Jumat, 17 Mei 2019

#Kamis_Cerpen - Tema Ramadan - Takjil Mak Surip - Cincin Sarwindah - Sastra Indonesia Org





Mak Surip, wanita berumur 68 tahun itu tinggal di sini sendiri. Rumah sederhana dengan tembok yang sudah retak di beberapa bagian. Sepi, tanpa suami dan anak.
Mak Surip memang tak memiliki anak. Dia menikah dengan seorang lelaki yang jauh lebih muda darinya lima tahun lalu. Namun, pernikahan tak berlangsung lama. Lelaki itu hanya mengincar harta Mak Surip. Lalu pergi begitu saja, membawa perhiasan, sejumlah uang, dan sepeda onthel miliknya.
Beliau tak pernah mengeluh tentang keadaan fisiknya. Salah satu netra yang tak lagi berfungsi dengan sempurna. Pendengaran yang semakin berkurang, membuatnya kadang tak mengerti dengan ucapan orang yang berbicara dengannya.
Rutinitas setiap hari Mak Surip adalah membatik. Buruh batik lebih tepatnya. Kecamatan Bayat adalah salah satu penghasil batik yang sudah terkenal sejak dulu. Dari batik printing, cap, dan tulis.
Di sudut sana terlihat asap mengepul dari tungku. Wajan kecil terbuat dari tanah liat itu sedang mencairkan sepotong malam atau lilin. Tak butuh waktu lama memanaskannya. Jemari yang sudah keriput itu masih lihai menggoreskan canting berisi cairan malam. Menuangkannya dengan hati-hati pada kain mori, mengikuti garis yang sudah digambar terlebih dahulu dengan pensil.
Kebaikan hatinya turut dirasakan tetangga dekat. Jika Mak Surip memasak lebih, pasti dibagikan kepada sekitarnya. Namun, masih ada saja orang yang tak suka dengannya.
Ramadan kali ini Mak Surip sudah merencanakan takjil apa saja yang akan dia berikan. Seperti tahun-tahun sebelumnya. Mak Surip rutin memberikan takjil berupa camilan untuk anak-anak TPQ.
Sore. Asap mengepul melewati celah genteng tanah di dapur sempit yang terpisah dari rumah sederhana di sana. Jelaga menghiasi dinding yang terbuat anyaman bambu itu. Kayu bakar terus dijejalkan ke tungku, agar api tetap terjaga, menyala.
"Assalaamu’alaikum, Mak," ucap seseorang dari luar rumah.
Tak ada yang menjawab. Lagi dia mengetuk pintu dan mengucap salam. Beberapa lama menunggu. Lalu, mengucap salam lebih keras lagi.
"Wa'alaikumsallam ...!" jawab Mak Surip sedikit berseru.
"Mak, di mana?!"
"Di dapur, Nduk, sini saja." Mak Surip sedang menghancurkan ubi yang sudah dikukus.
"Mak, sudah siap belum? Nanti takjilnya aku bawain sekalian, biar Mak Surip gak capek," ucap Gina seraya melangkah mendekati Mak Sirip.
Gadis berparas ayu dan cerdas itu sangat peduli dengan Mak Surip. Dia salah satu tetangga dekat. Hanya sekian jengkal saja jaraknya dengan rumah Mak Surip. Gina, anak yatim piatu yang tinggal bersama neneknya. Dia sudah menganggap Mak Surip seperti ibunya sendiri.
"Ah, ndak usah, biar Mak aja nanti yang anter ke masjid. Sekalian mau lihat anak-anak. Masih jam empat ini."
Hari ini adalah hari pertama di bulan Ramadan. Takjil yang Mak Surip buat berupa timus. Camilan yang terbuat dari ubi jalar. Ubi yang telah dikukus, dihancurkan, lalu dibentuk menjadi kepalan kecil kemudian digoreng.
Beberapa lama kemudian, Mak Surip bersiap ke masjid. Membawa satu baskom takjil dan satu cerek besar teh hangat. Melewati jalan berlubang yang belum diaspal. Hanya butuh lima menit saja untuk sampai di masjid.
Sampai di pelataran masjid. Riuh suara anak-anak sedang mengaji. Mak Surip duduk di teras masjid, pikirannya mengawang kejadian beberapa tahun lalu. Pengalaman yang sangat berharga untuknya.
***
Ramadan hari ke-17, Mak Surip sudah siap dengan takjil berupa lemper untuk buka puasa anak-anak TPQ petang ini. Lemper adalah camilan terbuat dari ketan yang berbentuk lonjong berisi abon, lalu dibungkus dengan daun pisang. Mak Surip selalu memasak camilan dengan baik, bersih, dan juga enak. Namun, terkadang kebaikan hatinya masih diragukan ketulusannya oleh orang lain.
Azan magrib berkumandang, saatnya untuk menikmati takjil dari Mak Surip. Anak-anak pun memakan dengan lahap. Mak Surip yang melihat mereka sangat senang, beliau ikut duduk di teras masjid, menikmati segelas teh hangat bersama pengajar TPQ.
Malam kian larut. Namun, netra Mak Surip enggan terpejam. Terlihat gelisah, beberapa kali mengubah posisi dalam tidurnya. Tak lama beliau duduk, dilihatnya jam dinding si di sana, menunjukkan pukul 01.20. Perlahan Mak Surip bangkit, lalu mengambil wudu. Lalu membuka Al-Quran, dibacanya surat An-Nisa sampai beberapa ruku'. Tak terasa waktu berputar begitu cepat. Hingga saat sahur tiba.
Sedangkan di rumah mewah tak jauh dari rumah Mak Surip, terdengar rintihan anak kecil.
"Aduh ... aduh, sakit!" Teriakan jelas semakin terdengar dari kamar tidur mewahnya.
"Kamu kenapa, Ri?" tanya Bu Lasmi.
"Sakit banget perutku, Bu." Ari menangis karena menahan sakit.
Bu Lasmi, ibundanya panik bukan kepalang. Tanpa pikir panjang, akhirnya membawa Ari ke puskesmas terdekat. Agar segera ditangani dokter.

***
Pagi. Mak Surip sudah bersiap dengan peralatan batiknya. Namun, tetap saja hatinya masih tak tenang. Dari semalam beliau tak bisa tidur.
Dari pelataran terlihat seorang wanita menahan amarah sedang berjalan menuju rumah Mak Surip.


"Mak, kenapa njenengan tega berbuat seperti ini sama anakku?! Takjil apa yang sudah Mak Surip kasih sama Ari kemarin sore?!" Bu Lasmi tiba-tiba langsung mencecar Mak Surip.
"Maksud Bu Lasmi apa ya? Saya ndak ngasih takjil yang aneh sama Ari."
"Alah, jangan pura-pura, Mak! Ari sampai opname di puskesmas gara-gara sakit perut, dan itu pasti dari njenengan!" cecarnya lagi penuh amarah.
Bu Lasmi, seorang janda kaya dan tetangga yang suka iri dengan hidup orang lain. Tak terima anaknya sakit perut karena takjil yang telah diberikan Mak Surip. Bu Lasmi, menuduh Mak Surip tanpa bukti yang jelas.
"Demi Allah, Bu. Saya ndak bohong. Saya hanya membuat lemper sebagai takjil kemarin sore," jawab Mak Surip.
Netranya berkaca-kaca. Tuduhan yang sangat tak masuk akal menurutnya. Beliau tak pernah dimaki sebelum ini.
"Oh, pantesan. Njenengan sengaja kasih lemper ya. Ari itu masih balita, Mak. Perutnya sensitif kalau makan makanan dari ketan. Apa jangan-jangan Mak Surip sengaja ya untuk membuat Ari sakit?!"
"Saya berani bersumpah, Bu. Saya ndak tahu kalau Ari ndak boleh makan lemper."
"Wes, ndak perlu sumpah segala. Aku tau njenengan itu licik!"
"Astaghfirullah ... buat apa saya bertindak seperti itu, Bu. Apa untungnya buat saya?" Mak Surip semakin tak mengerti.
"Ya, saya ndak tahu!"
"Ya Allah, Bu. Saya memang miskin. S-saya juga tak bisa memiliki anak, tapi saya ndak mungkin tega berbuat seperti itu."
"Ndak usah banyak alasan, sekarang ikut saya ke rumah Pak RT!"
Dengan langkah sedikit tertatih, Mak Surip mengikuti Bu Lasmi. Beberapa jam yang lalu kaki kirinya terkilir karena terpeleset di kamar mandi yang licin.
Beberapa menit kemudian, sampailah di rumah Pak RT. Rumah sederhana dengan cat berwarna hijau itu tampak rapi dan bersih. Banyak tanaman hias di pot menambah kesan asri.
"Assalaamu’alaikum, Pak RT?" sapa Bu Lasmi dari luar rumah.
"Wa’alaikumsallam," sahut Pak RT.
"Oh, ada Bu Lasmi dan Mak Surip. Monggo, silakan duduk dulu. Ada apa ini? Tumben?"
Setelah mereka duduk di ruang tamu. Bu Lasmi menceritakan dengan singkat tentang masalah apa yang sedang terjadi. Mereka terlihat bermusyawarah. Berkali-kali Bu Lasmi tak terima dengan pengakuan Mak Surip yang tak tahu apa-apa.
Keributan yang ditimbulkan Bu Lasmi terdengar oleh beberapa tetangga, tak terkecuali Gina. Gadis itu segera menghampiri ke rumah Pak RT. Dia memberikan penjelasan yang sebenarnya, perihal Mak Surip yang tak tahu jika Ari tidak tahan dengan makanan yang terbuat dari ketan.
"Mak Surip, ndak bersalah, Pak. Beliau hanya tak tahu jika Ari akan mengalami sakit perut."
"Iya, Gina. Saya tahu, kita di sini mengambil jalan tengahnya saja. Bagaimana baiknya ...."
"Mak Surip harus ganti rugi!" sahut Bu Lasmi lantang. "Ari harus opname di puskesmas gara-gara takjil Mak Surip."
"Iya ... iya, Bu. Tenang dulu. Bagaimana Mak, bersediakah Mak Surip membiayai pengobatan Ari?"
"Saya akan biayai semua, Bu. Saya ikhlas." Terlihat Mak Surip beberapa kali mengusap air matanya yang berjatuhan. Sungguh ketidaktahuannya menjadikan masalah yang rumit.
Beberapa jam berdiskusi akhirnya mereka sepakat, jika Mak Suriplah yang akan membiayai seluruh pengobatan Ari. Mak Surip hanya pasrah saja, dengan tuntutan yang diberikan kepadanya. Terlalu rumit jika harus merasa keberatan.
Tak lama kemudian, Bu Lasmi, Mak Surip, Pak RT, dan Gina ke puskesmas. Hanya sepuluh menit saja untuk sampai ke sana menggunakan sepeda motor. Setelah sampai, mereka bergegas menuju kamar inap, di sana sudah ada dokter yang menangani Ari.
"Pak dokter, anak saya bagaimana?" tanya Bu Lasmi dengan wajah khawatir.
"Ari ndak apa-apa, Bu. Dia hanya sakit perut biasa karena mengkonsumsi jajanan yang sudah kadaluarsa."
"Berarti bukan karena makan lemper, Pak?" tanya Gina.
"Oh, bukan, Mbak. Ari memang masih balita, tapi perutnya sudah kuat untuk makan makanan yang terbuat dari bahan ketan. Hanya saja, saya sangat menyayangkan, sepertinya Ari kurang pengawasan."
Sorot mata Gina tajam mengarah kepada Bu Lasmi. Seolah mengatakan bahwa Mak Surip tidak bersalah. Namun, sentuhan lembut Mak Surip di tangannya membuat Gina mengurungkan niat untuk membalas apa yang sudah Bu Lasmi lakukan.
Sementara Bu Lasmi, hanya menunduk, diam. Seolah merasa bersalah telah menuduh Mak Surip. Suatu pembelajaran untuk hidup Bu Lasmi, bahwa suatu masalah harus disertai dengan bukti yang nyata.
***
Kejadian itu membuat Mak Surip lebih berhati-hati lagi dalam membuat takjil. Meski memang bukan karena beliau yang membuat seorang balita sakit perut. Namun, ada baiknya jika tak terulang. Apalagi untuk anak-anak, terkadang beliau bertanya dulu dengan Gina.
Kini Mak Surip masih membuat takjil untuk anak-anak TPQ. Bahkan tak jarang tetangganya ada yang pesan agar dibuatkan takjil untuk buka puasa bersama. Takjil penuh berkah di bulan Ramadan ini.

Selesai

Biodata Penulis

Cincin kelahiran Klaten 2 Desember. Hanya seorang ibu rumah tangga yang sedang belajar menulis. Masih tertatih di dunia literasi karena belum lama berani untuk menyampaikan rasa pada aksara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.