Gadis berambut
warna brunette tengah duduk dengan
fokus pada buku Biologi. Sudah satu bulan dirinya berada di kelas tiga IPA.
Hanya tinggal beberapa bulan lagi waktu yang harus dilalui untuk bisa lulus,
kemudian berlanjut ke jenjang pendidikan lebih tinggi.
Bel berbunyi
nyaring. Konsentrasi gadis itu buyar. Ia menoleh ke arah teman sebangkunya yang
tertidur pulas. Bukan pemandangan aneh karena lelaki itu selalu lelap sebelum
jam pelajaran dimulai.
“Bangun, Ndra!
Bel sudah berbunyi,” ucap Valerie saat mendengar bel berdering keras.
Endra masih bergeming. Tangan
kanan Valerie terangkat dan sedikit ragu untuk membangunkan. Namun, jika tidak
dilakukan bisa jadi hukuman guru Biologi yang lumayan galak didapatkan teman
sebangkunya itu. Setelah memantapkan hati, ia pun menepuk pundak lelaki
berambut cokelat madu.
Tatapan tajam
Endra membuat Valerie segera menarik tangan. Ia sedikit takut mendapat amukan.
Namun, sampai detik bergulir menyentuh menit, ketakutannya tak terbukti. Teman
lelakinya itu justru duduk tegap dan merenggangkan tangan.
Untuk beberapa
saat, Valerie terpana mengamati Endra. Hidung mancung yang angkuh, bibir penuh,
sorot mata tajam, dan sedikit sipit adalah ornamen lengkap membingkai wajah
menjadi rupawan. Terlebih semua unsur itu disokong dengan rahang tegas. Tidak
heran jika kelebihan fisik itu menjadikannya murid paling tampan.
Namun, dari
sekian banyak bagian indah tubuh si pangeran sekolah, Valerie begitu tergoda
dengan surai cokelat madu yang tampak lembut sepanjang bahu. Rambut panjang
memang tidak menyalahi peraturan sekolah. Karena keduanya belajar di Pelita
Jaya, SMA swasta terbaik dan menjadi favorit di ibu kota.
Duduk sebangku
dengan lelaki semenakjubkan Endra bisa menjadi berkah sekaligus bencana.
Anugerah saat bisa mengobrol tentang pelajaran atau hal di luar materi,
sehingga mampu menjadi refreshing
otak setelah penat memikirkan pelajaran. Namun, berubah musibah ketika ada
tatapan sinis dari para gadis pemuja Endra. Bagian terparah, tidak sedikit
penggemar yang menitip salam ataupun surat cinta.
“Apa pelajaran
pertama?” tanya Endra membuyarkan lamunan Valerie. Tangan kanannya tengah
merogoh ke dalam laci untuk meraih buku.
Alis Valerie
terangkat sebelah. Ia selalu dibuat heran dengan tingkah Endra. Tidak hanya
tentang kegemaran tidur sebelum pelajaran dimulai, tetapi juga meninggalkan
semua buku cetak dalam laci. Apa dia tak pernah belajar?
“Biologi,” jawab
Valerie, menoleh ke arah si tampan yang tampak mengambil buku bertuliskan Biologi
dari laci.
Valerie masih
mengamati Endra dalam diam. Tak sadar jika lelaki bersurai cokelat itu juga
melirik dan meneliti gesturnya.
“Kalau ingin
tahu sesuatu tentangku. Tanya saja!”
Ucapan Endra yang tiba-tiba membuat Valerie salah tingkah.
Ucapan Endra yang tiba-tiba membuat Valerie salah tingkah.
Endra menahan
senyum, melihat tingkah lucu teman sebangkunya itu. Sejak menjadi bagian dari
kelas tiga IPA, diam-diam ia sering mengamati Valerie, gadis super manis walau
kadang terlalu pendiam. Dia bisa dikategorikan cantik dengan wajah oval, hidung
mancung, bibir tipis, mata agak besar, dan bulat disertai bulu mata lentik.
Rambut berwarna brunette sepanjang
bahu yang selalu dikuncir ekor kuda. Berkulit putih hingga terlihat pucat. Poin
paling lucu yakni tinggi badannya yang mungil.
Selama ini,
Endra tak pernah dekat dengan makhluk berjenis perempuan. Ia beranggapan bahwa
wanita itu sedikit merepotkan. Selalu dandan berlebihan untuk menarik perhatian
lelaki. Belum lagi sifat manja dan berisik. Baginya, Valerie sangatlah berbeda.
Gadis itu tak pernah sekali pun memakai make-up.
Wajah polosnya terlihat pucat, tapi begitu alami. Bagian yang paling disuka,
dia tidak banyak bicara.
“Kenapa kamu
tidak pernah bawa buku, Ndra?” tanya Valerie ragu-ragu.
“Berat,” jawab
Endra dengan melempar cengiran lucu.
“Jadi, kamu
tidak pernah belajar?” Valerie tak bisa menyembunyikan ekspresi heran.
Endra
mengangguk. “Tidak ada waktu,” ucapnya, “karena aku kerja dari sore sampai
malam.”
Sontak mulut
Valerie menganga karena terkejut. Di lain sisi, Endra begitu gemas ingin
mencubit pipi gadis bermata besar itu.
“Ta---tapi
bukankah sekolah melarang muridnya bekerja?” tanya Valerie masih dengan nada
keheranan.
“Ini rahasia,
jadi jangan bilang siapa-siapa!” ucap Endra sambil tersenyum.
Sebenarnya tanpa
diperintah, ia percaya bahwa Valerie tidak akan menyebarkan rahasia. Selama
sebulan terakhir, ia tak pernah melihat gadis bersurai lembut itu bersama satu
orang pun teman.
***
Duduk menyendiri
di atap gedung adalah rutinitas yang selalu dilakukan Valerie saat jam
istirahat. Bisa dikatakan bahwa atap kelas merupakan tempat kesukaannya.
Suasana sepi nan tenang membuatnya nyaman untuk membaca buku dan makan siang
tanpa gangguan. Tak pernah sekali pun ia menginjakkan kaki di kantin.
Alasannya, tentu saja karena harga makanan yang mahal dan tak terjangkau
olehnya. Belum lagi cibiran dari murid lain yang tahu latar belakangnya. Maklum
saja ia bisa belajar di sekolah elit ini karena beasiswa silang.
Berbeda dengan
kebanyakan murid yang berasal dari lingkungan kelas atas seperti anak
konglomerat, anak pejabat, penerus kerajaan bisnis, hingga artis. Ia hanyalah
anak dari buruh jahit di pabrik konveksi dengan gaji tak seberapa. Untuk itu,
demi menambah penghasilan keluarga, sang ibu membuat kue baik pesanan untuk
hajatan maupun dititipkan ke warung-warung. Biasanya ia yang bertugas
mengantarkan kue itu pada para pemesan. Singkat kata ia bukanlah murid
istimewa. Tak ada kelebihan untuk dibanggakan, kecuali otaknya yang berada di
atas rata-rata.
Valerie membuka
kotak bekal yang selalu dibawa setiap hari. Beberapa kue risoles buatan ibu
tampak menggugah selera. Perutnya sudah tak sabar ingin diisi. Tanpa membuang
waktu, ia mengambil sepotong dan mulai menikmati kuenya.
Setelah menelan
kunyahan terakhir, sayup-sayup terdengar suara segerombolan lelaki sedang
bercanda. Ia mulai membatin. Tidak biasanya ada murid yang naik ke atap gedung.
Semakin lama gurauan itu terdengar jelas. Buru-buru ia menutup kotak bekal dan
bersiap bangkit meninggalkan tempat itu, tapi ....
“Valerie!”
Gerakan Valerie
terhenti mendengar suara yang begitu dikenalnya. Tak salah lagi, itu adalah
suara Endra. Mau tak mau ia menoleh. Teman sekelasnya berdiri tak jauh di
belakang. Bahkan Ello, Garin, dan Juno, sahabat Endra yang juga termasuk dalam
kelompok murid populer sekolah, tengah menatapnya.
“Lagi apa?”
tanya Endra sembari berjalan mendekat.
“Istirahat,”
jawab Valerie dengan jantung berdegup gugup.
“Sendirian?”
Gadis cantik itu
hanya mengangguk menanggapi pertanyaan Endra.
“Ehm ... jadi
kamu yang namanya Valerie, si juara umum sekolah. Cantik juga,” celetuk Garin
yang tak bisa menutupi keterpesonaannya akan paras ayu Valerie.
“Mungil lagi,”
timpal Juno.
“Sudah jangan
ganggu terus. Kasihan, mukanya sampai merah gitu,” ucap Ello.
Jelas saja wajah
Valerie memerah karena rasa malu dan gugup berdiri di depan empat murid tampan
idola sekolah. Tidak hanya tampilan fisik yang sempurna, tapi juga prestasi
dalam bidang olahraga dan musik.
“Kita boleh
gabung, kan?” tanya Garin sambil duduk di bangku samping Valerie. Sementara,
Juno juga ikut menghempaskan diri di kursi yang sama.
Valerie hanya
diam membatu. Apalagi ia bisa melihat Endra sedang menatapnya dalam.
“Apa kamu sering
ke sini?” Endra bertanya tanpa mengalihkan pandangan dari gadis pendiam itu.
“Setiap hari.”
“Benarkah? Kalau
begitu besok aku temani, ya? Biar kamu nggak kesepian,” sahut Juno dengan nada
mengggoda.
Lagi-lagi
Valerie hanya diam. Tak tahu bagaimana harus bersikap. Ini pertama kali ia
bicara dengan murid lelaki, selain Endra tentunya.
“Itu apa?” tanya
Ello dengan telunjuk mengarah pada kotak bekal yang Valerie pegang. Semua mata
kini beralih ke arah kotak berwarna merah muda. Ragu-ragu, gadis itu membuka tempat
makannya dan menawarkan risoles pada empat sekawan.
“Ambil saja jika
kalian mau,” tawar Valerie pelan, mencoba menghilangkan kegugupan.
Empat sekawan
mengintip isi kotak. Agak sedikit sangsi jika keempat lelaki tampan akan
tertarik dengan makanannya. Namun, siapa sangka bahwa Endra mengambil kue dan
melahapnya. Diikuti oleh Garin, Ello, dan Juno bergantian menyomot risoles.
“Kenapa kamu
tidak ikut makan?” Endra bertanya di sela kunyahannya.
“Tadi sudah
makan.”
Senyum
tersungging di bibir Valerie kala melihat empat sekawan makan kue risoles
dengan lahap. Ini sungguh pemandangan langka. Murid populer seperti mereka
asyik makan kue basah, bahkan berebut saat tinggal dua potong.
Menit berlalu
cepat. Semua kue tandas. Valerie menutup kotak bekal, lalu beralih pada buku Astronomi
untuk dibacanya.
“Dari sekian
banyak tempat, kenapa pilih tempat ini?” tanya Endra yang berdiri di depan
Valerie. Tubuh jangkungnya bersandar pada pagar atas gedung.
“Karena sepi.”
Valerie menjawab singkat.
“Kenapa nggak
bersama temanmu?” tanya Juno, lelaki berparas Indo-Korea.
“Aku tidak punya
teman.”
“Setiap orang
pasti punya teman, karena manusia makhluk sosial.” Kali ini, Garin yang
bersuara.
Valerie menutup
buku, pandangannya jatuh pada lantai. “Tidak ada yang mau berteman denganku,”
balasnya lirih.
“Kenapa?” Kini,
giliran Ello yang bertanya. Lelaki bermata sipit khas Asia Timur.
“Karena aku
berbeda dengan kalian dan yang lain. Aku masuk sekolah ini karena beasiswa
silang.”
Empat sekawan
diam. Rasa tak nyaman mulai menjalar di hati Valerie. Ia paling benci dengan
tatapan iba. Pandangan seperti itu membuatnya malu dan sedikit marah. Meski
miskin, tapi dirinya tidak mau dikasihani.
Valerie memilih
bangkit dari bangku, menghindari situasi canggung. Ketika ia berjalan melewati
Endra, langkahnya terhenti. Tangan Endra sudah menahan lengannya.
“Sekarang, kita
jadi temanmu." Endra berucap mantap. “Mulai besok, kita akan berkumpul di
sini.”
Untuk beberapa
saat, tatapan mereka terkunci. Rasa hangat pelan-pelan menjalar dalam lubuk
hati Valerie. Takut semakin jauh terperosok dalam pesona Endra, ia memutuskan
kontak mata lebih dulu. Saat ia mengalihkan pandang, ketiga sahabat Endra
tersenyum sambil mengangguk. Seolah setuju dengan pendapat Endra. Ia begitu
terharu. Baru kali ini merasa diterima dengan tulus oleh seseorang. Jadi,
beginikah bahagianya memiliki teman?
Mata Valerie
memanas, tapi cukup tahu malu untuk tidak menangis di depan empat sekawan.
“Terima kasih,” ucapnya tulus.
Bertepatan
dengan itu, bel berbunyi. Pertanda istirahat telah usai. Mereka berlima
berjalan menuju tangga untuk turun ke lantai tiga, tempat kelas IPA berada.
Ello dan Garin melambaikan tangan saat masuk di kelas tiga IPA3. Sementara,
Juno beranjak ke kelas tiga IPA2. Sampai akhirnya hanya tinggal Valerie dan Endra
yang berjalan menuju kelas tiga IPA1.
Kebersamaan
keduanya tentu saja menarik beberapa pasang mata. Endra tetap cuek dan tak
peduli dengan tatapan murid lain. Berbeda dengan Valerie yang jengah dengan
pandangan membunuh dari para gadis pemuja sang pangeran sekolah.
“Terima kasih
kuenya.” Lelaki beriris cokelat itu bersuara sesaat setelah duduk di bangku.
“Terima kasih
sudah mau jadi temanku,” balas Valerie yang dibalas senyuman oleh Endra.
***
Endra berjalan
keluar dari tempat kost. Sebenarnya bukan bangunan indekos seperti pada
umumnya, melainkan sebuah paviliun milik Tante Hesti, sahabat mamanya dulu saat
kuliah. Ia memang tak berasal dari Jakarta. Rumahnya berada di luar kota yang
cukup jauh dari sekolah.
Butuh waktu
sekitar dua jam untuk menempuh perjalanan. Oleh karena itu, ia memilih tinggal
di paviliun Tante Hesti agar lebih efisien.
“Valerie!” seru
Endra kala melihat teman sebangkunya itu keluar dari rumah Tante Hesti.
Endra mengurungkan niatnya
menaiki motor dan memilih menghampiri Valerie yang salah tingkah. Terlihat
jelas gurat kaget di wajah cantik temannya itu.
“Kenapa kamu
bisa ada di sini?” tanya Endra dengan nada heran yang kentara.
“Aku habis kasih
les privat Putra dan Putri,” jawab Valerie pelan. Putra dan Putri adalah anak
kembar Tante Hesti.
Tanpa diduga
Endra, Valerie mendekat dan menggenggam tangannya. Entah kenapa dadanya
berdesir merasakan genggaman hangat gadis cerdas itu.
“Aku mohon,
Ndra. Jangan beritahu siapa pun tentang pekerjaanku!” pinta Valerie masih
menggenggam tangan Endra.
Endra menatap
bingung. “Bukannya kasih les privat itu bagus?”
“Kalau sekolah
tahu, aku bisa dikeluarkan.” Valerie menjawab pelan.
Sedari awal,
Valerie memang nekat melanggar aturan. Ia tidak tega melihat sang ibu mengais
rezeki seorang diri. Namun, ia mulai ketakutan sekarang. Jika pihak sekolah
tahu bisa dipastikan dirinya akan dikeluarkan. Apalagi ia hanya murid penerima
beasiswa.
“Tenang saja,
rahasiamu aman. Lagi pula aku juga kerja. Jadi, kita impas sekarang.”
Embusan napas lega keluar dari
hidung bangir Valerie. Ucapan Endra membuatnya tenang. Kini, ia tidak perlu
takut rahasianya akan terbongkar. Karena Endra bukanlah tipe lelaki bermulut
besar.
“Terima kasih,
Ndra,” ujar Valerie, lalu melepas tangan Endra yang sedari tadi digenggamnya.
Endra mengangguk.
“Mau pulang?”
“Aku masih mau
kasih privat ke anak lain,” jawab Valerie cepat.
“Daerah mana?”
Manik cokelat Endra tak lepas dari paras ayu Valerie.
“Masih di
kompleks sini, tapi di blok depan,” sahut Valerie sedikit gugup.
“Jalan kaki?”
tanya Endra dan gadis mungil itu mengangguk.
“Kalau begitu
ikut denganku saja naik motor. Lebih cepat dari jalan kaki.” Endra mengamati
gestur Valerie melirik motor. “Kenapa?” tanyanya heran mendapati raut ragu di
wajah teman sebangkunya itu.
“Ehm, a---aku
tidak pernah naik motor,” jawab Valerie malu-malu. Endra sedikit terkekeh
melihat wajah tersipu teman sebangkunya.
“Jangan takut!
Aku jago bawa motor. Ayo naik!” Endra menarik tangan kanan Valerie untuk
mendekat ke arah kuda besinya.
***
Seumur hidup,
Valerie belum pernah naik motor. Namun, selama dua hari berturut, ia justru
duduk manis di jok motor mahal bersama Endra. Setelah kemarin ia diantar menuju
rumah anak didiknya. Sekarang, ia kembali dibonceng saat hendak memberi les
privat si kembar.
Awalnya, ia
harus berjuang keras melawan rasa takut. Belum lagi jantungnya yang berdetak
keras tanpa diperintah. Sepertinya, berdekatan dengan Endra mengacaukan kinerja
jantungnya.
Angin kencang
yang menerpa wajah saat naik motor memberi kesenangan tersendiri bagi Valerie.
Terlebih lagi duduk berdekatan dengan tangan melingkar di pinggang lelaki
setampan Endra, seperti sebuah mimpi.
Endra merasa
seperti bukan dirinya saat bersama Valerie. Ia tak pernah berpikir untuk dekat
dengan lawan jenis. Namun, gadis bermanik mata cokelat itu, seakan membalikkan
dunianya. Ia tak pernah mengizinkan perempuan menyentuh motornya. Akan tetapi,
dua hari berturut, Valerie dibiarkan menaiki kuda besi kesayangan.
Setelah dua
puluh menit yang mendebarkan, motor Endra berhenti di halaman rumah Tante
Hesti. Valerie turun dari motor, lalu melepaskan helm.
“Terima kasih
untuk tumpangannya.” Valerie menyodorkan helm.
“Tidak masalah,”
sahut Endra saat melepas helm. Ia meraih helm dari tangan Valerie, lalu
diletakkan di kursi teras paviliun. “Apa kamu langsung mengajar?”
“Masih satu jam
lagi, mungkin aku akan tunggu di sana,” jawab Valerie sambil menunjuk teras
Tante Hesti.
“Tunggu di
tempatku saja dari pada bengong sendirian di teras.” Endra menjawab sembari
mendorong motor menuju teras paviliun.
Manik mata
Valerie mengamati bangunan di depannya. Ternyata tempat kost Endra adalah
paviliun rumah Tante Hesti. Tempat itu lumayan besar, mungkin hampir sama
dengan rumah kontrakannya. Keseluruhan tembok bercat putih. Terlihat asri
karena dilengkapi taman kecil dengan bunga dan rumput yang terpelihara di
sekitar teras.
Endra mengambil
kunci dalam jaket dan membuka pintu paviliun. “Ayo masuk!” ajaknya.
Valerie melepas
sepatu dan masuk ke ruang tamu. Ia cukup kagum dengan perabotan yang ada dalam
paviliun. Tempat ini jelas lebih indah dari rumahnya. Perangkat mebel pun lebih
mahal. Sofa warna biru tua terletak di ujung ruangan. Di bagian bawah tergelar
karpet permadani dengan motif kotak-kotak hitam putih. Dindingnya berwarna
putih dengan tergantung lukisan indah bertema pemandangan laut. Lantainya
terbuat dari marmer dengan warna senada dinding, memberi kesan bersih. Nilai
positif lagi buat Endra yang selalu rapi.
Valerie
menghempaskan diri di sofa dengan tas berada di pangkuan. Endra terlihat masuk
ke sebuah kamar. Beberapa detik kemudian, lelaki bertubuh jangkung itu keluar
tanpa memakai jaket, sehingga menampakkan seragam dengan kemeja warna biru laut
dan celana motif kotak-kotak berwarna senada. Berkebalikan dengan dirinya yang
bernuansa merah muda.
Endra membawa dua
kaleng minuman soda. Satu kaleng diletakkan tepat di depan Valerie, sedangkan
ia membuka miliknya. “Ayo diminum!” ucapnya setelah meneguk minuman.
Tangan kanan
Valerie terulur meraih kaleng. Dibuka dan diteguknya minuman berkarbonasi itu.
Berharap dapat meredakan gugup. Jika dipikir, ini kali pertama ia pergi ke
tempat lawan jenis.
“Kalau tahu
ternyata masih ada waktu. Tadi kita bisa makan dulu. Kamu mau makan apa?” tanya
Endra seraya mengambil gawai dan bersiap menelepon.
Valerie
menggelengkan. “Tidak perlu repot, Ndra. Kamu saja yang pesan,” jawabnya cepat.
Ia sudah terlalu malu untuk makan dengan sahabat barunya itu.
“Santai saja,
Rie. Kita makan siang ba ....”
Ucapan Endra
terhenti saat mendengar suara mesin mobil memasuki halaman paviliun. Tak susah
baginya menebak siapa yang datang. Tentu saja trio laknat yang gemar menggoda
Valerie.
Valerie menoleh
ke arah mobil yang terparkir, tepatnya tiga mobil. Ia tahu itu pasti Ello,
Garin, dan Juno dilihat dari mobil yang sudah sering dilihatnya di sekolah. Ketiganya
turun dari kendaraan masing-masing dan terlihat sama tampannya dengan Endra.
“Siang,
Valerie,” sapa Juno saat masuk ke paviliun. Diikuti Garin dan Ello yang sedang
memegang kotak pizza.
“Siang,” jawab
Valerie pelan.
“Kenapa tidak
menyapa yang punya rumah?” sindir Endra.
“Sudah sering
ketemu, basi.” Juno tersenyum jail. Lalu, kedua manik legamnya menatap Valerie.
“Yuk, makan
bareng! Aku sudah bawa pizza.” Ello menaruh dua susun kotak pizza ukuran besar
di meja.
“Tahu saja kalau
aku lagi lapar. Thanks.” Endra urung memesan makanan dan meletakkan gawai di
samping kotak pizza.
“You’re welcome,
Bro,” sahut Ello.
Valerie semakin
kikuk. Bingung untuk bersikap. “Endra,” panggilnya dengan suara tertahan,
seperti bunyi decitan tikus terjepit.
Seketika Endra
mengangkat kepalanya. “Ada apa, Rie?”
“Boleh numpang
ke kamar mandi?” tanya Valerie pelan.
“Oh iya, kamu
masuk saja lalu jalan lurus. Kamar mandinya ada di sebelah dapur,” terang Endra
setelah menelan pizza.
“Mau aku antar,
Rie?” tawar Garin dilengkapi kerlingan jail.
Valerie
menggeleng pelan. “Aku bisa sendiri.”
Sebenarnya
Valerie tidak memiliki hasrat buang air. Ia hanya butuh tempat untuk
menghilangkan kegugupan. Sembari mencuci tangan, ia memandang pantulan wajah di
cermin. Masih sulit dipercaya dirinya telah mempunyai teman. Mengingat kata
teman selalu berakhir dengan bayangan profil Endra. Debar jantungnya selalu tak
terkendali setiap teringat lelaki tampan itu. Perasaan apakah ini?
Merasa cukup
tenang, Valerie menyudahi kegiatannya. Ia membuka pintu pelan. Ternyata Endra
sedang berada di dapur.
“Sudah selesai,”
ucap Endra sembari menutup pintu kulkas. Kini, kedua tangannya memegang botol
air mineral dingin. Valerie mengangguk, lalu berjalan di belakangnya menuju
ruang tamu.
Valerie melirik
jam dinding, masih pukul 14.10. Ia membatin tentang waktu yang terasa begitu
lama. Bukan karena ia tidak suka berada bersama empat sekawan, melainkan lebih
pada rasa gugup yang muncul setiap dekat mereka. Ia meraih sepotong pizza.
Mungkin dengan makan bisa mengendalikan rasa kikuk. Perlahan ia mulai menggigit
dan mengunyah. Ketika ia menoleh, baru sadar bahwa empat sekawan tengah
menatapnya.
Valerie pun
berhenti mengunyah. “Kenapa?” tanyanya pelan berusaha mengatasi debar gugup
yang kembali muncul.
“Baru kali ini
lihat kamu makan. Cantik banget!” celetuk Juno sambil mengerling jail.
Valerie langsung
tersedak pizza. Ello yang kebetulan duduk di dekatnya, segera menepuk punggung.
Sementara, Endra menyodorkan gelas berisi air. Diraihnya air itu untuk
meredakan tenggorokan. Ia merasa wajah dan telinganya panas karena malu.
“Sorry, Rie.
Tadi aku nggak bermaksud membuatmu tersedak.” Juno sedikit menyesal. Valerie
hanya mengangguk pelan.
“Ayo, makan
lagi!” Dengan ragu-ragu, Valerie menerima pizza yang disodorkan Endra. Suasana
sudah kembali tenang karena kini mereka tengah makan dengan khidmad. Sesekali
terdengar obrolan singkat.
Menyenangkan
bisa melihat empat sekawan bercanda. Valerie harus mengakui hidupnya sedikit
berbeda sejak bertemu Endra. Dalam diam, ia menyimak pembicaraan sahabat
barunya tentang pasangan. Kini, ia penasaran seperti apa tipe gadis si tampan
berkulit putih itu.
“Apa kamu sudah
punya cowok?” tanya Juno sambil melihat wajah cantik Valerie yang menggeleng
pelan.
“Sudah pernah
pacaran?” Garin bertanya ingin tahu. Lagi-lagi Valerie hanya menggeleng.
“Aku ada masalah
dengan kepercayaan. Jawaban Valerie semakin membuat empat sekawan terbengong
heran. “Itulah sebab aku selalu menolak segala sesuatu yang melibatkan
perasaan.”
“Kenapa?” Endra
sudah menatap penuh gadis bersurai brunette
itu.
“Karena akan sangat menyakitkan jika sesuatu itu
tiba-tiba pergi,” jawab Valerie pelan. Hatinya selalu bergetar setiap teringat
kembali dengan masa lalu.
“Bukankah nggak
selamanya kita bisa sendiri?” Ello tak mau kalah mengorek pribadi si juara umum
sekolah.
“Memang benar.
Dulu, satu-satunya orang yang jadi temanku cuma ibu. Aku tidak punya dan tak
butuh teman. Namun, setelah lihat persahabatan kalian. Sepertinya aku mulai
sedikit membuka diri untuk belajar memahami banyak perasaan,” jawab Valerie
dengan tersenyum tipis.
Jam dinding
sudah menunjukkan pukul 15.00. Sudah tiba masa untuk pamit. Ia meraih tas yang
tergeletak di permadani. “Terima kasih untuk makanannya,” pamit Valerie dengan
melihat ke arah Ello.
“Sama-sama.”
Ello menjawab singkat.
“Terima kasih,
Ndra. Sudah kasih tumpangan tadi.” Kini, iris Valerie dan Endra beradu.
Kepala Endra
mengangguk. “Santai saja, mulai sekarang kita bisa pulang bareng,” jawabnya
dengan senyum menghiasi bibir penuh nan menggoda.
“Besok pulang
denganku saja. Jangan keseringan naik motor! Aku takut kamu terbang terbawa
angin,” sahut Garin yang langsung mendapat jitakan dari Endra.
Valerie tersenyum,
melambaikan tangan ke arah empat sekawan, sebelum melangkah keluar paviliun
menuju rumah Tante Hesti.
***
Gelenyar aneh
menjalar di hati Endra setelah semakin mengenal Valerie. Hari ini, mungkin jadi
hari keberuntungannya. Tidak hanya bisa pulang bersama, melainkan juga dapat
melihat gadis mungil itu duduk manis di tempatnya. Apalagi tadi ia bicara
tentang filosofi perasaan. Benar-benar sosok cerdas dan menarik.
“What a beautiful
girl!” gumam Endra yang ternyata masih bisa didengar tiga sekawan.
Sontak, ketiga temannya itu menoleh dengan pandangan penuh selidik.
Sontak, ketiga temannya itu menoleh dengan pandangan penuh selidik.
“Tunggu, Ndra!
Apa kamu suka dengan Valerie?” Juno mulai penasaran. Sungguh hal langka jika
Endra tertarik dengan lawan jenis.
“Tidak,” sahut
Endra cepat, mencoba menutupi perasaan yang tiba-tiba berdesir hebat.
“Halah, nggak
perlu bohong. Kamu suka, kan? Ayo ngaku! Aku sudah curiga kalau kamu suka padanya,”
sahut Garin.
Endra menatap
tajam tiga sahabatnya. Alih-alih merasa terintimidasi, justru godaan tiga sekawan
semakin menjadi.
“Mau bukti? Kamu
nggak pernah mau dekat atau bicara dengan cewek, tapi bisa akrab dengan
Valerie,” ucap Ello.
“Kamu nggak
pernah membiarkan motormu tersentuh orang lain, tapi kamu mau membonceng
Valerie. Bahkan sampai mengajaknya ke sini,” timpal Juno.
“Kalau memang
suka. Cepat nyatakan padanya! Sebelum disambar cowok lain,” ucap Garin.
“Kalau kamu
nggak segera beraksi. Valerie nanti aku embat lho,” goda Ello berusaha
memancing emosi Endra.
Endra diam
mencoba mencerna perasaannya. Manik cokelat matanya kembali melihat Valerie.
tiga sekawan juga ikut memandang ke luar. Dari kejauhan mereka bisa menangkap
pemandangan gadis mungil nan cantik tengah menerima telepon.
“Lihat ...
lihat! Dapat telepon dari siapa, tuh?” celetuk Ello kala mendapati Valerie
menerima panggilan.
“Serius sekali
mukanya,” sahut Juno.
Beberapa saat
kemudian, Valerie tampak berlari menuju gerbang. Langkahnya tiba-tiba terhenti.
Kemudian, ia berlari kembali menuju rumah Tante Hesti. Ia memencet bel tak
sabaran dan tampak panik saat menunggu pintu terbuka.
“Perasaanku saja
atau memang Valerie lagi panik.” Endra berdiri dan melangkah menuju pintu.
“Dia lagi panik
itu. Samperin, yuk!” ajak Garin.
Endra memakai
sepatu disusul Juno, Ello, dan Garin. Tampak Valerie kembali berlari menuju
gerbang setelah bicara dengan Tante Hesti.
“Valerie!”
Panggilan Endra
membuat gadis bermata indah menoleh. Dengan diikuti tiga sekawan, Endra
berjalan menghampiri Valerie. Wajah cantik itu tampak pucat lengkap dengan
genangan air di pelupuk mata.
“Ada apa?” tanya
Endra sambil menatap lekat wajah sendu gadis di depannya. Tanpa menjawab,
Valerie justru menangis histeris.
TBC
Pati, 14 Juni 2019
Biodata:
Penulis lahir di
Malang tiga puluh tahun silam. Mulai belajar literasi sejak Agustus tahun lalu.
Keseharian mengurus bimbel miliknya dan bekerja di salah satu penerbit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.