Kelepak kain berwarna
merah dan putih tampak menggairahkan siapa pun yang ada di sana. Jajaran
manusia mengangkat telapak tangan, menempelkan di kening masing-masing—memberi
penghormatan pada sang saka. Setelah gema lagu yang menggugah semangat cinta
tanah air itu selesai, laki-laki yang kerap mengenakan baju khaki berpeci
dengan kacamata tebal berdiri tegak. Ia menggaungkan suara tentang beberapa
sila, di mana letak kejujuran dan keadilan adalah salah satu usaha mengisi
kemerdekaan ada di sana. Namun, benarkah kejujuran dan keadilan selalu
mendapatkan perayaan terbaik di masa depan? Atau tergilas dan tersingkir begitu
saja, kemudian dilupakan demi menukarnya dengan rentetan angka untuk
mengenyangkan perut?
***
Seperti biasa,
laki-laki tua berambut kelabu itu selalu melewati jajaran instansi terutama
sekolah. Ia selalu menyempatkan diri menikmati gagahnya peserta upacara di
acara Senin pagi. Merenungkan segala amanat sang pembina upacara yang terkadang
sama seperti sebelumnya. Namun, percayalah, tak semua sanggup mengemban semua
hal yang disampaikan. Termasuk dirinya yang memilih pergi, menghilang dari
peredaran meski ia tahu bahwa ada kebenaran yang seharusnya ia bela.
Nartim kembali
melanjutkan langkah, bergegas membuka warung kopinya di depan pengadilan. Sudah
setahun ini ia membuka warung kopi, mengisi sisa hidup dengan mencari sesuap
nasi demi istri yang sudah sama menua. Dengan kaus putih yang tak lagi bersih,
ia menggosok kedua telapak tangan pada celemek berwarna hijau pudar.
“Teh tubruk satu,
Pak.”
Suara itu membuat
Nartim menoleh. Binar di mata yang mulai sering diterjang sakit mata karena tua
terlihat jelas. Lengkungan di bibirnya tampak lebar menyambut seorang bapak-bapak
berusia belum genap 60 tahun—pelanggan setia warung kopi Nartim selama setahun
ini. Dengan tangan yang mulai merapuh dan lamban, Nartim mengaduk teh perlahan.
Kemudian ia menyodorkan minuman hangat itu di depan pelanggannya.
Tak ada kata di antara
mereka. Pertemuan hanya diisi dengan sapa dan senyum, pelanggan berambut klimis
berwajah lelah itu menghabiskan teh kemudian berlalu. Saat Nartim mengamati
lamat-lamat punggung pria itu, ia mengembuskan napas perlahan. Gelisah dan
resah selalu membayang di pikiran seketika laki-laki itu pergi.
Apa ia baik-baik saja?
Nartim kembali
bergegas membereskan gelas kosong di meja, bersiap menanti pelanggan
berikutnya. Biasanya, sepagi ini ada Kardi si tukang sapu area depan pengadilan
yang memesan kopi sembari beristirahat mengeringkan peluh. Pemuda tanggung yang
tak beruntung dalam pekerjaan itu harus rela menjadi tukang sapu di jalanan
kota.
Nartim tersenyum
seketika Kardi dengan sepatu bot dan seragam oranye datang seraya menghapus
peluh dengan handuk kecil di leher. Berikutnya, menyusul seorang tukang becak
berpakaian lusuh memasuki warung kopi. Mereka duduk sembari menanti pesanan
kopi mereka datang. Tukang becak di samping Kardi tampak mengernyit dengan mata
menyipit, bersusah payah membaca jajaran huruf di koran yang ia pegang.
Bibirnya terlihat komat-kamit membaca perlahan. Kardi memanjangkan leher,
mengintip bacaan lelaki paruh baya di sampingnya.
Mata Kardi terbelalak.
Dengan tidak sopan ia segera merebut koran dari tangan tukang becak yang
notabenenya lebih tua.
“Wah, akhirnya dapat
tuntutan satu tahun penjara!” serunya.
Sang tukang becak
hanya menipiskan bibir, sedikit kesal dengan bacaan yang baru ia pungut di
pinggir jalan tadi.
Nartim yang membawa
dua gelas kopi mendadak ingin tahu dengan apa yang sedang dibaca Kardi dan
pelanggan lainnya. Ia tertegun, sejenak lidahnya kelu ketika membaca nama
bertuliskan huruf besar-besar di judul dan halaman pertama koran. Nartim
buru-buru meletakkan gelas ke meja, sebelum minuman dari tangannya terlepas dan
pecah karena gemetar.
“Pak Nartim, ini
pelangganmu itu, kan? Yang biasa minum teh tubruk di sini?” Kardi menggelengkan
kepala sambal berdecak lidah. Ia meringis saat menemukan tatapan pemilik koran
penuh kekesalan dan mengembalikannya.
“Pantas saja dia kaya
raya, mobil dua, rumah gedongan dua. Ternyata makan uang bagian hasil korup!”
Tukang becak berceloteh, meluapkan kekesalan demi obrolan hangat pagi ini.
“Betul itu! Sekarang
saja, mau diadili mendadak tiap kali sidang pakai sandal jepit, kaus, dan naik
angkutan umum. Minum saja ikutan seperti orang kecil. Pencitraan!” Kardi
menambahi.
Nartim berdeham,
sedikit terganggu dengan pembicaraan dua penduduk negeri ini yang main menelan
mentah berita-berita di media. Sementara tak jarang media memihak salah
satunya. “Jangan main tuduh yang belum jelas,” katanya. Kedua tangan Nartim
sibuk mengelap gelas-gelas basah.
Kardi meniup kepulan
asap kopi sebelum menyeruput sedikit demi sedikit. “Kalau tidak salah tidak
mungkin dipenjara, Pak Nartim,” kilahnya.
Nartim mendesah
panjang. Entah sampai kapan ini akan segera berlalu. Hidupnya terus digerogoti
kegelisahaan seperti ini.
***
Pagi ini Nartim
sedikit meneguhkan hatinya. Sekian lama ia hanya bertegur sapa dengan senyum
dan anggukan pada pelanggan setianya selama setahun ini. Kali ini, ia teramat
ingin membuka suara, meski sekadar bertanya kabar. Ia sudah bersiap saat
laki-laki itu datang memesan minuman seperti biasa.
Nartim menelan ludah
susah payah setelah ia meletakkan segelas teh tubruk di hadapannya. Ia
mencengkeram nampan di depan dada dengan kuat. Matanya nanar sebelum ia berucap
dengan bibir bergetar. “Bapak … apa kabar?”
Laki-laki yang tengah
menyesap teh itu tertegun. Ia sedikit terkejut dan mendongak menatap manik mata
Nartim. “Baik, Pak Nartim,” sahutnya kemudian. “Bapak dan istri sehat?”
Nartim tersenyum.
“Sehat, Pak,” ucap Nartim sembari mengangguk kecil. Ia kembali ke belakang.
Diam-diam ia menyeka ujung mata yang mulai tampak guratan keriput—menangis
tertahan.
Nartim hendak kembali
keluar saat ia telah berhasil menguasai tekanan dan sesak menahan tangis.
Namun, pelanggannya itu sudah pergi dengan meninggalkan selembar uang sepuluh
ribu rupiah di bawah gelas.
Ia masih sama, sejak
dulu hingga sekarang, selalu membayar lebih pada orang yang dipercaya.
Dengan tergesa pemilik
warung kopi itu keluar warung, demi menemuinya. Akan tetapi, tak ada siapa pun
di sana, kecuali Kardi yang duduk di kursi depan sembari berkipas ria dengan
handuk kecilnya.
“Cari siapa, Pak?”
Kardi mengikuti arah pandang Nartim ke seberang jalan.
Nartim tersentak
sembari menoleh ke arah Kardi, tapi sedetik kemudian ia menggeleng lesu.
***
Kardi menghela napas
dan mengembuskannya kasar. Ia menyandarkan tubuh yang mulai kebas karena lelah.
Menjadi tukang sapu menjaga kebersihan jalanan kota bukan perkara mudah. Ia
harus bangun lebih pagi dari penduduk lain sebelum lalu-lalang jalanan semakin
padat. Dua tahun berlalu menjalani pekerjaan ini, upah pun tak sanggup membawa
putri tunggalnya bersekolah di sekolah elit. Bisa bersekolah saja sudah untung.
Kembali dipertanyakan, ke mana keadilan hidup itu berada jika ia masih melihat
pejabat yang jelas mengais uang rakyat masih berdiri pongah?
Kardi menoleh saat
seseorang menyodorkan sebungkus gorengan di depannya. Ia menatap nanar pada
laki-laki yang memberinya kudapan ringan usai bekerja. Sedikit ragu Kardi
menerimanya. Ia tak enak hati menerima makanan itu setelah sempat
menggunjingnya di warung kopi Pak Nartim.
Dalam diam keduanya
menghabiskan camilan. Hingga laki-laki di samping Kardi terdiam menatap koran
bekas bungkus makanan yang usai ia ganyang ke dalam perut. Kardi menghentikan
kunyahan, menatap bingung dengan ekspresi lelah yang kemarin sempat ia sebut
sebagai pembantu tikus negara.
“Kenapa, Pak?”
Laki-laki itu menoleh
dan tersenyum, kemudian ia menggeleng. Ia pamit pergi setelah membuang bungkus
kudapan ke tempat sampah.
Sekelumit tanya
membuat Kardi urung menghabiskan makanan dan meraih bungkus yang telah berbaur
dengan sampah lain. Ada sebuah berita di sana, terpampang sebuah foto kecil dan
judul berita dengan huruf lebih besar dari isi berita.
“Pram, Peraih
Penghargaan Pengembang Keuangan Mikro Terbaik Se-Indonesia.” Kardi membacanya
dengan gumaman kecil. Beberapa detik kemudian, matanya terbelalak menyadari
foto yang sudah memudar terkena minyak. Namun, Kardi masih bisa menerkanya
dengan jelas.
Bergegas ia mengemas
sapu lidi dan alat kebersihan lain. Ini adalah berita besar yang terkubur
bertahun-tahun yang lalu. Berita yang telah banyak dilupakan manusia seantero
kota ini. Tergilas oleh masa atau bahkan tergilas oleh manusia yang sengaja
membuat perkara yang sesungguhnya fiktif belaka, demi menutupi perkara nyata.
***
Nartim mengurai air
mata di sisi jendela rumahnya yang hampir keropos. Mata tua yang ia miliki
masih sanggup melihat dengan jelas. Bahkan telinganya pun masih sanggup
mendengar suara dengan baik tiga tahun lalu, sebelum ia keluar dari tempat ia
mengais rezeki.
Suara amplop
terbanting keras di meja kaca membuat Nartim terkejut. Ia meremas serbet yang
biasa ia sampirkan di pundak saat bekerja di sebuah perusahaan perbankan besar
itu.
“Ambil amplop itu,
asal kamu singkirkan berkas dalam stopmap itu. Bila perlu … bakar hingga tak
bersisa. Saya ingin semua kinerja baik Pram hilang dari perusahaan ini.” Suara
laki-laki berperut tambun itu terdengar serak, tapi tatapan matanya membuat
orang kecil seperti Nartim mampu mengkerut karena takut. Kedua kaki bersepatu
hitam mengkilat terangkat ke atas meja, dengan tubuh tersandar ke sofa di ruang
kerjanya sore itu.
Nartim menelan ludah
susah payah. “Ba-bapak meminta saya menukar kebenaran dengan uang?” tanya
Nartim dengan suara bergetar.
Alis laki-laki berdasi
di hadapan Nartim itu terangkat. Ia bangkit dengan kedua tangan terjejal di
saku celananya. “Pemilik dokumen itu sudah pensiun, bukan? Tidak perlu khawatir
kamu dipecat karena berkhianat padanya. Saya direkturnya sekarang.”
Tangan Nartim bergetar
mengambil amplop di meja, sementara laki-laki itu tersenyum sinis menatap
keputusan OB di kantornya. Namun, belum sempat OB itu meraih amplop, ia
bergeming dan memejamkan mata. Ia menegakkan tubuh dan menatap atasannya
sejenak dengan mata berkaca-kaca.
“Maaf, Pak. Silakan
pecat saya.” Perlahan Nartim mundur. Sementara laki-laki berdasi itu mengambil
amplopnya kembali dan ia selipkan ke balik jas hitam yang ia kenakan.
Ia gagal membuat
Nartim menjadi perisainya, tetapi ia berhasil menyingkirkan orang yang mungkin
bisa mengendalikannya di meja hijau.
Nartim tertunduk
dalam. Embusan napas kasar berulang kali terdengar tatkala mengingat masa
lalunya. Baginya, Pram teramat baik untuk terjamah tangan-tangan kotor mereka.
Ia bangkit meraih topi usangnya di meja dengan tangan tak segemetar mulanya.
“Bapak yakin ingin
mengakhiri semuanya?” Suara wanita renta berbalut kebaya kumal muncul dari arah
pintu dapur. Sebelah tangan keriputnya menyentuh lengan sang suami yang kini
menatapnya getir.
Nartim kembali duduk.
“Saatnya kita membalas kebaikan Pak Pram, Bu. Dia sudah cukup bersabar dan
bertahan dengan segala kejujurannya. Waktunya dia mendapat keadilan.”
Aminah menatap Nartim
dengan mata sendu. Ia ikut duduk di samping suami yang selama ini menemani
menghabiskan sisa hidup bersama. “Bukan tidak mungkin justru kita yang lemah
ini akan ikut tergilas dan tersingkir, Pak.”
Nartim menghela napas,
menatap langit-langit rumah yang sesekali terlihat tikus melompat di sana-sini.
“Semoga di masa yang akan datang menantikan kita untuk merayakan kemenangan
atas jalan yang kita pilih, Bu.”
Nartim bangkit,
menepuk bahu istrinya, kemudian berlalu melalui pintu depan. Aminah tersenyum
dalam tangis. Karena pada kenyataannya, sang suami tak pernah kembali untuk
beberapa kurun waktu setelah palu di meja hijau diketuk.
Hingga media di hari
Minggu bertebaran, bertuliskan: “Pram Mendatangkan Lelaki Renta sebagai Saksi
Palsu”.
***
Di sebuah ruangan
tertutup, beberapa pria berperut tambun saling berkelekar. Kepulan asap rokok
menjadi pesta dengan gelak tawa penuh kemenangan. Masa yang mereka idamkan
telah tiba. Mejunjung jabatan dan kuasa mereka dengan menyumpal segala desus
kebenaran agar tak mencuat di meja hijau.
Biodata Penulis:
Anjar Lembayung.
Wanita kelahiran tahun 1990 ini mulai gemar menulis sejak bangku SMP. Mulanya
ia hanya berani menulis novel romance. Cerpen “Kisah Si Pelanggan Teh dan Pesta
Para Pria Tambun” adalah cerpen pertama yang ia tulis.
0 Response to "#Kamis_Cerpen - Tema Gelisah - Kisah Si Pelanggan Teh dan Pesta Para Pria Tambun - Anjar Lembayung - Sastra Indonesia Org"
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.