Sabtu, 22 Juni 2019

#Kamis_Cerpen - Tema Gelisah - Kisah Si Pelanggan Teh dan Pesta Para Pria Tambun - Anjar Lembayung - Sastra Indonesia Org







Kelepak kain berwarna merah dan putih tampak menggairahkan siapa pun yang ada di sana. Jajaran manusia mengangkat telapak tangan, menempelkan di kening masing-masing—memberi penghormatan pada sang saka. Setelah gema lagu yang menggugah semangat cinta tanah air itu selesai, laki-laki yang kerap mengenakan baju khaki berpeci dengan kacamata tebal berdiri tegak. Ia menggaungkan suara tentang beberapa sila, di mana letak kejujuran dan keadilan adalah salah satu usaha mengisi kemerdekaan ada di sana. Namun, benarkah kejujuran dan keadilan selalu mendapatkan perayaan terbaik di masa depan? Atau tergilas dan tersingkir begitu saja, kemudian dilupakan demi menukarnya dengan rentetan angka untuk mengenyangkan perut?

***

Seperti biasa, laki-laki tua berambut kelabu itu selalu melewati jajaran instansi terutama sekolah. Ia selalu menyempatkan diri menikmati gagahnya peserta upacara di acara Senin pagi. Merenungkan segala amanat sang pembina upacara yang terkadang sama seperti sebelumnya. Namun, percayalah, tak semua sanggup mengemban semua hal yang disampaikan. Termasuk dirinya yang memilih pergi, menghilang dari peredaran meski ia tahu bahwa ada kebenaran yang seharusnya ia bela.
Nartim kembali melanjutkan langkah, bergegas membuka warung kopinya di depan pengadilan. Sudah setahun ini ia membuka warung kopi, mengisi sisa hidup dengan mencari sesuap nasi demi istri yang sudah sama menua. Dengan kaus putih yang tak lagi bersih, ia menggosok kedua telapak tangan pada celemek berwarna hijau pudar.
“Teh tubruk satu, Pak.”
Suara itu membuat Nartim menoleh. Binar di mata yang mulai sering diterjang sakit mata karena tua terlihat jelas. Lengkungan di bibirnya tampak lebar menyambut seorang bapak-bapak berusia belum genap 60 tahun—pelanggan setia warung kopi Nartim selama setahun ini. Dengan tangan yang mulai merapuh dan lamban, Nartim mengaduk teh perlahan. Kemudian ia menyodorkan minuman hangat itu di depan pelanggannya.
Tak ada kata di antara mereka. Pertemuan hanya diisi dengan sapa dan senyum, pelanggan berambut klimis berwajah lelah itu menghabiskan teh kemudian berlalu. Saat Nartim mengamati lamat-lamat punggung pria itu, ia mengembuskan napas perlahan. Gelisah dan resah selalu membayang di pikiran seketika laki-laki itu pergi.
Apa ia baik-baik saja?
Nartim kembali bergegas membereskan gelas kosong di meja, bersiap menanti pelanggan berikutnya. Biasanya, sepagi ini ada Kardi si tukang sapu area depan pengadilan yang memesan kopi sembari beristirahat mengeringkan peluh. Pemuda tanggung yang tak beruntung dalam pekerjaan itu harus rela menjadi tukang sapu di jalanan kota.
Nartim tersenyum seketika Kardi dengan sepatu bot dan seragam oranye datang seraya menghapus peluh dengan handuk kecil di leher. Berikutnya, menyusul seorang tukang becak berpakaian lusuh memasuki warung kopi. Mereka duduk sembari menanti pesanan kopi mereka datang. Tukang becak di samping Kardi tampak mengernyit dengan mata menyipit, bersusah payah membaca jajaran huruf di koran yang ia pegang. Bibirnya terlihat komat-kamit membaca perlahan. Kardi memanjangkan leher, mengintip bacaan lelaki paruh baya di sampingnya.
Mata Kardi terbelalak. Dengan tidak sopan ia segera merebut koran dari tangan tukang becak yang notabenenya lebih tua.
“Wah, akhirnya dapat tuntutan satu tahun penjara!” serunya.
Sang tukang becak hanya menipiskan bibir, sedikit kesal dengan bacaan yang baru ia pungut di pinggir jalan tadi.
Nartim yang membawa dua gelas kopi mendadak ingin tahu dengan apa yang sedang dibaca Kardi dan pelanggan lainnya. Ia tertegun, sejenak lidahnya kelu ketika membaca nama bertuliskan huruf besar-besar di judul dan halaman pertama koran. Nartim buru-buru meletakkan gelas ke meja, sebelum minuman dari tangannya terlepas dan pecah karena gemetar.
“Pak Nartim, ini pelangganmu itu, kan? Yang biasa minum teh tubruk di sini?” Kardi menggelengkan kepala sambal berdecak lidah. Ia meringis saat menemukan tatapan pemilik koran penuh kekesalan dan mengembalikannya.
“Pantas saja dia kaya raya, mobil dua, rumah gedongan dua. Ternyata makan uang bagian hasil korup!” Tukang becak berceloteh, meluapkan kekesalan demi obrolan hangat pagi ini.
“Betul itu! Sekarang saja, mau diadili mendadak tiap kali sidang pakai sandal jepit, kaus, dan naik angkutan umum. Minum saja ikutan seperti orang kecil. Pencitraan!” Kardi menambahi.
Nartim berdeham, sedikit terganggu dengan pembicaraan dua penduduk negeri ini yang main menelan mentah berita-berita di media. Sementara tak jarang media memihak salah satunya. “Jangan main tuduh yang belum jelas,” katanya. Kedua tangan Nartim sibuk mengelap gelas-gelas basah.
Kardi meniup kepulan asap kopi sebelum menyeruput sedikit demi sedikit. “Kalau tidak salah tidak mungkin dipenjara, Pak Nartim,” kilahnya.
Nartim mendesah panjang. Entah sampai kapan ini akan segera berlalu. Hidupnya terus digerogoti kegelisahaan seperti ini.

***

Pagi ini Nartim sedikit meneguhkan hatinya. Sekian lama ia hanya bertegur sapa dengan senyum dan anggukan pada pelanggan setianya selama setahun ini. Kali ini, ia teramat ingin membuka suara, meski sekadar bertanya kabar. Ia sudah bersiap saat laki-laki itu datang memesan minuman seperti biasa.
Nartim menelan ludah susah payah setelah ia meletakkan segelas teh tubruk di hadapannya. Ia mencengkeram nampan di depan dada dengan kuat. Matanya nanar sebelum ia berucap dengan bibir bergetar. “Bapak … apa kabar?”
Laki-laki yang tengah menyesap teh itu tertegun. Ia sedikit terkejut dan mendongak menatap manik mata Nartim. “Baik, Pak Nartim,” sahutnya kemudian. “Bapak dan istri sehat?”
Nartim tersenyum. “Sehat, Pak,” ucap Nartim sembari mengangguk kecil. Ia kembali ke belakang. Diam-diam ia menyeka ujung mata yang mulai tampak guratan keriput—menangis tertahan.
Nartim hendak kembali keluar saat ia telah berhasil menguasai tekanan dan sesak menahan tangis. Namun, pelanggannya itu sudah pergi dengan meninggalkan selembar uang sepuluh ribu rupiah di bawah gelas.
Ia masih sama, sejak dulu hingga sekarang, selalu membayar lebih pada orang yang dipercaya.


Dengan tergesa pemilik warung kopi itu keluar warung, demi menemuinya. Akan tetapi, tak ada siapa pun di sana, kecuali Kardi yang duduk di kursi depan sembari berkipas ria dengan handuk kecilnya.
“Cari siapa, Pak?” Kardi mengikuti arah pandang Nartim ke seberang jalan.
Nartim tersentak sembari menoleh ke arah Kardi, tapi sedetik kemudian ia menggeleng lesu.

***

Kardi menghela napas dan mengembuskannya kasar. Ia menyandarkan tubuh yang mulai kebas karena lelah. Menjadi tukang sapu menjaga kebersihan jalanan kota bukan perkara mudah. Ia harus bangun lebih pagi dari penduduk lain sebelum lalu-lalang jalanan semakin padat. Dua tahun berlalu menjalani pekerjaan ini, upah pun tak sanggup membawa putri tunggalnya bersekolah di sekolah elit. Bisa bersekolah saja sudah untung. Kembali dipertanyakan, ke mana keadilan hidup itu berada jika ia masih melihat pejabat yang jelas mengais uang rakyat masih berdiri pongah?
Kardi menoleh saat seseorang menyodorkan sebungkus gorengan di depannya. Ia menatap nanar pada laki-laki yang memberinya kudapan ringan usai bekerja. Sedikit ragu Kardi menerimanya. Ia tak enak hati menerima makanan itu setelah sempat menggunjingnya di warung kopi Pak Nartim.
Dalam diam keduanya menghabiskan camilan. Hingga laki-laki di samping Kardi terdiam menatap koran bekas bungkus makanan yang usai ia ganyang ke dalam perut. Kardi menghentikan kunyahan, menatap bingung dengan ekspresi lelah yang kemarin sempat ia sebut sebagai pembantu tikus negara.
“Kenapa, Pak?”
Laki-laki itu menoleh dan tersenyum, kemudian ia menggeleng. Ia pamit pergi setelah membuang bungkus kudapan ke tempat sampah.
Sekelumit tanya membuat Kardi urung menghabiskan makanan dan meraih bungkus yang telah berbaur dengan sampah lain. Ada sebuah berita di sana, terpampang sebuah foto kecil dan judul berita dengan huruf lebih besar dari isi berita.
“Pram, Peraih Penghargaan Pengembang Keuangan Mikro Terbaik Se-Indonesia.” Kardi membacanya dengan gumaman kecil. Beberapa detik kemudian, matanya terbelalak menyadari foto yang sudah memudar terkena minyak. Namun, Kardi masih bisa menerkanya dengan jelas.
Bergegas ia mengemas sapu lidi dan alat kebersihan lain. Ini adalah berita besar yang terkubur bertahun-tahun yang lalu. Berita yang telah banyak dilupakan manusia seantero kota ini. Tergilas oleh masa atau bahkan tergilas oleh manusia yang sengaja membuat perkara yang sesungguhnya fiktif belaka, demi menutupi perkara nyata.

***

Nartim mengurai air mata di sisi jendela rumahnya yang hampir keropos. Mata tua yang ia miliki masih sanggup melihat dengan jelas. Bahkan telinganya pun masih sanggup mendengar suara dengan baik tiga tahun lalu, sebelum ia keluar dari tempat ia mengais rezeki.
Suara amplop terbanting keras di meja kaca membuat Nartim terkejut. Ia meremas serbet yang biasa ia sampirkan di pundak saat bekerja di sebuah perusahaan perbankan besar itu.
“Ambil amplop itu, asal kamu singkirkan berkas dalam stopmap itu. Bila perlu … bakar hingga tak bersisa. Saya ingin semua kinerja baik Pram hilang dari perusahaan ini.” Suara laki-laki berperut tambun itu terdengar serak, tapi tatapan matanya membuat orang kecil seperti Nartim mampu mengkerut karena takut. Kedua kaki bersepatu hitam mengkilat terangkat ke atas meja, dengan tubuh tersandar ke sofa di ruang kerjanya sore itu.
Nartim menelan ludah susah payah. “Ba-bapak meminta saya menukar kebenaran dengan uang?” tanya Nartim dengan suara bergetar.
Alis laki-laki berdasi di hadapan Nartim itu terangkat. Ia bangkit dengan kedua tangan terjejal di saku celananya. “Pemilik dokumen itu sudah pensiun, bukan? Tidak perlu khawatir kamu dipecat karena berkhianat padanya. Saya direkturnya sekarang.”
Tangan Nartim bergetar mengambil amplop di meja, sementara laki-laki itu tersenyum sinis menatap keputusan OB di kantornya. Namun, belum sempat OB itu meraih amplop, ia bergeming dan memejamkan mata. Ia menegakkan tubuh dan menatap atasannya sejenak dengan mata berkaca-kaca.
“Maaf, Pak. Silakan pecat saya.” Perlahan Nartim mundur. Sementara laki-laki berdasi itu mengambil amplopnya kembali dan ia selipkan ke balik jas hitam yang ia kenakan.
Ia gagal membuat Nartim menjadi perisainya, tetapi ia berhasil menyingkirkan orang yang mungkin bisa mengendalikannya di meja hijau.
Nartim tertunduk dalam. Embusan napas kasar berulang kali terdengar tatkala mengingat masa lalunya. Baginya, Pram teramat baik untuk terjamah tangan-tangan kotor mereka. Ia bangkit meraih topi usangnya di meja dengan tangan tak segemetar mulanya.
“Bapak yakin ingin mengakhiri semuanya?” Suara wanita renta berbalut kebaya kumal muncul dari arah pintu dapur. Sebelah tangan keriputnya menyentuh lengan sang suami yang kini menatapnya getir.
Nartim kembali duduk. “Saatnya kita membalas kebaikan Pak Pram, Bu. Dia sudah cukup bersabar dan bertahan dengan segala kejujurannya. Waktunya dia mendapat keadilan.”
Aminah menatap Nartim dengan mata sendu. Ia ikut duduk di samping suami yang selama ini menemani menghabiskan sisa hidup bersama. “Bukan tidak mungkin justru kita yang lemah ini akan ikut tergilas dan tersingkir, Pak.”
Nartim menghela napas, menatap langit-langit rumah yang sesekali terlihat tikus melompat di sana-sini. “Semoga di masa yang akan datang menantikan kita untuk merayakan kemenangan atas jalan yang kita pilih, Bu.”
Nartim bangkit, menepuk bahu istrinya, kemudian berlalu melalui pintu depan. Aminah tersenyum dalam tangis. Karena pada kenyataannya, sang suami tak pernah kembali untuk beberapa kurun waktu setelah palu di meja hijau diketuk.
Hingga media di hari Minggu bertebaran, bertuliskan: “Pram Mendatangkan Lelaki Renta sebagai Saksi Palsu”.

***

Di sebuah ruangan tertutup, beberapa pria berperut tambun saling berkelekar. Kepulan asap rokok menjadi pesta dengan gelak tawa penuh kemenangan. Masa yang mereka idamkan telah tiba. Mejunjung jabatan dan kuasa mereka dengan menyumpal segala desus kebenaran agar tak mencuat di meja hijau.



Biodata Penulis:

Anjar Lembayung. Wanita kelahiran tahun 1990 ini mulai gemar menulis sejak bangku SMP. Mulanya ia hanya berani menulis novel romance. Cerpen “Kisah Si Pelanggan Teh dan Pesta Para Pria Tambun” adalah cerpen pertama yang ia tulis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.