Rabu, 19 Juni 2019

#Jumat_Cerbung - Mustika - Part 1 - Indah Kusuma - Sastra Indonesia Org




Alas Purwo. Orang bilang, tempat yang menjadi asal-muasal dari semua ilmu di tanah Jawa, baik itu kesaktian maupun ilmu hitam. Konon, gua-gua yang tersebar di tengah belantara, menjadi tempat bertapa para raja. Bahkan Bung Karno juga dikabarkan sempat mampir untuk mencari wangsit.
Nyi Roro Kidul, digadang-gadang sebagai penguasa alam gaib hutan itu. Kerajaan jin, begitulah orang 'pintar' menyebutnya. Di gua Istana, memang terdapat ruang yang telah dihias layaknya bilik ratu dalam drama kolosal, ranjang lengkap dengan aksesoris kerajaan. Dia pernah mengunjunginya, dulu, ketika masih berumur sepuluh tahun.
Tak dipungkiri memang jika taman nasional itu tersohor beraroma mistis. Semua situs di internet juga membahas tentang sisi gelapnya, tanpa menilik pesona alam yang disajikan.
Putra pun mulai penasaran akan mitos yang bertebaran, tentang mereka yang tak kembali. Orang bilang, “kalau pergi ke sana, harus dengan maksud dan tujuan yang jelas. Jika tidak, siap-siaplah dibawa ke alam lain”.
Benarkah mitos itu atau sekadar bualan untuk menakut-nakuti?
Rasa penasaran yang membuncah, bergumul di hati dan mulai merasuki otak pria 25 tahun itu. Malam ini, tepat satu Suro, dia akan mencari tahu kebenarannya.
"Putra, kamu mau ke mana?" Wanita paruh baya yang terduduk di dipan menegur. Terlihat di mata indahnya, kerut yang meneriakkan kode larangan.
"Aku ... mau ke rumah Wandra, Bun. Orang tuanya ke luar kota. Dia meminta Putra menginap di sana." Alibi yang mungkin akan diragukan, tapi kebulatan tekadnya tak boleh pupus.
Wanita itu mengernyit. "Jujur sama Bunda, kamu mau ke mana?"
Ah, feeling seorang ibu memang tak pernah salah. Dia harus bagaimana sekarang? Jika berkata jujur, beliau pasti akan melarang Putra. Itu sudah jelas, mengingat bagaimana tabiat ayahnya dulu.
Darah lelaki itu ada dalam tubuhnya. Mungkin inilah penyebab mengapa Putra selalu penasaran dengan hal-hal gaib. Bedanya, dia tidak menyukai benda-benda pusaka atau percaya betul akan keberadaan makhluk tak kasat mata. Lain halnya dengan ayahnya yang begitu tergila-gila. Beliau begitu percaya akan segala sesuatu yang berbau magis.
Mungkin akibat kelamnya masa lalu. Di tahun 1998, kedua orang tua sang ayah, kakek, dan nenek Putra meninggal oleh santet, begitu pun sanak saudaranya. Perebutan tanah diduga menjadi awal mula dari peristiwa tragis. Kala itu, Putra yang masih anak ingusan, hanya bisa mengamati dalam diam. Ayahnya menyimpan dendam dan mulai berburu mustika yang diyakini sebagai tolak bala.
Hah, semua itu masa lalu. Toh pria tua itu sudah pergi akibat ditikam penduduk kampung. Mereka mengira ayah Putra adalah salah seorang penganut ilmu hitam. Mungkin karena benda-benda keramat koleksinya. Entahlah.
Setelah kematian sang ayah, ibunya membuang semua barang yang dianggap menyimpan aura mistis, kecuali ... benda yang ada di tangan Putra sekarang.
"Bawa ini bersamamu," ujar wanita itu.
Kalung dengan liontin berwarna hijau. Hampir serupa dengan giok, tapi lebih terang. Di bagian tengah, ada motif serupa jalur Gumitir yang meliuk-liuk. Entah kenapa dia masih menyimpan benda itu.
Dunia gaib memang sulit dipercaya, bahkan Putra pun ragu untuk meyakininya. Inilah saat yang tepat bagi dia untuk membuktikan, benarkah kalung di tangan seperti anggapan sang ayah--mustika Ratu Kidul--atau hanya sekadar perhiasan. Jika benar wanita itu adalah pemiliknya, maka Putra akan mengembalikan benda yang seharusnya tidak ada di rumah.

***

"Putra, kamu yakin ini Alas Purwo? Kalau kita nyasar gimana? Balik, yuk, Put!" Wandra mencengkeram lengan Putra seperti banci. Hah, dia telah salah memilih kawan untuk petualangan kali ini.
"Katanya mau uji nyali, cari memedi, demit, dan bala kurawanya. Kenapa sekarang begini? Payah!" ucap Putra sembari melajukan Honda Civic di tengah rimba.
Gelap, mereka seperti memasuki lorong panjang tanpa celah dengan senter di tangan. Belum menginjak tengah malam, tetapi aura mistis sudah terasa begitu kuat. Mungkin di sekeliling mobil butut ini telah ada genderuwo atau sejenisnya. Layaknya tamu yang disambut hangat, begitukah?
Putra mengabaikan bulu kuduk yang meremang. Pandangannya tetap fokus ke depan dan berharap tidak ada kuntilanak atau makhluk menyeramkan lain muncul di tengah jalan.
"Bray, balik, yuk!" Rengek Wandra.
"Nyalakan kamera! Kita lihat, apakah ada setan narsis di tempat ini?" balas Putra.
Di tengah perjalanan, terlihat kedai kecil di kiri jalan. Bangunan sederhana berdinding anyam bambu. Putra menghentikan laju Civic. Secangkir kopi dan obrolan ringan, mungkin dia bisa menemukan informasi dari pemilik kedai.
"Permisi, Pak," sapa Putra pada pria bersurai putih yang duduk di dipan.
"Oh, Mas. Monggo ... monggo," sahut pria itu dengan senyum ramah.
Setelah memesan kopi hitam, lelaki itu duduk bersila di hadapan mereka. Tepat!
"Cuma berdua?"
Putra mengangguk, sementara Wandra asyik merekam suasana sekitar dengan handycamp.
"Mau cari apa malam-malam begini, hem? Ilmu kebal? Atau ... akik?"
"Tidak, Pak! Kami hanya ingin ...."
"Mau mencari kebenaran mitos?" tukas pria bernama Sajiman. Lelaki itu seakan tahu apa yang ada dalam benak Putra. Anak muda itu terdiam dan menunduk.
Wandra yang semula tak henti bergerak, kini mematung, sama terkejutnya dengan Putra. Dia meletakkan handycamp di pangkuan dan mulai mendengarkan.
"Banyak anak muda datang hanya untuk mencari pembuktian. Sama seperti kalian. Memasang kamera di sana-sini." Pak Sajiman menghela napas, "saran Bapak, urungkan niat itu."
Desir angin melintasi tengkuk Putra. Bukan udara yang berembus di sela-sela dahan, lalu turun menyapa. Namun, ini seperti tiupan. Seperti ada seseorang yang meniup tengkuknya.
Sepersekian detik, dia membalik badan. Kosong. Sejauh mata memandang, hanya terlihat barisan pohon yang tegak berdiri di kegelapan. Mungkinkah dia salah?
Pak Sajiman tersenyum tipis. "Kalau mau datang ke sini, niatkan untuk berwisata. Sudah terlalu banyak manusia yang keblinger. Jadi, jangan ditambah lagi." Pria itu beringsut dari dipan, melangkah perlahan di tanah kering.
"Pak!" seru Putra menghentikan gerak kakinya. "Bapak tahu di mana saya harus mengembalikan ini?"


Putra mengeluarkan liontin yang rupanya tengah menyala, hijau tosca. Dia tersentak, itu di luar akal sehat. Benda yang terpikir hanya batu biasa, entah kenapa terasa hangat di telapak tangannya.
Ternyata, bukan Putra saja yang merasakan keanehan ini. Wandra, bahkan Pak Sajiman, keduanya juga tampak terkejut. Lebih-lebih pria tua itu yang notabene juru kunci rimba.
Dia cukup tertarik dengan benda yang ditunjukkan Putra. Sesekali dia menatap pria itu, lalu kembali mengamati kalung yang telah berpindah tangan.
Detik terus berlalu, Putra berharap akan mendapatkan jawaban dan segera mengembalikan benda bermata hijau.
"Bawa kalung ini ke Gua Istana. Kamu akan menemukan jawabannya di sana," ucap Pak Sajiman. Dia masuk rumah setelah mengembalikan liontin itu.
"Bray." Wandra mengangkat kedua alis, mimik wajahnya mengisyaratkan tanya.
Putra hanya bisa mengangkat pundak sebagai balasan. Lalu, dia mengenakan kembali kalung pemberian ibu dan bergegas menuju Civic Wander untuk melanjutkan perjalanan. Masih ada sekitar dua hingga tiga kilo lagi untuk sampai ke pos Pancur.
Malam semakin larut, suara-suara kegelapan menggema tak berdosa. Gesek dedaunan yang tertiup angin, serangga yang berderik, burung hantu dan gagak yang bersatu bak paduan suara, mengubah rimba menjadi arena pertarungan yang mencekam.
Binar lampu penerang jalan mulai tampak di radius dua ratus meter. Tetiba ....
"Allahu Akbar! Pulang, Bro! Pulang!" Bagai kucing tersiram air, entah apa yang membuat Wandra kalang kabut dan ingin terbang dari kursinya. Dia menarik-narik kaus Putra, seperti ingin mencabiknya dan membuat sang sahabat pulang tanpa busana. Putra menghentikan laju roda empat.
"Bro, balik! Sumpah, balik, yuk!"
Jika dia bayi, mungkin Putra akan menuruti. Tapi ... ah, sial! Ingin sekali dia menendang bokongnya.
"Bisa diam? Pos Pancur udah di depan mata. Kamu bisa tunggu di pos dan aku akan ke gua sendiri. Oke?" sergah Putra ke pria yang gemetar dan bermandikan peluh.
"Aku tadi ... tadi." Wandra menatap pria di sampingnya. Air muka lelaki itu pucat. Entah apa yang membuatnya kacau seperti ini. Makhluk astral ... mungkinkah?
Putra menengok ke belakang, hanya hutan belantara dan tak ada apa pun selain barisan pohon. Dia bahkan menunggu selama beberapa menit, meneliti makhluk yang mungkin berkamuflase dengan gelapnya malam.
Nihil, masih tak terlihat apa pun. Tak ada lagi yang bisa Putra perbuat selain memelototi Wandra. Tubuh lelaki itu masih gemetar, seakan-akan ingin mengatakan apa yang telah dilihatnya. Namun, Putra tak peduli, mustika atau apalah itu harus segera dia kembalikan. Pedal gas kembali terinjak.
Keramaian di tengah hutan, seperti yang pernah terdengar, ada di depan mata. Menghapus kesan sunyi yang terbawa, sejak dia memasuki kawasan Taman Nasional Alas Purwo.
"Hah, pemburu ilmu dan kekayaan, inikah wajah-wajah mereka," monolog Putra sembari memandang satu per satu paras manusia di sekitar.
Tak hanya kaum pria, ada pula wanita yang memegang sesaji di tangan.
"Bro, aku ... aku tunggu di sini aja, ya. Kalau mau bawa kamera, bawa aja." Wandra bergegas keluar menuju warung kopi setelah mobil terparkir di samping pos jaga.
"Dasar pengecut!" umpat Putra.
Udara dingin menyapa kala kakinya berpijak di tanah kering. Dia melirik handycamp. Haruskah pergi bersamanya?

***

Dengan senter dan handycamp di kedua tangan, Putra mulai mebapaki jalan sempit yang mengarah ke dalam hutan. Aroma dupa begitu menyengat, terlebih saat dia melewati makam Mbah Dowo.
Tak sedikit manusia berkumpul di sana. Duduk bersimpuh dengan sesaji di depan mereka. Yang terdengar, makam sepanjang dua meter itu tak pernah berisi jasad manusia, tapi sebuah pusaka buatan Empu Bandara. Di sanalah, para pencari kekayaan bermunajat.
Putra kembali melangkah. Dari pos Pancur, butuh sekitar dua jam untuk sampai ke gua terbesar di Alas Purwo, tempat yang menghubungkan dunia manusia dengan Kerajaan Pantai Selatan. Jalan setapak yang rimbun dan pastinya ... gelap.
Bukan dedemit yang dia takutkan, tapi harimau atau singa. Karena populasi mereka masih cukup banyak di hutan seluas lebih dari empat ratus kilometer persegi ini.
Beruntung, dia tak sendiri. Ada jejak-jejak kaki di belakang. Tak hanya satu, tapi beberapa orang yang semakin mendekat ... sangat dekat.
Ketika langkah mereka beriringan, barulah dia tahu bahwa keduanya bukanlah manusia. Bayang hitam tanpa rupa. Putra memejamkan mata kuat-kuat dan berusaha menghapus halusinasi gila itu.
"Siapa kalian? Pergi ... pergi!"
"Selamat datang di Kerajaanku, Putra."
Putra tersentak. Suara seorang wanita. Kerajaan? Apa maksudnya? Dan bayang-bayang itu ... dia kembali bertanya-tanya.
Jantungnya berdegup kencang tanpa alasan. Lagi-lagi Putra merasakan udara dingin menyapa tengkuk. 'Tidak! Ini halusinasi. Iya!'
Putra menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya sembari membuka mata.
“Astagfirullah, nyatakan apa yang kulihat?”
Ruang luas dengan pernah-pernik yang kulihat dalam drama kolosal. Payung emas beratap sutra hijau. Vas bunga raksasa, bejana, perabot bahkan dindingnya berwarna emas. Cat ataukah memang batu berharga yang menyusunnya?
"Putra." Jemari lentik menyentuh pundak lelaki itu. Cantik. Satu kata yang bisa mengungkapkan wujud pemiliknya.
"Dari mana kamu tahu namaku?"
Telapak tangan wanita bersurai panjang meraba leher, dan berhenti tepat di depan jantungnya yang berdetak cepat. Kemudian, dia tersenyum. Senyum terindah yang pernah terlihat Putra.
"Tentu aku mengenalmu. Karena selama ini, aku ada di sini."
Bergegas dia melepas rantai yang mengalung di leher. "Ini milikmu? Ambil ini dan biarkan aku pergi!"
Putra melempar benda sialan itu ke lantai berlapis permadani. 'Menjijikkan! Seorang wanita, secara diam-diam, menguntitku. Ah, sial!' umpatnya dalam hati.
Dia cantik, tapi Putra sadar, wanita itu tak lebih dari jin yang akan menyesatkan.
"Putra, apa kaumenentangku? Sayang, aku akan memberikan segalanya padamu. Harta, dan juga cinta." Wanita bergaun hijau memeluknya. Lembut dan hangat, "jadilah pendampingku!"
Tidak! Putra harus melawan kegilaan ini. Dia tidak boleh hanyut dalam rayuannya.
"Maaf, Nyi. Aku tidak bisa." Putra melepas peluknya perlahan, "ada wanita lain yang menungguku di rumah. Izinkan aku kembali."
Sang Ratu tersenyum manis, lalu berkata, "Maksudmu ... dia."
Seorang wanita muncul dari balik pintu berukir emas. Muda dan berpakaian serupa dayang istana. "Bunda. Jadi, selama ini aku ...."
"Kamu adalah putra dari dayangku. Dua dasawarsa lalu, ayahmu menikahinya demi ilmu hitam."



Biodata:

Indah Kusuma. Baginya menciptakan sebuah alur kehidupan dalam sebuah kisah, itu menyenangkan. Perjalanan hidup yang terangkai apik, dengan tutur kata sederhana, menjadi ciri khasnya.
Penyuka drama film action ini selalu menghadirkan kejutan di setiap kisah dengan alur yang sulit ditebak, terkadang menjebak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.