Seorang perawat
UGD memberitahu kamar tempat Ibu Arumi dirawat. Tak menunggu lama, Valerie dan
Empat Sekawan bergegas menuju ruang perawatan. Gadis berkuncir kuda membuka
pintu pelan. Terlihat sang ibu berbaring lemah dengan jarum infus menancap di
pergelangan tangan kanan. Ia mendekat dengan tangis tertahan. Dikecupnya pipi
ibu tercinta. Air matanya kembali tumpah melihat wanita yang melahirkannya
dalam keadaan tak berdaya.
“Valerie!”
Tiba-tiba seorang wanita setengah baya memasuki ruangan.
“Apa Anda
yang membawa ibuku ke sini?” tanya Valerie sembari menghapus jejak basah di
pipinya.
Wanita
paruh baya itu mengangguk. Tangannya mengelus lengan Valerie lembut. Seolah
ingin memberi semangat untuk putri temannya itu. “Tadi ibumu pingsan cukup lama
dan tidak segera sadar. Akhirnya ia dibawa kemari. Kamu sebaiknya bertemu
dokter untuk mencari tahu kondisi ibumu. Tadi kami tidak bisa mendapat
informasi karena dokter ingin membicarakannya dengan keluarga,” terang wanita
yang merupakan teman ibunya bekerja.
“Terima
kasih, Bu, karena sudah membawa ibuku ke sini,” ucap Valerie tulus dan wanita
berseragam dengan tulisan nama pabrik konveksi mengangguk.
“Kalau
begitu aku mau kembali ke pabrik. Besok, aku akan ke sini lagi.” Valerie
menganggukkan kepala dan kembali mengucapkan terima kasih.
Sepeninggal
teman ibunya, Valerie kembali menatap wajah pucat wanita yang begitu
dicintanya. Saat itulah teringat pesan untuk menemui dokter. Ia menoleh ke arah
Empat Sekawan yang berdiri kaku dekat ranjang sang ibu.
“Apa
boleh aku minta tolong lagi?” Valerie menatap Empat Sekawan bergantian. Satu
per satu dari mereka mengangguk setuju.
Sungguh
ia merasa terbantu dengan keempat sahabatnya itu. Berkat mereka, perjalanan
yang harus dilalui dengan naik angkot berulang-ulang, dapat ditempuh dengan
waktu lebih cepat menggunakan mobil sport milik Ello.
“Tolong
jaga ibuku sebentar, ya! Aku mau bertemu dokter,” pintanya dengan suara serak,
efek terlalu lama menangis.
"Oke."
Ello menyahut cepat.
Valerie
meletakkan tas di meja samping ranjang. Saat berbalik, Endra sudah berdiri di
sampingnya.
“Aku
temani menemui dokter.” Valerie mengangguk.
Keduanya
melangkah ke luar dari ruangan untuk menemui dokter. Angin dalam lorong
berembus semilir menerpa wajah sendu Valerie. Seolah paham dengan kekalutan
teman sebangkunya, Endra meraih tangan mungil gadis yang menurutnya istimewa
untuk digenggam erat.
Kepala
Valerie mendongak. Kedua iris cokelatnya menatap Endra yang tinggi menjulang di
sampingnya. Ada sedikit ketenangan yang menjalar dari tautan tangan mereka.
“Tenanglah,
semua pasti akan baik-baik saja.”
Satu
kalimat Endra ternyata cukup ampuh meredakan ketakutan dalam diri Valerie.
Sungguh ia tak berani membayangkan jika sesuatu buruk terjadi pada
ibunya.
Dengan
dibimbing si Pangeran Sekolah, ia kembali melangkah menuju ruang dokter. Endra
mengetuk pintu. Tak berselang lama, suara berat lelaki menyahut untuk
mempersilakan masuk.
“Silakan
duduk!” ucap dokter itu menunjuk kursi di depan meja. Valerie melirik pada plat
nama yang bertuliskan dr. Barry Poernomo.
“Saya
putri Bu Arumi. Sebenarnya Ibu saya sakit apa, Dok?” tanya Valerie dengan nada
cemas.
“Apa kamu
satu-satunya keluarga Bu Arumi?” tanya Dokter Barry yang dibalas anggukan
kepala oleh Valerie.
Satu
fakta yang baru Endra tahu tentang Valerie, bahwa satu-satunya keluarga adalah
sang ibu. Lalu, ke mana sang ayah? Apa dia sudah meninggal? Berbagai pertanyaan
berkelebat di benaknya seputar kehidupan gadis mungil itu.
“Begini,
aku tadi sempat berbicara dengan teman kerja ibumu. Ibumu dikenal sangat
pekerja keras, di sinilah awal mula penyakit ibumu timbul. Bu Arumi mengalami
infeksi selaput otak, atau biasa disebut meningitis. Ini cukup berbahaya jika
tidak ditangani dengan segera.”
Penjelasan
dokter seperti petir yang begitu mengejutkan Valerie. Bahkan Endra yang duduk
dan masih menggenggam tangannya tak kalah memasang wajah terkejut.
“Lalu,
tindakan apa yang harus dilakukan?” tanya Valerie serak menahan bulir bening
yang bertumpuk di pelupuk mata.
“Kami
masih belum bertindak banyak karena kondisi ibumu masih belum stabil, bahkan
sekarang beliau masih belum sadar. Namun, tindakan yang pasti, kami akan
melakukan kemoterapi untuk mengurangi infeksi yang terjadi,” terang dokter
Barry.
Satu per
satu bulir bening meluncur di pipi tirus Valerie. Endra melirik sekilas, tak
tega melihat kesedihan teman sebangkunya itu.
“Terima
kasih informasinya, Dok. Kami permisi dulu.” Endra mewakili Valerie yang
bergeming kaku. Dokter Barry menganggukkan kepala dengan wajah iba yang tak
bisa disembunyikan.
Endra
sadar pasti tidaklah mudah berada di posisi Valerie. Dipaksa menerima kenyataan
akan keadaan ibu yang sekarat. Terlebih temannya itu sama sekali tak memiliki
sanak keluarga untuk mendampingi atau sekadar memberi semangat. Dengan lembut,
ia menarik tangan Valerie keluar dari ruangan.
Keduanya
berjalan beriringan. Hawa dingin langsung menyergap kala mereka melewati lorong
rumah sakit. Langkah Valerie kian memberat. Bebannya kali ini cukup membuat
frustrasi. Sampai ia sendiri tidak tahu bagaimana harus mencari solusi. Ia
menarik diri dari tangan Endra. Bangku yang berjajar di koridor menjadi tempat
pelampiasan gundah. Gadis cantik itu terduduk lemas dengan kedua tangan menutup
wajah. Tubuhnya bergetar oleh isakan keras.
Perlahan
Endra mendekat, lalu ikut menghempaskan diri di kursi besi. Sebelah tangannya
terangkat untuk mengusap lembut kepala Valerie. Berharap bisa memberikan
ketenangan.
“Aku
harus gimana, Ndra?” Valerie bersuara di sela tangisnya.
Kedua
tangan Endra menarik Valerie dalam dekapan. “Tenang, Rie! Semua pasti akan
baik-baik saja.” Ia mencoba menenangkan gadis itu sembari mengelus punggung
mungil yang begitu rapuh.
“Bagaimana
jika sesuatu terjadi pada ibuku? Aku akan sendiri. Aku harus bagaimana, Ndra?”
Dada
Endra sudah basah oleh air mata Valerie, tetapi ia sama sekali tidak keberatan.
Asalkan temannya dapat kembali tersenyum, ia rela menjadi tempat pelampiasan
sedih. Entah kenapa mendapati gadis bermata indah itu menangis, hatinya ikut
teriris perih.
“Jangan
bicara begitu! Kita berdoa saja, semoga ibumu cepat sembuh. Kamu juga tak perlu
merasa sendiri, ada aku yang akan selalu menemanimu. Aku dan Tiga Sekawan akan
selalu ada buatmu,” hibur Endra untuk menenangkan gadis mungil itu.
Setelah
cukup lama berpelukan, tangisan Valerie berhenti. Wajahnya merona saat ia
melepaskan diri. Hanya sebuah dekapan sudah membuat perasaan kalutnya membaik.
Entah sejak kapan kehadiran Endra menjadi terasa berarti baginya.
“Ayo,
kembali ke kamar! Siapa tahu ibumu sudah sadar dan mencarimu,” ucap Endra
menutupi kegugupannya. Ia bangkit dan membantu Valerie berdiri, lalu kembali
melanjutkan langkah ke ruang rawat inap.
“Terima
kasih, Ndra, sudah mau menemaniku.” Valerie menoleh sekilas.
Endra
tersenyum diiringi anggukan kepala. “Sama-sama. Jangan sedih lagi, ya!”
Dari
kejauhan tampak Ello, Juno, dan Garin duduk di bangku depan ruangan. Endra dan
Valerie mendekat ke arah mereka.
“Apa
ibunya Valerie sudah sadar?” tanya Endra sesaat setelah berdiri tepat di dekat
Tiga Sekawan.
“Belum.”
Garin menggeleng pelan.
“Apa kata
dokter?” tanya Juno.
“Hanya
kecapekan jadi butuh istirahat.” Valerie menjawab dengan mata menatap Endra
penuh arti.
Endra
mengerti, mungkin Valerie masih enggan menceritakan keadaan ibunya yang
sekarat. Ada percikan rasa bahagia mengingat si Cantik berambut cokelat gelap
hanya percaya padanya.
“Yang
sabar, Rie. Aku yakin ibumu akan sembuh,” doa Ello tulus.
Valerie
mengangguk. “Terima kasih untuk kalian karena sudah membantuku,” ujarnya dengan
melempar senyum tipis nan manis.
Empat
Sekawan hanya mengangguk singkat. Ello menyodorkan air mineral ke arah Valerie
dan Endra. Tangan Valerie terulur meraih botol. Ia tersentak mengingat
sesuatu.
“Apa kamu
tidak pergi kerja?” Valerie menatap lelaki berambut panjang itu tengah meneguk
air.
Endra
menggeleng. “Bolos.”
“Kenapa
harus bolos? Masih ada waktu untuk bersiap,” sahut Valerie setelah melihat jam
pada ponselnya.
“Sekali-kali
bolos nggak masalah, Rie. Tinggal telepon bos juga beres,” jawab Endra
santai.
“Ini
sudah sore bahkan sudah menjelang malam. Apa kalian tidak sebaiknya pulang?”
Bukan niat hati Valerie mengusir Empat Sekawan yang sudah menolongnya. Hanya
saja ia tidak ingin banyak merepotkan mereka.
“Kami mau
menemanimu di sini,” balas Garin.
“Aku
tidak masalah tinggal sendiri, kalian pulang saja,” desak Valerie.
“Yakin
tidak mau kita temani?” Juno mencoba meyakinkan teman cantiknya itu.
Valerie
menganggukkan kepala mantap. “Yakin dan terima kasih banyak.”
“Baiklah,
kita pulang sekarang. Jika nanti ada apa-apa, telepon aku. Aku akan datang
kemari.” Lagi-lagi Valerie mengangguk dengan mengulas senyum menanggapi ucapan
Endra.
***
Endra
bersama tiga sahabatnya berada dalam mobil Ello. Ello sibuk menyetir dengan
Garin yang duduk di sebelah, sedangkan ia dan Juno bersandar nyaman di jok
belakang. Secara umum posisi tetap sama saat berangkat ke rumah sakit, hanya
minus Valerie.
“Aku
nggak bisa membayangkan gimana paniknya Valerie,” ucap Juno memecah
keheningan.
“Dia
gadis yang kuat, belum tentu aku bisa setegar dia,” Garin menyahut dengan bibir
mengeluarkan kabut tipis, hasil pembakaran tembakau dan nikotin.
“Dia cuma
hidup bersama ibunya. Untuk itu, dia tampak terpukul sekali,” sahut Endra
sembari mengisap rokok.
“Memang
ayahnya ke mana, Ndra?” tanya Ello dengan fokus menyetir mobil.
“Aku
nggak tahu. Valerie nggak pernah cerita dan aku nggak pernah tanya,” jawab
Endra.
Endra
memandang jauh ke luar mobil. Ingatan akan Valerie yang menangis sedih dalam
pelukannya kembali berputar. Pikirannya dipenuhi wajah cantik berbibir mungil
yang pasti kesepian menunggu sang ibu. Kini, ia telah mengetahui sisi lemah
gadis itu. Tebersit keinginan untuk bisa menjadi penguat bagi Valerie.
“Berarti
Valerie itu selain menarik juga misterius, ya,” ucap Ello membuyarkan lamunan
Endra.
“Sekali
rahasia terungkap, selalu membuatku tercengang.” Garin menutup perbincangan
seputar Valerie.
Keempat
sahabat itu mulai terlarut dalam obrolan seputar musik. Sesekali tawa berderai
di dalam kendaraan mewah beroda empat itu. Sampai Endra merasakan getaran dalam
saku celana. Diraihnya ponsel pintar dan mulai membaca pesan. Senyumnya
seketika terbit, hingga tak sadar jika Juno tengah memperhatikan.
“Chat
dari siapa, Ndra?” tanya Juno kepo.
“Valerie,
dia bilang ibunya sudah sadar.”
“Alhamdulillah,”
ucap Tiga Sekawan serentak.
***
Valerie
kembali teringat kejadian yang dialaminya siang tadi. Masih terbayang jelas
dirinya yang panik dan bingung mendengar kabar sang ibu pingsan. Beruntung ada
Endra, Ello, Garin, dan Juno yang sigap membantu dengan mengantarnya ke rumah
sakit.
Namun,
dari keempatnya, Valerie tak pernah berhenti memikirkan Endra. Masih terasa
sampai sekarang genggaman tangan dan pelukan hangat lelaki tampan itu. Ketika
ia hampir tidak kuasa menahan tangis gundah, teman sebangkunya itu
menghiburnya. Tatapan mata tajam bernetra cokelat begitu lembut, hingga
menariknya dalam pusaran damai. Endra adalah satu-satunya sosok maskulin yang
membuatnya nyaman.
Valerie
duduk dengan pandangan terpaku pada sang ibu yang belum sadarkan diri. Ia sudah
tidak menangis, mungkin karena kelenjar lakrimalis sudah terkuras habis. Hanya
doa yang selalu terpanjat sedari tadi. Permintaannya tak muluk, ia hanya ingin
ibunya sembuh dan sehat seperti sedia kala.
Dalam
keheningan malam seperti ini, kembali membangunkan sentimentil Valerie. Ia
berandai-andai akan hal yang sebenarnya mustahil untuk tercapai. Andai saja
punya uang banyak, pasti sang ibu tidak akan sakit seperti sekarang. Jika
ayahnya ada, maka hidupnya tidak menderita. Semua ini karena dia. Sosok yang
dianggap terlalu jahat dan tega menyakiti ibunya.
Valerie
menghalau buliran bening yang hendak menerobos jatuh dari balik palpebra.
Selalu saja seperti ini setiap teringat lelaki tua itu. Ia mengembuskan napas,
berharap dapat menghilangkan sesak dalam dada.
Beberapa
saat kemudian, sang ibu mulai membuka mata. Dengan cepat, Valerie memanggil
dokter untuk kembali memeriksa. Dalam perasaan lega itulah, satu nama terlintas
di benaknya. Ia mengambil ponsel, lalu mengirim chat untuk seseorang yang
berarti dalam hidupnya.
***
Mungkin
karena masih terpengaruh obat, hingga Ibu Arumi kembali tertidur pulas. Valerie
masih duduk termenung di kursinya. Setiap detik terasa berjalan lambat. Untuk
membunuh kejenuhan, ia memainkan game Solitaire dalam ponselnya.
Terdengar
pintu terketuk pelan. Ia hendak bangkit, tetapi urung ketika melihat pintu
kamar terbuka lebar. Detik berikutnya muncul seseorang yang begitu dikenalnya.
Endra memasuki ruangan dengan senyum mengembang sempurna.
“Bagaimana
kondisi ibumu?” tanya Endra menghampiri ranjang dengan kedua tangan menggenggam
tas. Tangan kanannya membawa tas warna hitam cukup besar, sedangkan tangan
satunya membawa kantong berlogo makanan Jepang.
“Sudah
lebih baik, tapi karena masih terpengaruh obat, jadi ibu kembali tidur.”
Endra
mengangguk mengerti. “Ini aku bawa baju ganti, handuk, dan peralatan mandi.
Lalu, ada makanan juga. Seharian kamu belum makan nasi, ‘kan?” ucapnya seraya
menyerahkan dua tas pada gadis cantik di depannya.
“Terima
kasih, Ndra. Jadi merepotkanmu.” Valerie tersenyum. Perasaan bahagia membuncah
di hatinya karena mendapat perhatian dari lelaki setampan Endra.
Endra
tersenyum. “Makan dulu, gih! Mumpung nasinya masih hangat.”
“Nanti
saja, aku mau mandi dulu, badanku sudah lengket semua,” ujar Valerie sebelum
pergi menuju kamar mandi yang terletak di luar ruangan perawatan.
Dalam
kamar mandi, Valerie membuka tas besar dan mengambil handuk beserta tas kecil
berisi peralatan mandi. Hebatnya semua masih baru. Ada sabun cair, sampo, sikat
gigi, pasta gigi, sisir, hingga parfum. Ia tersenyum sendiri, membayangkan
Endra bisa menyiapkan semua kebutuhan mandi secara detail.
Valerie
mulai mandi. Bersentuhan dengan air membuatnya segar kembali. Tak lupa ia
mencuci rambut dan mengakhiri ritual bersih-bersih dengan menyikat gigi.
Setelah itu, ia meraih handuk dan mulai mengeringkan tubuh. Tadi saat ia
membuka tas, tak sengaja melihat baju bersih di dalamnya. Ia pun kembali
membongkar isi tas Endra.
Benar
saja, di dalam tas terdapat baju ganti dan sepasang sandal lucu berwarna merah
muda. Keningnya mengernyit bingung. Ia pikir baju ganti yang dibawa Endra,
adalah baju milik lelaki itu sendiri. Ternyata kaus dan celana itu masih baru,
berlogo tiga balok miring warna pink. Di dada sebelah kiri terdapat bordir logo
dengan warna putih, sedangkan celana berwarna abu-abu dengan panjang tiga
perempat. Tentunya masih dengan brand sama. Ia cukup tertegun melihat banderol
harga yang mahal. Sepertinya Endra lupa melepas labelnya.
Akhirnya
dengan sedikit ragu, Valerie memakai celana dan kaus itu. Tampak sedikit
kebesaran di tubuhnya yang mungil. Selesai berpakaian, ia menyisir rambut
basahnya dan memakai parfum sebagai sentuhan akhir. Kembali bibirnya tersenyum
melihat sepasang sandal lucu berwarna senada pakaian. Lagi-lagi perasaannya
menghangat mendapat perhatian dari lelaki paling tampan di sekolah. Andai saja
dirinya berada pada strata sosial sama, mungkin tidak ada rasa rendah diri
setiap dekat Endra.
Valerie
keluar dari kamar mandi dan berjalan menuju ruangan ibunya. Saat ia membuka
pintu, Endra yang tengah mengetik di layar ponsel sontak mengangkat kepala.
Bibir penuh itu tersenyum lebar melihat penampilannya.
“Sepertinya
agak kebesaran, tapi lebih baik daripada harus memakai seragam sepanjang
malam,” ucap Endra, lalu memasukkan smartphone dalam saku jaket.
“Terima
kasih, aku suka bajunya.” Valerie tersenyum dan dibalas senyum tak kalah
manisnya dari lelaki bermata tajam itu.
“Lagi
apa?” tanya Valerie memecah suasana yang berubah canggung.
“Balas
chat Tiga Sekawan. Makan dulu, Rie!”
Valerie
mengangguk. “Di luar saja, yuk!” ajaknya dengan tangan menenteng kantong
makanan. Keduanya melangkah ke luar kamar, lalu duduk di bangku depan
ruangan.
“Ayo,
makan sama-sama!” Valerie membuka kotak makanan dan menawarkan isinya pada
Endra.
“Aku
sudah makan. Lagian itu punyamu.” Endra menjawab dengan tangan membuka tutup
botol minuman untuk gadis di sampingnya itu.
Dengan
menggunakan sumpit, Valerie mulai melahap makanan. Ternyata makan ditemani
seseorang yang spesial membuat perasaan menjadi senang. Ingin rasanya waktu
berhenti, sehingga bisa merasakan bahagia seperti ini lebih lama.
Valerie
menelan suapan terakhir. Kotak dan sumpit bekas makan dikumpulkan ke dalam
kantong. Ia meraih botol minum guna membasahi kerongkongannya yang mengering.
Selesai dengan semua, ia membuang sampah ke tong dekat tiang.
“Terima
kasih, Ndra.”
“Dari
tadi makasih melulu, biasa saja kali, Rie.” Endra mengibaskan satu tangannya.
Baginya apa yang dilakukan sekarang bukanlah sesuatu spesial. Paling penting,
ia mampu membuat Valerie nyaman dan bahagia di sisinya.
“Rie,
keluar, yuk! Aku pingin merokok,” ajak Endra memecah keheningan.
Valerie
mengangguk. Kini, keduanya berjalan menelusuri lorong menuju taman di luar
rumah sakit. Mereka duduk di bangku taman dekat patung air mancur.
Bunyi
pemantik disertai kepulan asap putih beraroma tembakau bercampur mint, mulai
tercium di hidung Valerie. “Kapan kamu mulai merokok?” tanyanya sesaat setelah
Endra menyulut sebatang rokok dan mengisapnya.
“Sejak
masuk SMA.”
“Tiga
Sekawan juga?”
Endra
mengangguk. “Tapi Juno yang sudah jadi perokok berat.”
“Kenapa
suka rokok?”
“Aku
pikir dengan merokok bisa menghilangkan penat. Ya ... semacam refreshing. Walaupun
sebenarnya juga banyak efek negatifnya.” Endra tersenyum sembari mengembuskan
asap yang kemudian menguap terbawa angin.
“Sudah
tahu bahayanya, tapi kamu tetap merokok.” Valerie berceletuk. Sementara, Endra
mengangguk, kemudian kembali mengisap batang kecil warna putih terselip di jari
tengah dan telunjuk.
“Apa kamu
tidak keberatan jika aku merokok?” tanya Endra dengan menoleh ke wajah lawan
bicaranya.
“Kenapa
harus keberatan?” Alih-alih menjawab, Valerie justru bertanya balik. Raut
bingung tergambar jelas di wajah pucatnya.
“Biasanya
cewek selalu mengeluh kalau ada cowok yang merokok.”
“Anggap
saja aku cewek yang nggak biasa.” Endra terkekeh mendengar ucapan diplomatis
Valerie.
Untuk
beberapa saat, mereka kembali diam. Angin malam terasa mulai menusuk tulang.
Valerie menengadahkan kepala, menatap langit yang tampak penuh dengan kerlipan
bintang. Duduk beratap angkasa pekat penuh taburan cahaya gemintang bersama
Endra, rasanya seperti memenangkan sebuah hadiah besar. Sontak saja hatinya
merasa bahagia.
“Bagaimana
perasaanmu sekarang?”
Valerie
menoleh, mengunci tatapan Endra. “Jauh lebih baik. Terima kasih.”
“Makasih
lagi? Apa nggak ada yang lain, selain ucapan makasih,” timpal Endra sembari
tersenyum menggoda.
Seperti
tersihir, tanpa sadar Valerie mengecup pipi kiri sang pangeran sekolah. Tubuh
Endra menegang dengan jantung berdetak tak keruan. Sementara ketika tersadar,
Valerie mulai menyalahkan diri telah bertindak impulsif. Ia benar-benar malu
sekarang, bahkan wajahnya terasa memanas.
“Ehm ...
ini lebih indah dari ucapan terima kasih,” ucap Endra berusaha menutupi
perasaan bahagianya.
Wajah
Valerie semakin memerah. Ingin rasanya ia mengubur diri dalam-dalam karena
malu.
Endra
menahan senyum melihat si Gadis cantik salah tingkah dengan rona tersipu.
Meskipun Valerie memalingkan wajah ke arah lain, tetapi tak sulit baginya untuk
menebak.
Menit
bergulir lama, mereka tetap bergeming dalam suasana canggung. Tak ada yang
bersuara, bahkan sampai Endra selesai menghabiskan sebatang rokok.
“Apa
besok kamu masuk sekolah?” tanya Endra mengikis rasa canggung antara dirinya
dan gadis di sampingnya.
Valerie
tak menjawab. Ia memilih menganggukkan kepala.
“Besok,
aku jemput.”
Sontak
Valerie menoleh. “Aku harus pulang dulu ke rumah, untuk ganti seragam dan ambil
buku.”
“Bukan
masalah, aku menjemputmu di sini pagi-pagi, lalu mengantarmu ke rumah. Nah,
baru nanti kita berangkat ke sekolah.”
“Apa
nggak merepotkanmu?” Endra cuma menggeleng.
Valerie
tersenyum sembari memandang lekat wajah tampan di sampingnya. “Sifatmu sesuai
dengan namamu.”
Endra
mengernyit bingung.
“Namamu
adalah Tarendra. Dalam bahasa sansekerta artinya pangeran yang mulia. Sifatmu
mulia seperti namamu.”
Endra
tersenyum penuh arti, kemudian mengusap lembut rambut lembut sedikit basah
milik Valerie. “Kamu cantik penuh cinta, seperti Peri Valentine. Valerie
....”
Jantung
Valerie hampir melompat keluar mendengar ucapan Endra. Ia tidak menyangka bahwa
teman tampannya itu tahu arti nama dari Valerie ... Peri Valentine.
“Sudah
malam, aku pulang dulu.” Endra bangkit dari bangku taman. “Selamat malam,
Valerie,” pamitnya dengan senyum merekah.
“Selamat
malam, Endra,” balas Valerie.
Endra
membalikkan badan. Namun, baru dua langkah, ia memutar tubuhnya kembali.
Dipandangnya paras ayu yang mulai berubah menjadi candu.
Kening
Valerie berkerut melihat Endra tersenyum padanya. Secara tiba-tiba lelaki itu
maju mendekat. Dalam sekerlip mata, bibir penuh itu menempel di dahinya. Satu
kecupan lama diberikan teman spesialnya, sebelum menarik diri.
“Sampai
jumpa besok, Valerie,” bisik Endra dekat dengan wajah gadisnya yang
memerah.
Tbc
Pati, 21 Juni 2019
Biodata:
Penulis
lahir di Malang, tepatnya tanggal 28 Desember. Namun sekarang, tinggal bersama
suami di Pati. Mulai belajar menulis sejak Agustus tahun lalu. Sejauh ini sudah
menerbitkan tiga buku antologi, sedangkan antologi keempat dan kelima masih
dalam proses pengeditan.