Jumat, 14 Juni 2019

#Kamis_Cerpen - Beauty and The Beast - Siti Nanu - Sastra Indonesia Org





"Dhe, kamu yakin mau aku lamar?" tanya laki-laki bertubuh gempal pada seorang wanita berparas manis di bawah temaram lampu taman.
"Iya, De. Aku udah yakin. Kamu masih ragu?" Perempuan yang biasa dipanggil Dhea itu menatap laki-laki di hadapannya dengan tatapan sayang.
"Kalau kamu gak cepat melamarku, maka aku yang akan melamarmu," ucap Dhea mantap.
"Bukan gitu, Dhe. Aku ... cuma gak yakin, kalau keluarga dan teman-temanmu akan menerimaku," ucap Ade. Nama laki-laki yang sekarang pikirannya sedang kalut karena Dhea.
"Kamu pilihanku, aku mencintaimu karena rasa nyaman, dan prinsip hidup yang kamu punya. Aku bahkan gak pernah peduli kalau banyak orang yang menentang hubungan kita, aku hanya ingin menikah jika itu denganmu, De." Dhea hampir menumpahkan air matanya jika saja dia tidak ingat sedang berada di taman.
Bagaimana tidak. Ade akan menikahi seorang janda beranak tiga yang tubuh dan kecantikannya masih seperti gadis. Dhea resmi menjanda saat suaminya meninggal karena kecelakaan kerja.
Ade yang waktu itu berprofesi sebagai karyawan mekanik di salah satu pabrik di Kalimantan. Memilih untuk tidak akan jatuh cinta lagi saat ditinggal menikah oleh kekasihnya di kampung.
Ada yang percaya fall in love at the first sight? Yah, itu yang dialami oleh Ade dan Dhea. Mereka bertemu saat Ade tidak sengaja melihat Dhea di jalan dengan wajah kebingungan.
"Mbak, mau ke mana?" tanya Ade saat motor dengan gaya trail mendarat halus tepat di depan wanita 27 tahun itu.
"Mau, ke alamat ini, Mas. Tapi saya lupa jalan," ucap Dhea sembari menunjukkan alamat yang tertera di ponsel pintarnya.
"Oh, saya tahu alamat itu, Mbak. Kalau gak keberatan, bisa saya antar," pinta Ade saat itu.
Dhea yang waktu itu memang tidak paham arah jalan mau-mau saja saat diajak Ade, dia tidak pernah berpikir bahwa pertemuan mereka yang tidak disengaja akan menumbuhkan benih-benih cinta yang selama ini dicari oleh dua hati yang sama-sama membutuhkan kasih sayang.
"Kamu kapan mau melamarku, De?" tanya Dhea dengan wajah serius. Ini pertanyaan yang ketiga kali saat hubungan mereka sudah berjalan setengah tahun.
"Iya, pasti secepatnya, Sayang. Aku gak mau terburu-buru untuk memutuskan hal seperti ini."
"Aku gak betah terus-terusan dicap janda gak baik sama orang di sekitar, karena sering jalan sama kamu." Dhea memasang wajah muram.
"Kamu gak sayang aku?" tanyanya lagi.
"Hei, kok ngomong gitu, secepatnya aku akan ngasih tau orangtuaku untuk segera melamarmu, sabar yah, Sayang." Ade mengelus rambut kekasihnya lembut.
Ada rasa ragu yang berkecamuk di dada Ade. Dia bisa saja melamar kekasihnya itu malam ini. Hanya saja ada satu yang menjadi alasan terberatnya selama ini. Yaitu wajahnya, dia tidaklah tampan seperti laki-laki yang terus mengejar Dhea untuk dijadikan istri.
Ade hanya lelaki sederhana dengan penampilan yang jauh dari kata sempurna. Postur tubuhnya yang besar, kulitnya yang hitam, juga rambutnya yang keriting halus, membuatnya malu jika harus disandingkan dengan Dhea yang kecantikannya setara dengan model terkenal. Rambut lurus sebahu, hidung bangir, bibir sensual, dan body-nya yang membuat mata kaum adam tak berkedip saat menatapnya.
Namun, kesetiaan dan kemantapan hati Dhea, yang membuat Ade masih ingin mempertahankan hubungan yang sudah berjalan satu tahun itu.
"Saya terima nikah dan kawinnya Fradhea Aprilia dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan emas 5 gram dibayar tunai!" ucap Ade mantap.


"Sah?"
"Sahhh!" ucap saksi dan para tamu undangan yang menghadiri acara sakral itu.
Perasaan lega bercampur haru terlihat dari wajah Ade.
Namun, perasaannya makin tak karuan saat sudah hampir 10 menit sejak ijab qobul diucapkan, mempelai perempuan belum juga keluar dari kamar. Tak sedikit dari tamu undangan yang berbisik-bisik menjelekkan Ade.
"Ahh, ini pasti gara-gara suaminya jelek banget, makanya si Dhea malu buat keluar."
"Iya, yah, Ceu. Kasian si Dhea, janda cantik begitu dapatnya bujangan butut."
"Iya, padahal cuma mekanik biasa, mau-maunya si Dhea sama cowok begitu."
Terdengar ejekan dan tawa mereka bersautan. Ade hanya membalas dengan senyuman, saat salah satu tamu undangan menatapnya dengan tatapan sinis.
"Mohon bersabar, mempelai wanita masih di kamar, silakan mempelai pria menuju altar, dan dipersilakan tamu undangan untuk menyantap hidangan yang telah disediakan." Ucapan dari pembawa acara mengubah suasana tegang tadi menjadi sedikit tenang.
Baru beberapa detik Ade duduk di altar dengan pikiran yang berkecamuk. Tiba-tiba matanya tak berkedip menatap wanita yang didampingi dua orang wanita lain menuju ke arahnya.
Fradhea. Dia begitu anggun dalam balutan gaun pengantin berbahan satin nude pink, dengan beberapa payet yang menempel di bagian bahu dan pinggang, juga hijab yang sepadan dengan gaunnya. Apakah Ade tak salah lihat? Wanita yang ada di hadapannya sekarang bukan Fradhea, tapi lebih cocok disebut bidadari.
Sembari menunggu Dhea menuju altar, para wedding music memainkan alunan sholawat yang merdu dengan diiringi piano dan saxophone.‎ Tambah menjadi saja romantisme dan sakralnya pernikahan Dhea yang kedua ini.
Sungguh, setiap langkah Dhea menuju altar juga membuat degupan sendiri di jantung Ade. Bagaimana tidak, wanita yang selama ini selalu berpakaian sexy dan terbuka. Kini menutup seluruh auratnya dengan sempurna. Cantik, luar biasa.
Terkadang hidayah datang di waktu yang tidak disangka-sangka. Ade yang dipandang buruk rupa, tapi ketampanan hatinya mampu membuat seorang Dhea yang dipuja-puji banyak lelaki malah memilihnya. Tak salah jika Ade mempertahankan Dhea.
Karena Nabi Saw. telah bersabda: “Sesungguhnya perempuan itu dinikahi orang karena 4 hal, yaitu agamanya, kedudukan, hartanya, dan kecantikannya. Maka pilihlah yang beragama.” (HR. Muslim dan Tirmidzi).

Semua itu sudah ada pada diri Dhea.

Yogyakarta, 13 Juni 2019

Semoga cerpen di atas, bisa memotivasi para jomlo untuk tidak berlama-lama betah pada status jomlonya, yang menanti segera dipertemukan, dan yang dipertemukan segera dihalalkan. Aamiin Allahumma Aaamiin.
Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh imannya, dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi. (Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Mu’jamul Ausath (no. 7643, 8789)


Biodata Penulis:

Siti Hadijah, lahir dan dibesarkan di kota yang mempunyai ikon ikan pesut. Samarinda, Kalimantan Timur.
Ibu dari dua orang anak, dan mempunyai hobi menyanyi dan menulis, sejak SD. Bahkan, Siti seringkali mendapat kejuaraan dalam lomba menyanyi. Di usianya yang sekarang menginjak 25 tahun, dia sedang berkecimpung di dunia kesehatan.‎
Bekerja sebagai kader posyandu, yang dituntut untuk aktif dalam setiap kegiatan desa, tidak lantas membuat hobi lamanya yaitu menulis hilang begitu saja. Di tengah kesibukannya sebagai ibu rumah tangga, Siti selalu menyempatkan untuk menulis satu buah cerpen, quote, atau pun puisi.
Bagi Siti, menulis menjadi wadah untuknya mengekspresikan perasaan, emosi, dan candaan. Siti berharap tulisannya dapat menginspirasi siapa pun yang membacanya.
Kalau mau mengenal lebih dekat bisa hubungi di:
Fb: Siti Nanu
Ig: @sitinanu
Email: affraisal@gmail.com‎


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.