Sabtu, 22 Juni 2019

#Jumat_Cerbung - Karena Kamu Pangeranku Part 2 - Titin Akhiroh - Sastra Indonesia Org





Seorang perawat UGD memberitahu kamar tempat Ibu Arumi dirawat. Tak menunggu lama, Valerie dan Empat Sekawan bergegas menuju ruang perawatan. Gadis berkuncir kuda membuka pintu pelan. Terlihat sang ibu berbaring lemah dengan jarum infus menancap di pergelangan tangan kanan. Ia mendekat dengan tangis tertahan. Dikecupnya pipi ibu tercinta. Air matanya kembali tumpah melihat wanita yang melahirkannya dalam keadaan tak berdaya. 
“Valerie!” Tiba-tiba seorang wanita setengah baya memasuki ruangan. 
“Apa Anda yang membawa ibuku ke sini?” tanya Valerie sembari menghapus jejak basah di pipinya. 
Wanita paruh baya itu mengangguk. Tangannya mengelus lengan Valerie lembut. Seolah ingin memberi semangat untuk putri temannya itu. “Tadi ibumu pingsan cukup lama dan tidak segera sadar. Akhirnya ia dibawa kemari. Kamu sebaiknya bertemu dokter untuk mencari tahu kondisi ibumu. Tadi kami tidak bisa mendapat informasi karena dokter ingin membicarakannya dengan keluarga,” terang wanita yang merupakan teman ibunya bekerja.
“Terima kasih, Bu, karena sudah membawa ibuku ke sini,” ucap Valerie tulus dan wanita berseragam dengan tulisan nama pabrik konveksi mengangguk.
“Kalau begitu aku mau kembali ke pabrik. Besok, aku akan ke sini lagi.” Valerie menganggukkan kepala dan kembali mengucapkan terima kasih.
Sepeninggal teman ibunya, Valerie kembali menatap wajah pucat wanita yang begitu dicintanya. Saat itulah teringat pesan untuk menemui dokter. Ia menoleh ke arah Empat Sekawan yang berdiri kaku dekat ranjang sang ibu. 
“Apa boleh aku minta tolong lagi?” Valerie menatap Empat Sekawan bergantian. Satu per satu dari mereka mengangguk setuju. 
Sungguh ia merasa terbantu dengan keempat sahabatnya itu. Berkat mereka, perjalanan yang harus dilalui dengan naik angkot berulang-ulang, dapat ditempuh dengan waktu lebih cepat menggunakan mobil sport milik Ello.
“Tolong jaga ibuku sebentar, ya! Aku mau bertemu dokter,” pintanya dengan suara serak, efek terlalu lama menangis.
"Oke." Ello menyahut cepat. 
Valerie meletakkan tas di meja samping ranjang. Saat berbalik, Endra sudah berdiri di sampingnya.
“Aku temani menemui dokter.” Valerie mengangguk.
Keduanya melangkah ke luar dari ruangan untuk menemui dokter. Angin dalam lorong berembus semilir menerpa wajah sendu Valerie. Seolah paham dengan kekalutan teman sebangkunya, Endra meraih tangan mungil gadis yang menurutnya istimewa untuk digenggam erat.
Kepala Valerie mendongak. Kedua iris cokelatnya menatap Endra yang tinggi menjulang di sampingnya. Ada sedikit ketenangan yang menjalar dari tautan tangan mereka.
“Tenanglah, semua pasti akan baik-baik saja.”
Satu kalimat Endra ternyata cukup ampuh meredakan ketakutan dalam diri Valerie. Sungguh ia tak berani membayangkan jika sesuatu buruk terjadi pada ibunya. 
Dengan dibimbing si Pangeran Sekolah, ia kembali melangkah menuju ruang dokter. Endra mengetuk pintu. Tak berselang lama, suara berat lelaki menyahut untuk mempersilakan masuk.
“Silakan duduk!” ucap dokter itu menunjuk kursi di depan meja. Valerie melirik pada plat nama yang bertuliskan dr. Barry Poernomo. 
“Saya putri Bu Arumi. Sebenarnya Ibu saya sakit apa, Dok?” tanya Valerie dengan nada cemas. 
“Apa kamu satu-satunya keluarga Bu Arumi?” tanya Dokter Barry yang dibalas anggukan kepala oleh Valerie. 
Satu fakta yang baru Endra tahu tentang Valerie, bahwa satu-satunya keluarga adalah sang ibu. Lalu, ke mana sang ayah? Apa dia sudah meninggal? Berbagai pertanyaan berkelebat di benaknya seputar kehidupan gadis mungil itu. 
“Begini, aku tadi sempat berbicara dengan teman kerja ibumu. Ibumu dikenal sangat pekerja keras, di sinilah awal mula penyakit ibumu timbul. Bu Arumi mengalami infeksi selaput otak, atau biasa disebut meningitis. Ini cukup berbahaya jika tidak ditangani dengan segera.”
Penjelasan dokter seperti petir yang begitu mengejutkan Valerie. Bahkan Endra yang duduk dan masih menggenggam tangannya tak kalah memasang wajah terkejut. 
“Lalu, tindakan apa yang harus dilakukan?” tanya Valerie serak menahan bulir bening yang bertumpuk di pelupuk mata.
“Kami masih belum bertindak banyak karena kondisi ibumu masih belum stabil, bahkan sekarang beliau masih belum sadar. Namun, tindakan yang pasti, kami akan melakukan kemoterapi untuk mengurangi infeksi yang terjadi,” terang dokter Barry. 
Satu per satu bulir bening meluncur di pipi tirus Valerie. Endra melirik sekilas, tak tega melihat kesedihan teman sebangkunya itu.
“Terima kasih informasinya, Dok. Kami permisi dulu.” Endra mewakili Valerie yang bergeming kaku. Dokter Barry menganggukkan kepala dengan wajah iba yang tak bisa disembunyikan. 
Endra sadar pasti tidaklah mudah berada di posisi Valerie. Dipaksa menerima kenyataan akan keadaan ibu yang sekarat. Terlebih temannya itu sama sekali tak memiliki sanak keluarga untuk mendampingi atau sekadar memberi semangat. Dengan lembut, ia menarik tangan Valerie keluar dari ruangan.
Keduanya berjalan beriringan. Hawa dingin langsung menyergap kala mereka melewati lorong rumah sakit. Langkah Valerie kian memberat. Bebannya kali ini cukup membuat frustrasi. Sampai ia sendiri tidak tahu bagaimana harus mencari solusi. Ia menarik diri dari tangan Endra. Bangku yang berjajar di koridor menjadi tempat pelampiasan gundah. Gadis cantik itu terduduk lemas dengan kedua tangan menutup wajah. Tubuhnya bergetar oleh isakan keras. 
Perlahan Endra mendekat, lalu ikut menghempaskan diri di kursi besi. Sebelah tangannya terangkat untuk mengusap lembut kepala Valerie. Berharap bisa memberikan ketenangan.
“Aku harus gimana, Ndra?” Valerie bersuara di sela tangisnya. 
Kedua tangan Endra menarik Valerie dalam dekapan. “Tenang, Rie! Semua pasti akan baik-baik saja.” Ia mencoba menenangkan gadis itu sembari mengelus punggung mungil yang begitu rapuh. 
“Bagaimana jika sesuatu terjadi pada ibuku? Aku akan sendiri. Aku harus bagaimana, Ndra?”
Dada Endra sudah basah oleh air mata Valerie, tetapi ia sama sekali tidak keberatan. Asalkan temannya dapat kembali tersenyum, ia rela menjadi tempat pelampiasan sedih. Entah kenapa mendapati gadis bermata indah itu menangis, hatinya ikut teriris perih. 
“Jangan bicara begitu! Kita berdoa saja, semoga ibumu cepat sembuh. Kamu juga tak perlu merasa sendiri, ada aku yang akan selalu menemanimu. Aku dan Tiga Sekawan akan selalu ada buatmu,” hibur Endra untuk menenangkan gadis mungil itu. 
Setelah cukup lama berpelukan, tangisan Valerie berhenti. Wajahnya merona saat ia melepaskan diri. Hanya sebuah dekapan sudah membuat perasaan kalutnya membaik. Entah sejak kapan kehadiran Endra menjadi terasa berarti baginya.
“Ayo, kembali ke kamar! Siapa tahu ibumu sudah sadar dan mencarimu,” ucap Endra menutupi kegugupannya. Ia bangkit dan membantu Valerie berdiri, lalu kembali melanjutkan langkah ke ruang rawat inap. 
“Terima kasih, Ndra, sudah mau menemaniku.” Valerie menoleh sekilas.
Endra tersenyum diiringi anggukan kepala. “Sama-sama. Jangan sedih lagi, ya!” 
Dari kejauhan tampak Ello, Juno, dan Garin duduk di bangku depan ruangan. Endra dan Valerie mendekat ke arah mereka. 
“Apa ibunya Valerie sudah sadar?” tanya Endra sesaat setelah berdiri tepat di dekat Tiga Sekawan. 
“Belum.” Garin menggeleng pelan. 
“Apa kata dokter?” tanya Juno.
“Hanya kecapekan jadi butuh istirahat.” Valerie menjawab dengan mata menatap Endra penuh arti.
Endra mengerti, mungkin Valerie masih enggan menceritakan keadaan ibunya yang sekarat. Ada percikan rasa bahagia mengingat si Cantik berambut cokelat gelap hanya percaya padanya.
“Yang sabar, Rie. Aku yakin ibumu akan sembuh,” doa Ello tulus. 
Valerie mengangguk. “Terima kasih untuk kalian karena sudah membantuku,” ujarnya dengan melempar senyum tipis nan manis. 
Empat Sekawan hanya mengangguk singkat. Ello menyodorkan air mineral ke arah Valerie dan Endra. Tangan Valerie terulur meraih botol. Ia tersentak mengingat sesuatu. 
“Apa kamu tidak pergi kerja?” Valerie menatap lelaki berambut panjang itu tengah meneguk air. 
Endra menggeleng. “Bolos.”
“Kenapa harus bolos? Masih ada waktu untuk bersiap,” sahut Valerie setelah melihat jam pada ponselnya. 
“Sekali-kali bolos nggak masalah, Rie. Tinggal telepon bos juga beres,” jawab Endra santai. 
“Ini sudah sore bahkan sudah menjelang malam. Apa kalian tidak sebaiknya pulang?” Bukan niat hati Valerie mengusir Empat Sekawan yang sudah menolongnya. Hanya saja ia tidak ingin banyak merepotkan mereka.
“Kami mau menemanimu di sini,” balas Garin. 
“Aku tidak masalah tinggal sendiri, kalian pulang saja,” desak Valerie. 
“Yakin tidak mau kita temani?” Juno mencoba meyakinkan teman cantiknya itu. 
Valerie menganggukkan kepala mantap. “Yakin dan terima kasih banyak.”
“Baiklah, kita pulang sekarang. Jika nanti ada apa-apa, telepon aku. Aku akan datang kemari.” Lagi-lagi Valerie mengangguk dengan mengulas senyum menanggapi ucapan Endra.

***

Endra bersama tiga sahabatnya berada dalam mobil Ello. Ello sibuk menyetir dengan Garin yang duduk di sebelah, sedangkan ia dan Juno bersandar nyaman di jok belakang. Secara umum posisi tetap sama saat berangkat ke rumah sakit, hanya minus Valerie.
“Aku nggak bisa membayangkan gimana paniknya Valerie,” ucap Juno memecah keheningan. 
“Dia gadis yang kuat, belum tentu aku bisa setegar dia,” Garin menyahut dengan bibir mengeluarkan kabut tipis, hasil pembakaran tembakau dan nikotin.
“Dia cuma hidup bersama ibunya. Untuk itu, dia tampak terpukul sekali,” sahut Endra sembari mengisap rokok.
“Memang ayahnya ke mana, Ndra?” tanya Ello dengan fokus menyetir mobil. 
“Aku nggak tahu. Valerie nggak pernah cerita dan aku nggak pernah tanya,” jawab Endra. 
Endra memandang jauh ke luar mobil. Ingatan akan Valerie yang menangis sedih dalam pelukannya kembali berputar. Pikirannya dipenuhi wajah cantik berbibir mungil yang pasti kesepian menunggu sang ibu. Kini, ia telah mengetahui sisi lemah gadis itu. Tebersit keinginan untuk bisa menjadi penguat bagi Valerie.
“Berarti Valerie itu selain menarik juga misterius, ya,” ucap Ello membuyarkan lamunan Endra.
“Sekali rahasia terungkap, selalu membuatku tercengang.” Garin menutup perbincangan seputar Valerie. 
Keempat sahabat itu mulai terlarut dalam obrolan seputar musik. Sesekali tawa berderai di dalam kendaraan mewah beroda empat itu. Sampai Endra merasakan getaran dalam saku celana. Diraihnya ponsel pintar dan mulai membaca pesan. Senyumnya seketika terbit, hingga tak sadar jika Juno tengah memperhatikan. 
“Chat dari siapa, Ndra?” tanya Juno kepo. 
“Valerie, dia bilang ibunya sudah sadar.”
“Alhamdulillah,” ucap Tiga Sekawan serentak.

***

Valerie kembali teringat kejadian yang dialaminya siang tadi. Masih terbayang jelas dirinya yang panik dan bingung mendengar kabar sang ibu pingsan. Beruntung ada Endra, Ello, Garin, dan Juno yang sigap membantu dengan mengantarnya ke rumah sakit. 
Namun, dari keempatnya, Valerie tak pernah berhenti memikirkan Endra. Masih terasa sampai sekarang genggaman tangan dan pelukan hangat lelaki tampan itu. Ketika ia hampir tidak kuasa menahan tangis gundah, teman sebangkunya itu menghiburnya. Tatapan mata tajam bernetra cokelat begitu lembut, hingga menariknya dalam pusaran damai. Endra adalah satu-satunya sosok maskulin yang membuatnya nyaman. 


Valerie duduk dengan pandangan terpaku pada sang ibu yang belum sadarkan diri. Ia sudah tidak menangis, mungkin karena kelenjar lakrimalis sudah terkuras habis. Hanya doa yang selalu terpanjat sedari tadi. Permintaannya tak muluk, ia hanya ingin ibunya sembuh dan sehat seperti sedia kala. 
Dalam keheningan malam seperti ini, kembali membangunkan sentimentil Valerie. Ia berandai-andai akan hal yang sebenarnya mustahil untuk tercapai. Andai saja punya uang banyak, pasti sang ibu tidak akan sakit seperti sekarang. Jika ayahnya ada, maka hidupnya tidak menderita. Semua ini karena dia. Sosok yang dianggap terlalu jahat dan tega menyakiti ibunya.
Valerie menghalau buliran bening yang hendak menerobos jatuh dari balik palpebra. Selalu saja seperti ini setiap teringat lelaki tua itu. Ia mengembuskan napas, berharap dapat menghilangkan sesak dalam dada.
Beberapa saat kemudian, sang ibu mulai membuka mata. Dengan cepat, Valerie memanggil dokter untuk kembali memeriksa. Dalam perasaan lega itulah, satu nama terlintas di benaknya. Ia mengambil ponsel, lalu mengirim chat untuk seseorang yang berarti dalam hidupnya.

***

Mungkin karena masih terpengaruh obat, hingga Ibu Arumi kembali tertidur pulas. Valerie masih duduk termenung di kursinya. Setiap detik terasa berjalan lambat. Untuk membunuh kejenuhan, ia memainkan game Solitaire dalam ponselnya. 
Terdengar pintu terketuk pelan. Ia hendak bangkit, tetapi urung ketika melihat pintu kamar terbuka lebar. Detik berikutnya muncul seseorang yang begitu dikenalnya. Endra memasuki ruangan dengan senyum mengembang sempurna. 
“Bagaimana kondisi ibumu?” tanya Endra menghampiri ranjang dengan kedua tangan menggenggam tas. Tangan kanannya membawa tas warna hitam cukup besar, sedangkan tangan satunya membawa kantong berlogo makanan Jepang.
“Sudah lebih baik, tapi karena masih terpengaruh obat, jadi ibu kembali tidur.”
Endra mengangguk mengerti. “Ini aku bawa baju ganti, handuk, dan peralatan mandi. Lalu, ada makanan juga. Seharian kamu belum makan nasi, ‘kan?” ucapnya seraya menyerahkan dua tas pada gadis cantik di depannya. 
“Terima kasih, Ndra. Jadi merepotkanmu.” Valerie tersenyum. Perasaan bahagia membuncah di hatinya karena mendapat perhatian dari lelaki setampan Endra. 
Endra tersenyum. “Makan dulu, gih! Mumpung nasinya masih hangat.”
“Nanti saja, aku mau mandi dulu, badanku sudah lengket semua,” ujar Valerie sebelum pergi menuju kamar mandi yang terletak di luar ruangan perawatan.
Dalam kamar mandi, Valerie membuka tas besar dan mengambil handuk beserta tas kecil berisi peralatan mandi. Hebatnya semua masih baru. Ada sabun cair, sampo, sikat gigi, pasta gigi, sisir, hingga parfum. Ia tersenyum sendiri, membayangkan Endra bisa menyiapkan semua kebutuhan mandi secara detail.
Valerie mulai mandi. Bersentuhan dengan air membuatnya segar kembali. Tak lupa ia mencuci rambut dan mengakhiri ritual bersih-bersih dengan menyikat gigi. Setelah itu, ia meraih handuk dan mulai mengeringkan tubuh. Tadi saat ia membuka tas, tak sengaja melihat baju bersih di dalamnya. Ia pun kembali membongkar isi tas Endra.
Benar saja, di dalam tas terdapat baju ganti dan sepasang sandal lucu berwarna merah muda. Keningnya mengernyit bingung. Ia pikir baju ganti yang dibawa Endra, adalah baju milik lelaki itu sendiri. Ternyata kaus dan celana itu masih baru, berlogo tiga balok miring warna pink. Di dada sebelah kiri terdapat bordir logo dengan warna putih, sedangkan celana berwarna abu-abu dengan panjang tiga perempat. Tentunya masih dengan brand sama. Ia cukup tertegun melihat banderol harga yang mahal. Sepertinya Endra lupa melepas labelnya. 
Akhirnya dengan sedikit ragu, Valerie memakai celana dan kaus itu. Tampak sedikit kebesaran di tubuhnya yang mungil. Selesai berpakaian, ia menyisir rambut basahnya dan memakai parfum sebagai sentuhan akhir. Kembali bibirnya tersenyum melihat sepasang sandal lucu berwarna senada pakaian. Lagi-lagi perasaannya menghangat mendapat perhatian dari lelaki paling tampan di sekolah. Andai saja dirinya berada pada strata sosial sama, mungkin tidak ada rasa rendah diri setiap dekat Endra. 
Valerie keluar dari kamar mandi dan berjalan menuju ruangan ibunya. Saat ia membuka pintu, Endra yang tengah mengetik di layar ponsel sontak mengangkat kepala. Bibir penuh itu tersenyum lebar melihat penampilannya. 
“Sepertinya agak kebesaran, tapi lebih baik daripada harus memakai seragam sepanjang malam,” ucap Endra, lalu memasukkan smartphone dalam saku jaket. 
“Terima kasih, aku suka bajunya.” Valerie tersenyum dan dibalas senyum tak kalah manisnya dari lelaki bermata tajam itu.
“Lagi apa?” tanya Valerie memecah suasana yang berubah canggung. 
“Balas chat Tiga Sekawan. Makan dulu, Rie!”
Valerie mengangguk. “Di luar saja, yuk!” ajaknya dengan tangan menenteng kantong makanan. Keduanya melangkah ke luar kamar, lalu duduk di bangku depan ruangan. 
“Ayo, makan sama-sama!” Valerie membuka kotak makanan dan menawarkan isinya pada Endra. 
“Aku sudah makan. Lagian itu punyamu.” Endra menjawab dengan tangan membuka tutup botol minuman untuk gadis di sampingnya itu. 
Dengan menggunakan sumpit, Valerie mulai melahap makanan. Ternyata makan ditemani seseorang yang spesial membuat perasaan menjadi senang. Ingin rasanya waktu berhenti, sehingga bisa merasakan bahagia seperti ini lebih lama.
Valerie menelan suapan terakhir. Kotak dan sumpit bekas makan dikumpulkan ke dalam kantong. Ia meraih botol minum guna membasahi kerongkongannya yang mengering. Selesai dengan semua, ia membuang sampah ke tong dekat tiang.
“Terima kasih, Ndra.”
“Dari tadi makasih melulu, biasa saja kali, Rie.” Endra mengibaskan satu tangannya. Baginya apa yang dilakukan sekarang bukanlah sesuatu spesial. Paling penting, ia mampu membuat Valerie nyaman dan bahagia di sisinya. 
“Rie, keluar, yuk! Aku pingin merokok,” ajak Endra memecah keheningan. 
Valerie mengangguk. Kini, keduanya berjalan menelusuri lorong menuju taman di luar rumah sakit. Mereka duduk di bangku taman dekat patung air mancur.
Bunyi pemantik disertai kepulan asap putih beraroma tembakau bercampur mint, mulai tercium di hidung Valerie. “Kapan kamu mulai merokok?” tanyanya sesaat setelah Endra menyulut sebatang rokok dan mengisapnya. 
“Sejak masuk SMA.”
“Tiga Sekawan juga?”
Endra mengangguk. “Tapi Juno yang sudah jadi perokok berat.”
“Kenapa suka rokok?”
“Aku pikir dengan merokok bisa menghilangkan penat. Ya ... semacam refreshing. Walaupun sebenarnya juga banyak efek negatifnya.” Endra tersenyum sembari mengembuskan asap yang kemudian menguap terbawa angin. 
“Sudah tahu bahayanya, tapi kamu tetap merokok.” Valerie berceletuk. Sementara, Endra mengangguk, kemudian kembali mengisap batang kecil warna putih terselip di jari tengah dan telunjuk. 
“Apa kamu tidak keberatan jika aku merokok?” tanya Endra dengan menoleh ke wajah lawan bicaranya. 
“Kenapa harus keberatan?” Alih-alih menjawab, Valerie justru bertanya balik. Raut bingung tergambar jelas di wajah pucatnya. 
“Biasanya cewek selalu mengeluh kalau ada cowok yang merokok.”
“Anggap saja aku cewek yang nggak biasa.” Endra terkekeh mendengar ucapan diplomatis Valerie.
Untuk beberapa saat, mereka kembali diam. Angin malam terasa mulai menusuk tulang. Valerie menengadahkan kepala, menatap langit yang tampak penuh dengan kerlipan bintang. Duduk beratap angkasa pekat penuh taburan cahaya gemintang bersama Endra, rasanya seperti memenangkan sebuah hadiah besar. Sontak saja hatinya merasa bahagia.
“Bagaimana perasaanmu sekarang?” 
Valerie menoleh, mengunci tatapan Endra. “Jauh lebih baik. Terima kasih.”
“Makasih lagi? Apa nggak ada yang lain, selain ucapan makasih,” timpal Endra sembari tersenyum menggoda. 
Seperti tersihir, tanpa sadar Valerie mengecup pipi kiri sang pangeran sekolah. Tubuh Endra menegang dengan jantung berdetak tak keruan. Sementara ketika tersadar, Valerie mulai menyalahkan diri telah bertindak impulsif. Ia benar-benar malu sekarang, bahkan wajahnya terasa memanas.
“Ehm ... ini lebih indah dari ucapan terima kasih,” ucap Endra berusaha menutupi perasaan bahagianya. 
Wajah Valerie semakin memerah. Ingin rasanya ia mengubur diri dalam-dalam karena malu. 
Endra menahan senyum melihat si Gadis cantik salah tingkah dengan rona tersipu. Meskipun Valerie memalingkan wajah ke arah lain, tetapi tak sulit baginya untuk menebak. 
Menit bergulir lama, mereka tetap bergeming dalam suasana canggung. Tak ada yang bersuara, bahkan sampai Endra selesai menghabiskan sebatang rokok.
“Apa besok kamu masuk sekolah?” tanya Endra mengikis rasa canggung antara dirinya dan gadis di sampingnya. 
Valerie tak menjawab. Ia memilih menganggukkan kepala. 
“Besok, aku jemput.”
Sontak Valerie menoleh. “Aku harus pulang dulu ke rumah, untuk ganti seragam dan ambil buku.”
“Bukan masalah, aku menjemputmu di sini pagi-pagi, lalu mengantarmu ke rumah. Nah, baru nanti kita berangkat ke sekolah.”
“Apa nggak merepotkanmu?” Endra cuma menggeleng.
Valerie tersenyum sembari memandang lekat wajah tampan di sampingnya. “Sifatmu sesuai dengan namamu.” 
Endra mengernyit bingung. 
“Namamu adalah Tarendra. Dalam bahasa sansekerta artinya pangeran yang mulia. Sifatmu mulia seperti namamu.” 
Endra tersenyum penuh arti, kemudian mengusap lembut rambut lembut sedikit basah milik Valerie. “Kamu cantik penuh cinta, seperti Peri Valentine. Valerie ....” 
Jantung Valerie hampir melompat keluar mendengar ucapan Endra. Ia tidak menyangka bahwa teman tampannya itu tahu arti nama dari Valerie ... Peri Valentine.
“Sudah malam, aku pulang dulu.” Endra bangkit dari bangku taman. “Selamat malam, Valerie,” pamitnya dengan senyum merekah. 
“Selamat malam, Endra,” balas Valerie. 
Endra membalikkan badan. Namun, baru dua langkah, ia memutar tubuhnya kembali. Dipandangnya paras ayu yang mulai berubah menjadi candu. 
Kening Valerie berkerut melihat Endra tersenyum padanya. Secara tiba-tiba lelaki itu maju mendekat. Dalam sekerlip mata, bibir penuh itu menempel di dahinya. Satu kecupan lama diberikan teman spesialnya, sebelum menarik diri. 
“Sampai jumpa besok, Valerie,” bisik Endra dekat dengan wajah gadisnya yang memerah. 
Tbc

Pati, 21 Juni 2019


Biodata:


Penulis lahir di Malang, tepatnya tanggal 28 Desember. Namun sekarang, tinggal bersama suami di Pati. Mulai belajar menulis sejak Agustus tahun lalu. Sejauh ini sudah menerbitkan tiga buku antologi, sedangkan antologi keempat dan kelima masih dalam proses pengeditan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.