Mak Surip,
wanita berumur 68 tahun itu tinggal di sini sendiri. Rumah sederhana dengan
tembok yang sudah retak di beberapa bagian. Sepi, tanpa suami dan anak.
Mak Surip memang
tak memiliki anak. Dia menikah dengan seorang lelaki yang jauh lebih muda
darinya lima tahun lalu. Namun, pernikahan tak berlangsung lama. Lelaki itu
hanya mengincar harta Mak Surip. Lalu pergi begitu saja, membawa perhiasan,
sejumlah uang, dan sepeda onthel
miliknya.
Beliau tak
pernah mengeluh tentang keadaan fisiknya. Salah satu netra yang tak lagi
berfungsi dengan sempurna. Pendengaran yang semakin berkurang, membuatnya
kadang tak mengerti dengan ucapan orang yang berbicara dengannya.
Rutinitas setiap
hari Mak Surip adalah membatik. Buruh batik lebih tepatnya. Kecamatan Bayat
adalah salah satu penghasil batik yang sudah terkenal sejak dulu. Dari batik
printing, cap, dan tulis.
Di sudut sana
terlihat asap mengepul dari tungku. Wajan kecil terbuat dari tanah liat itu
sedang mencairkan sepotong malam atau lilin. Tak butuh waktu lama
memanaskannya. Jemari yang sudah keriput itu masih lihai menggoreskan canting
berisi cairan malam. Menuangkannya dengan hati-hati pada kain mori, mengikuti
garis yang sudah digambar terlebih dahulu dengan pensil.
Kebaikan hatinya
turut dirasakan tetangga dekat. Jika Mak Surip memasak lebih, pasti dibagikan
kepada sekitarnya. Namun, masih ada saja orang yang tak suka dengannya.
Ramadan kali ini
Mak Surip sudah merencanakan takjil apa saja yang akan dia berikan. Seperti
tahun-tahun sebelumnya. Mak Surip rutin memberikan takjil berupa camilan untuk
anak-anak TPQ.
Sore. Asap
mengepul melewati celah genteng tanah di dapur sempit yang terpisah dari rumah
sederhana di sana. Jelaga menghiasi dinding yang terbuat anyaman bambu itu.
Kayu bakar terus dijejalkan ke tungku, agar api tetap terjaga, menyala.
"Assalaamu’alaikum, Mak," ucap
seseorang dari luar rumah.
Tak ada yang
menjawab. Lagi dia mengetuk pintu dan mengucap salam. Beberapa lama menunggu.
Lalu, mengucap salam lebih keras lagi.
"Wa'alaikumsallam ...!" jawab Mak
Surip sedikit berseru.
"Mak, di
mana?!"
"Di dapur,
Nduk, sini saja." Mak Surip sedang menghancurkan ubi yang sudah dikukus.
"Mak, sudah
siap belum? Nanti takjilnya aku bawain sekalian, biar Mak Surip gak
capek," ucap Gina seraya melangkah mendekati Mak Sirip.
Gadis berparas
ayu dan cerdas itu sangat peduli dengan Mak Surip. Dia salah satu tetangga
dekat. Hanya sekian jengkal saja jaraknya dengan rumah Mak Surip. Gina, anak
yatim piatu yang tinggal bersama neneknya. Dia sudah menganggap Mak Surip
seperti ibunya sendiri.
"Ah, ndak
usah, biar Mak aja nanti yang anter ke masjid. Sekalian mau lihat anak-anak.
Masih jam empat ini."
Hari ini adalah
hari pertama di bulan Ramadan. Takjil yang Mak Surip buat berupa timus. Camilan
yang terbuat dari ubi jalar. Ubi yang telah dikukus, dihancurkan, lalu dibentuk
menjadi kepalan kecil kemudian digoreng.
Beberapa lama kemudian,
Mak Surip bersiap ke masjid. Membawa satu baskom takjil dan satu cerek besar
teh hangat. Melewati jalan berlubang yang belum diaspal. Hanya butuh lima menit
saja untuk sampai di masjid.
Sampai di
pelataran masjid. Riuh suara anak-anak sedang mengaji. Mak Surip duduk di teras
masjid, pikirannya mengawang kejadian beberapa tahun lalu. Pengalaman yang
sangat berharga untuknya.
***
Ramadan hari
ke-17, Mak Surip sudah siap dengan takjil berupa lemper untuk buka puasa
anak-anak TPQ petang ini. Lemper adalah camilan terbuat dari ketan yang
berbentuk lonjong berisi abon, lalu dibungkus dengan daun pisang. Mak Surip
selalu memasak camilan dengan baik, bersih, dan juga enak. Namun, terkadang
kebaikan hatinya masih diragukan ketulusannya oleh orang lain.
Azan magrib
berkumandang, saatnya untuk menikmati takjil dari Mak Surip. Anak-anak pun
memakan dengan lahap. Mak Surip yang melihat mereka sangat senang, beliau ikut
duduk di teras masjid, menikmati segelas teh hangat bersama pengajar TPQ.
Malam kian
larut. Namun, netra Mak Surip enggan terpejam. Terlihat gelisah, beberapa kali
mengubah posisi dalam tidurnya. Tak lama beliau duduk, dilihatnya jam dinding
si di sana, menunjukkan pukul 01.20. Perlahan Mak Surip bangkit, lalu mengambil
wudu. Lalu membuka Al-Quran,
dibacanya surat An-Nisa sampai beberapa ruku'.
Tak terasa waktu berputar begitu cepat. Hingga saat sahur tiba.
Sedangkan di
rumah mewah tak jauh dari rumah Mak Surip, terdengar rintihan anak kecil.
"Aduh ...
aduh, sakit!" Teriakan jelas semakin terdengar dari kamar tidur mewahnya.
"Kamu
kenapa, Ri?" tanya Bu Lasmi.
"Sakit
banget perutku, Bu." Ari menangis karena menahan sakit.
Bu Lasmi,
ibundanya panik bukan kepalang. Tanpa pikir panjang, akhirnya membawa Ari ke puskesmas
terdekat. Agar segera ditangani dokter.
***
Pagi. Mak Surip
sudah bersiap dengan peralatan batiknya. Namun, tetap saja hatinya masih tak
tenang. Dari semalam beliau tak bisa tidur.
Dari pelataran
terlihat seorang wanita menahan amarah sedang berjalan menuju rumah Mak Surip.
"Mak,
kenapa njenengan tega berbuat seperti ini sama anakku?! Takjil apa yang sudah
Mak Surip kasih sama Ari kemarin sore?!" Bu Lasmi tiba-tiba langsung
mencecar Mak Surip.
"Maksud Bu
Lasmi apa ya? Saya ndak ngasih takjil yang aneh sama Ari."
"Alah,
jangan pura-pura, Mak! Ari sampai opname di puskesmas gara-gara sakit perut,
dan itu pasti dari njenengan!" cecarnya lagi penuh amarah.
Bu Lasmi,
seorang janda kaya dan tetangga yang suka iri dengan hidup orang lain. Tak
terima anaknya sakit perut karena takjil yang telah diberikan Mak Surip. Bu
Lasmi, menuduh Mak Surip tanpa bukti yang jelas.
"Demi
Allah, Bu. Saya ndak bohong. Saya hanya membuat lemper sebagai takjil kemarin
sore," jawab Mak Surip.
Netranya
berkaca-kaca. Tuduhan yang sangat tak masuk akal menurutnya. Beliau tak pernah
dimaki sebelum ini.
"Oh,
pantesan. Njenengan sengaja kasih lemper ya. Ari itu masih balita, Mak.
Perutnya sensitif kalau makan makanan dari ketan. Apa jangan-jangan Mak Surip
sengaja ya untuk membuat Ari sakit?!"
"Saya
berani bersumpah, Bu. Saya ndak tahu kalau Ari ndak boleh makan lemper."
"Wes, ndak
perlu sumpah segala. Aku tau njenengan itu licik!"
"Astaghfirullah ... buat apa saya
bertindak seperti itu, Bu. Apa untungnya buat saya?" Mak Surip semakin tak
mengerti.
"Ya, saya
ndak tahu!"
"Ya Allah,
Bu. Saya memang miskin. S-saya juga tak bisa memiliki anak, tapi saya ndak
mungkin tega berbuat seperti itu."
"Ndak usah
banyak alasan, sekarang ikut saya ke rumah Pak RT!"
Dengan langkah
sedikit tertatih, Mak Surip mengikuti Bu Lasmi. Beberapa jam yang lalu kaki
kirinya terkilir karena terpeleset di kamar mandi yang licin.
Beberapa menit
kemudian, sampailah di rumah Pak RT. Rumah sederhana dengan cat berwarna hijau
itu tampak rapi dan bersih. Banyak tanaman hias di pot menambah kesan asri.
"Assalaamu’alaikum, Pak RT?" sapa Bu
Lasmi dari luar rumah.
"Wa’alaikumsallam," sahut Pak RT.
"Oh, ada Bu
Lasmi dan Mak Surip. Monggo, silakan duduk dulu. Ada apa ini? Tumben?"
Setelah mereka duduk di ruang
tamu. Bu Lasmi menceritakan dengan singkat tentang masalah apa yang sedang
terjadi. Mereka terlihat bermusyawarah. Berkali-kali Bu Lasmi tak terima dengan
pengakuan Mak Surip yang tak tahu apa-apa.
Keributan yang
ditimbulkan Bu Lasmi terdengar oleh beberapa tetangga, tak terkecuali Gina.
Gadis itu segera menghampiri ke rumah Pak RT. Dia memberikan penjelasan yang
sebenarnya, perihal Mak Surip yang tak tahu jika Ari tidak tahan dengan makanan
yang terbuat dari ketan.
"Mak Surip,
ndak bersalah, Pak. Beliau hanya tak tahu jika Ari akan mengalami sakit
perut."
"Iya, Gina.
Saya tahu, kita di sini mengambil jalan tengahnya saja. Bagaimana baiknya ...."
"Mak Surip
harus ganti rugi!" sahut Bu Lasmi lantang. "Ari harus opname di puskesmas
gara-gara takjil Mak Surip."
"Iya ...
iya, Bu. Tenang dulu. Bagaimana Mak, bersediakah Mak Surip membiayai pengobatan
Ari?"
"Saya akan
biayai semua, Bu. Saya ikhlas." Terlihat Mak Surip beberapa kali mengusap
air matanya yang berjatuhan. Sungguh ketidaktahuannya menjadikan masalah yang
rumit.
Beberapa jam
berdiskusi akhirnya mereka sepakat, jika Mak Suriplah yang akan membiayai
seluruh pengobatan Ari. Mak Surip hanya pasrah saja, dengan tuntutan yang
diberikan kepadanya. Terlalu rumit jika harus merasa keberatan.
Tak lama
kemudian, Bu Lasmi, Mak Surip, Pak RT, dan Gina ke puskesmas. Hanya sepuluh
menit saja untuk sampai ke sana menggunakan sepeda motor. Setelah sampai, mereka
bergegas menuju kamar inap, di sana sudah ada dokter yang menangani Ari.
"Pak
dokter, anak saya bagaimana?" tanya Bu Lasmi dengan wajah khawatir.
"Ari ndak
apa-apa, Bu. Dia hanya sakit perut biasa karena mengkonsumsi jajanan yang sudah
kadaluarsa."
"Berarti
bukan karena makan lemper, Pak?" tanya Gina.
"Oh, bukan,
Mbak. Ari memang masih balita, tapi perutnya sudah kuat untuk makan makanan
yang terbuat dari bahan ketan. Hanya saja, saya sangat menyayangkan, sepertinya
Ari kurang pengawasan."
Sorot mata Gina
tajam mengarah kepada Bu Lasmi. Seolah mengatakan bahwa Mak Surip tidak
bersalah. Namun, sentuhan lembut Mak Surip di tangannya membuat Gina
mengurungkan niat untuk membalas apa yang sudah Bu Lasmi lakukan.
Sementara Bu
Lasmi, hanya menunduk, diam. Seolah merasa bersalah telah menuduh Mak Surip.
Suatu pembelajaran untuk hidup Bu Lasmi, bahwa suatu masalah harus disertai
dengan bukti yang nyata.
***
Kejadian itu
membuat Mak Surip lebih berhati-hati lagi dalam membuat takjil. Meski memang
bukan karena beliau yang membuat seorang balita sakit perut. Namun, ada baiknya
jika tak terulang. Apalagi untuk anak-anak, terkadang beliau bertanya dulu
dengan Gina.
Kini Mak Surip
masih membuat takjil untuk anak-anak TPQ. Bahkan tak jarang tetangganya ada
yang pesan agar dibuatkan takjil untuk buka puasa bersama. Takjil penuh berkah
di bulan Ramadan ini.
Selesai
Biodata Penulis
Cincin kelahiran
Klaten 2 Desember. Hanya seorang ibu rumah tangga yang sedang belajar menulis.
Masih tertatih di dunia literasi karena belum lama berani untuk menyampaikan
rasa pada aksara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.