriakan wanita paruh baya dengan suaranya yang parau tapi kencang. Menyebabkan gadis berusia 16 tahun yang sedang berada di ruang tamu mendengar.
Merasa namanya dipanggil berulang kali bahkan dengan nada terkesan tidak sabar, emosi tersulut begitu saja, membakar habis kesabarannya. Walau begitu, ia tetap bergeming menonton televisi yang menampilkan acara favoritnya, The Secrets of Musics, di salah satu stasiun televisi terkenal.
“Sabrina! Ya Allah, kamu di mana, Nak? Sab!” Belum sepuluh detik ia tenang dan kembali menikmati waktu luangnya. Teriakan yang menurut gadis berambut panjang begitu menyebalkan kembali terdengar dari salah satu kamar tidur. Kali ini lebih keras.
“Sabrina Putri Wasesa! Allahuakbar!” Sabrina mendesis, menutup kedua telinganya dengan bantal sofa, menulikan indra pendengarannya saat lonceng kembali berbunyi, nyaring memekakkan telinga. Lonceng kecil berwarna abu-abu yang biasa digunakan sebagai alat bantu meminta pertolongan.
Benar saja, ia gadis berhati batu. Sebab sampai saat ini, walau namanya dipanggil berulang kali hingga si pemilik suara mungkin sudah terengah di dalam sana, Sabrina masih memakukan kakinya yang duduk bersila di atas sofa berwarna cokelat tua.
“Sab ... dipanggil Eyang Putri, kok diam saja?” Hingga suara lembut itu terdengar, suara ibunya yang baru saja keluar dari dapur. Kendati demikian, hal tersebut malah semakin membuatnya geram.
“Sabrina lagi nonton TV, Bu. Lagian kan juga ada Mbok Parmi, kenapa sih yang dipanggil Sabri terus. Dikit-dikit Sabri, dikit-dikit Sabri, capek, Bu!” Ia memang gadis kurang ajar, sang ibu yang berusia 43 tiga tahun tersebut tidak marah. Ia bahkan tersenyum semakin lebar. Menyusul putrinya untuk duduk di bagian sisi sofa lainnya.
“Beliau sudah sepuh, sakit-sakitan. Dari kamu lahir, kan juga Eyang yang turut ngerawat saat Ibu lagi sibuk.”
Helaan napas berat dari Sabrina terdengar begitu kuat di telinga sang ibu. Beliau paham, di usianya yang masih remaja ini, emosi Sabrina sering tak terkendali, labil, serta lebih sentimental, dan ia memaklumi sifat putri sulungnya. Hei! Ia pun juga pernah muda. Ajaibnya, setelah sedikit banyak menggerutu sendiri, Sabrina akhirnya bangkit dari duduknya, menuju kamar tidur nenek yang usianya sudah setua negara ini.

♦♦♦

“Anakmu selalu saja cemberut saat dipanggil neneknya untuk dimintai tolong.” Ujar Ibu pada suaminya—bapak Sabrina—yang baru saja memasuki ruang makan, guna makan malam bersama. Pria itupun lantas menarik kursi makan dan duduk tenang di sana.
“Di mana dia?”
“Masih di kamarnya Ibu, baru aja masuk. Wajah Sabrina merah mirip banteng mengamuk. Tolong, kamu kan bapaknya, mungkin dia akan mengerti kalau kamu yang bicara.”
“Huh!” Belum sempat si bapak merespons, suara pintu dibanting keras terdengar. Diikuti langkah kaki yang dihentak-hentakkan menuju dapur—yang menyatu dengan ruang makan, tempat di mana sepasang suami istri itu sedang berbincang. Sabrina datang, wajahnya masam dengan bibir mengerucut tajam.
“Anak Bapak kenapa begitu? Ada masalah?”
“Eyang Putri itu lho teriak-teriak nggak sabaran, ternyata Sabri cuma disuruh ngisi botol tupperwarenya yang kosong.” Gadis itu berdecak, merasa sebal.

♦♦♦



“Bersabarlah, Nak. Jika eyangmu yang sepuh bahkan sakit stroke tersebut menyuruhmu ini itu tanpa rasa sabar atau terburu-buru bahkan walau hanya untuk hal sepele. Perlu kamu ingat, bahwa ini kodrat dari Tuhan. Tuhan tidak akan memberimu cobaan atau masalah pelik jika kamu tak sanggup memikulnya. Percayalah, itu tandanya Tuhan menyayangimu sebagai hamba-Nya. Itu ayat tersirat Tuhan, Nak. Tidak ada pengembala yang berada di depan bukan? Maka dengan begitu, berarti Tuhan percaya bahwa anak Bapak ini sanggup bersabar dan melalui segala ujian dari-Nya.”

♦♦♦

“Kemari Sab, Bapak ingin bicara. Mau ngasih sesuatu buat Sabrina.” Sabrina yang sedang menyapu teras rumah pun langsung saja menoleh cepat. Memandang bapaknya dengan mata berbinar.
“Ini, ambillah.” Pria berusia senja itu mengulurkan secarik kertas yang sudah dilipat menjadi beberapa kali lipatan pada Sabrina yang langsung menerima untuk kemudian membukanya antusias karena penasaran.
“Love?” Ia mengernyit, karena yang didapatkannya hanyalah gambar hati pada kertas itu. Namun di atasnya, terdapat tulisan latin ‘Allah’.
“Apa ini, Pak? Sabrina nggak paham.” Bapak tersenyum, ia mengelus puncak kepala putrinya yang sudah duduk di sampingnya, sama-sama sedang menikmati angin sore.
“Hiduplah dengan cinta kasih, Anakku. Maka, kehidupan damai bersama dengan Tuhan akan menantimu.” Tangan yang menampakkan keriput itu kembali mengelus puncak kepala Sabrina, sambil sesekali menepuk kecil. Beliau tersenyum hingga kedua sudut matanya menciptakan kerutan halus. Manik itu menatap Sabrina lembut, redup, tapi tak pernah padam.

♦♦♦

Sabrina Putri Wasesa yang kini berusia 27 tahun itu menggeleng, menghapus jejak air matanya ketika kilas kenangan yang pernah ia lewati kembali menghantam baku hatinya. Sembari menatap sebuah foto usang yang menampilkan kedua orang tuanya, Sabrina tersenyum. Sabrina menyesal, pernah begitu jengkel karena sang nenek. Sabrina juga menyesal, pernah tidak mengacuhkan ucapan bapak. Sabrina sempat begitu kecewa jikalau ia pernah merasa bahwa hidupnya begitu menyedihkan. Kini, ketika kalimat demi kalimat dari bapak terus menusuk ulu hatinya hingga sekarang. Sabrina akan terus membenahi diri. Meskipun kini, swastamita telah hadir, membawa luka dalam diri.
Orang-orang yang ia sayang sekaligus ia kecewakan telah pergi, bapak, ibu, dan eyang putri. Untuk kedua kalinya, wanita berkerudung itu tersenyum manis hingga kedua matanya menyipit dan bibirnya menciptakan lengkungan bulan sabit. Hatinya bergetar, kembali ia elus foto lampau tersebut.
Ia pun berbisik dengan suara lirih dan bergetar, menahan tangis.
“Bapak, Ibu, andai kalian masih di sini. Sabrina akan memohon maaf setiap hari. Menjaga Bapak Ibu sepenuh hati. Maafin Sabrina, Pak, Bu. Tolong beri rida kalian, karena besok Sabrina akan dipersunting oleh lelaki pilihan Sabrina.”
Baik manis ataupun pahitnya suatu kenangan bagi Sabrina, semua tetap bagian dari kehidupan. Termasuk sifat buruknya 11 tahun yang lalu. Kini, ketika Tuhan memberinya kesempatan satu kali lagi, ia akan menjaga orang yang ia cintai. Seperti kata bapak, “Sabrina boleh mencintai siapa saja. Tidak ada batasan. Tapi yang perlu Sabrina ingat, bahwa hidup Sabrina bahkan cinta Sabrina itu hakikatnya milik Tuhan.”

Kendal, 15 Maret 2019



Biodata:

SheifyFathimah, lahir 17 tahun yang lalu dengan nama lengkap Sheify Ayu Fathimah. Sekarang sedang mengenyam pendidikan SMA. Sheify, panggilan akrabnya. Sudah mencintai dunia tulis menulis sejak di bangku sekolah dasar. Dapat dihubungi lewat Instagram @sheifyaf27.

Senin, 29 Juli 2019

Cerpen - Rasi Bintang - Andara Claresta Rabbani - Sastra Indonesia Org




Rasi Bintang
Karya: Andara Claresta Rabbani

Mungkin malam ini adalah malam awal pertama bagiku untuk bertemu dengan mereka dan awal bagiku menerima ilmu baru tentang astronomi. Ya, benar! Mereka menghiasi langit malam dengan indah dan bentuk yang menarik. Bercahaya, kecil, tetapi menarik. Aku suka mereka.
“Apa mereka itu, Kakak?” tanyaku sambil menunjuk mereka. “Oh, itu adalah rasi bintang. Misalnya keluarga zodiak.” Jelasnya sambil ikut merebahkan diri di rerumputan belakang rumah bersamaku. “Zodiak? Aku pernah membaca ramalan zodiak di majalah. Berarti rasi bintang ada 12 seperti halnya zodiak. Ada Taurus, Leo, Libra, Aries, Cancer, Pisces, Scorpio, Aquarius, Sagitarius, Gemini, Capricorn, dan zodiakku yang terbaik Virgo!” ujarku yang berhasil membuat kakak tertawa. “Kau salah, Spica. Rasi bintang punya banyak keluarga. Dan, zodiak adalah salah satu nama keluarganya. Kalau menurut kesepakatan IAU, rasi bintang ada 88 bukan 12.” Ujarnya sambil terkekeh.
“Ahahaha, Kakak memang ahlinya astronomi. Kalau begitu, aku punya tantangan buat Kakak! Kakak harus sebutkan semua rasi bintang itu dari 1 sampai 88!” seruku dengan semangat. “Ya, mana bisa kakak sebutin semua, capek tahu!” tukasnya sambil memasang wajah masam hingga membuatku terkekeh melihatnya. “Ya, intinya nama-nama rasi bintang mayoritas berkiblat pada mitologi yunani kuno, hingga menyebabkan rasi bintang dikaitkan dengan legenda dan mitos dalam kebudayaan Yunani Kuno. Ya, kalau sekarang seperti ramalan zodiak yang biasa kamu baca. Kemudian, kalau menurut Aratus ketika masa yunani kuno rasi bintang yang bertebaran ialah 48 rasi bintang. Aratus juga memaparkannya dalam buku berjudul ‘Phaenomena’.” Jelasnya panjang lebar yang nyatanya tak ada satu pun yang kupahami. “Ah, lebih baik kau baca di internet dulu tentang rasi bintang. Agar wawasanmu lebih luas.” Ujar kakak. “Benar, kalau dengan kakak mah– tak akan bisa paham aku. Kakak sih jelaskannya, tak urutan. Kan, otakku tak dirancang untuk memahami perkataan Kakak.” Ujarku sambil tertawa dan kakak lagi-lagi memasang wajah masam anehnya itu dan pergi masuk ke rumah meninggalkanku.
Tengah malam, aku bergadang untuk mencari tahu tentang rasi bintang. Siapa yang mau dipermalukan karena tak tahu rasi bintang, hah? Aku hanya berharap nanti malam aku dapat menunjukkan wawasanku pada kakak hingga membuatnya tercengang. Parahnya, aku malah menelepon Teren temanku untuk membantuku yang nyatanya ia lebih parah dari aku tentang rasi bintang, dan berbalik bertanya padaku yang berhasil membuat kepala ini menjadi tambah pusing. Tapi, setelah kutelusuri lebih detail di internet ternyata banyak hal yang berbeda dengan perkataan Kakak tadi. Entahlah, sepertinya ini bagus untuk menentang pernyataan tadi malam. Tapi, bagaimana jika kakak malah berbalik bertanya seperti halnya Teren dan parahnya lagi jika malah kami berdua beradu argumen? Bisa tambah malu diriku jika itu terjadi. Tak mungkinkan, aku harus menimpali pertanyaannya nanti dengan jawaban karanganku sendiri yang tak sesuai dengan ilmiah. Tak mungkin juga aku dapat memahami semua tentang seluk beluk rasi bintang melebihi Kakak dalam waktu semalam. Entahlah, aku tak dapat meramal apa yang akan terjadi besok malam. Mungkin, apapun kejadiannya aku harus menerimanya untuk perbaikan.
Malam tadi sungguh melelahkan. Parahnya, ketika pujul 2 pagi Teren meneleponku dan menanyakan tentang pekerjaanku dan bodohnya aku hingga menjawab jika aku telah memahami semua tentang rasi bintang yang nyatanya belum.
“Semua ini bisa-bisa membuatku stres tak terkira.” Curhatku dalam hati.


Tak ada yang dapat membuat pikiranku tenang kecuali membaca ramalan harian zodiak. Dan hanya itulah cara satu-satunya untuk memusnahkan rasa stres yang menggrogoti pikiran ini karena hal yang dikatakan kakak itu mitos nyatanya selalu memuat ramalan yang bagus untukku.
Dan, entah kenapa yang terjadi. Di sana tertulis, jika zodiak virgo akan mengalami masalah pada hari ini.
“Apa-apaan ini! Lebih baik aku tidur!” seruku dalam hati sambil melepar majalah ramalan itu dan pergi tidur.
Esok siangnya, Teren datang ke rumahku dan parahnya ia membawa buku beserta pena dan memintaku untuk menjelaskan tentang rasi bintang. Ternyata benar apa yang dikatakan ramalan itu. Kakak salah telah menyebutnya ‘mitos’. Terpaksa aku jujur dari pada hal yang lebih buruk terjadi. Aku pun menceritakan semuanya dengan Teren tanpa sedikit pun bubuk rekayasa.
“Kasihan. Tapi, kau tetap harus menghargai proses. Ingat semua itu tak ada yang instan.” Ujar Teren sambil tertawa. “Yey, tapi kalau kata ramalan” “Zaman seperti ini, ternyata masih ada yang percaya ramalan, ya.” Ujar Teren memotong kalimatku.
            Ya, aku tak tahu harus percaya atau tidak tentang ramalan. Mungkin aku harus menjadi diriku sendiri. Malam pun kini mulai menyapa. Hal menarik kembali terlihat olehku saat kakak memasang teleskop di halaman belakang. Aku segera berlari seakan hal yang memenuhi kepalaku tadi lenyap seketika.
“Malam ini kita akan melihat rasi bintang dengan teleskop agar lebih jelas.” Ujar kakak sambil mengatur lensa teleskop. “Benarkah? Kalau begitu aku ingin melihat rasi bintang virgo!” seruku semangat. “Kau harus melihat hydra dulu.” Ujarnya sambil meneropong dan kemudian menyuruhku untuk bergantian. “Waw! Ini rasi bintang hydra ya, kak? Ternyata besar juga, ya! Aku ingat menurut hasil pencarian internetku malam kemarin rasi bintang ini dikelilingi 14 rasi bintang,bukan?” ujarku. “Kerennya lagi, di sana ada galaxy spiral yang besar, bernama Messier 83 atau galaxy pusaran selatan. Jaraknya 14,7 tahun cahaya dari bumi.” Jelasnya, lalu kakak segera mengarahkan ke arah rasi yang sangat kecil. “Ini namanya apa, Kak?” tanyaku. “Crux. Crux adalah rasi bintang terkecil.” Jawabnya. “Oh iya, Kakak tahu rasi bintang Orion, kan?” tanyaku. “Iya. Memang Orion itu yang mana?” Ia malah berbalik bertanya. “Yang digunakan oleh manusia sebagai penentu arah, itu loh! Yang digunakan nenek moyang Indonesia sebagai penentu waktu bercocok tanam.” Ujarku penuh bangga.
“Waw, kalau begitu coba ada berapa jumlah rasi bintang dengan huruf awal C?” tanya Kakak. Nah, inilah yang kutakutkan. Kakak pasti akan memberikanku pertanyaan yang lagi aku tak tahu jawabannya. Karena tadi aku telah menjelaskan tentang orion penuh bangga terpaksa aku harus menjawab asal-asalan dari pada mengaku tak tahu. “Mungkin 22.” Jawabku singkat. “Waw, hebat! Ternyata kau tahu juga ya, Spica!” ujar kakak sambil memberi tepuk tangan. Aku hanya dapat melongo ternyata jawabanku tadi benar. Apa yang terjadi? Sepertinya perkataan Teren tadi benar, ramalan itu tak benar. “Ehehe, santai Spica gitu, loh!” ujarku tinggi hati. “Coba sebutin,” ujarnya membuat senyuman di mukaku kian luntur dan ia hanya dapat tertawa melihatku. “Kakak tak menyangka jika kau pintar juga tentang rasi bitang. Terlebih lagi hanya mempelajarinya dalam 1 malam. Kau memang hebat.” Pujinya yang membuatku seakan terbang ke antariksa. “Tapi, masih hebatlah kakak.” Sambungnya tertawa.
“Oh iya, kau tahu tidak jika namamu itu adalah nama bintang terbesar dirasi Virgo, Spica!” ujar Kakak yang membuatku kembali semangat dan mulai mencari di mana bintang yang kini menjadi namaku itu.

Palembang, 21 Juni 2019

Biodata:

Penulis cilik bernama Andara Claresta Rabbani atau yang lebih sering dipanggil K.A  ini dilahirkan di Palembang 08 September 2006. Ia gemar menulis cerita sci-fi, membaca artikel sains, dan segala sesuatu tentang seni. Penulis dapat dihubungi lewat Instagram: weeboo_weeboo_aaa E-mail: popyaja55@gmail.com.

Minggu, 28 Juli 2019

#Sabtu_Tema - Desaku - Aksara Hitam - Sastra Indonesia Org





Desaku
Karya: Aksara Hitam

Kulihat mentari unjukkan rahang
Mengusir awan kumulus yang datang
Hingga terik sampailah petang
Jadikan desaku kering dan gersang

Sudah hampir tiga purnama terlewati
Tak ada hujan yang menghampiri
Tersisakan sedikit air bersih
Buat minum dan mencuci

Kulirik pohon yang menangis dalam diam
Sembari membayangkan air yang menyiram
Mengalir deras sampai ke dalam
Tapi semua itu tinggallah impian kelam

Hawa panas membakar daksa
Membuat jeritan rakyat jelata
Yang tak punya hak dan kuasa
Hanya menunggu bantuan pemerintah.

Sudut Bumi, 27 Juli 2019

Biodata:



Hanyalah wanita pencinta sastra yang tak berharap dibalas cintanya, Aksara Hitam.

Sabtu, 27 Juli 2019

#Jumat_Cerbung - Mutiara yang Tak Tersentuh Part 4 - Isdamaya Seka - Sastra Indonesia Org





Mutiara yang Tak Tersentuh Part 4
Karya: Isdamaya Seka

"Keelokan rupa adalah anugerah dari Sang Pencipta. Manusia tak dapat meminta ataupun menolak apa yang telah diciptakan untuknya. Selayaknya mereka bersyukur dengan anugerah yang Dia berikan, tanpa harus merendahkan sesama hamba yang diuji dengan kekurangan."

♥♥♥

Gadis salihah itu memeluk sang bibi, menumpahkan butiran-butiran bening yang memaksa keluar mengaliri pipinya. 
"Kami tidak mengerti jalan pikiranmu. Kenapa kamu tolak, Nak?" tanya Ustaz Hanafi.
Halimah bergeming, melepaskan pelukan Bu Piana.
"Ceritakan pada kami, Mah. Keburukan apa yang kamu lihat dari Imran?"
Ia menggeleng, masih dengan mulut terkunci.
"Kalau kamu tidak melihat keburukannya, kenapa menolaknya? Apa kamu lupa sabda Rasulullah, bahwa jika datang melamar kepadamu orang yang engkau ridho agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dengannya, jika kamu tidak menerimanya, niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang luas?" tanya ustaz Hanafi lagi.
"Halimah paham, Ustaz. Tapi Halimah juga berhak menentukan."
"Kamu memang berhak menentukan. Tapi apa yang menjadi alasanmu menolaknya?"
"Sudahlah, Bi. Biarkan Halimah tenang dulu." Bu Piana menengahi. "Mah, kamu istirahat saja dulu, tenangkan pikiranmu."
Gadis itu mengangguk. Menyeka air mata dengan ujung kerudung. Ia beranjak lesu menuju kamar. Menyembunyikan fakta yang ada, bahwa Imran-lah yang menolaknya.

♥♥♥

Mobil mewah hitam milik Pak Rudi telah terparkir rapi di garasi. Lelaki berusia lanjut itu memasuki rumah dengan wajah menegang, ingin segera mengelurkan amarahnya. Imran dan Bu Yani hanya terdiam mengikuti kepala keluarga mereka.
Pak Rudi duduk di sofa ruang tengah, diikuti Bu Yani dan Imran. Pemuda itu menunduk, pikirannya kalut. Rasa bersalah juga iba pada Halimah menyergapnya.
"Bi ...." Bu Yani membuka suara.
"Bukankah Umi bilang Halimah setuju? Kenapa tadi dia menolak? Itu sama saja mempermainkan kita. Di mana harga diri kita, Mi? Dipermalukan oleh gadis yang selalu ditolak seperti Halimah."
Bu Yani tak sanggup menanggapi ucapan suaminya. Ia juga masih tak percaya akan jawaban Halimah.
"Gadis itu memang tak pantas buat anak kita!"
"Cukup, Bi. Halimah gadis yang baik, wanita salihah. Umi sangat mengenalnya. Umi yakin dia punya alasan kuat menolak Imran. Dia juga punya hak untuk memilih, Bi."
"Umi terlalu berharap padanya. Kalau cuma baik dan salihah, banyak wanita baik di luar sana, cantik pula. Tak seperti ponakan Ustaz Hanafi itu!"
"Istighfar, Bi. Jangan terus merendahkan Halimah hanya karena ia tidak cantik. Semua Allah yang menciptakan. Apa Abi juga hendak menghina penciptanya?"
Pak Rudi tertunduk mendengar ucapan istrinya. Baru ia sadari, tak semestinya ia menghina fisik Halimah. Itu sama saja ia menghina Zat yang menciptakannya. 
"Sudahlah, Abi mau istirahat. Biarkan Imran mencari pasangannya sendiri. Abi tidak mau hal ini terulang lagi." Pak Rudi akhirnya mengalah. Ia beranjak menuju kamar sebelum anak lelaki satu-satunya itu membuka suara.
"Maafkan, Imran. Imran yang menyuruh Halimah menolak lamaran kita." Lelaki tampan itu akhirnya berhasil mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk mengakui kesalahan pada kedua orang tua. Ia tak kuat terus mendengar sang ayah menghina Halimah. Ada sakit yang menjalari hatinya. 
Pak Rudi dan Bu Yani menatapnya tak percaya.
"Apa kamu bilang, Imran?" tanya Pak Rudi demi menegaskan apa yang ia dengar.
"Imran yang menyuruh Halimah menolak lamaran. Imran yang salah. Maafkan Imran, Abi, Umi."
'Plak!'
Sebuah tamparan keras dari telapak tangan yang mulai keriput milik ayahnya berhasil mendarat tepat di pipi kiri Imran.
"Bi!" Bu Yani sontak menarik suaminya menjauh dari Imran.
"Bagaimana mungkin kamu bisa bertindak sebagai pengecut begitu, Imran?!" teriak Pak Rudi.


"Kamu keterlaluan, Nak!" Bu Yani menimpali. 
Dokter muda itu bergeming. Rasa bersalah yang begitu besar menyergap. Pengecut, sebuah kata yang memang pantas untuknya.

♥♥♥

Halimah duduk di tepi ranjang. Membuka laci nakas, mengambil selembar foto kedua orang tua. Melihat senyum ayah dan ibu yang tergambar di sana, Halimah kembali terisak. Betapa ia merindukan sosok mereka.
Ia teringat masa kecilnya, kala bermain bersama teman-teman. Ejekan tak pernah absen dari mulut-mulut kecil mereka. Halimah kecil selalu menjadi bulan-bulanan teman sekolah maupun tetangganya.
'Eh, si hitam pesek, ambilin bonekaku, donk.'
'Halimah, kamu gak boleh ikut main sama kami. Kamu itu jelek, sana pergi!'
'Kita main putri-putrian, yuk. Halimah jadi nenek sihirnya, kan mukanya mirip.'
'Ih, kamu anak siapa sih? Orang tuamu cantik dan ganteng, kok kamu jelek?'
Berbagai kalimat yang menusuk sanubarinya terlontar begitu saja dari mulut-mulut mereka yang punya hati. Bukan hanya anak-anak, bahkan orang dewasa pun kerap menghinanya. Andai tak ada kedua orang tua yang sangat menyayanginya, entah bagaimana kondisi kejiwaannya kini.

♥♥♥

"Halimah, kok murung, sih?" tanya Fatia di atas bangku taman, sambil memperhatikan murid-murid TK bermain.
"Gak apa, Fat."
"Ada apa? Bagaimana khitbahnya tadi malam?"
Halimah menggeleng. Fatia mampu menangkap apa yang terjadi dari sorot mata Halimah.
"Gagal lagi?" tanya Fatia memastikan. Halimah hanya mengangguk.
"Ya Rabb ... sungguh besar ujian untuk sahabatku." Mata Fatia berkaca-kaca. Ia genggang lembut tangan sahabatnya untuk menguatkan. 
"Jangan nangis, Fat. Nanti dilihat anak-anak."
"Gimana ceritanya, Mah? Bukannya kemarin ...."
"Nanti aku ceritakan," potong Halimah.
Selesai jam sekolah, Halimah dan Fatia duduk di taman tempat mereka tadi mengawasi anak-anak. Ia menceritakan perihal lamaran keluarga Imran, juga permintaan Imran padanya. Fatia-lah satu-satunya tempat ia menceritakan hal itu. Paman dan bibinya tak boleh tau, ia tak ingin menambah kesedihan mereka.
Suara deru mobil terdengar berhenti di depan sekolah. Tak lama, pria muda tampan berdiri di depan gerbang. Sejenak mencari sosok yang ingin ditemuinya. Kemudian sepasang manik cokelatnya beradu dengan sepasang manik hitam di taman sekolah.
"Lelaki pengecut itu, mau apa dia ke mari?" umpat Fatia.
"Fatia ...." Halimah menegur sahabatnya agar lebih sabar.
Gadis itu beranjak menghampiri Imran.
"Ada apa ya, Akhi? Apa yang kulakukan masih kurang?" tanya Halimah tanpa basa basi. Kemarahan tergambar jelas di wajahnya. Ya, ia berhak marah atas tindakan buruk orang kepadanya, namun masih dalam batas yang tak melanggar syariat.
Pertanyaan Halimah bagai belati tajam yang menusuk di dada. Entah kenapa Imran merasa bagai pecundang yang telah berbuat kejam. Lidahnya kelu, ia bingung harus memulainya dari mana. 
"Jika tidak ada hal yang penting, silakan pergi. Urusan kita sudah selesai."
Halimah berbalik menghampiri Fatia. Bergegas mengambil tas dan mengajak sahabatnya segera meninggalkan sekolah. Keduanya berjalan melewati Imran yang mematung di tepi gerbang.
"Ternyata begini akhlak dokter muda yang katanya alim itu?" sindir Fatia ketika berada tepat di depan Imran.
Halimah menarik lengan Fatia untuk segera menyeberang jalan meninggalkan Imran.
Imran bergeming, kemudian menyadari kedua gadis itu telah berada di seberang jalan. Ia berlari menyusul mereka sambil berteriak, "Halimah, aku minta maaf!"
'Brakk!' Sebuah sepeda motor dengan laju kencang menabrak pria yang berlari menyeberangi jalan.
Halimah menoleh. Kedua matanya membulat sempurna. Tubuhnya gemetar menyaksikan pemandangan di depan mata. Kalimat terakhir Imran beberapa detik lalu masih bisa terdengar olehnya.

Bersambung

Riau, 26 Juli 2019

Biodata:

Penulis adalah seorang ibu rumah tangga dengan dua orang putra. Ingin mengembangkan kemampuan dalam dunia literasi. Berharap dapat melahirkan banyak karya yang bermanfaat bagi orang banyak.

#Jumat_Cerbung - The Midnight Game - Evitha Ro'uffan - Sastra Indonesia Org





The Midnight Game

Karya: Evitha Ro'uffan



Suara tetes air wastafel semakin menambah kelam suasana. Barisan kursi bersandaran tinggi di ruang makan, tak ubahnya monster yang siap menerkam. Gelap. Hanya cahaya remang sebuah lilin menjadi sumber utama penerangan.
Lelehan bulir bening membasahi pelipis Grace yang tengah mendapat giliran menjaga nyala lilin. "Ben ... aku tak tahan lagi. Aku tak ingin bernasib sama seperti Alex dan Emily." Suaranya parau, bergetar menahan ketakutan.
Hening, tak ada balasan dariku maupun Anna. Lidah terasa kelu. Hanya hembus napas kasar tertahan yang menjawab. Menahan degub yang semakin menggila, rahang ini mengeras. Sesekali menelan ludah mencoba mengontrol rasa takut yang menyapa. Melangkah sesenyap mungkin, berjalan menuju ruangan lain. Menghindari sosok yang kami undang dalam sebuah permainan, The Midnight Game.
"Ben, aku kedinginan," bisik Grace. Tangan menyodorkan lilin yang ia pegang kepadaku. Dingin. Telapak tangannya basah oleh keringat. Wajahnya memucat, mencuatkan ketakutan yang teramat sangat.
Tak membantah, akupun merasakan suhu disekitar berubah dingin. "Tak apa. Pakai hoodie-ku. Ini menjelang pagi, wajar jika udara semakin dingin." Melepas jaket bertudung yang dari badan, aku berusaha menenangkan gadis tinggi semampai ini.
Suasana tenang sesaat. Namun, mendadak detak jantungku seakan berhenti.
Sekelebat bayangan lelaki dengan seringai mengerikan, muncul di depan TV. Kukucek mata yang tak gatal. Hilang, dia menghilang. Memandang sekali lagi, aku mencoba memastikan.
'Shit! Dia mendekat.' Aku merutuk dalam hati.
Udara mengalirkan hawa sejuk yang tak biasa. Tiada angin, lilin di tanganku berkedip seolah ada yang mempermainkan nyala apinya.
Kedua sepupuku meracau, memohon agar lilin kami tak padam. Apalah daya, harapan tak seindah kenyataan.
"Anna! Nyalakan lilin ini! Cepat!" perintahku.
"Cukup! Aku tak tahan lagi," tangis Grace. "Pengecut, kau! Berhenti mempermainkan kami. Midnight Man brengsek!" Histeris, ia tak menyadari telah melanggar salah satu peraturan permainan setan ini.


"Apa yang kau lakukan, Grace? Tenanglah!" ucap Anna berusaha menenangkan saudaranya.
Grace membekap mulut. Ia sadar telah melakukan kesalahan. Isaknya semakin menjadi dalam pelukan Anna yang semakin mengerat.
"Grace ...."
"Grace ...."
"Dia memanggilku, Anna. Apa kau mendengarnya?" Grace semakin tergugu.
"Jangan takut, Grace. Aku dan Anna tak akan membiarkan makhluk itu menyentuhmu," ucapku.
"Grace ...."
"Grace ...."
Bisikan mengerikan itu terus menggema. Hingga ....
"Aaargh ...! Ben ... Help ...."
Seolah ada yang menarik paksa dari pelukan Anna, Grace menghilang dalam kegelapan. Anna menangis histeris mendapati kakaknya lenyap dalam sekejap.
Aku terpaku sesaat. Tak percaya atas kejadian buruk yang menimpa. Tak ingin kejadian serupa terulang, segera kubuat lingkaran garam di sekelilingku dan Anna.
Terduduk lemas di lantai, Anna masih terisak. Aku mulai kehilangan fokus. Bagaimana bisa kami terjebak dalam situasi mengerikan ini. Menengadah, mencoba memutar kembali segala peristiwa sebelum permainan dimulai.

Bersambung

Blitar, 06 Mei 2019




Biodata:

Evitha Ro'uffan adalah sebuah nama pena dari seorang perempuan berdarah Jawa. Merupakan gabungan yang diambil dari namanya dan sang suami. Anak pertama dari tiga bersaudara ini lahir pada tanggal 29 Juli dua puluh empat tahun silam di sebuah kota berjuluk Kota Patria. Penyuka makanan pedas ini memiliki hobi membaca, menulis, dan berenang.
Sempat meraih beasiswa, ia telah menyelesaikan pendidikan S1-nya.
Beberapa tahun berkarir dalam dunia pendidikan dan kini tengah fokus berkarir sebagai istri dari seorang suami dan ibu dari seorang putra.