Baru saja ujung sepatuku bertemu anak tangga
paling bawah, suara Emak sudah menggema. Ia muncul di jendela dan memerintahkan
aku untuk menjemur padi.
"Baru
pulang sekolah aku, Mak. Capek!" bantahku.
Sesak dada karena kesal atas
sikap tak pengertian Emak. Matahari itu juga kenapa terik sekali? Membuat peluh
membasahi seragam sekolahku saja, dan haus luar biasa.
"Emak tak sempat menjemur
tadi pagi. Mumpung panas ini, cepat!"
"Ke mana aja Emak dari pagi
kok gak sempat?" Sungutku dalam hati. “Aih! Mendidih isi kepala ini.”
Rasa kesal mencuat pada sikap dan
wajahku. Kulempar begitu saja terpal penutup padi. Biasanya untuk meratakan
bulir-bulir berwarna kuning emas itu menggunakan papan, dibuat bergandar dan
bergerigi seperti garpu. Namun, kali ini aku meratakannya dengan menendang ke
sana ke mari. Beberapa butir melesat keluar melewati tikar jemur. Akan tetapi,
melihat itu aku justru sangat senang.
"Hei, Mawea! Sudah pulang
sekolah kamu? Syukurlah. Anak pintar memang, kau bantu Emakmu, ya."
Tak kuhiraukan sapaan Uwa Badlah
yang lewat pulang dari sawah. Pasti istrinya, Uwa Mina lupa lagi buatkan makan
siang. Makanya Uwa Badlah harus pulang tengah hari.
"Emakmu pingsan tadi pagi di
sawah. Bilang mantri kelelahan. Maag akutnya kumat dan belum sempat sarapan
pagi. Mana Emakmu? Mudah-mudahan dia beristirahat. Jangan kerja dulu."
Deg! Jantungku seakan berhenti
berdetak. Pingsan? Kelelahan? Tak sarapan? Maag akut?
Secepatnya aku berlari menaiki
tangga rumah. Mencari di mana keberadaan Emak. Emakku itu tak pernah satu kali
pun mengeluh sakit selama ini.
Aku berdiri kaku mendapati Emak
tergolek miring di lantai dekat dapur kayu. Matanya terpejam. Di tangannya ada
kapak kecil untuk membelah kayu yang bongkahannya masih agak besar.
Seketika kekesalan tadi mendorong
air mata keluar dari kelopak. Dada sesak karena marah berubah menjadi
penyesalan. Aku gemetar, lututku terasa tak mampu menopang tubuh. Separuh
limbung aku memeluk sosok tak lagi bergerak.
"Emaaaaaaaaaaakkkkkk!"
Kaltim, 13 Juni
2019
Biodata:
Wanita sederhana bernama lengkap
Riyanti ini lahir pada tanggal 01 Januari di Babulu Darat, kecamatan Babulu,
Kabupaten Penajam Paser Utara.
Menulis merupakan terapi fisik
dan jiwa baginya. Ia akan terus berusaha belajar, menitipkan kebaikan walau pun
itu hanya dalam satu kata.
Di akun Facebooknya, Riyanti
menanti saran dan kritik di sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.