Rabu, 19 Juni 2019

#Jumat_Cerbung - Karena Kamu Pangeranku - Titin Akhiroh - Sastra Indonesia Org




Gadis berambut warna brunette tengah duduk dengan fokus pada buku Biologi. Sudah satu bulan dirinya berada di kelas tiga IPA. Hanya tinggal beberapa bulan lagi waktu yang harus dilalui untuk bisa lulus, kemudian berlanjut ke jenjang pendidikan lebih tinggi.
Bel berbunyi nyaring. Konsentrasi gadis itu buyar. Ia menoleh ke arah teman sebangkunya yang tertidur pulas. Bukan pemandangan aneh karena lelaki itu selalu lelap sebelum jam pelajaran dimulai.
“Bangun, Ndra! Bel sudah berbunyi,” ucap Valerie saat mendengar bel berdering keras.   
Endra masih bergeming. Tangan kanan Valerie terangkat dan sedikit ragu untuk membangunkan. Namun, jika tidak dilakukan bisa jadi hukuman guru Biologi yang lumayan galak didapatkan teman sebangkunya itu. Setelah memantapkan hati, ia pun menepuk pundak lelaki berambut cokelat madu.
Tatapan tajam Endra membuat Valerie segera menarik tangan. Ia sedikit takut mendapat amukan. Namun, sampai detik bergulir menyentuh menit, ketakutannya tak terbukti. Teman lelakinya itu justru duduk tegap dan merenggangkan tangan.
Untuk beberapa saat, Valerie terpana mengamati Endra. Hidung mancung yang angkuh, bibir penuh, sorot mata tajam, dan sedikit sipit adalah ornamen lengkap membingkai wajah menjadi rupawan. Terlebih semua unsur itu disokong dengan rahang tegas. Tidak heran jika kelebihan fisik itu menjadikannya murid paling tampan.
Namun, dari sekian banyak bagian indah tubuh si pangeran sekolah, Valerie begitu tergoda dengan surai cokelat madu yang tampak lembut sepanjang bahu. Rambut panjang memang tidak menyalahi peraturan sekolah. Karena keduanya belajar di Pelita Jaya, SMA swasta terbaik dan menjadi favorit di ibu kota.
Duduk sebangku dengan lelaki semenakjubkan Endra bisa menjadi berkah sekaligus bencana. Anugerah saat bisa mengobrol tentang pelajaran atau hal di luar materi, sehingga mampu menjadi refreshing otak setelah penat memikirkan pelajaran. Namun, berubah musibah ketika ada tatapan sinis dari para gadis pemuja Endra. Bagian terparah, tidak sedikit penggemar yang menitip salam ataupun surat cinta.
“Apa pelajaran pertama?” tanya Endra membuyarkan lamunan Valerie. Tangan kanannya tengah merogoh ke dalam laci untuk meraih buku.
Alis Valerie terangkat sebelah. Ia selalu dibuat heran dengan tingkah Endra. Tidak hanya tentang kegemaran tidur sebelum pelajaran dimulai, tetapi juga meninggalkan semua buku cetak dalam laci. Apa dia tak pernah belajar?
“Biologi,” jawab Valerie, menoleh ke arah si tampan yang tampak mengambil buku bertuliskan Biologi dari laci.
Valerie masih mengamati Endra dalam diam. Tak sadar jika lelaki bersurai cokelat itu juga melirik dan meneliti gesturnya.
“Kalau ingin tahu sesuatu tentangku. Tanya saja!”
Ucapan Endra yang tiba-tiba membuat Valerie salah tingkah.
Endra menahan senyum, melihat tingkah lucu teman sebangkunya itu. Sejak menjadi bagian dari kelas tiga IPA, diam-diam ia sering mengamati Valerie, gadis super manis walau kadang terlalu pendiam. Dia bisa dikategorikan cantik dengan wajah oval, hidung mancung, bibir tipis, mata agak besar, dan bulat disertai bulu mata lentik. Rambut berwarna brunette sepanjang bahu yang selalu dikuncir ekor kuda. Berkulit putih hingga terlihat pucat. Poin paling lucu yakni tinggi badannya yang mungil.
Selama ini, Endra tak pernah dekat dengan makhluk berjenis perempuan. Ia beranggapan bahwa wanita itu sedikit merepotkan. Selalu dandan berlebihan untuk menarik perhatian lelaki. Belum lagi sifat manja dan berisik. Baginya, Valerie sangatlah berbeda. Gadis itu tak pernah sekali pun memakai make-up. Wajah polosnya terlihat pucat, tapi begitu alami. Bagian yang paling disuka, dia tidak banyak bicara.
“Kenapa kamu tidak pernah bawa buku, Ndra?” tanya Valerie ragu-ragu.
“Berat,” jawab Endra dengan melempar cengiran lucu.
“Jadi, kamu tidak pernah belajar?” Valerie tak bisa menyembunyikan ekspresi heran.
Endra mengangguk. “Tidak ada waktu,” ucapnya, “karena aku kerja dari sore sampai malam.”
Sontak mulut Valerie menganga karena terkejut. Di lain sisi, Endra begitu gemas ingin mencubit pipi gadis bermata besar itu.
“Ta---tapi bukankah sekolah melarang muridnya bekerja?” tanya Valerie masih dengan nada keheranan.
“Ini rahasia, jadi jangan bilang siapa-siapa!” ucap Endra sambil tersenyum.
Sebenarnya tanpa diperintah, ia percaya bahwa Valerie tidak akan menyebarkan rahasia. Selama sebulan terakhir, ia tak pernah melihat gadis bersurai lembut itu bersama satu orang pun teman.

***

Duduk menyendiri di atap gedung adalah rutinitas yang selalu dilakukan Valerie saat jam istirahat. Bisa dikatakan bahwa atap kelas merupakan tempat kesukaannya. Suasana sepi nan tenang membuatnya nyaman untuk membaca buku dan makan siang tanpa gangguan. Tak pernah sekali pun ia menginjakkan kaki di kantin. Alasannya, tentu saja karena harga makanan yang mahal dan tak terjangkau olehnya. Belum lagi cibiran dari murid lain yang tahu latar belakangnya. Maklum saja ia bisa belajar di sekolah elit ini karena beasiswa silang.
Berbeda dengan kebanyakan murid yang berasal dari lingkungan kelas atas seperti anak konglomerat, anak pejabat, penerus kerajaan bisnis, hingga artis. Ia hanyalah anak dari buruh jahit di pabrik konveksi dengan gaji tak seberapa. Untuk itu, demi menambah penghasilan keluarga, sang ibu membuat kue baik pesanan untuk hajatan maupun dititipkan ke warung-warung. Biasanya ia yang bertugas mengantarkan kue itu pada para pemesan. Singkat kata ia bukanlah murid istimewa. Tak ada kelebihan untuk dibanggakan, kecuali otaknya yang berada di atas rata-rata.
Valerie membuka kotak bekal yang selalu dibawa setiap hari. Beberapa kue risoles buatan ibu tampak menggugah selera. Perutnya sudah tak sabar ingin diisi. Tanpa membuang waktu, ia mengambil sepotong dan mulai menikmati kuenya.
Setelah menelan kunyahan terakhir, sayup-sayup terdengar suara segerombolan lelaki sedang bercanda. Ia mulai membatin. Tidak biasanya ada murid yang naik ke atap gedung. Semakin lama gurauan itu terdengar jelas. Buru-buru ia menutup kotak bekal dan bersiap bangkit meninggalkan tempat itu, tapi ....
“Valerie!”
Gerakan Valerie terhenti mendengar suara yang begitu dikenalnya. Tak salah lagi, itu adalah suara Endra. Mau tak mau ia menoleh. Teman sekelasnya berdiri tak jauh di belakang. Bahkan Ello, Garin, dan Juno, sahabat Endra yang juga termasuk dalam kelompok murid populer sekolah, tengah menatapnya.
“Lagi apa?” tanya Endra sembari berjalan mendekat.
“Istirahat,” jawab Valerie dengan jantung berdegup gugup.
“Sendirian?”
Gadis cantik itu hanya mengangguk menanggapi pertanyaan Endra.
“Ehm ... jadi kamu yang namanya Valerie, si juara umum sekolah. Cantik juga,” celetuk Garin yang tak bisa menutupi keterpesonaannya akan paras ayu Valerie.
“Mungil lagi,” timpal Juno.
“Sudah jangan ganggu terus. Kasihan, mukanya sampai merah gitu,” ucap Ello.
Jelas saja wajah Valerie memerah karena rasa malu dan gugup berdiri di depan empat murid tampan idola sekolah. Tidak hanya tampilan fisik yang sempurna, tapi juga prestasi dalam bidang olahraga dan musik.
“Kita boleh gabung, kan?” tanya Garin sambil duduk di bangku samping Valerie. Sementara, Juno juga ikut menghempaskan diri di kursi yang sama.
Valerie hanya diam membatu. Apalagi ia bisa melihat Endra sedang menatapnya dalam.
“Apa kamu sering ke sini?” Endra bertanya tanpa mengalihkan pandangan dari gadis pendiam itu.
“Setiap hari.”
“Benarkah? Kalau begitu besok aku temani, ya? Biar kamu nggak kesepian,” sahut Juno dengan nada mengggoda.
Lagi-lagi Valerie hanya diam. Tak tahu bagaimana harus bersikap. Ini pertama kali ia bicara dengan murid lelaki, selain Endra tentunya.
“Itu apa?” tanya Ello dengan telunjuk mengarah pada kotak bekal yang Valerie pegang. Semua mata kini beralih ke arah kotak berwarna merah muda. Ragu-ragu, gadis itu membuka tempat makannya dan menawarkan risoles pada empat sekawan.
“Ambil saja jika kalian mau,” tawar Valerie pelan, mencoba menghilangkan kegugupan.
Empat sekawan mengintip isi kotak. Agak sedikit sangsi jika keempat lelaki tampan akan tertarik dengan makanannya. Namun, siapa sangka bahwa Endra mengambil kue dan melahapnya. Diikuti oleh Garin, Ello, dan Juno bergantian menyomot risoles.
“Kenapa kamu tidak ikut makan?” Endra bertanya di sela kunyahannya.
“Tadi sudah makan.”
Senyum tersungging di bibir Valerie kala melihat empat sekawan makan kue risoles dengan lahap. Ini sungguh pemandangan langka. Murid populer seperti mereka asyik makan kue basah, bahkan berebut saat tinggal dua potong.
Menit berlalu cepat. Semua kue tandas. Valerie menutup kotak bekal, lalu beralih pada buku Astronomi untuk dibacanya.
“Dari sekian banyak tempat, kenapa pilih tempat ini?” tanya Endra yang berdiri di depan Valerie. Tubuh jangkungnya bersandar pada pagar atas gedung.
“Karena sepi.” Valerie menjawab singkat.
“Kenapa nggak bersama temanmu?” tanya Juno, lelaki berparas Indo-Korea.
“Aku tidak punya teman.”
“Setiap orang pasti punya teman, karena manusia makhluk sosial.” Kali ini, Garin yang bersuara.
Valerie menutup buku, pandangannya jatuh pada lantai. “Tidak ada yang mau berteman denganku,” balasnya lirih.
“Kenapa?” Kini, giliran Ello yang bertanya. Lelaki bermata sipit khas Asia Timur.
“Karena aku berbeda dengan kalian dan yang lain. Aku masuk sekolah ini karena beasiswa silang.”
Empat sekawan diam. Rasa tak nyaman mulai menjalar di hati Valerie. Ia paling benci dengan tatapan iba. Pandangan seperti itu membuatnya malu dan sedikit marah. Meski miskin, tapi dirinya tidak mau dikasihani.
Valerie memilih bangkit dari bangku, menghindari situasi canggung. Ketika ia berjalan melewati Endra, langkahnya terhenti. Tangan Endra sudah menahan lengannya.
“Sekarang, kita jadi temanmu." Endra berucap mantap. “Mulai besok, kita akan berkumpul di sini.”
Untuk beberapa saat, tatapan mereka terkunci. Rasa hangat pelan-pelan menjalar dalam lubuk hati Valerie. Takut semakin jauh terperosok dalam pesona Endra, ia memutuskan kontak mata lebih dulu. Saat ia mengalihkan pandang, ketiga sahabat Endra tersenyum sambil mengangguk. Seolah setuju dengan pendapat Endra. Ia begitu terharu. Baru kali ini merasa diterima dengan tulus oleh seseorang. Jadi, beginikah bahagianya memiliki teman?
Mata Valerie memanas, tapi cukup tahu malu untuk tidak menangis di depan empat sekawan. “Terima kasih,” ucapnya tulus.
Bertepatan dengan itu, bel berbunyi. Pertanda istirahat telah usai. Mereka berlima berjalan menuju tangga untuk turun ke lantai tiga, tempat kelas IPA berada. Ello dan Garin melambaikan tangan saat masuk di kelas tiga IPA3. Sementara, Juno beranjak ke kelas tiga IPA2. Sampai akhirnya hanya tinggal Valerie dan Endra yang berjalan menuju kelas tiga IPA1.
Kebersamaan keduanya tentu saja menarik beberapa pasang mata. Endra tetap cuek dan tak peduli dengan tatapan murid lain. Berbeda dengan Valerie yang jengah dengan pandangan membunuh dari para gadis pemuja sang pangeran sekolah.
“Terima kasih kuenya.” Lelaki beriris cokelat itu bersuara sesaat setelah duduk di bangku.
“Terima kasih sudah mau jadi temanku,” balas Valerie yang dibalas senyuman oleh Endra.

***

Endra berjalan keluar dari tempat kost. Sebenarnya bukan bangunan indekos seperti pada umumnya, melainkan sebuah paviliun milik Tante Hesti, sahabat mamanya dulu saat kuliah. Ia memang tak berasal dari Jakarta. Rumahnya berada di luar kota yang cukup jauh dari sekolah.
Butuh waktu sekitar dua jam untuk menempuh perjalanan. Oleh karena itu, ia memilih tinggal di paviliun Tante Hesti agar lebih efisien.
“Valerie!” seru Endra kala melihat teman sebangkunya itu keluar dari rumah Tante Hesti.
Endra mengurungkan niatnya menaiki motor dan memilih menghampiri Valerie yang salah tingkah. Terlihat jelas gurat kaget di wajah cantik temannya itu.
“Kenapa kamu bisa ada di sini?” tanya Endra dengan nada heran yang kentara.
“Aku habis kasih les privat Putra dan Putri,” jawab Valerie pelan. Putra dan Putri adalah anak kembar Tante Hesti.
Tanpa diduga Endra, Valerie mendekat dan menggenggam tangannya. Entah kenapa dadanya berdesir merasakan genggaman hangat gadis cerdas itu.
“Aku mohon, Ndra. Jangan beritahu siapa pun tentang pekerjaanku!” pinta Valerie masih menggenggam tangan Endra.
Endra menatap bingung. “Bukannya kasih les privat itu bagus?”
“Kalau sekolah tahu, aku bisa dikeluarkan.” Valerie menjawab pelan.
Sedari awal, Valerie memang nekat melanggar aturan. Ia tidak tega melihat sang ibu mengais rezeki seorang diri. Namun, ia mulai ketakutan sekarang. Jika pihak sekolah tahu bisa dipastikan dirinya akan dikeluarkan. Apalagi ia hanya murid penerima beasiswa.
“Tenang saja, rahasiamu aman. Lagi pula aku juga kerja. Jadi, kita impas sekarang.”
Embusan napas lega keluar dari hidung bangir Valerie. Ucapan Endra membuatnya tenang. Kini, ia tidak perlu takut rahasianya akan terbongkar. Karena Endra bukanlah tipe lelaki bermulut besar.
“Terima kasih, Ndra,” ujar Valerie, lalu melepas tangan Endra yang sedari tadi digenggamnya.
Endra mengangguk. “Mau pulang?”
“Aku masih mau kasih privat ke anak lain,” jawab Valerie cepat.


“Daerah mana?” Manik cokelat Endra tak lepas dari paras ayu Valerie.
“Masih di kompleks sini, tapi di blok depan,” sahut Valerie sedikit gugup.
“Jalan kaki?” tanya Endra dan gadis mungil itu mengangguk.
“Kalau begitu ikut denganku saja naik motor. Lebih cepat dari jalan kaki.” Endra mengamati gestur Valerie melirik motor. “Kenapa?” tanyanya heran mendapati raut ragu di wajah teman sebangkunya itu.
“Ehm, a---aku tidak pernah naik motor,” jawab Valerie malu-malu. Endra sedikit terkekeh melihat wajah tersipu teman sebangkunya.
“Jangan takut! Aku jago bawa motor. Ayo naik!” Endra menarik tangan kanan Valerie untuk mendekat ke arah kuda besinya.

***

Seumur hidup, Valerie belum pernah naik motor. Namun, selama dua hari berturut, ia justru duduk manis di jok motor mahal bersama Endra. Setelah kemarin ia diantar menuju rumah anak didiknya. Sekarang, ia kembali dibonceng saat hendak memberi les privat si kembar.
Awalnya, ia harus berjuang keras melawan rasa takut. Belum lagi jantungnya yang berdetak keras tanpa diperintah. Sepertinya, berdekatan dengan Endra mengacaukan kinerja jantungnya.
Angin kencang yang menerpa wajah saat naik motor memberi kesenangan tersendiri bagi Valerie. Terlebih lagi duduk berdekatan dengan tangan melingkar di pinggang lelaki setampan Endra, seperti sebuah mimpi.
Endra merasa seperti bukan dirinya saat bersama Valerie. Ia tak pernah berpikir untuk dekat dengan lawan jenis. Namun, gadis bermanik mata cokelat itu, seakan membalikkan dunianya. Ia tak pernah mengizinkan perempuan menyentuh motornya. Akan tetapi, dua hari berturut, Valerie dibiarkan menaiki kuda besi kesayangan.
Setelah dua puluh menit yang mendebarkan, motor Endra berhenti di halaman rumah Tante Hesti. Valerie turun dari motor, lalu melepaskan helm.
“Terima kasih untuk tumpangannya.” Valerie menyodorkan helm.
“Tidak masalah,” sahut Endra saat melepas helm. Ia meraih helm dari tangan Valerie, lalu diletakkan di kursi teras paviliun. “Apa kamu langsung mengajar?”
“Masih satu jam lagi, mungkin aku akan tunggu di sana,” jawab Valerie sambil menunjuk teras Tante Hesti.
“Tunggu di tempatku saja dari pada bengong sendirian di teras.” Endra menjawab sembari mendorong motor menuju teras paviliun.
Manik mata Valerie mengamati bangunan di depannya. Ternyata tempat kost Endra adalah paviliun rumah Tante Hesti. Tempat itu lumayan besar, mungkin hampir sama dengan rumah kontrakannya. Keseluruhan tembok bercat putih. Terlihat asri karena dilengkapi taman kecil dengan bunga dan rumput yang terpelihara di sekitar teras.
Endra mengambil kunci dalam jaket dan membuka pintu paviliun. “Ayo masuk!” ajaknya.
Valerie melepas sepatu dan masuk ke ruang tamu. Ia cukup kagum dengan perabotan yang ada dalam paviliun. Tempat ini jelas lebih indah dari rumahnya. Perangkat mebel pun lebih mahal. Sofa warna biru tua terletak di ujung ruangan. Di bagian bawah tergelar karpet permadani dengan motif kotak-kotak hitam putih. Dindingnya berwarna putih dengan tergantung lukisan indah bertema pemandangan laut. Lantainya terbuat dari marmer dengan warna senada dinding, memberi kesan bersih. Nilai positif lagi buat Endra yang selalu rapi.
Valerie menghempaskan diri di sofa dengan tas berada di pangkuan. Endra terlihat masuk ke sebuah kamar. Beberapa detik kemudian, lelaki bertubuh jangkung itu keluar tanpa memakai jaket, sehingga menampakkan seragam dengan kemeja warna biru laut dan celana motif kotak-kotak berwarna senada. Berkebalikan dengan dirinya yang bernuansa merah muda.
Endra membawa dua kaleng minuman soda. Satu kaleng diletakkan tepat di depan Valerie, sedangkan ia membuka miliknya. “Ayo diminum!” ucapnya setelah meneguk minuman.
Tangan kanan Valerie terulur meraih kaleng. Dibuka dan diteguknya minuman berkarbonasi itu. Berharap dapat meredakan gugup. Jika dipikir, ini kali pertama ia pergi ke tempat lawan jenis.
“Kalau tahu ternyata masih ada waktu. Tadi kita bisa makan dulu. Kamu mau makan apa?” tanya Endra seraya mengambil gawai dan bersiap menelepon.
Valerie menggelengkan. “Tidak perlu repot, Ndra. Kamu saja yang pesan,” jawabnya cepat. Ia sudah terlalu malu untuk makan dengan sahabat barunya itu.
“Santai saja, Rie. Kita makan siang ba ....”
Ucapan Endra terhenti saat mendengar suara mesin mobil memasuki halaman paviliun. Tak susah baginya menebak siapa yang datang. Tentu saja trio laknat yang gemar menggoda Valerie.
Valerie menoleh ke arah mobil yang terparkir, tepatnya tiga mobil. Ia tahu itu pasti Ello, Garin, dan Juno dilihat dari mobil yang sudah sering dilihatnya di sekolah. Ketiganya turun dari kendaraan masing-masing dan terlihat sama tampannya dengan Endra.
“Siang, Valerie,” sapa Juno saat masuk ke paviliun. Diikuti Garin dan Ello yang sedang memegang kotak pizza.
“Siang,” jawab Valerie pelan.
“Kenapa tidak menyapa yang punya rumah?” sindir Endra.
“Sudah sering ketemu, basi.” Juno tersenyum jail. Lalu, kedua manik legamnya menatap Valerie.
“Yuk, makan bareng! Aku sudah bawa pizza.” Ello menaruh dua susun kotak pizza ukuran besar di meja.
“Tahu saja kalau aku lagi lapar. Thanks.” Endra urung memesan makanan dan meletakkan gawai di samping kotak pizza.
“You’re welcome, Bro,” sahut Ello.
Valerie semakin kikuk. Bingung untuk bersikap. “Endra,” panggilnya dengan suara tertahan, seperti bunyi decitan tikus terjepit.
Seketika Endra mengangkat kepalanya. “Ada apa, Rie?”
“Boleh numpang ke kamar mandi?” tanya Valerie pelan.
“Oh iya, kamu masuk saja lalu jalan lurus. Kamar mandinya ada di sebelah dapur,” terang Endra setelah menelan pizza.
“Mau aku antar, Rie?” tawar Garin dilengkapi kerlingan jail.
Valerie menggeleng pelan. “Aku bisa sendiri.”
Sebenarnya Valerie tidak memiliki hasrat buang air. Ia hanya butuh tempat untuk menghilangkan kegugupan. Sembari mencuci tangan, ia memandang pantulan wajah di cermin. Masih sulit dipercaya dirinya telah mempunyai teman. Mengingat kata teman selalu berakhir dengan bayangan profil Endra. Debar jantungnya selalu tak terkendali setiap teringat lelaki tampan itu. Perasaan apakah ini?
Merasa cukup tenang, Valerie menyudahi kegiatannya. Ia membuka pintu pelan. Ternyata Endra sedang berada di dapur.
“Sudah selesai,” ucap Endra sembari menutup pintu kulkas. Kini, kedua tangannya memegang botol air mineral dingin. Valerie mengangguk, lalu berjalan di belakangnya menuju ruang tamu.
Valerie melirik jam dinding, masih pukul 14.10. Ia membatin tentang waktu yang terasa begitu lama. Bukan karena ia tidak suka berada bersama empat sekawan, melainkan lebih pada rasa gugup yang muncul setiap dekat mereka. Ia meraih sepotong pizza. Mungkin dengan makan bisa mengendalikan rasa kikuk. Perlahan ia mulai menggigit dan mengunyah. Ketika ia menoleh, baru sadar bahwa empat sekawan tengah menatapnya.
Valerie pun berhenti mengunyah. “Kenapa?” tanyanya pelan berusaha mengatasi debar gugup yang kembali muncul.
“Baru kali ini lihat kamu makan. Cantik banget!” celetuk Juno sambil mengerling jail.
Valerie langsung tersedak pizza. Ello yang kebetulan duduk di dekatnya, segera menepuk punggung. Sementara, Endra menyodorkan gelas berisi air. Diraihnya air itu untuk meredakan tenggorokan. Ia merasa wajah dan telinganya panas karena malu.
“Sorry, Rie. Tadi aku nggak bermaksud membuatmu tersedak.” Juno sedikit menyesal. Valerie hanya mengangguk pelan.
“Ayo, makan lagi!” Dengan ragu-ragu, Valerie menerima pizza yang disodorkan Endra. Suasana sudah kembali tenang karena kini mereka tengah makan dengan khidmad. Sesekali terdengar obrolan singkat.
Menyenangkan bisa melihat empat sekawan bercanda. Valerie harus mengakui hidupnya sedikit berbeda sejak bertemu Endra. Dalam diam, ia menyimak pembicaraan sahabat barunya tentang pasangan. Kini, ia penasaran seperti apa tipe gadis si tampan berkulit putih itu.
“Apa kamu sudah punya cowok?” tanya Juno sambil melihat wajah cantik Valerie yang menggeleng pelan.
“Sudah pernah pacaran?” Garin bertanya ingin tahu. Lagi-lagi Valerie hanya menggeleng.
“Aku ada masalah dengan kepercayaan. Jawaban Valerie semakin membuat empat sekawan terbengong heran. “Itulah sebab aku selalu menolak segala sesuatu yang melibatkan perasaan.”
“Kenapa?” Endra sudah menatap penuh gadis bersurai brunette itu.
“Karena akan sangat menyakitkan jika sesuatu itu tiba-tiba pergi,” jawab Valerie pelan. Hatinya selalu bergetar setiap teringat kembali dengan masa lalu.
“Bukankah nggak selamanya kita bisa sendiri?” Ello tak mau kalah mengorek pribadi si juara umum sekolah.
“Memang benar. Dulu, satu-satunya orang yang jadi temanku cuma ibu. Aku tidak punya dan tak butuh teman. Namun, setelah lihat persahabatan kalian. Sepertinya aku mulai sedikit membuka diri untuk belajar memahami banyak perasaan,” jawab Valerie dengan tersenyum tipis.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 15.00. Sudah tiba masa untuk pamit. Ia meraih tas yang tergeletak di permadani. “Terima kasih untuk makanannya,” pamit Valerie dengan melihat ke arah Ello.
“Sama-sama.” Ello menjawab singkat.
“Terima kasih, Ndra. Sudah kasih tumpangan tadi.” Kini, iris Valerie dan Endra beradu.
Kepala Endra mengangguk. “Santai saja, mulai sekarang kita bisa pulang bareng,” jawabnya dengan senyum menghiasi bibir penuh nan menggoda.
“Besok pulang denganku saja. Jangan keseringan naik motor! Aku takut kamu terbang terbawa angin,” sahut Garin yang langsung mendapat jitakan dari Endra.
Valerie tersenyum, melambaikan tangan ke arah empat sekawan, sebelum melangkah keluar paviliun menuju rumah Tante Hesti.

***

Gelenyar aneh menjalar di hati Endra setelah semakin mengenal Valerie. Hari ini, mungkin jadi hari keberuntungannya. Tidak hanya bisa pulang bersama, melainkan juga dapat melihat gadis mungil itu duduk manis di tempatnya. Apalagi tadi ia bicara tentang filosofi perasaan. Benar-benar sosok cerdas dan menarik.
What a beautiful girl!” gumam Endra yang ternyata masih bisa didengar tiga sekawan.
Sontak, ketiga temannya itu menoleh dengan pandangan penuh selidik.
“Tunggu, Ndra! Apa kamu suka dengan Valerie?” Juno mulai penasaran. Sungguh hal langka jika Endra tertarik dengan lawan jenis.
“Tidak,” sahut Endra cepat, mencoba menutupi perasaan yang tiba-tiba berdesir hebat.
“Halah, nggak perlu bohong. Kamu suka, kan? Ayo ngaku! Aku sudah curiga kalau kamu suka padanya,” sahut Garin.
Endra menatap tajam tiga sahabatnya. Alih-alih merasa terintimidasi, justru godaan tiga sekawan semakin menjadi.
“Mau bukti? Kamu nggak pernah mau dekat atau bicara dengan cewek, tapi bisa akrab dengan Valerie,” ucap Ello.
“Kamu nggak pernah membiarkan motormu tersentuh orang lain, tapi kamu mau membonceng Valerie. Bahkan sampai mengajaknya ke sini,” timpal Juno.
“Kalau memang suka. Cepat nyatakan padanya! Sebelum disambar cowok lain,” ucap Garin.
“Kalau kamu nggak segera beraksi. Valerie nanti aku embat lho,” goda Ello berusaha memancing emosi Endra.
Endra diam mencoba mencerna perasaannya. Manik cokelat matanya kembali melihat Valerie. tiga sekawan juga ikut memandang ke luar. Dari kejauhan mereka bisa menangkap pemandangan gadis mungil nan cantik tengah menerima telepon.
“Lihat ... lihat! Dapat telepon dari siapa, tuh?” celetuk Ello kala mendapati Valerie menerima panggilan.
“Serius sekali mukanya,” sahut Juno.
Beberapa saat kemudian, Valerie tampak berlari menuju gerbang. Langkahnya tiba-tiba terhenti. Kemudian, ia berlari kembali menuju rumah Tante Hesti. Ia memencet bel tak sabaran dan tampak panik saat menunggu pintu terbuka.
“Perasaanku saja atau memang Valerie lagi panik.” Endra berdiri dan melangkah menuju pintu.
“Dia lagi panik itu. Samperin, yuk!” ajak Garin.
Endra memakai sepatu disusul Juno, Ello, dan Garin. Tampak Valerie kembali berlari menuju gerbang setelah bicara dengan Tante Hesti.
“Valerie!”
Panggilan Endra membuat gadis bermata indah menoleh. Dengan diikuti tiga sekawan, Endra berjalan menghampiri Valerie. Wajah cantik itu tampak pucat lengkap dengan genangan air di pelupuk mata.
“Ada apa?” tanya Endra sambil menatap lekat wajah sendu gadis di depannya. Tanpa menjawab, Valerie justru menangis histeris.
TBC

Pati, 14 Juni 2019


Biodata:

Penulis lahir di Malang tiga puluh tahun silam. Mulai belajar literasi sejak Agustus tahun lalu. Keseharian mengurus bimbel miliknya dan bekerja di salah satu penerbit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.